I.
LATAR BELAKANG
Manusia prasejarah mengenal kehidupan bercocok tanam ketika mengenal habitat gua.
Mereka mulai bercocok tanam dan sedikit demi sedikit mengurangi cara hidup meramu dan
mengumpulkan makanan. Pada tahapan inilah manusia mulai memikirkan wadah (tempat)
untuk meramu makanan dan minuman. Dalam terminologi arkeologis, wadah ini sering
disebut gerabah (Soejono, 1981). Gerabah banyak ditemukan di situs-situs arkeologi, seperti
Candi Agung dan Candi Laras (Widianto dan Handini, 2003). Seiring perkembangan
kemampuan berpikir manusia prasejarah, kemampuan sumber daya manusia meningkat
dalam hal produksi gerabah, seperti arca-arca, bandul jala, perabot rumah tangga, tungku,
genteng, dan batu bata. Seluruh artefak tersebut dibuat dari lempung, yaitu material tanah
yang mudah dibentuk kemudian dibakar untuk dijadikan alat-alat yang berguna membantu
kehidupan manusia.
Gerabah pada umumnya tersusun atas mineral lempung. Data analisis komposisi
gerabah di berbagai situs-situs di Eropa (Barone et al, 2005) dan China (Ma et al, 2000)
menunjukkan komposisi yang khas, misalnya di Eropa, kadar utamanya adalah Si, Al, Na, K,
dan Ca berturut-turut adalah pada situs Messina kadar SiO2 (51,51-56,57%), Al2O3 (0,681,01%), Na2O (0,89-1,26%), K2O (3,29-4,72%), dan CaO (3,94-8,93%), sedangkan di
daratan China adalah pada situs Henan kadar SiO2 (50,87-67,98%), Al2O3 (13,97-17,73%),
Na2O (0,69-2,24%), K2O (1,33-3,48%), dan CaO (1,02-14,13%). Dalam transformasi budaya
dari era prasejarah ke sejarah Indonesia, temuan artefak gerabah menjadi krusial di
Kalimantan, karena daerah ini memiliki peran yang strategis dalam transformasi budaya
tersebut. Artefak gerabah situs Candi Laras memiliki penanggalan yang belum pasti yaitu
antara klasik (Hindu-Budha, abad 8 M) dan Islam (abad 15 M) (Widianto dan Handini,
2003). Berdasarkan perbandingan analisis gerabah China dan Italia, diduga bahwa artefak
genteng situs Candi Laras memiliki komposisi yang berbeda dengan situs-situs di China dan
Italia. Belum ada informasi komposisi kimia artefak gerabah (genteng) situs Candi Laras.
Oleh sebab itu, akan diteliti gerabah (genteng) dari situs candi Laras yang telah digali oleh
Balai Arkeologi Banjarmasin tahun 2008.
Penelitian artefak gerabah meliputi 3 aspek yaitu hubungan antara komposisi kimia
artefak dan lokasi bahan dasarnya (lempung), hubungan antara morfologi artefak dan
fungsinya, dan hubungan antara pola dekoratif artefak dan organisasi sosial. Dalam hal ini,
aspek yang akan diteliti yaitu analisis hubungan antara komposisi kimia artefak dan lokasi
II.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini
adalah:
1. Berapa komposisi kimia (SiO2, Al2O3, CaO, K2O, dan Na2O) artefak genteng situs Candi
Laras?
2. Bagaimana karakterisasi artefak genteng situs Candi Laras dengan FTIR?
III. TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Mengetahui komposisi kimia (SiO2, Al2O3, CaO, K2O, dan Na2O) artefak genteng situs
Candi Laras.
2. Mengetahui hasil karakterisasi artefak genteng situs Candi Laras.
IV. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah
artefak genteng situs Candi Laras, Rantau.
V.
