Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

TETANUS

Disusun Oleh :
MUHAMMAD ERFIN
SYLVIANA
RATU ANISA F

110.2004.161
110.2004.260
110.2005.209

Pembimbing :
Dr.Mukhdiar, Sp. S
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD CILEGON
OKTOBER 2010

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Kata Pengantar

.... ii

Bab I
I.1

Pendahuluan

II.1

Definisi

II.2

Patofisiologi

II.3

Faktor resiko

II.4

Klasifikasi

II.5

Diagnosis

10

II.6

Diagnosis banding

10

II.7

Tatalaksana

.. 10

II.8

Komplikasi

.. 18

II.9

Prognosis

.. 18

III.1

Edukasi

19

III.2

Saran

19

20

Bab II

Bab III

Daftar Pustaka

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Vaskularisasi retina

Gambar 2. Patogenesis ROP

Gambar 3. Klasifikasi ROP

Gambar 4. Stadium ROP

Gambar 5. Kriteria ROP regresi

13

Gambar 6. Diagram alur progresifitas ROP .

14

Gambar 7. Scleral buckling

16

ii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan rahmatnya
serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul TETANUS. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik ilmu penyakit saraf di RSUD Cilegon.
Penulis menyadari bahwa referat ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat dr. Mukhdiar Sp.S, atas keluangan waktu dan bimbingan
yang telah diberikan, serta kepada teman sesama kepaniteraan klinik ilmu penyakit saraf dan
perawat yang selalu mendukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang
baik sehingga dapat terselesaikannya referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun referat ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima segala kritik dan saran
yang diberikan demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak dan setiap pembaca pada umumnya. Amin...
Wassalamu`alaikum Wr. Wb.

Cilegon, Oktober 2010

Penulis

iii

BAB I
I.1.

PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkaan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat.

Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospasmin meripakan neurotoksin yang diproduksi oleh
Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan Seven day Disease. Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang
di isolasi dari tanah anerob yang mengandung bakteri. Imunisasi dengan mengaktivasi
derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada
kulit oleh karena terpotong, tertusuk atau pun luka bakar serta infeksi pada tali pusat.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan
yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai
case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara
dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.
Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat
mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan
dan prognosis dari penyakit tetanus.

BAB II
II.1.

DEFINISI
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan
tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat
dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus
hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem
saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Mikroorganisme ini menghasilkan

spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh
drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan
kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah,
debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis
toksin,

yaitu

tetanolisin

dan

tetanospasmin.

Tetanolisin

belum

diketahui

kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro,


sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang
menyebabkan spasme otot dan kejang.

II.2.

ETIOLOGI
Penyakit tetanus ini disebabkan karena Clostridium tetani yang merupakan
basil gram positif obligat anaerobik yang dapat ditemukan pada permukaan tanah
yang gembur dan lembab dan pada usus halus dan feses hewan. Mempunyai spora
yang mudah bergerak dan spora ini merupkan bentuk vegetatif. Kuman ini bisa masuk
melalui luka di kulit. Spora yang ada tersebar secara luas pada tanah dan karpet, serta
dapat diisolasi pada banyak feses binatang pada kuda, domba, sapi, anjing, kucing,
marmot dan ayam. Tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang mungkin mengandung
sejumlah besar spora. Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada manusia
dewasa mungkin mengandung organisma ini. Spora juga dapat ditemukan pada
permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk aktif
kembali ketika masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial
reduksi jaringan rendah. Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat
bertahan hidup bertahun tahun jika tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini
akan mudah mati dengan pemanasan 120oC selama 15 20 menit tapi dapat betahan
hidup terhadap antiseptik fenol, kresol.
Kuman ini juga menghasilkan 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan
potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan organisme anaerob. Tetanolisin ini
diketahui dapat merusak membran sel lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin
(toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang menyebabkan
penyakit. Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal

berdasarkan beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino
polipeptida 151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin ini
mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter glisin dan GABA pada
terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan neurotransmiter inhibisi
dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat. Batas dosis terkecil
tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia adalah 2,5 nanogram
per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk manusia dengan berat badan 75
kg.

