TETANUS
Disusun Oleh :
MUHAMMAD ERFIN
SYLVIANA
RATU ANISA F
110.2004.161
110.2004.260
110.2005.209
Pembimbing :
Dr.Mukhdiar, Sp. S
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD CILEGON
OKTOBER 2010
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Kata Pengantar
.... ii
Bab I
I.1
Pendahuluan
II.1
Definisi
II.2
Patofisiologi
II.3
Faktor resiko
II.4
Klasifikasi
II.5
Diagnosis
10
II.6
Diagnosis banding
10
II.7
Tatalaksana
.. 10
II.8
Komplikasi
.. 18
II.9
Prognosis
.. 18
III.1
Edukasi
19
III.2
Saran
19
20
Bab II
Bab III
Daftar Pustaka
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Vaskularisasi retina
13
14
16
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
BAB I
I.1.
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkaan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospasmin meripakan neurotoksin yang diproduksi oleh
Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan Seven day Disease. Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang
di isolasi dari tanah anerob yang mengandung bakteri. Imunisasi dengan mengaktivasi
derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada
kulit oleh karena terpotong, tertusuk atau pun luka bakar serta infeksi pada tali pusat.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan
yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai
case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara
dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.
Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat
mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan
dan prognosis dari penyakit tetanus.
BAB II
II.1.
DEFINISI
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan
tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat
dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus
hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem
saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Mikroorganisme ini menghasilkan
spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh
drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan
kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah,
debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis
toksin,
yaitu
tetanolisin
dan
tetanospasmin.
Tetanolisin
belum
diketahui
II.2.
ETIOLOGI
Penyakit tetanus ini disebabkan karena Clostridium tetani yang merupakan
basil gram positif obligat anaerobik yang dapat ditemukan pada permukaan tanah
yang gembur dan lembab dan pada usus halus dan feses hewan. Mempunyai spora
yang mudah bergerak dan spora ini merupkan bentuk vegetatif. Kuman ini bisa masuk
melalui luka di kulit. Spora yang ada tersebar secara luas pada tanah dan karpet, serta
dapat diisolasi pada banyak feses binatang pada kuda, domba, sapi, anjing, kucing,
marmot dan ayam. Tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang mungkin mengandung
sejumlah besar spora. Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada manusia
dewasa mungkin mengandung organisma ini. Spora juga dapat ditemukan pada
permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk aktif
kembali ketika masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial
reduksi jaringan rendah. Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat
bertahan hidup bertahun tahun jika tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini
akan mudah mati dengan pemanasan 120oC selama 15 20 menit tapi dapat betahan
hidup terhadap antiseptik fenol, kresol.
Kuman ini juga menghasilkan 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan
potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan organisme anaerob. Tetanolisin ini
diketahui dapat merusak membran sel lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin
(toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang menyebabkan
penyakit. Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal
berdasarkan beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino
polipeptida 151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin ini
mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter glisin dan GABA pada
terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan neurotransmiter inhibisi
dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat. Batas dosis terkecil
tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia adalah 2,5 nanogram
per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk manusia dengan berat badan 75
kg.
II.3.
KLASIFIKASI
Berdasarkan gambaran klinis yang telah dideskripsikan, maka tingkatan
penyakit tetanus dapat dibuat dalam suatu kriteria/derajat berat ringannya penyakit.
Menurut abletts, kriteria tetanus ini dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
I.
II.
Ringan
Sedang
IIIa. Berat
IIIb. Sangat Berat
menelan
Modifikasi Abletts :
I.
Trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum. Tidak disertai dengan
II.
III.
IV.
Sedangkan Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan
berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
I.
II.
III.
IV.
V.
Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Inkubasi antara 7 hari atau kurang
Waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kenaikan suhu rektal sampai 100 0 farenheit dan aksila sampai 990 farenheit
III.
Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan onset
IV.
V.
II.4.
PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka
dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.
Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi
toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut
selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium
tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian
para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas
percobaan pada hewan.
Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam
susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh
darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya
penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh
darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian
antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak
masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk
menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa
menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah,
sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan
saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus
motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf
inhibitor.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan
penurunan
pelepasan
asetilkolin
sehingga
mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di
susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak
terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadangkadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus
fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin
atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
Neuropati perifer
Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah sembuh.
Denervasi parsial dari otot tertentu.
5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan
gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika
pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :
Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti
sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu
dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan
memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma
dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen
tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah
dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya.
Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan
menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan
ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai
antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk.
Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang
sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai
terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia
akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan
alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari
batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut
saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf
tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin,
TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme
umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara
langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh
tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan
kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut
sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati
dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek
toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan
elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi
urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena
efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer
simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan
mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.
II.5.
MANIFESTASI KLINIS
Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda tajam
dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus. Penyakit ini
juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan ular yang telah
nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, injeksi intramuskular dan
pembedahan.
