negara sosialis; dan (3) hubungan Lekra-PKI terjadi karena keduanya menganut
ideologi Marxis/Komunis. Yudanto (2009) dan Wijaya (2011) menjadikan
penelitian Ismail sebagai model dalam meneliti sejarah Lekra di Surabaya dan
Surakarta.
Teeuw (1996 [1979]) menempatkan Lekra
dalam Kesusastraan
Indonesia Modern (periode 1955-1965) yang berpusat pada hubungan sastra dan
ideologi. Menurut Teeuw, hubungan ini tidak khas Lekra karena hubungan sastra
dan ideologi telah muncul dalam novel modern awal (pada karya Semaun dan
Mas Marco Kartodikromo) dan dilanjutkan oleh Rustam Effendi. Perspektif
Teeuw juga diterapkan oleh Yuliantri (2012). Melalui penamaan sastra kiri,
Yuliantri mengkonstruksi kontinyuitas sejarah sastra kiri di Indonesia (sebelum
dan sesudah Lekra). Konsep kiri yang digunakan oleh Yuliantri sejalan dengan
konsep seni kerakyatan (Bexley, 2000). Bexley memandang Lekra sebagai salah
satu fase perkembangan ideologi kerakyatan di Indonesia. Perpektif Bexley juga
diterapkan oleh Violeta (2012) ketika mengkaji pengaruh politik terhadap
kehidupan sastra selama Demokrasi Terpimpin.
Foulcher (1986) membicarakan prosa dan puisi Lekra untuk mendukung
kajian terhadap konteks sosial politik Lekra. Hal ini tidak tampak dalam penelitian
Ismail (1972) dan Teeuw (1979). Di samping karya sastra, Foulcher juga
menggunakan dokumen pendirian dan asas metode kerja Lekra, yaitu Mukadimah
(1950, 1959) dan Konsepsi Kebudayaan Rakyat. Foulcher (1986:200)
menegaskan, mustahil membicarakan sastra Lekra tanpa mempertimbangkan
hubungan sastra dengan kekuatan di luarnya (politik dan ideologi) karena makna
karya dibangun di atas proses sosial dan sejarah.
Kajian yang berlandaskan faktor politik, ideologi, dan proses sejarah,
seperti kajian Foulcher juga dilakukan oleh Supartono (2000) yang
menitikberatkan pertentangan Lekra dengan Manifesto Kebudayaan. Pertentangan
Lekra dan Manifesto Kebudayaan adalah kecenderungan umum dalam studi
Lekra. Penelitian Putra (2006) terhadap pertentangan Lekra dan LKN (Lembaga
Kebudajaan Nasional, berafiliasi kepada PNI) di Bali, sejalan dengan Foulcher
(1986) bahwa kekuatan ideologi dan politik mempengaruhi kehidupan kesenian.
Sebelum Supartono (2000), pertentangan Lekra dengan Manifesto
Kebudayaan telah mengemuka dalam penelitian Waluyo (1998) yang memandang
pertentangan tersebut sebagai dua aliran pemikiran dalam rangka mencari
identitas budaya bangsa. Pertentangan Lekra dan Manifesto Kebudayaan berakhir
karena pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto.
Namun demikian, menyisakan trauma politik di kalangan mantan aktivis Lekra
(Malna, 2000). Hal ini tidak hanya terjadi karena perburuan, pembunuhan, dan
penahanan anggota PKI, oramasnya, dan anggota Lekra tetapi juga karena sikap
Orde Baru yang stigmatif dan represif terhadap mantan aktivis Lekra (Estralita,
2009; Budiawan, 2006).
Manifesto Kebudayaan merasa sebagai kemenangan ketika Lekra hancur
bersama PKI beserta ormas-ormasnya. Kemenangan itu dikukuhkan melalui
sebuah buku yang memuat daftar dan ulasan kejahatan PKI dan Lekra (Ismail dan
Moeljanto, 1995). Buku ini mendapat tandingan dengan terbitnya karya Yuliantri
dan Dahlan (2008a, eds). Nuansa pertentangan Lekra dan Manifesto Kebudayaan
xvi
tetap terasa hadir dalam Sambodja (2010) melalui kajian terhadap karya kedua
kubu.
Teeuw (1996) dan Foulcher (1986) merupakan dua studi yang membangun
landasan akademik bagi studi Lekra selanjutnya. Landasan tersebut bersumber
pada pola hubungan sastra dan ideologi/politik yang kemudian diterapkan dalam
kajian yang lebih khusus, seperti: puisi (Suyatno, 2011), prosa (Taum, 2012), dan
drama Lekra (Bodden, 2010, 2011). Landasan tersebut juga diterapkan dalam
penelitian di luar sastra, seperti seni musik Lekra (Yuliantri, 2011) dan kehidupan
kesenian orang Tionghoa (Budianta, 2011). Perspektif ideologi/politik pada kajian
sastra Lekra adalah sesuatu yang mutlak, sebagaimana diuraikan dalam referat
Konferensi Nasional Sastra Seni Revolusioner (Aidit, 1964c).
