Anda di halaman 1dari 15

II.

PEMBAHASAN

A. HADITS RIWAYAH BIL-LAFDZI


Meriwayatkan hadits dengan lafadz
adalah meriwayatkan hadits sesuai
dengan lafadz yang mereka terima
dari Nabi saw dan mereka hafal
benar lafadz dari Nabi tersebut.
Atau dengan kata lain
meriwayatkan dengan lafadz yang
masih asli dari Nabi saw. Riwayat
hadits dengan lafadz ini
sebenarnya tidak ada persoalan,
karena sahabat menerima
langsung dari Nabi baik melalui
perkataan maupun perbuatan, dan
pada saat itu sahabat langsung
menulis atau menghafalnya.
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-

hadits yang memakai lafadz-lafadz


sebagai berikut:
1. ( Saya
mendengar Rasulullah saw)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda: Sesungguhnya
dusta atas namaku itu tidak seperti
dusta atas nama orang lain, dan
barang siapa dusta atas namaku
dengan sengaja, maka hendaknya
ia menempati tempat duduknya di
neraka. (HR. Muslim dan lainlainnya)
2.
(Menceritakan kepadaku Rasulullah
saw)

Artinya: Telah bercerita kepadaku


Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi
bin Abdur Rahman dari Abi
Hurairah bahwa Rasulullah saw
bersabda: Siapa yang beramadhan
dengan iman dan mengharap
pahala, dihapus doasa-dosanya
yang telah lalu.
3.
(Mengkhabarkan kepadaku
Rasulullah saw)
4. ( Saya
melihat Rasulullah saw berbuat)
Artinya: Dari Abbas bin Rabi ra., ia
berkata: Aku melihat Umar bin
Khaththab ra., mencium Hajar
Aswad dan ia berkata:
Sesungguhnya benar-benar aku

tahu bahwa engkau itu sebuah


batu yang tidak memberi mudharat
dan tidak (pula) memberi manfaat.
Seandainya aku tidak melihat
Rasulullah saw. menciummu, aku
(pun) tak akan menciummu. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits yang menggunakan lafadzlafadz di atas memberikan indikasi,
bahwa para sahabat langsung
bertemu dengan Nabi saw dalam
meriwayatkan hadits. Oleh
karenanya para ulama menetapkan
hadits yang diterima dengan cara
itu menjadi hujjah, dengan tidak
ada khilaf.
B. HADITS RIWAYAH BIL-MANA
Meriwayatkan hadits dengan

makna adalah meriwayatkan hadits


dengan maknanya saja sedangkan
redaksinya disusun sendiri oleh
orang yang meriwayatkan. Atau
dengan kata lain apa yang
diucapkan oleh Rasulullah hanya
dipahami maksudnya saja, lalu
disampaikan oleh para sahabat
dengan lafadz atau susunan
redaksi mereka sendiri. Hal ini
dikarenakan para sahabat tidak
sama daya ingatannya, ada yang
kuat dan ada pula yang lemah. Di
samping itu kemungkinan masanya
sudah lama, sehingga yang masih
ingat hanya maksudnya sementara
apa yang diucapkan Nabi sudah
tidak diingatnya lagi.

Menukil atau meriwayatkan hadits


secara makna ini hanya
diperbolehkan ketikan haditshadits belum terkodifikasi. Adapun
hadits-hadits yang sudah
terhimpun dan dibukukan dalam
kitab-kitab tertentu (seperti
sekarang), tidak diperbolehkan
merubahnya dengan lafadz/matan
yang lain meskipun maknanya
tetap.
Adapun contoh hadits manawi
adalah sebagai berikut:
Artinya: Ada seorang wanita
datang menghadap Nabi saw, yang
bermaksud menyerahkan dirinya
(untuk dikawin) kepada beliau.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki

berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah


wanita tersebut kepadaku,
sedangkan laki-laki tersebut tidak
memiliki sesuatu untuk dijadikan
sebagai maharnya selain dia hafal
sebagian ayat-ayat Al-Quran.
Maka Nabi saw berkata kepada
laki-laki tersebut: Aku nikahkan
engkau kepada wanita tersebut
dengan mahar (mas kawin) berupa
mengajarkan ayat Al-Quran.
Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada
wanita tersebut dengan mahar
berupa (mengajarkan) ayat-ayat
Al-Quran.
Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada

wanita tersebut atas dasar mahar


berupa (mengajarkan) ayat-ayat
Al-Quran.
Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik
engkau dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat AlQuran.
(Al-Hadits)
Secara lebih terperinci dapat
dikatakan bahwa meriwayatkan
hadits dengan maknanya itu
sebagai berikut:
1. Tidak diperbolehkan, pendapat
segolongan ahli hadits, ahli fiqh
dan ushuliyyin.
2. Diperbolehkan, dengan syarat
yang diriwayatkan itu bukan hadits

