Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS ARTEFAK GENTENG SITUS CANDI LARAS, RANTAU

I.

LATAR BELAKANG
Manusia prasejarah mengenal kehidupan bercocok tanam ketika mengenal habitat gua.

Mereka mulai bercocok tanam dan sedikit demi sedikit mengurangi cara hidup meramu dan
mengumpulkan makanan. Pada tahapan inilah manusia mulai memikirkan wadah (tempat)
untuk meramu makanan dan minuman. Dalam terminologi arkeologis, wadah ini sering
disebut gerabah (Soejono, 1981). Gerabah banyak ditemukan di situs-situs arkeologi, seperti
Candi Agung dan Candi Laras (Widianto dan Handini, 2003). Seiring perkembangan
kemampuan berpikir manusia prasejarah, kemampuan sumber daya manusia meningkat
dalam hal produksi gerabah, seperti arca-arca, bandul jala, perabot rumah tangga, tungku,
genteng, dan batu bata. Seluruh artefak tersebut dibuat dari lempung, yaitu material tanah
yang mudah dibentuk kemudian dibakar untuk dijadikan alat-alat yang berguna membantu
kehidupan manusia.
Gerabah pada umumnya tersusun atas mineral lempung. Data analisis komposisi
gerabah di berbagai situs-situs di Eropa (Barone et al, 2005) dan China (Ma et al, 2000)
menunjukkan komposisi yang khas, misalnya di Eropa, kadar utamanya adalah Si, Al, Na, K,
dan Ca berturut-turut adalah pada situs Messina kadar SiO2 (51,51-56,57%), Al2O3 (0,681,01%), Na2O (0,89-1,26%), K2O (3,29-4,72%), dan CaO (3,94-8,93%), sedangkan di
daratan China adalah pada situs Henan kadar SiO2 (50,87-67,98%), Al2O3 (13,97-17,73%),
Na2O (0,69-2,24%), K2O (1,33-3,48%), dan CaO (1,02-14,13%). Dalam transformasi budaya
dari era prasejarah ke sejarah Indonesia, temuan artefak gerabah menjadi krusial di
Kalimantan, karena daerah ini memiliki peran yang strategis dalam transformasi budaya
tersebut. Artefak gerabah situs Candi Laras memiliki penanggalan yang belum pasti yaitu
antara klasik (Hindu-Budha, abad 8 M) dan Islam (abad 15 M) (Widianto dan Handini,
2003). Berdasarkan perbandingan analisis gerabah China dan Italia, diduga bahwa artefak
genteng situs Candi Laras memiliki komposisi yang berbeda dengan situs-situs di China dan
Italia. Belum ada informasi komposisi kimia artefak gerabah (genteng) situs Candi Laras.
Oleh sebab itu, akan diteliti gerabah (genteng) dari situs candi Laras yang telah digali oleh
Balai Arkeologi Banjarmasin tahun 2008.
Penelitian artefak gerabah meliputi 3 aspek yaitu hubungan antara komposisi kimia
artefak dan lokasi bahan dasarnya (lempung), hubungan antara morfologi artefak dan
fungsinya, dan hubungan antara pola dekoratif artefak dan organisasi sosial. Dalam hal ini,
aspek yang akan diteliti yaitu analisis hubungan antara komposisi kimia artefak dan lokasi

bahan dasarnya. Penentuan komposisi gerabah dengan menggunakan metode X-ray


Fluorescence (XRF) dan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS), sedangkan karakterisasi
gerabah dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) yang masing-masing
metode memiliki kelebihan dan kekurangan. XRF memiliki nilai yang ekonomis,
preparasinya cepat dan non destruktif namun bersifat semi kuantitatif. Sedangkan AAS,
kurang ekonomis, preparasinya tidak cepat dan destruktif akan tetapi bersifat kuantitatif.
Untuk FTIR, memiliki nilai yang ekonomis, preparasinya cepat, non destruktif, dan bersifat
kualitatif. Setelah data diperoleh dari artefak gerabah ini, kemudian data diolah dengan
metode statistik neural network yang dapat digunakan untuk memprediksi kemiripan
komposisi suatu artefak dengan artefak lainnya (Ma et al, 2000 dan Soesanto, 2010) sehingga
dapat diketahui bahan asal dari artefak gerabah tersebut. Metode neural network diharapakan
mampu menentukan mana yang lebih baik diantara metode AAS, XRF dan FTIR.

II.

PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini

adalah:
1. Berapa komposisi kimia (SiO2, Al2O3, CaO, K2O, dan Na2O) artefak genteng situs Candi
Laras?
2. Bagaimana karakterisasi artefak genteng situs Candi Laras dengan FTIR?
III. TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Mengetahui komposisi kimia (SiO2, Al2O3, CaO, K2O, dan Na2O) artefak genteng situs
Candi Laras.
2. Mengetahui hasil karakterisasi artefak genteng situs Candi Laras.
IV. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah
artefak genteng situs Candi Laras, Rantau.
V.

TINJAUAN PUSTAKA

5.1

Komposisi Lempung Sebagai Bahan Dasar Genteng


Tanah lempung adalah tanah yang mempunyai sifat kembang susut, sifat kembang

susut ini sangat dipengaruhi oleh kandungan air yang ada di dalam tanah tersebut. Jika
kandungan airnya banyak maka tanah tersebut akan mengembang dan kekuatan daya

dukungnya akan berkurang demikian sebaliknya jika kadar airnya berkurang atau kering
maka tanah itu akan menyusut dan mengakibatkan tanah pecah-pecah di permukaannya
sedangkan daya dukung akan meningkat (Seta, 2001).
Tanah lempung sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan submikroskopis
yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika,
mineral lempung dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Tanah lempung didefinisikan
sebagai golongan partikel yang ukuran butirannya kurang dari 0,002 mm (2), namun dalam
kasus partikel yang berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai
partikel lempung (Das, 1985).
Tanah dengan ukuran partikel lempung lebih kecil (2 ), atau <5 mikron, belum tentu
mengandung mineral-mineral lempung. Untuk itu lebih tepat disebut sebagai partikel
berukuran lempung dari pada disebut sebagai lempung saja. Dari segi mineral (bukan
ukurannya), yang disebut tanah lempung (dan mineral lempung) ialah yang mempunyai
partikel-partikel mineral tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila
dicampur dengan air. Jadi dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah bukan
lempung meskipun terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil. Partikel-partikel dari
mineral lempung umumnya berukuran koloid (<1 ) dan ukuran 2 merupakan batas atas
(paling besar) dari ukuran partikel mineral lempung (Das, 1985).
Struktur atom mineral lempung terdiri atas dua unit struktur, yaitu :
a. Silika tetrahedral, yang terdiri dari empat atom oksigen mengelilingi satu atom silikon.
Kombinasi ini membentuk lempeng silika (silica sheet).

(a)

(b)

Gambar 1. (a) Silika Tetrahedral dan (b) Lempung Silika (Das, 1998).
b. Aluminium oktahedral, yang terdiri dari enam gugus hidroksil yan mengelilingi sebuah
atom aluminium. Kombinasi ini membentuk lempeng gibbsite (gibbsite sheet), atau dapat
juga disebut lempeng brucite (brucite sheet) bila atom Al digantikan oleh Mg.

(a)

(b)

Gambar 2. (a) Aluminium Oktahedral dan (b) Lempeng Gibbsite (Das, 1998).
Jaringan tetrahedral memiliki dua struktur, yaitu dioktahedral dan trioktahedral.
Struktur dioktahedral memiliki dua kation oktahedral per unit sel karena Al3+ lebih dominan
dan hanya menempati 2/3 kisi oktahedral sedangkan struktur triokthedral memiliki 3 kation
oktahedral tiap setengah unit sel (Abdulloh, 2004).
Umumnya skema struktural mineral lempung dihasilkan oleh kombinasi lempeng unit
tetrahedral dan unit oktahedral. Dua pertiga hidroksil pada salah satu bidang pada lapisan
oktahedral diganti oleh oksigen apikal dari lapisan tetrahedral. Ion-ion OH- pada pusat
heksagonal dibentuk oleh oksigen dari lapisan tetrahedral dengan cara ini menghasilkan
struktur lapisan 1:1. Tetapi bila dua lapisan silika ditambahkan dengan menempatkan lagi
hidroksil berlawanan dengan kation oktahedral akan menghasilkan jenis srtuktur 2:1.
(Abdulloh, 2004).
5.2

Komposisi Gerabah
Berdasarkan perbandingan komposisi CaO - Al2O3 - SiO2 gerabah dapat

dikelompokan menjadi kristobalit (Cr), tridiamit (Tr), wollastonit (Wo), anorthit (An), mullit
(Mu), gehlenit (Ge) dan korundum (Co). Komposisi ini dipengaruhi temperatur dalam
pembuatan gerabah, sebagai contoh gehlenit terdiri atas 50% CaO, 30% SiO2 dan 20% Al2O3.
Gerabah ini dibuat pada suhu 600oC -1000oC.