TINJAUAN PUSTAKA
5.1
susut ini sangat dipengaruhi oleh kandungan air yang ada di dalam tanah tersebut. Jika
kandungan airnya banyak maka tanah tersebut akan mengembang dan kekuatan daya
dukungnya akan berkurang demikian sebaliknya jika kadar airnya berkurang atau kering
maka tanah itu akan menyusut dan mengakibatkan tanah pecah-pecah di permukaannya
sedangkan daya dukung akan meningkat (Seta, 2001).
Tanah lempung sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan submikroskopis
yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika,
mineral lempung dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Tanah lempung didefinisikan
sebagai golongan partikel yang ukuran butirannya kurang dari 0,002 mm (2), namun dalam
kasus partikel yang berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai
partikel lempung (Das, 1985).
Tanah dengan ukuran partikel lempung lebih kecil (2 ), atau <5 mikron, belum tentu
mengandung mineral-mineral lempung. Untuk itu lebih tepat disebut sebagai partikel
berukuran lempung dari pada disebut sebagai lempung saja. Dari segi mineral (bukan
ukurannya), yang disebut tanah lempung (dan mineral lempung) ialah yang mempunyai
partikel-partikel mineral tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila
dicampur dengan air. Jadi dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah bukan
lempung meskipun terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil. Partikel-partikel dari
mineral lempung umumnya berukuran koloid (<1 ) dan ukuran 2 merupakan batas atas
(paling besar) dari ukuran partikel mineral lempung (Das, 1985).
Struktur atom mineral lempung terdiri atas dua unit struktur, yaitu :
a. Silika tetrahedral, yang terdiri dari empat atom oksigen mengelilingi satu atom silikon.
Kombinasi ini membentuk lempeng silika (silica sheet).
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Silika Tetrahedral dan (b) Lempung Silika (Das, 1998).
b. Aluminium oktahedral, yang terdiri dari enam gugus hidroksil yan mengelilingi sebuah
atom aluminium. Kombinasi ini membentuk lempeng gibbsite (gibbsite sheet), atau dapat
juga disebut lempeng brucite (brucite sheet) bila atom Al digantikan oleh Mg.
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Aluminium Oktahedral dan (b) Lempeng Gibbsite (Das, 1998).
Jaringan tetrahedral memiliki dua struktur, yaitu dioktahedral dan trioktahedral.
Struktur dioktahedral memiliki dua kation oktahedral per unit sel karena Al3+ lebih dominan
dan hanya menempati 2/3 kisi oktahedral sedangkan struktur triokthedral memiliki 3 kation
oktahedral tiap setengah unit sel (Abdulloh, 2004).
Umumnya skema struktural mineral lempung dihasilkan oleh kombinasi lempeng unit
tetrahedral dan unit oktahedral. Dua pertiga hidroksil pada salah satu bidang pada lapisan
oktahedral diganti oleh oksigen apikal dari lapisan tetrahedral. Ion-ion OH- pada pusat
heksagonal dibentuk oleh oksigen dari lapisan tetrahedral dengan cara ini menghasilkan
struktur lapisan 1:1. Tetapi bila dua lapisan silika ditambahkan dengan menempatkan lagi
hidroksil berlawanan dengan kation oktahedral akan menghasilkan jenis srtuktur 2:1.
(Abdulloh, 2004).
5.2
Komposisi Gerabah
Berdasarkan perbandingan komposisi CaO - Al2O3 - SiO2 gerabah dapat
dikelompokan menjadi kristobalit (Cr), tridiamit (Tr), wollastonit (Wo), anorthit (An), mullit
(Mu), gehlenit (Ge) dan korundum (Co). Komposisi ini dipengaruhi temperatur dalam
pembuatan gerabah, sebagai contoh gehlenit terdiri atas 50% CaO, 30% SiO2 dan 20% Al2O3.
Gerabah ini dibuat pada suhu 600oC -1000oC.
Gambar 3. Diagram Segitiga CaO - A12O3 - SiO2 Gerabah (Pollard & Heron, 1996).
Tabel 1. Contoh kadar mineral porselen Tianqi (sumber: Pollard and Heron, 1996).
