Anda di halaman 1dari 15

RINGKASAN DISERTASI

REPRESENTASI IDEOLOGI DALAM SASTRA LEKRA:


KAJIAN NEW HISTORICISM ANTOLOGI
GUGUR MERAH DAN LAPORAN DARI BAWAH
1. Pendahuluan
Selama Revolusi Indonesia tiga ideologi besar, yaitu Nasionalis, agama
(Islam), dan Komunis (Nasakom) bertarung untuk menguasai proses sejarah.
Pertarungan ini merambah dunia kebudayaan, seni, dan sastra. Sastra menjelma
sebagai bagian dari gerakan ideologi dan politik karena dorongan kuat untuk
berperan aktif di tengah pertarungan itu. Sebagai bagian dari gerakan ideologi dan
politik, sastra adalah representasi ideologi dan perwujudan gerakan politik.
Penelitian ini menganalisis representasi ideologi Marxis dalam sastra Lekra
sebagai pencerminan integrasi sastra, ideologi, politik. Salah satu perwujudan
integrasi sastra, ideologi, dan politik adalah terjalinnya hubungan antarteks dalam
jejaring teks ideologi, politik, dan sastra yang sezaman. Hubungan timbal-balik
karya sastra dan teks nonsastra dikaji dengan teori new historicism untuk
memaknai antologi Gugur Merah, Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 19501965 (Yuliantri dan Dahlan eds., 2008a), selanjutnya disebut Gugur Merah dan
Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965
(Yuliantri dan Dahlan eds., 2008b), selanjutnya disebut Laporan dari Bawah,
yang menjadi objek penelitian.
Pertimbangan mengkaji antologi Gugur Merah dan antologi Laporan dari
Bawah adalah sebagai berikut. Dari segi jumlah karya maupun sastrawan, Gugur
Merah dan Laporan dari Bawah merupakan antologi sastra Lekra yang paling
representatif. Antologi ini secara khusus memuat karya Lekra yang belum banyak
diketahui oleh masyarakat karena Pemerintah Orde Baru menutup akses publik
terhadap dokumen Lekra (Lane, 2012:6). Kehadiran kedua antologi ini merupakan
titik terang di tengah kabut sejarah yang masih menyelimuti sastra Lekra.
Meskipun Indonesia telah memasuki era Reformasi sejak tahun 1998 namun akses
kepada dokumen Lekra masih sulit. Antologi Gugur Merah dan Laporan dari
Bawah merupakan dokumen pertumbuhan aliran realisme sosialis di Indonesia.
Antologi tersebut menghimpun karya sastrawan selama 15 tahun kehidupan Lekra
(1950-1965).
Kajian ini menggunakan teori new historicism yang dikembangkan oleh
Sthepen Greenblatt (seorang kritikus sastra Amerika) pada tahun 1980. Teori ini
digunakan untuk memahami karya sastra dengan bertumpu pada faktor sejarah
(teks nonsastra) sebagai sumber makna (Ryan, 2011:218). Karena itu, sastra dikaji
dalam konteks sosial, politik, dan sejarah kebudayaan (Selden dan Widdowson,
1993:161). Sastra memiliki basis sejarah dan karya sastra bukan produk kesadaran
tunggal tetapi produk berbagai proses sejarah dan budaya (Greenblatt, 1980:3-6).
Konteks sosial, politik, dan sejarah kebudayaan dalam penelitian ini ditelusuri
lewat buku Dibawah Bendera Revolusi, Djilid II (Soekarno, 1964), buku Revolusi
xiii