Gambar 3. Diagram Segitiga CaO - A12O3 - SiO2 Gerabah (Pollard & Heron, 1996).
Tabel 1. Contoh kadar mineral porselen Tianqi (sumber: Pollard and Heron, 1996).
Rumus Kimia :
Serisit : KAl2( AlSi3)O10 (OH )2 or K2O.3A12O3 .6 SiO2 .2H2O
Albit : NaAlSi3O8 or Na2O.Al2O3.6SiO2
Kaolin : Al2(Si2O5)(OH)4 or A12O3.2SiO2.2H2O
Quartz : SiO2
Berat % oksida mineral:
% SiO2
% A12O3
% K2O
% MgO
Serisit
45.2
38.4
11.8
Albit
68.8
19.4
Kaolin
46.6
39.5
Quartz
100.0
Komposisi rata-rata kandungan porselin Tianqi :
% SiO2
% A12O3
% K2O
% MgO
67.2
25.5
3.47
0.25

% Na2O

% CaO

11.8

% Na2O
1.7

% CaO
0.94

5.3 Artefak Gerabah


5.3.1 Perkembangan Tradisi Gerabah
Perkembangan gerabah di Indonesia berdasrkan temuan-temuan dalam situs-situs
arkeologi menunjukkan perkembangan tersendiri. Perkembangan pembuatan gerabah
terlihat pada tingkat teknologi yang diterapkan, variasi bentuk, dan fungsi gerabah.
Teknologi pembuatan gerabah tertua pada masa prasejarah dikenal sejak masa bercocok
tanam (Sojono, 1984). Pada masa bercocok tanam, teknik pembuatan gerabah masih
sangat sederhana dimana semua proses pembuatan gerabah dengan tangan, sehingga
menhasilkan gerabah dengan permukaan kasar dan pembakaran kurang sempurna.
Kebutuhan akan wadah menjadi kebutuhan primer yang harus terpenuhi seperti tempat
makan, air maupun untuk memasak (Sulistyo, 2000). Gerabah sebagai salah satu hasil
budaya manusia masa dahulu yang menjadi salah satu unsur penting dalam usaha

menggambarkan aspek-aspek kehidupan manusia yang berkaitan dengan kebutuhan hidup


manusia akan wadah. Gerabah utuh maupun pecah di Indonesia banyak ditemukan situs
dari masa bercocok tanam, masa perundagian, masa klasik, maupun masa islam (Sumijati,
1998). Ditinjau dari sifat situs, maka situs-situs adalah situs permukaan, situs kubur, dan
situs pemujaan. Dari sini dapat diperoleh gambaran bahwa gerabah masa lampau berkaitan
erat dengan beberapa aspek kehidupan seperti aspek ekonomi dan religi.
Ada dugaan pada waktu pertama kali manusia mengenal pembuatan gerabah, jenis
dan bentuk gerabah berasal dari prototip wadah batu atau wadah kayu, lalu meniru bentuk
keranjang bambu dan akhirnya berkembang menjadi berbagai macam bentuk. Dalam
perkembangan selanjutnya mulai dibuat jenis-jenis gerabah yang lebih baik dan dalam
bentuk wadah yang berongga lebih luas, seperti periuk atau tempayan.
Pembuatan

gerabah

merupakan

keberhasilan manusia dalam

mewujudkan

pengalaman dalam sifat tanah liat yang dapat dibentuk pada saat masih lembek dan akan
menjadi keras apabila terkena panas, serta tetap keras walaupu n telah dingin. Menurut
Gearheart 1986, pembuatan gerabah dianggap sebagai seni api karena dalam proses
pembuatannya diakhiri dengan pembakaran yang menentukan akhir produksi. Akibat
pembakaran, gerabah menjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan bahan dasarnya.
Pengerajin gerabah tradisional di Indonesia dari Jawa maupun luar Jawa dapat
diketahui teknologi dalam pembuatan gerabah tetap dengan teknologi masa lalu. Di Jawa,
pengerajin gerabah umumnya menggunakan teknik roda putar yang dipadukan dengan
tatap pelandas, sedangkan di luar Jawa penegrajin gerabah namyak menggunakan tangan
yang dipadukan dengan tatap pelandas (Sumijati, 1998). Di Kalimantan Selatan ada
terdapat pembuatan Gerabah yang terletak di Negara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di
Nagara ini kerajinan gerabah sejak dulu hingga sekarang masih ada dan terus berkembang
karena benda-benda yang diproduksi umumnya masih dipakai untuk peralatan rumah
tangga di daerah sekitar. Di kehidupan masyarakat Banjar, gerabah tidak dapat dipisahkan
dengan kebutuhan hidupnya terutaman petani di pedesaan karena hampir seluruh peralatan
rumah tangga yang dipakai berasal dari gerabah (Syarifuddin, 1991). Di Nagara ini sudah
terkenal sebagai industry gerabah karena kondisi alam yang berawa sehingga masyarakat
disini cenderung membuka usaha industri gerabah ini. Dari pengetahuan dan keterampilan
masyarakat sekitar, mengembangkan terus melalui teknik-ternik baru baik dalam
campuran bahan baku maupun tata cara pembuatan dan pengerjaannya, meskipun pokok-