Rumus Kimia :
Serisit : KAl2( AlSi3)O10 (OH )2 or K2O.3A12O3 .6 SiO2 .2H2O
Albit : NaAlSi3O8 or Na2O.Al2O3.6SiO2
Kaolin : Al2(Si2O5)(OH)4 or A12O3.2SiO2.2H2O
Quartz : SiO2
Berat % oksida mineral:
% SiO2
% A12O3
% K2O
% MgO
Serisit
45.2
38.4
11.8
Albit
68.8
19.4
Kaolin
46.6
39.5
Quartz
100.0
Komposisi rata-rata kandungan porselin Tianqi :
% SiO2
% A12O3
% K2O
% MgO
67.2
25.5
3.47
0.25
% Na2O
% CaO
11.8
% Na2O
1.7
% CaO
0.94
gerabah
merupakan
mewujudkan
pengalaman dalam sifat tanah liat yang dapat dibentuk pada saat masih lembek dan akan
menjadi keras apabila terkena panas, serta tetap keras walaupu n telah dingin. Menurut
Gearheart 1986, pembuatan gerabah dianggap sebagai seni api karena dalam proses
pembuatannya diakhiri dengan pembakaran yang menentukan akhir produksi. Akibat
pembakaran, gerabah menjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan bahan dasarnya.
Pengerajin gerabah tradisional di Indonesia dari Jawa maupun luar Jawa dapat
diketahui teknologi dalam pembuatan gerabah tetap dengan teknologi masa lalu. Di Jawa,
pengerajin gerabah umumnya menggunakan teknik roda putar yang dipadukan dengan
tatap pelandas, sedangkan di luar Jawa penegrajin gerabah namyak menggunakan tangan
yang dipadukan dengan tatap pelandas (Sumijati, 1998). Di Kalimantan Selatan ada
terdapat pembuatan Gerabah yang terletak di Negara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di
Nagara ini kerajinan gerabah sejak dulu hingga sekarang masih ada dan terus berkembang
karena benda-benda yang diproduksi umumnya masih dipakai untuk peralatan rumah
tangga di daerah sekitar. Di kehidupan masyarakat Banjar, gerabah tidak dapat dipisahkan
dengan kebutuhan hidupnya terutaman petani di pedesaan karena hampir seluruh peralatan
rumah tangga yang dipakai berasal dari gerabah (Syarifuddin, 1991). Di Nagara ini sudah
terkenal sebagai industry gerabah karena kondisi alam yang berawa sehingga masyarakat
disini cenderung membuka usaha industri gerabah ini. Dari pengetahuan dan keterampilan
masyarakat sekitar, mengembangkan terus melalui teknik-ternik baru baik dalam
campuran bahan baku maupun tata cara pembuatan dan pengerjaannya, meskipun pokok-
pokok pembuatan gerabah tetap berpegangan teguh pada teknologi nenek moyang.
Gerabah di Nagara ini sudah terkenal sejak kerajaan pertama di Kalimantan Selatan yaitu
Kerajaan Tanjungpuri (Kutoyo, 1987).
5.3.2 Pembuatan Genteng
Proses pembuatan gerabah dimulai dengan membuat gumpalan-gumpalan dari
lempung. Gumpalan tanah itu diletakkan pada roda putar yang kemudian memutarmutarnya di atas roda putar dan membentuknya dengan tangan. Setelah diperoleh bentuk
awal dan sudah lebih mengeras, proses pembentukan dilanjutkan dengan alat tatap landas.
