merupakan
sebuah
masalah
pelik
yang
tiada
habisnya
diperbincangkan di negeri rupiah ini. Mulai dari pemahaman mengenai apa itu
korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi sampai pada sanksi hukum tindakan
korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke waktu itu belum berbuah maksimal.
Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek korupsi di sekitar kita. Bahkan jika
mau jujur, korupsi sudah dilakukan secara terang-terangan (masyarakat menyebutnya
rahasia umum [?]). Mengadili orang-orang yang terlibat korupsi ternyata juga tidak
mudah. Sebab para koruptor ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Betapa
terkejutnya publik saat seorang koruptor bisa ke luar tahanan dan menonton
pertandingan olah raga di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah melanda
tempat-tempat yang diharapkan mampu memberi efek jera pada para koruptor.
Begitu besar kekuatan uang untuk membeli kebebasan para koruptor. Sebelum kasus
ke luarnya koruptor dari balik jeruji besi, negari ini juga pernah dihebohkan dengan
ruang tahanan yang disulap bak hotel berbintang. AC, TV, DVD, dan perlengkapan
lain menghiasi ruangan yang semestinya menciptakan renungan atas perbuatan yang
telah dilakukan. Melihat maraknya aksi korupsi siapa yang patut dipersalahkan?
Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia pendidikan yang belum mampu
memberikan bekal keberanian dan kesetiaan akan kejujuran? Di sini pendidikan
sering menjadi komponen yang paling disoroti.
Jika tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak
mulia, terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau
alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentu
masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam
tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apa
yang telah terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas
pendidikan di negeri ini.
terbaik untuk memutus arus korupsi dengan peningkatan moral generasi penerusnya.
Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum tentunya
mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang
kontra terhadap pelaksanaan program ini.
Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari
sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan
koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga
pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi
Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977,
hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak
membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan bak jamur di musim
hujan.
Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau
PERC menyebutkan Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat
pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini
naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam,
Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang,
Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling
bersih (www.bisniskeuangan.kompas.com).
Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) yang bekerja sama dengan KPK menyikapi realita korupsi yang
menjamur di negeri ini patutlah kita apresiasi positif. Pendidikan sebagai usaha sadar
yang sistematis dan sistemis memang harus selalu bertolak dari sejumlah landasan
atau azas-azas tertentu guna mewujudkan masa depan yang lebih baik (Tirtaraharja
dan La Sulo, 2005). Lembaga pendidikan pun ditilik sebagai tempat terbaik
menyiapkap SDM yang bermoralitas tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan
Socrates (469-399 SM) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling
mendasar adalah membentuk individu menjadi lebih baik dan cerdas. Dengan kata
lain, pendidikan hendaknya diarahkan kepada kebajikan atau nilai individu yang
mencakup dua aspek, yaitu intelektual dan moral (Aristoteles 348-322 SM).
Memang sudah saatnya pendidikan kita disentuh oleh masalah-masalah real
yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ketika korupsi menjalar bagai akar
di setiap bidang kehidupan, maka sudah sepatutnya peserta didik yang akan menjadi
penerus kehidupan bangsa diperkenalkan dengan permasalahan korupsi. Agar mereka
tahu betapa bahayanya tindakan korupsi bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga
mereka memiliki sikap tidak tergoda dengan tindak korupsi.
Penanaman nilai-nilai luhur sejak dini diharapkan mampu menjadi pondasi
yang kokoh bagi peserta didik dalam menyikapi realita kemerosotan moral yang
terjadi di tengah masyarakat. Melalui pendidikan karakter antikorupsi juga
diharapkan munculnya rasa tanggung jawab untuk memberantas korupsi dan
memberikan contoh pada masyarakat luas tidak hanya dari tuturan, tetapi juga
melalui perbuatan yang mencerminkan karakter yang ulet, jujur, toleran, dan lain
sebagainya.
Selama ini pendidikan mengenai nilai-nilai luhur sebenarnya telah terangkum
dalam mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun, hasil yang
digapai hanya sebatas kemampuan kognitif yang berfokuskan pada pencapaian nilai
dalam selembar kertas. Pemahaman mengenai nilai luhur tersebut akan hilang ketika
anak didik ke luar dari pagar sekolah. Banyak kejadian dalam masyarakat yang
mereka jumpai tidak sejalan dengan teori-teori yang ditanamkan sekolah, dan anak
didik tidak mampu menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi persoalan itu.
J.H. Gunning (dalam Tirtaraharja dan La Sulo, 2005) berpendapat bahwa seharusnya
pendidikan yang sehat mampu menunjukan titik temu atau menjembatani antara teori
dan praktek.
Abduhzen (2010) berpendapat bahwa strategi pendidikan kita pada berbagai
tingkatannya sangat kurang menghiraukan pengembangan nalar sebagai basis sikap
dan perilaku. Pembelajaran di sekolah kita lebih cenderung pada mengisi atau
mengindoktrinasi pikiran. Akibatnya, apa yang diperoleh di sekolah seperti tidak
berkorelasi dengan kehidupan nyata. Pendidikan harus mampu menciptakan
keseimbangan dalam kehidupan peserta didiknya. Hal ini sejalan dengan ajaran
filsafat I Ching (kristalisasi marxisme di Tiongkok) yang memandang bahwa nilai
yang paling tinggi dalam kehidupan manusia adalah keseimbangan (Artadi, 2004).
Agar pendidikan karakter antikorupsi dapat mencapai sasaran, beberapa
langkah dapat dilakukan pemerintah dan Kemendiknas, seperti pelatihan-pelatihan
kepribadian kepada guru-guru untuk menanamkan sikap antikorupsi. Hasilnya nanti