Garbage Can Kelompok 4 Tgs Ke2
Garbage Can Kelompok 4 Tgs Ke2
Rabu, 22-10-2014
371 968
2. Sisrilnardi
372016
3. Christian Natalis
371969
4. Izka Puri R
371950
5. Rekha Aji P
371963
A. Latar Belakang
Sehari sebelum pemungutan suara Pemilu Presiden 9 Juli 2014, DPR hasil Pemilu 2009
mengesahkan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dikenal dengan UU MD3.
UU MD 3 ini merupakan hasil revisi terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPRD, DPD yang mengatur kedudukan dan tanggungjawab keempat lembaga
tersebut. Pada dasarnya Undang undang 27 tahun 2009 sudah memuat pengaturan agar lembaga
permusyawaratan/perwakilan lebih demokratis, efektif, dan akuntabel.
Akan tetapi, sejak Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD
diundangkan, masih terdapat beberapa hal yang dipandang perlu untuk ditata kembali, sebagai
upaya menjawab perkembangan dalam sistem ketatanegaraan. Argumentasi ini dapat dilihat dalam
pengantar pembahasan Revisi UU MD3 yang diungkapkan Ketua Pansus, Beni K. Harman, Ada
keinginan dari Dewan untuk mereformasi parlemen, agar bisa kuat, akuntabel, dan kedap korupsi.
Inilah desain besar dari parlemen ke depan. Kemudian Wakil Ketua Pansus, Ahmad Yani
menyebut latar belakang perubahan UU MD3 di antaranya belum tertatanya alat kelengkapan
dewan di DPR. Selain itu relasi antarlembaga parlemen terutama DPR dan DPD belum tertata
dengan baik. Kesekjenan DPR juga perlu diperkuat lewat perubahan UU MD3 ini. Argumentasi
lainnya dari perubahan ini adalah MPR dan DPD selama ini dalam menjalankan kewenangannya
masih terjebak pada seremonial kenegaraan saja. Lalu, kedudukan DPD juga masih lemah, karena
menjadi bagian dari birokrasi Pemda.1
Jadi pembentukan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, DPD dimaksudkan sebagai
upaya untuk meningkatkan kinerja masing-masing lembaga perwakilan dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya berdasarkan prinsip saling mengimbangi checks and balances, yang dilandasi prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta sekaligus meningkatkan
kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi representasi lembaga perwakilan yang
memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Akan tetapi setelah penetapan Undang-Undang MD3 tetap menyisakkan tanda tanya publik
sekaligus perdebatan. Betapa tidak undang-undang yang menjadi dasar pijakan lembaga legislatif
itu dianggap sekedar menjadi jalan baru bagi para elit partai untuk bisa memperjuangkan
kepentingannya. Dengan kata lain munculnya problematika undang-undang ini dikarenakan kedua
kubu yang berseberangan ketika pelaksanaan Pilpres saling beradu kepentingan dalam realisasi dari
undang-undang ini.
Ada beberapa pasal yang dinilai oleh berbagai kalangan, kontraproduktif dengan UU lainnya.
Revisi UU Nomor 27/2009 tersebut dianggap tendensius untuk melindungi diri sendiri dari jerat
hukum tindak pidana korupsi, tidak fair, dan bertentangan dengan arus besar keinginan rakyat
untuk memberantas korupsi, khususnya prinsip equality before the law, kesamaan derajat di depan
hukum.
Atas dasar hal diatas Kubu Koalisi Indonesia Hebat yang dimotori oleh PDI Perjuangan yang
menjadi partai pemenang pemilu tahun 2014 mengguggat UU MD 3 ini ke mahkamah konstitusi
untuk ditinjau kembali.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-md3, Diunduh
tanggal 20 Oktober 2014
lama yang sudah terbukti mengakibatkan kinerja DPR periode 2004-2009 khususnya pada tahun
pertama menjadi terhambat. Hal itu disebabkan tarik ulur kepentingan yang terpolarisasi melalui
Koalisi Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan. Naskah Akademik, suatu dokumen rujukan yang
memuat asal usul atau latar belakang kenapa butuh UU MD3 yang baru, tidak pernah
mencantumkan kebutuhan untuk mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR.
Ketiga, soal Keterwakilan Perempuan
Dihapusnya ketentuan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam pasal-pasal yang
mengatur tentang pimpinan Alat Kelengkapan DPR (AKD) merupakan sebuah kemunduran dalam
mendorong peran anggota legislatif perempuan pada posisi strategis di parlemen. Padahal pada
periode 2014-2019 jumlah anggota DPR perempuan mengalami penurunan. Bukannya membuat
kebijakan yang mampu menambal situasi tersebut, DPR justru menghambat kiprah perempuan
dalam bidang politik.
Keempat, soal Hak Imunitas
Ketentuan ayat (4) berpotensi mengancam anggota DPR yang kritis terhadap situasi maupun
kebijakan di internal DPR, khususnya jika ada penyalahgunaan fungsi, wewenang, dan tugas dalam
rapat tertutup DPR. Ketentuan ayat (5) menimbulkan kompleksitas dalam menentukan tafsir dan
batasan terhadap definisi pelaksanaan tugas dan wewenang. Akibatnya, kompleksitas itu sendiri
akan menyulitkan Mahkamah Kehormatan dalam menentukan ada atau tidaknya hubungan (dugaan
anggota DPR melakukan tindak pidana) dengan pelaksanaan tugas dan wewenang. Selain itu, posisi
Mahkamah Kehormatan yang tidak independen akan menjadikan penilaiannya sangat subyektif dan
mengalami konflik kepentingan.