Proses ini dikerjakan melalui pemukulan pada bagian luar wadah dengan tatap dan
menahan bagian dalamnya dengan pelandas. Tujuannya untuk menipiskan dinding wadah,
guna mendapatkan bentuk wadah yang lebih besar dengan rongga yang lebih luas. Proses
akhir dalam pembuatan gerabah ini adalah berupa pembakaran. Lama pembakaran di
beberapa tempat berbeda-beda, berkisar antara 0,5 sampai 2 jam, tergantung dari jumlah
gerabah yang dibakar. Berdasarkan kualitasnya, pembakaran yang baik adalah berkisar
pada suhu 600 - 1000C. Kenyataan menunjukkan bahwa pembakaran gerabah tanpa
tungku, menyebabkan banyak gerabah hasil pembakaran berwarna tidak merata. Banyak
noda-noda hitam yang menyertai gerabah, karena api pembakaran dan bahan bakar
bersentuhan secara langsung dengan gerabah yang sedang dibakar. Ada beberapa teknik
untuk membuat gerabah, yaitu teknik kumparan (coiling system), teknik tatap-landas
(paddle and anvil system), teknik roda-putar (potters wheel), dan ada pula yang
menggunakan teknik tangan (hand made) (Soegondho, 1995).
Bahan baku genteng diperoleh pengrajin genteng dengan memanfaatkan lahan
lempung yang ada disekitar domisilinya, dimana bahan lempung tersebut keberadaannya
melimpah di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pengrajin genteng mengolah sendiri bahan
baku lempung tersebut, disamping ada kelompok pengrajin yang khusus menyediakan
bahan lempung yang siap pakai (Rasma et al., 2011). Sejalan dengan meningkatnya
pembangunan di berbagai sektor maka kebutuhan akan bahan bangunan khususnya bahan
lempung akan semakin meningkat pula. Meningkatnya kebutuhan bahan tersebut perlu
diimbangi dengan peningkatan penyediaan bahan baku lempung untuk keperluan bahan
bangunan (Suyadi et al., 2001).
tidak mengalami penyaringan bahan. Pasir yang digunakan campuran bahan baku pasir
kuarsa sehingga gerabah yang dihasilkan berupa gerabah dengan permukaan tidak terlalu
halus dan licin (Nasruddin, 1997).
5.5 Instrumentasi
5.5.1 Fourier Transform Infrared (FTIR)
Prisip FTIR adalah sinar inframerah (bil. gelombang 400-4000 cm-1) di tembakkan
pada target serbuk material. Radiasi sinar sebagian diteruskan, sebagian diserap dan
dihamburkan. Serapan sinar inframerah ini tergantung pada struktur gugus fungsi
molekulnya. Setiap molekul yang menerima energi tersebut mengalami perubahan energi
vibrasi dan energi rotasi. Fenomena vibrasi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu vibrasi
ulur (stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations). Energi ulur lebih besar
daripada energi tekuk, sehingga serapan ulur ikatan atom/molekul muncul pada bilangan
gelombang yang tinggi atau frekuensi yang tinggi atau pada panjang gelombang yang lebih
rendah pada spektra yang diperoleh, daripada serapan tekuk dari ikatan yang sama. Hubungan
serapan bilangan gelombang dan energi mengikuti hukum Hook (persamaan 1 dan 2).
(1)
Dimana:
:
c :
f :
m1:
m2:
:
Dimana:
E:
h:
c:
:
............................ (2)
energi
tetapan Plank
kecepatan cahaya 3.109m.s-1
bilangan gelombang
Pada spektra inframerah terbaca bilangan gelombang dan serapannya. Semakin besar
bilangan gelombang mencerminkan energi ikatan gugus fungsional antara lain ikatan Al-O
(800 cm-1), Si=O (10,90 cm-1), dan O-Si-O (467 cm-1). Barone (2003) telah mengaplikasikan
FTIR untuk menganalisis gugus fungsi gerabah yaitu Al-O, Si=O, dan O-Si-O. Di samping
itu, spektra memberikan informasi ikatan C-C, C=C, OH, karena dalam sistem pembuatan
gerabah sering tercampur dengan bahan organik seperti sekam padi, akar dan kayu.