pokok pembuatan gerabah tetap berpegangan teguh pada teknologi nenek moyang.
Gerabah di Nagara ini sudah terkenal sejak kerajaan pertama di Kalimantan Selatan yaitu
Kerajaan Tanjungpuri (Kutoyo, 1987).
5.3.2 Pembuatan Genteng
Proses pembuatan gerabah dimulai dengan membuat gumpalan-gumpalan dari
lempung. Gumpalan tanah itu diletakkan pada roda putar yang kemudian memutarmutarnya di atas roda putar dan membentuknya dengan tangan. Setelah diperoleh bentuk
awal dan sudah lebih mengeras, proses pembentukan dilanjutkan dengan alat tatap landas.
Proses ini dikerjakan melalui pemukulan pada bagian luar wadah dengan tatap dan
menahan bagian dalamnya dengan pelandas. Tujuannya untuk menipiskan dinding wadah,
guna mendapatkan bentuk wadah yang lebih besar dengan rongga yang lebih luas. Proses
akhir dalam pembuatan gerabah ini adalah berupa pembakaran. Lama pembakaran di
beberapa tempat berbeda-beda, berkisar antara 0,5 sampai 2 jam, tergantung dari jumlah
gerabah yang dibakar. Berdasarkan kualitasnya, pembakaran yang baik adalah berkisar
pada suhu 600 - 1000C. Kenyataan menunjukkan bahwa pembakaran gerabah tanpa
tungku, menyebabkan banyak gerabah hasil pembakaran berwarna tidak merata. Banyak
noda-noda hitam yang menyertai gerabah, karena api pembakaran dan bahan bakar
bersentuhan secara langsung dengan gerabah yang sedang dibakar. Ada beberapa teknik
untuk membuat gerabah, yaitu teknik kumparan (coiling system), teknik tatap-landas
(paddle and anvil system), teknik roda-putar (potters wheel), dan ada pula yang
menggunakan teknik tangan (hand made) (Soegondho, 1995).
Bahan baku genteng diperoleh pengrajin genteng dengan memanfaatkan lahan
lempung yang ada disekitar domisilinya, dimana bahan lempung tersebut keberadaannya
melimpah di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pengrajin genteng mengolah sendiri bahan
baku lempung tersebut, disamping ada kelompok pengrajin yang khusus menyediakan
bahan lempung yang siap pakai (Rasma et al., 2011). Sejalan dengan meningkatnya
pembangunan di berbagai sektor maka kebutuhan akan bahan bangunan khususnya bahan
lempung akan semakin meningkat pula. Meningkatnya kebutuhan bahan tersebut perlu
diimbangi dengan peningkatan penyediaan bahan baku lempung untuk keperluan bahan
bangunan (Suyadi et al., 2001).