Indonesia, Latarbelakang Sedjarah dan Haridepannja (Aidit, 1964b) dan


Tentang Marxisme (Aidit, 1964a).
Orde Baru melarang menerbitkan, mengedarkan, dan membaca bukubuku, termasuk karya fiksi yang dianggap mengandung ideologi Marxis (Ratna,
2007:173; Kasenda, 2014:viii). Selama masa pemerintahan Orde Baru, Lekra
sebagai organisasi kebudayaan sayap kiri PKI beserta karyanya hilang total dari
percaturan politik Indonesia (Teeuw, 1996:29). Pemerintah Orde Baru tidak
menyediakan tempat bagi karya sastra yang berkaitan dengan PKI dan ormasnya
(Estralita, 2009:2). Dampak kebijakan tersebut terjadi pula dalam bidang
akademik. Karya seni dan kegiatan budaya aktivis Lekra cenderung diabaikan
atau dengan cepat dilupakan oleh sarjana kebudayaan Indonesia (Bodden,
2011:493). Sejarah sastra pun tidak menyediakan ruang bagi sastra Lekra.
Berbagai antologi sastra yang disusun setelah tahun 1966 tidak ada yang berani
mencantumkan sastra Lekra, misalnya Suryadi, Ed. (1987), Sugono Ed.(2003),
Widati dkk. (2007), dan Badudu (2008). Pemahaman terhadap sastra Lekra
terbatas dan kurang memadai. Sementara itu, selama pemerintahan Orde Baru
karya Pramoedya Ananta Toer dan Putu Oka Sukanta (keduanya mantan anggota
Lekra) beredar di luar negeri.
Sejalan dengan latar belakang, permasalahan yang dikaji adalah: (1)
bagaimanakah representasi ideologi dalam Gugur Merah dan Laporan dari
Bawah?; (2) persoalan sosial politik apakah yang diungkapkan dalam Gugur
Merah dan Laporan dari Bawah?; dan (3) bagaimanakah hubungan timbal-balik
antara Gugur Merah, Laporan dari Bawah dan teks nonsastra?
Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada mengkaji aspek tema dan diksi
karena melalui tema dan diksi, integrasi sastra dengan ideologi dan politik,
tampak sangat jelas. Penelitian ini khusus mengkaji genre puisi dan cerpen yang
dihasilkan selama kehidupan Lekra. Novel dan drama karya mantan anggota
Lekra (pasca 1965) tidak dikaji. Teks nonsastra yang digunakan sebagai ko-teks
terbatas pada pidato Presiden Soekarno dan tulisan D.N. Aidit karena kedua tokoh
ini berperan besar dalam konstelasi segitiga kekuasaan selama Revolusi
Indonesia. Analisis bertumpu pada tema karena melalui analisis tema, ketiga
permasalahan penelitian ini dapat dipecahkan.
Tujuan penelitian dibagi menjadi tujuan umum dan khusus. Tujuan umum,
yaitu: (1) untuk membangun gambaran sejarah sastra Indonesia secara lebih
komprehensif, khususnya yang menyangkut keberadaan karya sastra Lekra
periode 1950-1965 dengan memperhatikan proses sejarah yang melahirkannya,
yaitu Revolusi Indonesia; (2) untuk memahami karya sastra Lekra secara holistik
dalam kerangka proses budaya dan sejarah; dan (3) untuk merumuskan pandangan
yang lebih berimbang terhadap sejarah sastra dengan mempertimbangkan
keberadaan sastra Lekra.
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: (1) mengkaji representasi
ideologi dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah; (2) mengkaji persoalan
sosial politik dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah; dan (3)
mengungkapkan makna karya sastra, melalui pengkajian hubungan timbal-balik
antara karya sastra dan teks nonsastra yang sezaman.
xiv

