Anda di halaman 1dari 10

Palatoschisis (Cleft Palate)

(Cleft Lips / labioschisis) Celah Bibir dan (Cleft Palate /


Palatoschisis) Celah Langit-langit adalah suatu kelainan bawaan yang terjadi pada
bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan langit-langit keras mulut.
Cleft Lips / Labioschisis atau bibir sumbing) adalah suatu ketidaksempurnaan pada
penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung.
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana
atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa
kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah
cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut.
***
PENDAHULUAN
Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan, antara lain processus
frontonasalis, processus nasalis medialis dan lateralis, processus maxillaries, dan processus
mandibularis. Kegagalan penyatuan processus maxilla dan processus nasalis medial akan
menimbulkan celah pada bibir (labioschisis) yang terjadi unilateral atau bilateral. Bila
processus nasalis medialis, bagian yang membentuk dua segmen antara maxilla, gagal
menyatu maka terjadi celah pada atap mulut atau langitan yang disebut palatoschisis.1
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana
atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa
kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah
cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut. Oleh karena
itu, pada palatoschisis, anak biasanya pada waktu minum sering tersedak dan suaranya
sengau. Cleft palate dapat terjadi pada bagian apa saja dari palatum, termasuk bagian
depan dari langitan mulut yaitu hard palate atau bagian belakang dari langitan mulut yang
lunak
yaitu
soft
palate.
2,3
Cleft palate mempunyai banyak sekali implikasi fungsional dan estetika bagi pasien dalam
interaksi social mereka terutama kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara efektif
dan penampilan wajah mereka. Koreksi sebaiknya sebelum anak mulai bicara untuk
mencegah terganggunya perkembangan bicara. Penyuluhan bagi ibu si anak sangat
penting, terutama tentang cara memberikan minum agar gizi anak memadai saat anak akan
menjalani bedah rekonstruksi. Kelainan bawaan ini sebaiknya ditangani oleh tim ahli yang
antara lain terdiri atas ahli bedah, dokter spesialis anak, ahli ortodonsi yang akan mengikuti
perkembangan rahang dengan giginya, dan ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing
kemampuan bicara.1

***
EMBRIOLOGI
Jaringan-jaringan wajah, termasuk didalamnya bibir dan palatum berasal dari migrasi,
penetrasi, dan penyatuan mesenkimal dari sel-sel cranioneural kepala. Ketiga penonjolan
utama pada wajah (hidung, bibir, palatum) secara embriologi berasal dari penyatuan
processus
fasialis
bilateral.4
Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu pembentukan palatum
primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum sekunder. Pertumbuhan palatum
dimulai kira-kira pada hari ke-35 kehamilan atau minggu ke-4 kehamilan yang ditandai
dengan pembentukan processus fasialis. Penyatuan processus nasalis medialis dengan
processus maxillaries, dilanjutkan dengan penyatuan processus nasalis lateralis dengan
processus nasalis medialis, menyempurnakan pembentukan palatum primer. Kegagalan
atau kerusakan yang terjadi pada proses penyatuan processus ini menyebabkan
terbentuknya
celah
pada
palatum
primer.
3
Pembentukan palatum sekunder dimulai setelah palatum primer terbentuk sempurna, kirakira minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder terbentuk dari sisi bilateral yang berkembang
dari bagian medial dari processsus maxillaries. Kemudian kedua sisi ini akan bertemu di
midline dengan terangkatnya sisi ini. Ketika sisi tersebut berkembang kearah superior,
proses penyatuan dimulai. Kegagalan penyatuan ini akan menyebabkan terbentuknya celah
pada palatum sekunder. 3
***
ANATOMI
Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang bersama-sama
membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung. Processus palatine os maxilla dan
lamina horizontal dari os palatine membentuk palatum durum. Palatum molle merupakan
suatu jaringan fibromuskuler yang dibentuk oleh beberapa otot yang melekat pada bagian
posterior palatum durum. Terdapat enam otot yang melekat pada palatum durum yaitu m.
levator veli palatine, m. constrictor pharyngeus superior, m.uvula, m.palatopharyngeus,
m.palatoglosus
dan
m.tensor
veli
palatini.
3
Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi velopharyngeal adalah
m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constriktor pharyngeus superior. M.uvula berperan
dalam mengangkat bagian terbesar velum selama konstraksi otot ini. M.levator veli palatine
mendorong velum kearah superior dan posterior untuk melekatkan velum kedinding faring
posterior. Pergerakan dinding faring ke medial, dilakukan oleh m.constriktor pharyngeus
superior yang membentuk velum kearah dinding posterior faring untuk membentuk sfingter
yang kuat. M.palatopharyngeus berfungsi menggerakkan palatum kearah bawah dan kearah
medial. M.palatoglossus terutama sebagai depressor palatum, yang berperan dalam
pembentukan venom nasal dengan membiarkan aliran udara yang terkontrol melalui rongga
hidung. Otot yang terakhir adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak berperan dalam
pergerakan palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi m.tensor timpani yaitu
menjamin
ventilasi
dan
drainase
dari
tuba
auditiva.
3
Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk melalui foramen
palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan m.palatina minor lewat melalui foramen
palatine minor. Innervasi palatum berasal dari n.trigeminus cabang maxilla yang membentuk