marfu.
3. Diperbolehkan, baik hadits itu
marfu atau bukan asal diyakini
bahwa hadits itu tidak menyalahi
lafadz yang didengar, dalam arti
pengertian dan maksud hadits itu
dapat mencakup dan tidak
menyalahi.
4. Diperbolehkan, bagi para perawi
yang tidak ingat lagi lafadz asli
yang ia dengar, kalau masih ingat
maka tidak diperbolehkan
menggantinya.
5. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa hadits itu yang terpenting
adalah isi, maksud kandungan dan
pengertiannya, masalah lafadz
tidak jadi persoalan. Jadi

diperbolehkan mengganti lafadz


dengan murodifnya.
6. Jika hadits itu tidak mengenai
masalah ibadah atau yang
diibadati, umpamanya hadits
mengenai ilmu dan sebagainya,
maka diperbolehkan dengan
catatan:
a. Hanya pada periode sahabat
b. Bukan hadits yang sudah
didewankan atau di bukukan
c. Tidak pada lafadz yang diibadati,
umpamanya tentang lafadz
tasyahud dan qunut.
III. ANALISIS
Ada dua perspektif yang dilakukan
sahabat dalam menerima sebuah
hadits dan penerimaannya itu

terlepas dari takut lupa atau tidak,


yaitu:
1. Seluruh huruf yang dikeluarkan
oleh nabi dipandang sebagai sunah
dan ajaran yang perlu diambil bagi
umat, atau dengan kata lain
sahabat melihat sosok kenabian
Muhammad SAW.
2. Sahabat melihat bahwa misi nabi
itu tiada lain hanyalah sebagai
pembawa paket perubahan
(rahmatan lilalamin), makanya
mereka tidak terikat oleh bahasa
rasul.
Kedua pandangan sahabat di atas
menjadi kata kunci dalam menilai
sebuah hadits pada masa-masa
sesudahnya. Pandangan pertama

menimbulkan hadits lafdzi, sedang


pandangan kedua menimbulkan
hadits mana. Hadits lafdzi dapat
terjadi pada hadits qauliyah,
filiyah dan taqririyah begitu pula
hadits mana.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
hadits-hadits di bawah ini:
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda: Sesungguhnya
dusta atas namaku itu tidak seperti
dusta atas nama orang lain, dan
barang siapa dusta atas namaku
dengan sengaja, maka hendaknya
ia menempati tempat duduknya di
neraka. (HR. Muslim dan lainlainnya)

Artinya: Dari Abu Hurairah ra.,


bahwa Rasulullah saw bersabda:
Barang siapa berdusta atas
namaku dengan sengaja, maka
hendaklah ia menempati tempat
duduknya di neraka. (HR. Bukhari
Muslim)
Artinya: Dari Samurah bin Jundub
ra., ia berkata Rasulullah saw
bersabda: Barang siapa berbicara
dengan sesuatu hadits yang
dikatakannya datang dari aku,
padahal ia mengetahui bahwa ia
dusta, maka orang itu termasuk
salah seorang dari para pendusta.
(HR. Muslim)
Jika dilihat secara tekstual, ketiga
hadits di atas adalah hadits lafdzi

dengan tiga periwayatan. Yang


pertama diriwayatakan oleh Muslim
dengan sanad dari Al-Mughirah
ra., yang kedua diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim ( )
dengan sanad dari Abu Hurairah
ra., dan ketiga diriwayatkan oleh
Muslim melalui Samurah bin
Jundub ra. Namun jika dilihat
secara kontekstual, ketiga hadits di
atas adalah hadits manawi. Karena
ketiga hadits tersebut mempunyai
maksud dan tujuan yang sama,
yaitu sama-sama melarang dusta
atas nama Nabi Muhammad saw
atau dengan kata lain larangan
untuk membuat hadits palsu,
dengan ancaman neraka sebagai

balasannya.
Dari keterangan di atas jelaslah
bahwa perbedaan antara hadits
lafdzi dengan hadits mana adalah
sedikit sekali, terletak hanya pada
periwayatan lain yang menjadi
sumber sandarannya. Kalau
diumpamakan hadits itu sebuah
kelompok, maka kumpulan
kelompok yang terdiri dari
beberapa person (orang) adalah
hadits manawi, sedang orang
perseorangnya dinamakan dengan
hadits lafdzi.

Anda mungkin juga menyukai