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi kemajuan


penelitian sastra dan memberi kontribusi kepada perkembangan teori sastra
Indonesia. Diharapkan pula hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan dalam
rangka memaknai hubungan timbal-balik karya sastra dan sejarah. Di samping itu,
hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu model
penelitian sastra, khususnya bagi peneliti yang tertarik menerapkan teori new
historicism.
Manfaat praktis penelitian ini adalah memberi sumbangan dalam
penyusunan sejarah sastra Indonesia yang lebih komprehensif karena selama ini
sejarah sastra Indonesia mengabaikan karya Lekra (Malna, 2000:464). Hasil
penelitian ini juga diharapkan memberi manfaat dalam mengenalkan, membangun
pemahaman, dan penghargaan masyarakat terhadap sastra Lekra sebagai kekayaan
bangsa. Secara politis, ideologis, dan historis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjelaskan hubungan timbal-balik Marxisme, PKI, dan Lekra yang bertumpu
pada kajian sastra.
2. Kajian Pustaka, Konsep, dan Landasan Teori
2.1 Kajian Pustaka
Selama Pemerintahan Orde Baru (1966-1998) studi terhadap Lekra minim.
Pemerintah Orde Baru tidak mengizinkan pnelitian terhadap organisasi
kebudayaan berhaluan kiri ini (Putra, 2006:940). Walaupun demikian, berapa
peneliti asing telah mengkaji Lekra, yaitu: Ismail (1972), Maier (1974), Teeuw
(1979), Foulcher (1986), Heinschke (1996), dan Bexley (2000). Di Indonesia
Lekra mulai dibicarakan sejak Reformasi 1998 ketika Presiden Soeharto
diturunkan secara paksa dari kekuasaannya. Tiga tahun menjelang Reformasi,
keberadaan Lekra telah dibicarakan melalui kubu Manifesto Kebudayaan
(Moeljanto dan Ismail, 1995). Sejak tahun 1998 pengkajian terhadap Lekra di
dalam negeri dilakukan antara lain oleh Waluyo (1998), Malna (2000), Supartono
(2000), Yuliantri dan Dahlan (2008a), Budiawan (2006), Estrelita (2009), Suyatno
(2011), Sambodja (2010), Yuliantri (2011), Yuliantri (2012), Taum (2012), dan
Violeta (2012). Ada pula kajian Lekra di daerah, seperti Putra (2006), Yudanto
(2009), Budianta (2011), dan Wijaya (2011).
Pokok persoalan yang dibahas dalam penelitian terdahulu berkisar pada:
(1) kiprah Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang berafiliasi kepada PKI; (2)
perjuangan Lekra dalam bidang kebudayaan, ilmu, dan seni; (3) paham seni
realisme sosialis yang dianut Lekra; (4) perseteruan Lekra dengan Manifesto
Kebudayaan; (5) tekanan politik Pemerintah Orde Baru terhadap mantan aktivis
Lekra yang selamat dari Tragedi 1965. Penelitian yang secara khusus mengkaji
karya sastra Lekra belum memadai; dan (6) Lekra dipandang merupakan wujud
kuatnya pengaruh politik terhadap sastra.
Lekra mulai dikaji sejak awal dekade 1970-an yang dipelopori oleh Ismail
(1972). Persoalan yang dikaji oleh Ismail, yaitu: (1) kehidupan sastra di Indonesia
pada periode 1950-1965 terintegrasi dengan pergolakan ideologi dan politik; (2)
Lekra adalah gerakan politik dalam bidang kebudayaan untuk mencapai cita-cita
xv

negara sosialis; dan (3) hubungan Lekra-PKI terjadi karena keduanya menganut
ideologi Marxis/Komunis. Yudanto (2009) dan Wijaya (2011) menjadikan
penelitian Ismail sebagai model dalam meneliti sejarah Lekra di Surabaya dan
Surakarta.
Teeuw (1996 [1979]) menempatkan Lekra
dalam Kesusastraan
Indonesia Modern (periode 1955-1965) yang berpusat pada hubungan sastra dan
ideologi. Menurut Teeuw, hubungan ini tidak khas Lekra karena hubungan sastra
dan ideologi telah muncul dalam novel modern awal (pada karya Semaun dan
Mas Marco Kartodikromo) dan dilanjutkan oleh Rustam Effendi. Perspektif
Teeuw juga diterapkan oleh Yuliantri (2012). Melalui penamaan sastra kiri,
Yuliantri mengkonstruksi kontinyuitas sejarah sastra kiri di Indonesia (sebelum
dan sesudah Lekra). Konsep kiri yang digunakan oleh Yuliantri sejalan dengan
konsep seni kerakyatan (Bexley, 2000). Bexley memandang Lekra sebagai salah
satu fase perkembangan ideologi kerakyatan di Indonesia. Perpektif Bexley juga
diterapkan oleh Violeta (2012) ketika mengkaji pengaruh politik terhadap
kehidupan sastra selama Demokrasi Terpimpin.
Foulcher (1986) membicarakan prosa dan puisi Lekra untuk mendukung
kajian terhadap konteks sosial politik Lekra. Hal ini tidak tampak dalam penelitian
Ismail (1972) dan Teeuw (1979). Di samping karya sastra, Foulcher juga
menggunakan dokumen pendirian dan asas metode kerja Lekra, yaitu Mukadimah
(1950, 1959) dan Konsepsi Kebudayaan Rakyat. Foulcher (1986:200)
menegaskan, mustahil membicarakan sastra Lekra tanpa mempertimbangkan
hubungan sastra dengan kekuatan di luarnya (politik dan ideologi) karena makna
karya dibangun di atas proses sosial dan sejarah.
Kajian yang berlandaskan faktor politik, ideologi, dan proses sejarah,
seperti kajian Foulcher juga dilakukan oleh Supartono (2000) yang
menitikberatkan pertentangan Lekra dengan Manifesto Kebudayaan. Pertentangan
Lekra dan Manifesto Kebudayaan adalah kecenderungan umum dalam studi
Lekra. Penelitian Putra (2006) terhadap pertentangan Lekra dan LKN (Lembaga
Kebudajaan Nasional, berafiliasi kepada PNI) di Bali, sejalan dengan Foulcher
(1986) bahwa kekuatan ideologi dan politik mempengaruhi kehidupan kesenian.
Sebelum Supartono (2000), pertentangan Lekra dengan Manifesto
Kebudayaan telah mengemuka dalam penelitian Waluyo (1998) yang memandang
pertentangan tersebut sebagai dua aliran pemikiran dalam rangka mencari
identitas budaya bangsa. Pertentangan Lekra dan Manifesto Kebudayaan berakhir
karena pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto.
Namun demikian, menyisakan trauma politik di kalangan mantan aktivis Lekra
(Malna, 2000). Hal ini tidak hanya terjadi karena perburuan, pembunuhan, dan
penahanan anggota PKI, oramasnya, dan anggota Lekra tetapi juga karena sikap
Orde Baru yang stigmatif dan represif terhadap mantan aktivis Lekra (Estralita,
2009; Budiawan, 2006).
Manifesto Kebudayaan merasa sebagai kemenangan ketika Lekra hancur
bersama PKI beserta ormas-ormasnya. Kemenangan itu dikukuhkan melalui
sebuah buku yang memuat daftar dan ulasan kejahatan PKI dan Lekra (Ismail dan
Moeljanto, 1995). Buku ini mendapat tandingan dengan terbitnya karya Yuliantri
dan Dahlan (2008a, eds). Nuansa pertentangan Lekra dan Manifesto Kebudayaan
xvi