Ada Trias Gejala yaitu rigiditas atau kekakuan, spasme dari otot, jika parah
maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa
menyebabkan trismus atau lockjaw. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka
menyebabkan ekspresi khusus yang disebut Risus Sardonicus dan pada otot
menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi
kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan kesulitan
bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini
seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa
spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi
untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan patah tulang dan
robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-menerus yang bisa
mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan
berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada
umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf pusat,
sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih lama.
Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup tinggi. Pada
tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari setelah lahir
dengan rata-rata 7 hari.
Karakteristik Dari Tetanus:
a. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7 hari.
b.
c.
d.
e.
otot masseter.
f. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)
g. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat.
h. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
i. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi
urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah
dideskripsikan yaitu:
a. Tetanus lokal, merupakan bentuk yang tidak umum dimana pasien mengalami
kontraksi otot yang persisten pada daerah luka yang terjadi ( agonis, antagonis,
dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus likal. Kontraksi otot
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum
namun dalam bentuk yang relatif lebih ringan dan jarang menimbulkan kematian..
Prognosis pada pasien dengan tetanus lokal ini sangat baik, hanya berkisar 1%
dari kasus yang mengalami kematian.
b. Tetanus sefalik, merupakan bentuk tetanus yang jarang terjadi, bisanya terjadi
menyertai otitis media dimana C. tetani ditemukan sebgai flora pada telinga
tengah atau menyertai trauma kepala. Tetanus bentuk ini dapat mengenai nervus
kranialis, khususnya pada daerah wajah. Bentuk tetanus ini merupakan bentuk
yang tidak biasa dengan masa inkubasi 1-2 hari.
c. Tetanus Umum, merupakan bentuk yang paling sering terjadi (sekitar 80%).
Penyakit ini biasanya muncul dalam bentuk descending. Gejala pertama yang
muncul adalah trismus dan lockjaw, kemudian diikuti dengan kekakuan leher,
kesulitan menelan, dan rigiditas abdomen. Gejala lain berupa Risus sardonicus,
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot
punggung), kejang dinding punggung. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan
bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Gejala lainnya adalah
suhu tubuh yang meningkat 2-4 C di atas suhu normal, berkeringat, peningkatan
tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara episodik. Spasme dapat
terjadi secara berkala selama beberapa menit. Spasme dapat berkelanjutan selama
3-4 minggu. Penyembuhan secara komplit dapat memakan waktu selama beberapa
bulan.
d. Tetanus neonatorum, merupakan bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi baru
lahir. Tetanus neonatorum terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan perlindungan
imunisasi pasif, karena ibu yang tidak diimunisasi. Infeksi biasanya terjadi melalui
umbilikus yang dipotong dengan perangkat yang tidak steril. Tetunus neonatorum
sering terjadi di negara-negara berkembang (terhitung sekitar lebih dari 215.000
kematian di dunia pada tahun 1998), namun sangat jarang terjadi di Amerika
Serikat.
DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa. Tetanus
tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara
lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Pemeriksaan laboratorium
hanya dipakai untuk eksklusi diagnosa-diagnosa yang lain.
Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme
Clostridium tetani, dan elektromiogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit
motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal
dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik dapat dijumpai pada
elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat.
II.7.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus. Pada
pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit
meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas normal. Tingkat
serum enzim otot mungkin meningkat. Diagnosis ditegakkan secara klinis dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis.
Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus tetanus, dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak memberikan gejala tetanus.
II.8.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah :
Meningitis bakterialis
Rabies
Poliomielitis
Epilepsi
Ensefalitis
II.9.
KOMPLIKASI
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia
dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara
lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia
dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi
pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi,
bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat
menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa
tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut,
dehidrasi dan asidosis metabolik.
II.10. PENATALAKSANAAN
1. Dasar
Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk
vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk
penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut
juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan
sefalosporin generasi ketiga.
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin
dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine
dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1.
2.
pemberian
immunoglobulin
tetanus
intratekal
tidak
II.11.
PROGNOSIS
6. Cepatnya terapi
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Tetanus dalam Info
Obat.
Available
at
http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-
penatalaksanaan-pada-tetanus.html.
Anonymous. Tetanus. Available at : http://docs.google.com
Anonymous.
Manajemen
Tetanus.
Available
at
http://www.scribd.com/doc/32249157/MANAJEMEN-TETANUS
DAFTAR PUSTAKA
1. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, etc. "Tetanus". Journal of Neurology, Neurosurgery, and
Psychiatry : p 292301.
2. Allan HR, M.D. Raymond Delacy Adams,dkk. Adams and Victors Principle of
Neurology, Ninth Edition. McGraw Hill Profesional. 2009
3. Dorlands Pocket Medical Dictionary 28th Edition; Elsevier Saunders: 2009 : p 840
4. Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I,Edisi III: p 474-476
5. AAnthony S, Dennis L, Dan L, Eugene, etc : Harrisons Principle of Internal
Medicine, 17th Edition ; Mc Graw Hill: 2008 : Chapter 133
6. Widoyono.
Penyakit
Tropis
epidemiology,
penularan,
pencegahan
dan
10. Sudewi R, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi Pada Sistem Saraf. Airlangga University
Press.2011.