5.5.2 X-ray Fluorescence (XRF)
Prinsip XRF adalah sinar X atau sinar radioaktif gamma () ditembakkan pada serbuk
material. Radiasi sinar sebagian diteruskan, sebagian diserap dan dihamburkan. Untuk sinar
yang dihamburkan dapat digunakan sebagai metode X-ray Fluorescence Diffraction (XRD),
sedangkan sinar X yang diserap dimanfaatkan dalam metode X-ray Fluorescence (XRF) yang
berguna dalam menentukan jenis dan jumlah kadar suatu material. Sinar X yang memiliki
energi tinggi mampu mengeksitasi elektron dengan energi yang lebih rendah pada orbital di
kulit atom K, L, M, atau N , Elektron yang tertembak meninggalkan orbital kosong misalnya
pada posisi di K. Setelah meninggalkan orbital kosong pada kulit
K, maka elektron pada posisi di orbital kulit L, M atau N dapat menempati orbital kosong
tersebut, dengan memancarkan sinar dengan energi yang dapat di tangkap oleh detektor.
Peristiwa perpindahan elektron dari orbital tinggi ke orbital rendah pada kulit yang berbeda
ini dikenal dengan fluorescence yang khas untuk setiap atom (Gambar 8). Analisis kuantitatif
XRF dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: Pertama, intensitas menunjukkan
konsentrasi yang diwakili jumlah foton sinar X. Kedua, energi fluorescence yang dilepaskan
menunjukkan karakteristik atom dan berhubungan dengan komposisi material. Ketiga,
membandingkan dengan kurva standar elemen yang di analisis. Terakhir, menghitung
konsentrasi sampel yang dimaksudkan. Rice (1987) dan Pillay (2000) telah mengaplikasikan
XRF untuk analisis artefak gerabah.
. (3)
A = .b.c .. (4)
Keterangan:
Io = Intensitas mula-mula
It = Intensitas akhir
= Tetapan Absorpsivitas
b = Tebal kuvet
c = Konsentrasi
Dengan membandingkan serapan (absorbansi) antara kurva standar dan sampel uji
maka konsentrasi sampel uji dapat diketahui. Pollard dan Wood (1984) menggunakan metode
AAS untuk analisis kadar logam pada tanah lempung dan artefak porselin. AAS dapat
diaplikasikan untuk analisis konsentrasi rendah dari logam dalam bentuk larutan tetapi juga
mengalami bias pada konsentrasi pada konsentrasi yang terlalu tinggi. Teknik ini digunakan
secara luas untuk pengukuran kadar logam, di mana jumlah sampel kecil (1-10 mg) dapat
dilarutkan dalam asam dan larutan yang dihasilkan dianalisis untuk menentukan kadar
logamnya. Hal yang perlu diingat bahwa dalam metode AAS, bahwa sampel berupa larutan
dan bukan (Pollard et al, 2007).
5.6 Metode Neural Networks (MNN)
Metode neural network merupakan metode statistik tingkat tinggi dan metode sangat
penting di bidang matematika, kimia dan arkeologi. Metode ini dapat memecahkan banyak
masalah, seperti proses kontrol, matriks, kalibrasi, dan klasifikasi (clustering). Ma (2000)
menggunakan metode ini untuk mengklasifikasikan keramik seperti artefak gerabah pada
situs-situs di Cina (Tabel 2). Pada MNN digunakan analisis komposisi kimia artefak gerabah
tiap situs dan hubungannnya satu dengan lainnya. Bagi sejarawan dan arkeolog analisis ini
dapat mengetahui hubungan antara temuan artefak gerabah dari satu situs dengan situs
lainnya yang dipisahkan oleh jarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer.