5.4. Situs Arkeologi Di Kalimantan Selatan


5.4.1 Gua Babi
Berdasarkan temuan gerabah hasil penelitian di Gua Babi Kabupaten Tabalong,
menunjukkan bahwa teknik pembentukan yang diterapkan dapat diketahui dengan teknik
tangan yang dipadukan dengan tatap pelandas dan teknik roda putar yang dipadukan dengan
teknik tatap pelandas. Teknik tangan yang dipadukan dengan tatap pelandas ditunjukkan
dengan adanya lekukan pada dinding bagian dalam sebagai akibat adanya tekanan pada
pembentukan, penggunaan tatap pelandas ditandai dengan kondisi permukaan dinding
gerabah bagian luar yang rata, sedangkan pemakaian teknik roda putar yang dipadukan
dengan tatap pelandas ditunjukkan dengana danya striasi (Widiantoro et al, 1997).
5.4.2 Candi Laras
Temuan gerabah di Candi Laras tidak dapat diketahui pembuatannya, karena kondisi
gerabah yang aus disebabkan lama terendam dalam tanah rawa. Berdasarkan fragmenfragmen gerabah tidak ditemukan hiasan, sedangkan berdasarkan pecahan dasar berlikar kaki,
ditemukan retakan yang mengikuti alur bentuk antara dasar dan linngkar kaki dilakukan
terpisah dari wadahnya dan ditempatkan pada wadah dengan teknik sampel (Nastiti et al,
1997).
5.4.3 Candi Agung
Temuan gerabah hasil ekskavasi Candi Agung menujukkan bahwa bahan baku
gerabah adalah tanah liat dengan tekstur halus dan kasar, sedangkan temper atau bahan
campuran adalah pasir struktur halus, sedang, dan kasar. Campuran bahan tersebut
menghasilkan dua macam kombinasi yaitu tanah liat halus bertemper halus dan tanah liat
kasar bertemper sedang. Teknik pembentukkan dengan teknik tangan dan roda berputar yang
tampak jejaknya dengan ada striasi berupa garis-garis melingkar rapat. Kedua teknik ini
diterapkan baik secara sendiri maupun bersama. Pembakarannya merata dan temperature
tidak terkontrol, hal ini mungkin akibat pembakaran di udara terbuka tanpa tungku
(Kusmartono et al, 1998).
5.4.4 Jambu Hilir
Temuan gerabah di situs Jambu Hilir dengan bahan baku tanah liat dicampur dengan
pasir kuarsa. Bahan baku yang digunakan tidak mengalami pengolahan yang intensif, yaitu

tidak mengalami penyaringan bahan. Pasir yang digunakan campuran bahan baku pasir
kuarsa sehingga gerabah yang dihasilkan berupa gerabah dengan permukaan tidak terlalu
halus dan licin (Nasruddin, 1997).
5.5 Instrumentasi
5.5.1 Fourier Transform Infrared (FTIR)
Prisip FTIR adalah sinar inframerah (bil. gelombang 400-4000 cm-1) di tembakkan
pada target serbuk material. Radiasi sinar sebagian diteruskan, sebagian diserap dan
dihamburkan. Serapan sinar inframerah ini tergantung pada struktur gugus fungsi
molekulnya. Setiap molekul yang menerima energi tersebut mengalami perubahan energi
vibrasi dan energi rotasi. Fenomena vibrasi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu vibrasi
ulur (stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations). Energi ulur lebih besar
daripada energi tekuk, sehingga serapan ulur ikatan atom/molekul muncul pada bilangan
gelombang yang tinggi atau frekuensi yang tinggi atau pada panjang gelombang yang lebih
rendah pada spektra yang diperoleh, daripada serapan tekuk dari ikatan yang sama. Hubungan
serapan bilangan gelombang dan energi mengikuti hukum Hook (persamaan 1 dan 2).

(1)

Dimana:
:
c :
f :
m1:
m2:
:

bilangan gelombang (cm-1)


kecepatan cahaya
tetapan gaya ikatan, kelipatan 5.105 dyne/cm
massa atom 1
massa atom 2
konstanta (3,14)
E = hc

Dimana:
E:
h:
c:
:

............................ (2)

energi
tetapan Plank
kecepatan cahaya 3.109m.s-1
bilangan gelombang

Pada spektra inframerah terbaca bilangan gelombang dan serapannya. Semakin besar
bilangan gelombang mencerminkan energi ikatan gugus fungsional antara lain ikatan Al-O
(800 cm-1), Si=O (10,90 cm-1), dan O-Si-O (467 cm-1). Barone (2003) telah mengaplikasikan
FTIR untuk menganalisis gugus fungsi gerabah yaitu Al-O, Si=O, dan O-Si-O. Di samping
itu, spektra memberikan informasi ikatan C-C, C=C, OH, karena dalam sistem pembuatan
gerabah sering tercampur dengan bahan organik seperti sekam padi, akar dan kayu.
5.5.2 X-ray Fluorescence (XRF)
Prinsip XRF adalah sinar X atau sinar radioaktif gamma () ditembakkan pada serbuk
material. Radiasi sinar sebagian diteruskan, sebagian diserap dan dihamburkan. Untuk sinar
yang dihamburkan dapat digunakan sebagai metode X-ray Fluorescence Diffraction (XRD),
sedangkan sinar X yang diserap dimanfaatkan dalam metode X-ray Fluorescence (XRF) yang
berguna dalam menentukan jenis dan jumlah kadar suatu material. Sinar X yang memiliki
energi tinggi mampu mengeksitasi elektron dengan energi yang lebih rendah pada orbital di
kulit atom K, L, M, atau N , Elektron yang tertembak meninggalkan orbital kosong misalnya
pada posisi di K. Setelah meninggalkan orbital kosong pada kulit