Kelima, soal Penyidikan
Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum, syarat izin persetujuan dari
Mahkamah Kehormatan seharusnya tidak perlu karena dikhawatirkan dalam waktu 30 hari,
sebagaimana batas waktu keluarnya izin tertulis, dapat berpotensi menjadi celah bagi penghilangan
alat bukti atau melarikan diri.
Keenam, soal Mahkamah Kehormatan
Dalam konteks tugas dan wewenang, keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami
perluasan dibandingkan Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik,
keberadaan Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin
pemanggilan dan pemeriksaan.
Ketujuh, soal Hilangnya BAKN dari AKD
Dengan tidak adanya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dalam alat
kelengkapan DPR, menjadikan fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan
negara menjadi tidak tajam dan elaboratif. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya badan khusus yang
bertugas melakukan telaah terhadap hasil audit BPK, yang kemudian dilekatkan menjadi tugas dan
wewenang Komisi. Padahal kita tahu, Komisi selama ini tidak pernah menindaklanjuti rekomendasi
dari BAKN berdasarkan telaah hasil audit BPK.
Kedelapan, soal Hak Mengusulkan Program Pembangunan Daerah Pemilihan
Pasal 80 huruf (j) menyatakan bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Ketentuan ini sama dengan naskah
awal RUU MD3. Dalam Naskah Akademik pun term yang digunakan juga sama, yaitu program
pembangunan daerah pemilihan. Tidak ada secara eksplisit keberadaan pengaturan tentang dana
aspirasi, termasuk dalam naskah Penjelasan RUU MD3.
C. Proses Perumusan dan Judicial Review
Setidaknya ada 5 kelompok yang mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi 3,
antara lain:
PDIP yang mempersoalkan Pimpinan DPR dan alat kelengkapan dipilih anggota DPR
secara musywarah atau voting.
Koalisi Masyarakat Sipil mempersoalkan Penyidikan anggota DPR terkait pidana umum
harus mendapat persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan, Hak Anggota DPR
untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan Dapil, Penghapusan
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai salah satu alat kelengkapan DPR.
Pegiat dan LSM Perempuan mempersoalkan Tidak ada jaminan keterwakilan perempuan
dalam kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR..
Boyamin Saiman dan Sutrisno mempersoalkan Pimpinan DPRD langsung ditetapkan
berdasarkan peringkat perolehan suara parpol dalam pemilu legislatif
DPD mempersoalkan Tidak dilibatkannnya DPD dalam proses pembahasan RUU MD3
Kedua, Mahkamah beralasan perubahan tata cara pemilihan pimpinan DPR dan alat
kelengkapan lain dalam UU MD3 tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab memilih pimpinan
parlemen memang merupakan kewenangan angora DPR. Hal tersebut dianggap lazim dengan
system presiden sial dengan multipartai..
Ketiga, mengenai masalah tidak diikut sertakannya DPRD dalam pembahasan UU MD3 hanya
berkaitan dengan tata cara yang baik dalam konstitusi dan bukan persoalan konstitusi. MK
menjelaskan bahwa pembentukan UU yang tidak mengikuti aturan tata cara pembentukan UU tidak
serta-merta membuat UU yang dihasilkan dianggap inkonstitusional.
Namun dalam putusan ini terdapat dua hakim MK yang menyatakan perbedaan pendapat
(dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Maria Farida dan Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Kedua hakim konstitusi ini menyatakan pendapat bahwa permohonan pengujian UU MD3 yang 5.
Hakim tersebut menilai bahwa PDIP sebagai pemenang Pemilu 2014 merupakan realitas politik
yang telah diberi payung hukum untuk realisasi hak konstitusional, dimana partai politik pemenang
pemilu menjadi ketua DPR sebagaimana telah menjadi konvensi ketatanegaraan yang diatur dalam
UU nomor 27 tahun 2009.
Tidak ada yang mampu mengetahui secara pasti mengapa ketua MK Hamdan Zulfa dan
Patrialis Akbar menolak gugatan MD3. Namun jika dianalisis dari pendekatan Garbage can
terdapat unsur politis atau konstetasi politik yang lebih rasional. Aktor politik memiliki peranan
penting mengawal dan mempertahankan kebijakan yang dinilai menjadi mata pisau dalam
membawa perubahan situasi meskipun terlihat tidak responsive. Seperti yang diketahui aktor politik
yang terlibat dalam hakim MK merupakan bagian dari Koalisi Merah Putih. Dalam dunia politik
Hamdan merupakan aktivis Partai Bulan Bintang (PBB) yang hingga terakhir menjabat sebagai
Wakil Ketua Umum DPP PBB. Sebagaimana diketahui, PBB merupakan salah satu partai
pendukung pasangan Prabowo-Hatta. Sedangkan Patrialis Akbar juga merupakan kader Partai
Amanant Nasional (PAN) meskipun sering mengutarakan sudah putus hubungan (komunikasi)
dengan Hatta Rajasa (PAN). Namun diyakini banyak pihak tidak ada hubungan yang benar-benar
putus, kepentingan mampu menjadi penghubung kembali merekahnya sebuah hubungan yang telah
terputus. Seperti analogi politik yang selalu didengungkan dalam dunia politi tidak ada kawan
abadi, yang ada hanya kepentingan abadi..