Perspektif yang digunakan oleh Heinschke (1996) dalam mengkaji salah
seorang tokoh Lekra, yaitu Pramoedya Ananta Toer, berbeda dengan perspektif
umum studi Lekra. Heinschke membicarakan proses pembentukan konsep
kesusastraan Pramoedya Ananta Toer yang berangkat dari organisasi Gelanggang
menuju dan berakhir pada Lekra. Menurut Heinschke, konsep sastra Pramoedya
Ananta Toer sejalan dengan konsep Lekra.
Penelitian ini bersandar pada landasan hubungan sastra dan
ideologi/politik yang merupakan kecenderungan umum dalam penelitian
terdahulu. Walaupun demikian, penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya karena secara khusus mengkaji puisi dan cerpen Lekra dengan
menggunakan teori new historicism.
2.2 Konsep
2.2.1 Representasi
Menurut Barker (2005:10) representasi adalah konstruksi dan penyajian
dunia secara sosial. Dunia yang direpresentasikan di dalam teks ditentukan oleh
kekuatan sosial (ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan, agama, nilai-nilai
masyarakat). Kekuatan sosial ini juga menentukan cara masyarakat memaknai
representasi dunia. Karena itu, representasi bersifat pragmatis, strategis, dan
politis (Ratna, 2008:86). Setiap representasi dunia ke dalam teks selalu
dikendalikan/dikontrol oleh berbagai kepentingan sosial. Konsep representasi
yang digunakan dalam penelitian ini menyatakan bahwa penyajian realitas sosial,
politik, dan ideologi ke dalam karya sastra (puisi dan cerpen Lekra) ada di bawah
kontrol kekuatan ideologi dan politik.
2.2.2 Ideologi
Ideologi adalah seperangkat ide sistemik, jaringan konsep, dan persepsi
yang disertai oleh sejumlah tindakan untuk mencapai tujuan organisasi (Mortimer,
2011:7). Ideologi berkaitan dengan gagasan-gagasan perjuangan kelas dan
pelanggengan kekuasaan kelas tertentu (Mulyanto, 2011:136). Menurut Manner
dan Kaplan (2002:154), ideologi adalah kristalisasi gagasan absolut dan bersifat
universal yang berfungsi merasionalkan, menyerang, dan menjelaskan keyakinan,
kepercayaan, tindakan, dan pengaturan kultural tertentu. Ideologi berfungsi
melegitimasi kekuatan kelas penguasa. Karena itu, ide dominan di dalam
masyarakat adalah ide kelas penguasa (Eagleton, 2002:6). Sebagai sistem ide,
xvii
Karya sastra yang lahir dalam hubungan ini dipandang sebagai produk budaya dan
agen ideologi (Williams, tt:125). Di antara sastra dan sejarah terdapat dialog yang
dinamis atau hubungan timbal-balik historisitas teks dan tekstualitas sejarah
(Motrose, dalam Liu, 2006:2).
Teori new historicism memaknai karya sastra melalui hubungan timbalbalik karya sastra dan teks nonsastra (sejarah) karena makna karya sastra sering
lebih mudah diuraikan dengan melihat sejarah (Greenblatt, 2005:13; Ryan,
2011:217). Menurut Greenblatt (1980:3-6), sejarah dan sastra tidak berlaku secara
mutlak, abadi, dan berkesinambungan antargenerasi. Untuk memaknai karya
sastra atau sejarah, harus kembali kepada zamannya dengan memanfaatkan
berbagai teks yang diciptakan pada masa itu karena sastra memiliki hubungan
timbal-balik dengan teks nonsastra sezaman. Karena karya sastra adalah teks di
antara teks lainnya (Selden dan Widdoson, 1993:163) maka tidak ada isolasi
tekstual (Foucault dan Harari dalam Junus, 1996:1).
Menurut Barry (2010:202), dokumen sejarah yang sezaman tidak
disubordinasikan sebagai konteks karya (Payne, 2005:6) melainkan dianalisis
sebagai teks tersendiri (ko-teks) atau teks dampingan (Ismayasari, 2011). Hal ini
didasari oleh pandangan bahwa batas-batas disiplin ilmu dan disiplin
pengetahuan, batas-batas fiksi dan realitas telah mencair (Liu, 2006:3). Liu
menegaskan, fokus teori new historicism ada pada hubungan timbal-balik
tekstualisme dan kontekstualisme.
Secara ontologis teori new historicism memandang karya sastra dan teks
nonsastra yang sezaman memiliki hubungan timbal-balik atau terjalin dalam
dialog yang dinamis. Karya sastra dan teks nonsastra bersama-sama
mengartikulasikan proses sejarah yang melahirkannya sehingga sastra adalah visi
lain dari sejarah. Secara epistimologis teori new historicism bekerja dengan
menggunakan metode membaca paralel/membaca berdampingan karya sastra dan
teks nonsastra. Teks nonsastra (sejarah) bukan sebagai latar belakang karya sastra
tetapi teks yang dikaji secara paralel/simultan (ko-teks). Dari segi aksiologinya,
teori new historicism memberi manfaat praktis dalam rangka memahami
hubungan sastra dan kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan ideologi.