Gambar 4. Prinsip X-ray fluorescence spectroscopy

K, maka elektron pada posisi di orbital kulit L, M atau N dapat menempati orbital kosong
tersebut, dengan memancarkan sinar dengan energi yang dapat di tangkap oleh detektor.
Peristiwa perpindahan elektron dari orbital tinggi ke orbital rendah pada kulit yang berbeda
ini dikenal dengan fluorescence yang khas untuk setiap atom (Gambar 8). Analisis kuantitatif
XRF dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: Pertama, intensitas menunjukkan
konsentrasi yang diwakili jumlah foton sinar X. Kedua, energi fluorescence yang dilepaskan
menunjukkan karakteristik atom dan berhubungan dengan komposisi material. Ketiga,
membandingkan dengan kurva standar elemen yang di analisis. Terakhir, menghitung
konsentrasi sampel yang dimaksudkan. Rice (1987) dan Pillay (2000) telah mengaplikasikan
XRF untuk analisis artefak gerabah.

5.5.3 Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)


Prinsip AAS adalah serapan sinar yang dipancarkan lampu katoda oleh sampel yang
telah mengalami atomisasi menjadi atom gas. Sampel diatomisasi pada suhu 2500-3100C,
oleh sistem tungku api terbuat dari grafit. Intensitas sinar yang diserap oleh atom gas,
sebanding dengan konsentrasi atom tersebut. Elemen lampu katoda yang menghasilkan sinar
katoda memiliki serapan terhadap atom gas. Aplikasinya dilakukan dengan cara sampel cair
dimasukkan dengan pipa kapiler ke dalam instrumen, dan disedot ke dalam api dimana
molekul rerurai manjadi bentuk atom unsur. Cahaya dengan panjang gelombang tertentu
dilewatkan pada larutan yang mengalami atomisasi tersebut. Jumlah foton cahaya yang
diserap dan yang diteruskan oleh atom gas, mengikuti hukum Lambert Beer (Pollard et al,
2007), yaitu:

. (3)
A = .b.c .. (4)
Keterangan:
Io = Intensitas mula-mula
It = Intensitas akhir
= Tetapan Absorpsivitas
b = Tebal kuvet
c = Konsentrasi
Dengan membandingkan serapan (absorbansi) antara kurva standar dan sampel uji
maka konsentrasi sampel uji dapat diketahui. Pollard dan Wood (1984) menggunakan metode
AAS untuk analisis kadar logam pada tanah lempung dan artefak porselin. AAS dapat
diaplikasikan untuk analisis konsentrasi rendah dari logam dalam bentuk larutan tetapi juga
mengalami bias pada konsentrasi pada konsentrasi yang terlalu tinggi. Teknik ini digunakan
secara luas untuk pengukuran kadar logam, di mana jumlah sampel kecil (1-10 mg) dapat
dilarutkan dalam asam dan larutan yang dihasilkan dianalisis untuk menentukan kadar
logamnya. Hal yang perlu diingat bahwa dalam metode AAS, bahwa sampel berupa larutan
dan bukan (Pollard et al, 2007).
5.6 Metode Neural Networks (MNN)
Metode neural network merupakan metode statistik tingkat tinggi dan metode sangat
penting di bidang matematika, kimia dan arkeologi. Metode ini dapat memecahkan banyak
masalah, seperti proses kontrol, matriks, kalibrasi, dan klasifikasi (clustering). Ma (2000)
menggunakan metode ini untuk mengklasifikasikan keramik seperti artefak gerabah pada
situs-situs di Cina (Tabel 2). Pada MNN digunakan analisis komposisi kimia artefak gerabah
tiap situs dan hubungannnya satu dengan lainnya. Bagi sejarawan dan arkeolog analisis ini
dapat mengetahui hubungan antara temuan artefak gerabah dari satu situs dengan situs
lainnya yang dipisahkan oleh jarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer.
Tabel 2. Gambaran umum dan komposisi kimia (% berat) dari artefak gerabah yang diolah
dengan MNN oleh Ma (2000)
Sampel