pleksus yang menginervasi otot-otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat innervasi
dari nervus cranial VII dan IX yang berjalan disebelah posterior dari pleksus.
***
INSIDEN
Insidens dari berbagai tipe cleft di laporkan oleh Veau. Insidens secara keseluruhan dari
cleft di laporkan oleh Fogh Andersen yakni 1 dari 655 kelahiran dan oleh Ivy yakni 1 dari 762
kelahiran, dimana lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Peningkatan resiko palatoschisis bertambah seiring dengan meningkatnya usia maternal
dan adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit bawaan yang sama. Faktor etnik juga
mempengaruhi angaka kejadian palatoschisis. Palatoschisis paling sering ditemukan pada
ras Asia dibandingkan ras Afrika. Insiden palatoschisis pada ras Asia sekitar 2,1/1000,
1/1000 pada ras kulit putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam. Menurut data tahun 2004, di
Indonesia ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate dari total seluruh penduduk .
Palatoschisis yang tanpa labioschisis memiliki rasio yang relatif konstan yaitu 0,45-0,5/1000
kelahiran. Tipe yang paling sering adalah uvula bifida dengan insiden sekitar 2% dari
populasi. Setelah itu diikuti oleh palatoschisis komplit unilateral kiri. 3,5,7,8,9

ETIOLOGI
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi palatoschisis bersifat
multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum berhubungan dengan faktor
herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan
processus.4
1. Faktor herediter
Sekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat keluarga yang menderita
penyakit yang sama. Orang tua dengan palatoschisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk
memiliki anak dengan palatoschisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita
palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita palatoschisis adalah sekitar 4%. Jika
kedua orangtuanya tidak menderita palatoschisis, tetapi memiliki anak tunggal dengan
palatoschisis maka resiko generasi berikutnya menderita penyakit yang sama juga sekitar
4%. Dugaan mengenai hal ini ditunjang kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked
gen, yaitu Xq13-21 pada lokus 6p24.3 pada pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan

lain yang menunjang, bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan
langitan (khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal, maupun defek lahir lainnya.
2. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid (golongan vitamin
A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan
semester pertama seperti infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan
terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi
makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan palatoschisis.3,4,10
***
PATOFISIOLOGI
Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah, inkompetensi
velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan fungsi tuba eustachi.
Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup kesulitan dalam intake makanan dan
nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal,
dan gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan
hidung menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.3
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak sempurnanya
pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren telah dihubungkan dengan
timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara pada pasien dengan palatoschisis.
Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan
sebagai modulator aliran udara dalam pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan
nasal coupling. (Manipulasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak
sukses dilakukan pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya
pengucapan normal).3
***
KLASIFIKASI
Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis atau disertai dengan
labioschisis. Palatoschisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh sebagai celah hanya pada
palatum molle, atau hanya berupa celah pada submukosa. Celah pada keseluruhan palatum
terbagi atas dua yaitu komplit (total), yang mencakup palatum durum dan palatum molle,
dimulai dari foramen insisivum ke posterior, dan inkomplit (subtotal). Palatoschisis juga
dapat
bersifat
unilateral
atau
bilateral.
2,11

cleft
menjadi
4
1.
Cleft
2.
Cleft
palatum
molle
3.
Cleft
lip
dan
4. Cleft lip dan palatum bilateral komplit