Teori sastra Marxis menjelaskan konsep dasar hubungan proses budaya
dan sejarah dalam suatu masyarakat yang digerakkan oleh ideologi dan politik
partai. Di dalam proses ini kebudayaan bukan suatu kenyataan independen (Marx
dalam Selden dan Widdowson, 1993:71) sehingga sastra hanya bisa dipahami
dengan baik dalam bingkai realitas sosial yang lebih besar (Forgacs, 1982:135).
Sastra lahir dari relasi-relasi kontradiktif pengarang dengan ideologi dan struktur
sosial (Marx dan Engels dalam Swingewood, 1977:133). Sastrawan terus-menerus
dibentuk oleh konteks sosialnya (Barry, 2010:185-6). Kritik sastra Marxis
bersandar pada tinjauan historis (Lucaks dalam Eagleton, 2002:vi). Karya sastra
pun tidak dapat dipahami di luar totalitas kehidupan masyarakatnya (Damono,
1984:40).
Konsep
dasar
sastra
Marxis
dipengaruhi
oleh
teori
kesadaran/perjuangan kelas yang menyatakan bahwa sastra harus bersumber dan
sekaligus sebagai senjata perjuangan kelas (Swingewood, 1977:141; Grass dalam
Asad, 2006:19) karena perjuangan kelas sumber utama dinamika kehidupan
(Birchall, 1977:92; Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1998:105). Perjuangan kelas
xix
wacana yang mendahuluinya (Todorov, 1983:xiv). Makna dan struktur teks tidak
khusus bagi teks bersangkutan tetapi kombinasi dan kompilasi bagian-bagian teks
di dalam proses sosial dan budaya yang sedang terjadi (Allen, 2000:37).
Secara ontologis, teori interteks memandang karya sastra sebagai teks di
antara semesta teks atau teks di antara teks lainnya (Plett, 1991:5). Teks tersebut
berada dalam jejaring kerja/hubungan/relasi. Secara epistimologis teori interteks
bekerja dengan menggunakan metode jaringan/relasional/perbandingan untuk
mengetahui lalu lintas dan kualitas hubungan di antara teks. Dari segi
aksiologinya, teori interteks memberi manfaat praktis dalam memahami
keberadaan suatu teks dalam hubungannya dengan teks lain secara diakronis
maupun sinkronis.
3. Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
kualitatif, yang analisisnya bukan seperti pada ilmu eksperimental untuk mencari
hukum melainkan analisis untuk mencari makna (Geertz, 1996: 5). Penelitian ini
menggunakan pendekatan sosiologis dan historis dengan data penelitian berupa
dokumen karya sastra dan teks nonsastra.
Objek formal penelitian ini dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) representasi
ideologi dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah; (2) persoalan sosial
politik yang dikemukakan dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah; dan (3)
hubungan timbal-balik puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam
Laporan dari Bawah dan teks nonsastra. Objek material penelitian terdiri atas 452
puisi, 96 cerpen, 20 pidato Presiden Soekarno, dan tulisan D.N. Aidit yang
terhimpun dalam dua buku.
Data dikumpulkan dengan metode pustaka, melalui beberapa tahap, yaitu
(1) membaca dan menyimak setiap satuan atau judul karya sastra secara cermat
dan intensif; (2) mengidentifikasi tema atau pokok persoalan (isi) yang
dikemukakan di dalamnya; dan (3) mengutip data dari sumber data, (4) mencatat
serta mengorganisasi data dalam file. Data penelitian dianalisis dengan metode
membaca paralel (paralell reading) dan metode deskriptif analitik (Ratna, 2010:
336). Metode analisis data tersebut ditunjang oleh teknik analisis isi (content
analysis). Teknik ini diterapkan melalui tiga tahap, yaitu: (1) menentukan unit
kata, frase, kalimat, paragraf, nama yang mengandung isi/pesan komunikasi; (2)
melakukan klasifikasi; dan (3) menganalisis hubungan timbal-balik karya sastra
dengan teks nonsastra, melalui metode membaca paralel.
4. Hasil Penelitian
4.1 Representasi Ideologi Marxis dalam Sastra Lekra
CC PKI memposisikan sastra dan seni di bawah kendali ideologi dan
partai. Melalui Lekra dan aktivitasnya, PKI menjadikan sastra dan seni sebagai
alat ideologi dan senjata perjuangan kelas tertindas. Representasi Marxis dalam
Gugur Merah dan Laporan dari Bawah mencerminkan hubungan sastra dan
ideologi. Di dalam puisi dan cerpen, tema menjadi sarana sastra dalam
merepresentasikan Marxisme. Dalam puisi, representasi Marxisme juga tampak
melalui diksi. Diksi puisi Lekra khas, umum/populer pada zamannya, ideologis,
xxi
xxvii