Situs
Galian

Periode

SiO2

Al2O3

Fe2O3

TiO2

CaO

MgO

K 2O

Na2O

YR1

Henan

E Neolithic

57,43

17,11

7,31

0,96

1,55

1,96

1,33

2,24

YR2

Hebei

E Neolithic

59,43

21,41

3,97

0,53

0,85

2,95

0,98

5,31

YR3

Hebei

E Neolithic

62,98

17,11

5,49

0,67

2,42

2,61

2,81

1,62

YR4

Hebei

E Neolithic

49,68

19,48

8,45

1,16

2,01

1,67

2,93

0,93

YR5

Henan

Yangshao

60,22

17,07

6,99

0,79

1,02

2,57

3,21

1,14

YR6

Shanxi

Yangshao

57,13

18,4

5,6

0,63

3,9

0,47

5,54

0,64

YR7

Shanxi

Yangshao

67,21

16,64

5,97

0,97

1,09

3,5

1,18

YR8

Shanxi

Yangshao

67,08

16,07

6,4

0,8

1,67

1,75

1,04

YR9

Shanxi

Yangshao

61,9

19,13

8,37

0,99

2,61

3,1

3,21

0,57

YR10

Henan

Yangshao

63,43

17,73

6,91

1,19

3,17

2,03

3,48

1,86

YR11

Henan

Yangshao

60,47

15,79

5,98

0,74

6,87

3,45

3,3

1,17

YR12

Henan

Yangshao

50,87

16,63

6,61

0,87

14,13

5,26

3,01

0,81

Neural network merupakan metode pembelajaran/learning untuk menggali suatu pola


data. Proses learning terdiri dari training dan testing. Data training diambil dari 80% data
yang ada untuk memodifikasi bobot klas. Berdasarkan bobot yang dihasilkan dari data
training dan digunakan untuk klasifikasi dari data training. Bobot contoh pada proses
training di gunakan untuk mengenali data testing (20% data). Selanjutnya, data bobot contoh
tersebut dapat digunakan untuk mengenali pola data lain diluar data learning (Soesanto,
2010).
VI. METODE PENELITIAN
6.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan di Laboratorium Dasar Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Dilakukan analisis
dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) dan XRF (X-Ray Fluorescence) di
Dinas Pertambangan Dan Energi Banjarbaru, sedangkan analisis FTIR (Fourier Transform
Infrared) dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM Yogyakarta.
6.2 Alat Dan Bahan
6.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas (pyrex), neraca
analitik OHAUS model Galaxy TM, lumpang porselin, pH meter, shaker, hot plate, oven,
furnace, desikator, kertas saring Whatman No. 42, Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS)
Varian model AA1475, spektrofotometer inframerah (Shimadzu model FTIR-8201 P) dan Xray Fluorescence (PANalytical tipe Epsilon 3).
6.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel gerabah genteng masa
klasik dari situs Candi Laras Kalimantan Selatan, tanah lempung Candi Agung, tanah

lempung Candi Laras, tanah lempung di daerah Penggandingan, tanah lempung di daerah
Kalimantan Tengah, KBr, HCl (37% (b/b) dan =1,19 kg/l (b/v)) E.Merk, HNO3 (69,5%
(b/b), dan = 1,5 kg/l) E.Merk, kristal Fe2O3, dan akuades.
6.3

Prosedur Kerja

6.3.1 Analisis Tanah


Sampel dan tanah lolos saringan 2 mm (10 mesh) sebanyak 25 gram dimasukkan ke
dalam gelas erlenmeyer 500 ml, tambah H2O2 6% sebanyak 20 mL, lalu diaduk sampai
bereaksi. Kemudian ditambah NaOH 0,5 N. Campuran diaduk dengan sudip hingga
tercampur rata, kemudian ditambahkan aquades 200 mL dan diaduk lagi. Tuangkan suspensi
ke dalam mangkok dispersi dibantu dengan botol semprot sampai isi mangkok terisi sampai
kurang lebih 7,5 cm dari pinggir atas. Kocok dengan mesin pengaduk khusus (milk shaker)
selama kurang lebih 5-10 menit. Saring suspensi dengan saringan 0,05 mm (270 mesh) ke
dalam erlenmeyer 500 mL sambil disemprot. Fraksi yang tertinggal di atas saringan
dikeringovenkan 1050C, fraksi ini adalah fraksi pasir P gram. Suspensi yang lolos saringan
dituangkan ke dalam silinder sedimentasi 500 mL, lalu tambahkan air destilasi sampai tanda.
Kocok suspensi dengan cara membolak-balik sebanyak 10 kali dengan tangan menutup
mulut silinder, kemudian diamkan. Kalau berbusa tambahkan 5 tetes alkohol 70%, setelah 15
detik, masukkan hidrometer dan baca skala pada hitungan 40 detik = A gr/L (berat lumpur +
lempung), catat suhu larutan suspensi t1. Diamkan selama 4 jam masukkan hidrometer dan
segera baca skala = B gr/L (berat lempung), catat suhu t2. Perhitungan:

erat lumpur

lempung =

0,5

erat lempung =

Berat lumpur = (berat lumpur + lempung) berat lempung


Berat total = berat pasir + berat lumpur + berat lempung

0,5

Angka yang diperoleh dijadikan persen (%) (Balai Penelitian Tanah, 2005).
6.3.2 Preparasi Sampel
Preparasi artefak genteng masa klasik dari Situs Candi Laras Kalimantan Selatan dan
tanah yang diperoleh dari Balai Arkeologi Banjarmasin, dilakukan dengan cara sampel
tersebut digerus sampai halus dan diayak hingga lolos 60 mesh. Sampel tersebut akan
dianalisis dengan menggunakan AAS, sebanyak 2 g sampel gerabah diabukan dengan
menggunakan furnace pada suhu +600oC selama 3 jam. Setelah itu, dimasukkan ke dalam
gelas piala 250 ml, selanjutnya ditambahkan 20 ml HCl 25%, dipanaskan di atas hot plate
pada suhu 105oC sampai mendidih +30 menit dan dinginkan. Kemudian menambahkan 110
ml akuades, dipanaskan kembali pada suhu 105oC sampai tersisa 10 ml atau 15 ml,
didinginkan kembali. Larutan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring whatman
no.42. Setelah itu, dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml dan diencerkan dengan akuades
sampai tanda batas. Dari larutan ini dilakukan pengenceran sebanyak 10 kali (Balai Penelitian
Tanah, 2005).
6.3.3 Analisis dengan Spektrometer XRF
Sebanyak 1 gram sampel genteng dan tanah liat yang telah digerus, dianalisis dengan
instrumen XRF. Prinsip analisis mengunakan dua parameter yaitu analisis kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kualitatif pada XRF ini meliputi pembacaan spektrum sinar florescence
didasarkan atas besarnya spektrum energi sinar florescence berupa satuan energi kilo elektron
volt (keV) yang setiap jenis material khas. Sedangkan analisis kuantitatif pada XRF yaitu
hasil interaksi sinar-X dengan material target berupa puncak-puncak yang menunjukan
jumlah dan komposisi material. Kolaborasi kedua analisis menghasilkan informasi jumlah,
komposisi dan jenis material (Barone et al, 2005).
6.3.4 Karakterisasi dengan Spektrofotometer FTIR
Secara teknis, sampel artefak genteng dari Situs Candi Laras Kalimantan Selatan dan
tanah masing-masing sebanyak 2 mg yang telah digerus dicampurkan dengan serbuk
KBr(>200 mesh) sebanyak 200 mg. Kemudian dibuat pelet tipis dengan cara ditekan
menggunakan vibrating mill dengan tekanan 8-9 ton. Pengukuran dilakukan pada bilangan
gelombang 400 hingga 4000 cm-1 menggunakan FTIR.

6.3.5 Analisis Neural Network


Dalam analisis model Neural Network, lima parameter yang dianalisis adalah Al, Si, K,
Na dan Ca dari data XRF dan/atau AAS serta data FTIR. Ukuran dari parameter-parameter
tersebut ditentukan melalui acak. Dengan hasil serupa semua dan divisi yang berbeda, untuk
mendapatkan hasil prediksi yang baik, biasanya, training set harus berisi informasi lebih dari
set uji. Training set digunakan untuk melatih Neural Network dalam kesalahan kumpulan
data agar diminimalkan selama training set berlangsung. Training set digunakan untuk
memeriksa kinerja metode Neural Network. Variabel input secara acak diskalakan untuk (-1,
1) sebelum digunakan dalam analisis Neural Network. Awal bobot secara acak diatur
besarnya (-0.1, 0.1) (Ma et al, 2000).
6.3.6 Analisis Data
Analisis data dapat dilakukan dengan membaca spektra dari hasil karakterisasi
menggunakan FTIR dan XRF. Penggunaan FTIR adalah untuk mengetahui gugus fungsi yang
ada pada artefak genteng. Analisis XRF digunakan untuk menentukan unsur-unsur logam
yang terdapat dalam sampel artefak gerabah dan tanahnya. Analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan metode Neural Network. Metode ini digunakan untuk memprediksi
kemiripan data yang dianalisis.

Anda mungkin juga menyukai