Tabel 2. Gambaran umum dan komposisi kimia (% berat) dari artefak gerabah yang diolah
dengan MNN oleh Ma (2000)
Sampel
Situs
Galian
Periode
SiO2
Al2O3
Fe2O3
TiO2
CaO
MgO
K 2O
Na2O
YR1
Henan
E Neolithic
57,43
17,11
7,31
0,96
1,55
1,96
1,33
2,24
YR2
Hebei
E Neolithic
59,43
21,41
3,97
0,53
0,85
2,95
0,98
5,31
YR3
Hebei
E Neolithic
62,98
17,11
5,49
0,67
2,42
2,61
2,81
1,62
YR4
Hebei
E Neolithic
49,68
19,48
8,45
1,16
2,01
1,67
2,93
0,93
YR5
Henan
Yangshao
60,22
17,07
6,99
0,79
1,02
2,57
3,21
1,14
YR6
Shanxi
Yangshao
57,13
18,4
5,6
0,63
3,9
0,47
5,54
0,64
YR7
Shanxi
Yangshao
67,21
16,64
5,97
0,97
1,09
3,5
1,18
YR8
Shanxi
Yangshao
67,08
16,07
6,4
0,8
1,67
1,75
1,04
YR9
Shanxi
Yangshao
61,9
19,13
8,37
0,99
2,61
3,1
3,21
0,57
YR10
Henan
Yangshao
63,43
17,73
6,91
1,19
3,17
2,03
3,48
1,86
YR11
Henan
Yangshao
60,47
15,79
5,98
0,74
6,87
3,45
3,3
1,17
YR12
Henan
Yangshao
50,87
16,63
6,61
0,87
14,13
5,26
3,01
0,81
lempung Candi Laras, tanah lempung di daerah Penggandingan, tanah lempung di daerah
Kalimantan Tengah, KBr, HCl (37% (b/b) dan =1,19 kg/l (b/v)) E.Merk, HNO3 (69,5%
(b/b), dan = 1,5 kg/l) E.Merk, kristal Fe2O3, dan akuades.
6.3
Prosedur Kerja
erat lumpur
lempung =
0,5
erat lempung =
0,5
Angka yang diperoleh dijadikan persen (%) (Balai Penelitian Tanah, 2005).
6.3.2 Preparasi Sampel
Preparasi artefak genteng masa klasik dari Situs Candi Laras Kalimantan Selatan dan
tanah yang diperoleh dari Balai Arkeologi Banjarmasin, dilakukan dengan cara sampel
tersebut digerus sampai halus dan diayak hingga lolos 60 mesh. Sampel tersebut akan
dianalisis dengan menggunakan AAS, sebanyak 2 g sampel gerabah diabukan dengan
menggunakan furnace pada suhu +600oC selama 3 jam. Setelah itu, dimasukkan ke dalam
gelas piala 250 ml, selanjutnya ditambahkan 20 ml HCl 25%, dipanaskan di atas hot plate
pada suhu 105oC sampai mendidih +30 menit dan dinginkan. Kemudian menambahkan 110
ml akuades, dipanaskan kembali pada suhu 105oC sampai tersisa 10 ml atau 15 ml,
didinginkan kembali. Larutan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring whatman
no.42. Setelah itu, dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml dan diencerkan dengan akuades
sampai tanda batas. Dari larutan ini dilakukan pengenceran sebanyak 10 kali (Balai Penelitian
Tanah, 2005).
6.3.3 Analisis dengan Spektrometer XRF
Sebanyak 1 gram sampel genteng dan tanah liat yang telah digerus, dianalisis dengan
instrumen XRF. Prinsip analisis mengunakan dua parameter yaitu analisis kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kualitatif pada XRF ini meliputi pembacaan spektrum sinar florescence
didasarkan atas besarnya spektrum energi sinar florescence berupa satuan energi kilo elektron
volt (keV) yang setiap jenis material khas. Sedangkan analisis kuantitatif pada XRF yaitu
hasil interaksi sinar-X dengan material target berupa puncak-puncak yang menunjukan
jumlah dan komposisi material. Kolaborasi kedua analisis menghasilkan informasi jumlah,
komposisi dan jenis material (Barone et al, 2005).
6.3.4 Karakterisasi dengan Spektrofotometer FTIR
Secara teknis, sampel artefak genteng dari Situs Candi Laras Kalimantan Selatan dan
tanah masing-masing sebanyak 2 mg yang telah digerus dicampurkan dengan serbuk
KBr(>200 mesh) sebanyak 200 mg. Kemudian dibuat pelet tipis dengan cara ditekan
menggunakan vibrating mill dengan tekanan 8-9 ton. Pengukuran dilakukan pada bilangan
gelombang 400 hingga 4000 cm-1 menggunakan FTIR.