Veau membagi
kategori
yaitu
palatum
molle
dan
palatum
durum
palatum
unilateral
komplit

Klasifikasi Jalur-Y untuk cleft lip dan palate berdasarkan modifikasi Millard dari Kernohan.
Lingkaran kecil mengindikasikan foramen insisivum; segitiga mengidikasikan ujung nasal
dan dasar nasal.
***
PENATALAKSANAAN
Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah sederhana,
melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli ortodonti, ahli THT untuk
mencegah menangani timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis.
Speech therapist untuk fungsi bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpangtindih tapi saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna. 16
1. Terapi Non-bedah
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada terapi medis
khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari palatoschisis yakni permasalahan
dari intake makanan, obstruksi jalan nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan
medis
terlebih
dahulu
sebelum
diperbaiki.3
Perawatan
Umum
Pada
Cleft
Palatum
Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan pada bayi dengan
cleft palate yakni:
a. Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya mengalami kesulitan karena
ketidakmampuan untuk menghisap, meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan
menghisap. Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang adekuat
mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika lewat bagian posterior dari cavum
oris. pada bayi yang masih disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus
yang tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat memancar keluar sendiri
dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi

tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak cukup. Botol susu
dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke dalam bagian belakang
mulut dan mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat dipasangkan
obturator untuk menutup celah pada palatum, agar dapat menghisap susu, atau dengan
sendok dengan posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati langit-langit yang
terbelah atau memakai dot lubang kearah bawah ataupun dengan memakai dot yang
memiliki selang yang panjang untuk mencegah aspirasi. (5)
b. Pemeliharaan jalan nafas
Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika dagu dengan
retroposisi (dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah (undershot jaw), fungsi muskulus
genioglossus hilang dan lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial
atau total saat inspirasi (The Pierre Robin Sindrom)
c. Gangguan telinga tengah
Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft palate dan sering terjadi
pada anak-anak yang tidak dioperasi, sehingga otitis supuratif rekuren sering menjadi
masalah. Komplikasi primer dari efusi telinga tengah yang menetap adalah hilangnya
pendengaran. Masalah ini harus mendapat perhatian yang serius sehingga komplikasi
hilangnya pendengaran tidak terjadi, terutama pada anak yang mempunyai resiko
mengalami gangguan bicara karena cleft palatum. Pengobatan yang paling utama adalah
insisi untuk ventilasi dari telinga tengah sehingga masalah gangguan bicara karena tuli
konduktif dapat dicegah.(5)
2. Terapi bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus emergensi,
dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi
bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang
pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian
soft
palate
dapat
berfungsi
dengan
baik.
Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk memperbaiki celah
palatum,
yaitu:
1. Teknik von Langenbeck
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang merupakan teknik operasi
tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik flap bipedikel
mukoperiosteal pada palatum durum dan palatum molle. Untuk memperbaiki kelainan yang
ada, dasar flap ini disebelah anterior dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah
palatum.
2. Teknik V-Y push-back
Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan satu atau dua flap palatum
unipedikel dengan dasarnya disebelah anterior. Flap anterior dimajukan dan diputar ke
medial sedangkan flap posterior dipindahkan ke belakang dengan teknik V to Y akan
menambah
panjang
palatum
yang
diperbaiki.
3. Teknik double opposing Z-plasty

Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang palatum molle dan membuat
suatu fungsi dari m.levator.
4. Teknik Schweckendiek
Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950, pada teknik ini, palatum
molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di ikuti dengan penutupan palatum durum ketika si
anak mendekati usia 18 bulan.
5. Teknik palatoplasty two-flap
Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini mencakup pembuatan dua flap
pedikel dengan dasarnya di posterior yang meluas sampai keseluruh bagian alveolar. Flap
ini kemudian diputar dan dimajukan ke medial untuk memperbaiki kelainan yang ada.
Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-4 tahun untuk
melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya suara sengau karena setelah operasi
suara sengau masih dapat terjadi suara sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan
suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang
salah. Bila setelah palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara sengau maka
dilakukan pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan
pada usia 4-6 tahun. Pada usia anak 8-9 tahun ahli ortodonti memperbaiki lengkung
alveolus sebagai persiapan tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis
bedah plastic melakukan operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan
gigi
caninus.16
Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita diperbolehkan minum
dan makanan cair sampai tiga minggu dan selanjutnya dianjurkan makan makanan biasa.
Jaga hygiene oral bila anak sudah mengerti. Bila anak yang masih kecil, biasakan setelah
makan makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik selama tiga hari.
Pada orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi berupa, posisi tidur pasien harusnya
dimiringkan/tengkurap untuk mencegah aspirasi bila terjadi perdarahan, tidak boleh
makan/minum yang terlalu panas ataupun terlalu dingin yang akan menyebabkan
vasodilatasi dan tidak boleh menghisap /menyedot selama satu bulan post operasi untuk
menghindari jebolnya daerah post operasi.16
***
KOMPLIKASI
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli, gangguan
bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan gangguan
psikososial. 8
Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni:
a. Obstruksi jalan nafas
Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif merupakan komplikasi
yang paling penting pada periode segera setelah dilakukan operasi. Keadaan ini timbul
sebagai hasil dari prolaps dari lidah ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli
anastesi. Penempatan Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani
kondisi ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut karena

perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak dengan madibula yang
kecil. Pada beberapa instansi, pembuatan dan pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai
perbaikan palatum telah sempurna.
b. Perdarahan
Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi. Karena kayanya darah
yang diberikan pada paltum, Intraoperative hemorrhage is a potential complication. Because
of the rich blood supply to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk
dilakukannya transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total
volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung
trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa
intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride capat mengurangi kehilangan darah yang bisa
terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung
mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.
c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah dilakukan
operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang tertunda. Suatu fistel pada
palatum dapat timbul dimanapun sepanjang sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup
tinggi yakni sebanyak 34%, dan berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut
berhubungan dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post operatif bisa ditangani
dengan dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala, prosthesis gigi bisa
digunakan untuk menutup defek yang ada dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala
diharuskan untuk terapi pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior
merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu, penutupan fistula
anterior maupun posterior yang persisten seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan
setelah operasi, ketika supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya.
Saat ini, banyak centre menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun)
sebelum mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana gagal, flap
jaringan seperti flap lidah anterior bisa dibutuhkan untuk melakukan penutupan.
d. Midface abnormalities
Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada intervensi pembedahan
terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah retriksi dari pertumbuhan maksilla pada
beberapa persen pasien. Palatum yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan
berkurangnya demensi anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau
tingginya yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena penyebab
dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan ataupun efek dari cleft tersebut
pada pertumbuhan primer dan sekunder pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien
dengan cleft palate unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah
orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki hipoplasia midface
yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas dagu.3
e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila hal ini terjadi,
anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat

tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang
terpisah.
f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah memiliki
pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi,
trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat
berkurang pascaoperasi, dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang
terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi setelah operasi.
h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan dengan retraksi
sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen
lateral otot orbikularis.
i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir
Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang
penting lengkung.3
***
PENYEBAB
Faktor genetik berkontribusi terhadap bibir sumbing dan celah langit-langit
(Palatoschisis/Palatolabiaschisis). pembentukan telah diidentifikasi untuk beberapa kasus
sindrom, tetapi pengetahuan tentang faktor genetik yang berkontribusi terhadap kasuskasus terisolasi, lebih umum masih mengunakan tambal sulam (bedah plastik).
Banyak celah/kerentanan dalam keluarga, meskipun dalam beberapa kasus ada tampaknya
tidak menjadi sindrom diidentifikasi ini, [21] mungkin karena saat ini pemahaman genetik
lengkap pada pembangunan tengah wajah.
Sejumlah
gen
yang
terlibat
termasuk
bibir
sumbing
dan
langit-langit
(Palatoschisis/Palatolabiaschisis). transmembran protein 1 dan GAD1, [22] salah satu
decarboxylases glutamat. Banyak gen yang diketahui berperan dalam pengembangan
kraniofasial dan sedang dipelajari melalui inisiatif FaceBase untuk bagian mereka dalam
celah ini. Gen ini adalah AXIN2, BMP4, FGFR1, FGFR2, FOXE1, IRF6, MAFB (gen), MMP3,
MSX1, MSX2 (msh homeobox 2), MSX3, PAX7, PDGFC, PTCH1, SATB2, Sox9, SUMO1
(pengubah ubiquitin terkait Kecil 1), TBX22, TCOF (protein Treacle), TFAP2A, VAX1, TP63,
ARHGAP29, Nog, NTN1, gen NTB, dan locus 8q24.
[ 9,10,11 ]
***
PROGNOSIS

Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan bicara sehingga
diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh disekolah, tetapi jika anak berbicara lambat atau
hati-hati maka akan terdengar seperti anak normal.
***
DAFTAR PUSTAKA
Tessier P (June 1976). Anatomical classification facial, cranio-facial and latero-facial
clefts. J Maxillofac Surg 4 (2): 6992 || NIH ALAMAT JURNAL-NYA : Klik disini
Kim EK, Khang SK, Lee TJ, Kim TG (May 2010). Clinical features of the microform cleft
lip and the ultrastructural characteristics of the orbicularis oris muscle. Cleft Palate
Craniofac. J. 47 (3): 297302. || NIH ALAMAT JURNAL-NYA : Klik disini
Yuzuriha S, Mulliken JB (November 2008). Minor-form, microform, and mini-microform
cleft lip: anatomical features, operative techniques, and revisions. Plast. Reconstr.
Surg.122 (5): 148593. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
Tosun Z, Honuter M, Sentrk S, Savaci N (2003). Reconstruction of microform cleft
lip. Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg 37 (4): 2325. || NIH ALAMAT JURNALNYA
:Klik disini
Tollefson TT, Humphrey CD, Larrabee WF, Adelson RT, Karimi K, Kriet JD (2011). The
spectrum of isolated congenital nasal deformities resembling the cleft lip nasal
morphology.Arch Facial Plast Surg 13 (3): 15260. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik
disini
Statistics by country for cleft palate. WrongDiagnosis.com. Retrieved 2007-04-24.
Sloan GM (2000). Posterior pharyngeal flap and sphincter pharyngoplasty: the state
of the art. Cleft Palate Craniofac. J. 37(2): 11222. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik
disini
Costello BJ, Edwards SP, Clemens M (October 2008). Fetal diagnosis and treatment of
craniomaxillofacial anomalies. J. Oral Maxillofac. Surg. 66 (10): 198595.
Dudas M, Li WY, Kim J, Yang A, Kaartinen V (2007). Palatal fusion where do the
midline cells go? A review on cleft palate, a major human birth defect. Acta
Histochem. 109 (1): 114. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
Dudas M, Li WY, Kim J, Yang A, Kaartinen V (2007). Palatal fusion where do the
midline cells go? A review on cleft palate, a major human birth defect. Acta
Histochem. 109 (1): 114. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
Beaty TH, Ruczinski I, Murray JC, et al. (May 2011). Evidence for gene-environment
interaction in a genome wide study of isolated, non-syndromic cleft palate. Genet
Epidemiol 35 (6): 46978. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini

Anda mungkin juga menyukai