Gambar 1. Mikroskopik Clostridium tetani.

II.3.

KLASIFIKASI
Berdasarkan gambaran klinis yang telah dideskripsikan, maka tingkatan
penyakit tetanus dapat dibuat dalam suatu kriteria/derajat berat ringannya penyakit.
Menurut abletts, kriteria tetanus ini dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
I.
II.

Ringan
Sedang

IIIa. Berat
IIIb. Sangat Berat

Kasus tanpa disfagia dan gangguan respirasi


Kasus dengan spastisitas nyata, gangguan

menelan

(disfagia) dan gangguan respirasi


Kasus dengan spastisitas berat disertai spasme berat
Sama dengan tingkat IIIa disertai adanya aktivitas simpatis
berlebihan (disotonomia).

Modifikasi Abletts :
I.

Trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum. Tidak disertai dengan

II.

kejang, gangguan respirasi dengan sedikit atau tanpa gangguan menelan


Trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan sampai sedang yang
berlangsung singkat disertai disfagia ringan dan takipnea > 30 35 x/ menit

III.

Trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang spontan yang


berlangsung lama. Gangguan pernapasan dengan takipnea > 40 x/menit,
kadang apnea, disfagioa berat dan takikardia > 120x/menit. Terdapat

IV.

peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat dan menetap.


Gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat dimana dijumpai
hipertensi berat dengan takikardi berselang dengan hipotensi relatif dan
bradikardia atau hipertensi diastolik yang berat dan menetap (tekanan
diastolik >110 mmHg) atau hipotensi sistolik yang menetap (tekanan sistolik
<90 mmHg). Dikenal juga dengan autonomic storm

Sedangkan Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan
berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
I.
II.
III.
IV.
V.

Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Inkubasi antara 7 hari atau kurang
Waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kenaikan suhu rektal sampai 100 0 farenheit dan aksila sampai 990 farenheit

Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas, maka dibuatlah tingkatan penyakit tetanus


sebagai berikut :
I.
II.

Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0 %


Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi lebih dari 7
Hari dan onset lebih dari 2 hari, moirtalitas 10 %

III.

Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan onset

IV.
V.

kurang dari 2 hari, mortalitas 32%


Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%
Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya adalah
tetanus neonatorum maupun puerpurium

II.4.

PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka
dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.
Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi
toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut
selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium
tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian
para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas
percobaan pada hewan.
Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam
susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh
darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya
penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh
darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian
antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak
masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk
menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa
menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah,
sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan
saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus
motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf
inhibitor.

Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:


Tetanus lokal
Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus
yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang

berada di sekitar luka.


Tetanus sefal
Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot
yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang

otak dan medula spinalis servikalis.


Ascending Tetanus
Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya
mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah
terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara

asenderen masuk ke dalam SSP.


Tetanus umum
Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot
dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus
kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini
disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling
pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan
mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf.

Mekanisme kerja toksin tetanus:


1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik
dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum
diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai
patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk
transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan
toksisitas belum diketahui secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf
namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat
berikatan dengan sel saraf.

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter


Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat,
yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin,
Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah
neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah
sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan
cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
Perubahan akibat toksin tetanus:
1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik
yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance
excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari
SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf
inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara,
emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di
daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti
retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini
mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang
resisten terhadap toksin.
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang.
Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior,
sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.

Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan

penurunan

pelepasan

asetilkolin

sehingga

mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di
susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak

terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadangkadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus
fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin
atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:

Neuropati perifer
Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan

setelah sembuh.
Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom


Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal
ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.
Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal
dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke
kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi
secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna,
kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula
hanya mengenai salah satu organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan


Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang
yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga
dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal
nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi
takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak
terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena
adanya spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat
batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk
terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia
dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal


Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan
yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema
hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses
iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e.
Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat
pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa
kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis
tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita
mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan
pada penderita tetanus adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat
tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan
peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa

menit sampai -1 jam.


Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged
respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
Henti nafas akut dan mati mendadak.
Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab
sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang
lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan,
dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.

5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan
gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika
pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :
Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti
sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan

asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi


Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik
mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan

perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu
dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan
memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma
dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen
tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah
dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya.
Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan
menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan
ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai
antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk.
Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang
sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai
terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia
akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan
alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari
batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut
saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf
tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin,
TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme
umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara
langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh
tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan
kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut
sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati
dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek
toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan
elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi
urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena

efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer
simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan
mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

II.5.

MANIFESTASI KLINIS
Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda tajam
dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus. Penyakit ini
juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan ular yang telah
nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, injeksi intramuskular dan
pembedahan.
Ada Trias Gejala yaitu rigiditas atau kekakuan, spasme dari otot, jika parah
maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa
menyebabkan trismus atau lockjaw. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka
menyebabkan ekspresi khusus yang disebut Risus Sardonicus dan pada otot
menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi
kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan kesulitan
bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini
seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa
spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi
untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan patah tulang dan
robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-menerus yang bisa
mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan
berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada
umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf pusat,
sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih lama.
Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup tinggi. Pada
tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari setelah lahir
dengan rata-rata 7 hari.
Karakteristik Dari Tetanus:
a. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7 hari.

b.
c.
d.
e.

Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.


Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena spasme

otot masseter.
f. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)
g. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat.
h. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
i. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi
urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah
dideskripsikan yaitu:
a. Tetanus lokal, merupakan bentuk yang tidak umum dimana pasien mengalami
kontraksi otot yang persisten pada daerah luka yang terjadi ( agonis, antagonis,
dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus likal. Kontraksi otot
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum
namun dalam bentuk yang relatif lebih ringan dan jarang menimbulkan kematian..
Prognosis pada pasien dengan tetanus lokal ini sangat baik, hanya berkisar 1%
dari kasus yang mengalami kematian.
b. Tetanus sefalik, merupakan bentuk tetanus yang jarang terjadi, bisanya terjadi
menyertai otitis media dimana C. tetani ditemukan sebgai flora pada telinga
tengah atau menyertai trauma kepala. Tetanus bentuk ini dapat mengenai nervus
kranialis, khususnya pada daerah wajah. Bentuk tetanus ini merupakan bentuk
yang tidak biasa dengan masa inkubasi 1-2 hari.
c. Tetanus Umum, merupakan bentuk yang paling sering terjadi (sekitar 80%).
Penyakit ini biasanya muncul dalam bentuk descending. Gejala pertama yang
muncul adalah trismus dan lockjaw, kemudian diikuti dengan kekakuan leher,
kesulitan menelan, dan rigiditas abdomen. Gejala lain berupa Risus sardonicus,
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot
punggung), kejang dinding punggung. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan
bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Gejala lainnya adalah
suhu tubuh yang meningkat 2-4 C di atas suhu normal, berkeringat, peningkatan
tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara episodik. Spasme dapat
terjadi secara berkala selama beberapa menit. Spasme dapat berkelanjutan selama

3-4 minggu. Penyembuhan secara komplit dapat memakan waktu selama beberapa
bulan.
d. Tetanus neonatorum, merupakan bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi baru
lahir. Tetanus neonatorum terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan perlindungan
imunisasi pasif, karena ibu yang tidak diimunisasi. Infeksi biasanya terjadi melalui
umbilikus yang dipotong dengan perangkat yang tidak steril. Tetunus neonatorum
sering terjadi di negara-negara berkembang (terhitung sekitar lebih dari 215.000
kematian di dunia pada tahun 1998), namun sangat jarang terjadi di Amerika
Serikat.

Gambar 2. Manifestasi klinis Tetanus


II.6.

DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa. Tetanus
tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara
lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Pemeriksaan laboratorium
hanya dipakai untuk eksklusi diagnosa-diagnosa yang lain.
Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme
Clostridium tetani, dan elektromiogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit
motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal
dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik dapat dijumpai pada
elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat.

II.7.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus. Pada
pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit
meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas normal. Tingkat
serum enzim otot mungkin meningkat. Diagnosis ditegakkan secara klinis dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis.

Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus tetanus, dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak memberikan gejala tetanus.
II.8.

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah :
Meningitis bakterialis
Rabies
Poliomielitis
Epilepsi
Ensefalitis

II.9.

KOMPLIKASI
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia
dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara
lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia
dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi
pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi,
bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat
menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa
tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut,
dehidrasi dan asidosis metabolik.

II.10. PENATALAKSANAAN
1. Dasar
Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.

Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk
vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk
penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut
juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan
sefalosporin generasi ketiga.

Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin


prokain 1,2 juta 1 kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan
dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.

Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari


digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila
diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G.

Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara


loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB
selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole
secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah,
perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap
pengobatan tetanus sedang.

Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan


tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari
dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.

Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200


mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama
ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.

Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin
dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine
dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

b. Netralisasi toksin
1.

Anti tetanus serum


Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit,
setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara
IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus
neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak
diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang
berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga
untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal
dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250500 IU.

2.

Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus


dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera
mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus
sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal
sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991)
menyatakan

pemberian

immunoglobulin

tetanus

intratekal

tidak

memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat


menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG
500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis
yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991)
mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM
untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat
ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot
yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur,
mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat
spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi
pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis
diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 520 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali
pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per
oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24
jam.
2. Barbiturat

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk


neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan
dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat
diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang
diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang.
Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10
mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25
mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus.
Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan
syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau
hipotensi.
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah
penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat
tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan
mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih
dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 <>

3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.


3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti
toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b. Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan
pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila
perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif,
trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3
jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti
propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.

II.11.

PROGNOSIS

Mortalitas tergantung dari :


1. Masa inkubasi : semakin pendek masa inkubasi semakin tinggi angka mortalitasnya.
Masa inkubasi kurang dari 7 hari umumnya berakibat fatal.
2. Usia : Neonatus atau 0rang tua, angka mortalitasnya tinggi
3. Seringnya kejang atau trismus
4. Suhu badan
5. Spasme otot pernapasan dan obstruksi saluran nafas

6. Cepatnya terapi

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Tetanus dalam Info
Obat.

Available

at

http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-

penatalaksanaan-pada-tetanus.html.
Anonymous. Tetanus. Available at : http://docs.google.com

Anonymous.

Manajemen

Tetanus.

Available

at

http://www.scribd.com/doc/32249157/MANAJEMEN-TETANUS

DAFTAR PUSTAKA
1. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, etc. "Tetanus". Journal of Neurology, Neurosurgery, and
Psychiatry : p 292301.
2. Allan HR, M.D. Raymond Delacy Adams,dkk. Adams and Victors Principle of
Neurology, Ninth Edition. McGraw Hill Profesional. 2009
3. Dorlands Pocket Medical Dictionary 28th Edition; Elsevier Saunders: 2009 : p 840
4. Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I,Edisi III: p 474-476
5. AAnthony S, Dennis L, Dan L, Eugene, etc : Harrisons Principle of Internal
Medicine, 17th Edition ; Mc Graw Hill: 2008 : Chapter 133
6. Widoyono.

Penyakit

Tropis

epidemiology,

penularan,

pencegahan

dan

pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33


7. Spicer WJ. Clinical Microbiology And Infectious Diseases An illustrated Colour Text:
2nd Edition; Churchill Livingstone Elsevier : 2008 : p 105
8. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Penatalaksanaan tetanus pada anak.2008
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 17771784

10. Sudewi R, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi Pada Sistem Saraf. Airlangga University
Press.2011.

Anda mungkin juga menyukai