tetap terasa hadir dalam Sambodja (2010) melalui kajian terhadap karya kedua
kubu.
Teeuw (1996) dan Foulcher (1986) merupakan dua studi yang membangun
landasan akademik bagi studi Lekra selanjutnya. Landasan tersebut bersumber
pada pola hubungan sastra dan ideologi/politik yang kemudian diterapkan dalam
kajian yang lebih khusus, seperti: puisi (Suyatno, 2011), prosa (Taum, 2012), dan
drama Lekra (Bodden, 2010, 2011). Landasan tersebut juga diterapkan dalam
penelitian di luar sastra, seperti seni musik Lekra (Yuliantri, 2011) dan kehidupan
kesenian orang Tionghoa (Budianta, 2011). Perspektif ideologi/politik pada kajian
sastra Lekra adalah sesuatu yang mutlak, sebagaimana diuraikan dalam referat
Konferensi Nasional Sastra Seni Revolusioner (Aidit, 1964c).
Perspektif yang digunakan oleh Heinschke (1996) dalam mengkaji salah
seorang tokoh Lekra, yaitu Pramoedya Ananta Toer, berbeda dengan perspektif
umum studi Lekra. Heinschke membicarakan proses pembentukan konsep
kesusastraan Pramoedya Ananta Toer yang berangkat dari organisasi Gelanggang
menuju dan berakhir pada Lekra. Menurut Heinschke, konsep sastra Pramoedya
Ananta Toer sejalan dengan konsep Lekra.
Penelitian ini bersandar pada landasan hubungan sastra dan
ideologi/politik yang merupakan kecenderungan umum dalam penelitian
terdahulu. Walaupun demikian, penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya karena secara khusus mengkaji puisi dan cerpen Lekra dengan
menggunakan teori new historicism.
2.2 Konsep
2.2.1 Representasi
Menurut Barker (2005:10) representasi adalah konstruksi dan penyajian
dunia secara sosial. Dunia yang direpresentasikan di dalam teks ditentukan oleh
kekuatan sosial (ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan, agama, nilai-nilai
masyarakat). Kekuatan sosial ini juga menentukan cara masyarakat memaknai
representasi dunia. Karena itu, representasi bersifat pragmatis, strategis, dan
politis (Ratna, 2008:86). Setiap representasi dunia ke dalam teks selalu
dikendalikan/dikontrol oleh berbagai kepentingan sosial. Konsep representasi
yang digunakan dalam penelitian ini menyatakan bahwa penyajian realitas sosial,
politik, dan ideologi ke dalam karya sastra (puisi dan cerpen Lekra) ada di bawah
kontrol kekuatan ideologi dan politik.
2.2.2 Ideologi
Ideologi adalah seperangkat ide sistemik, jaringan konsep, dan persepsi
yang disertai oleh sejumlah tindakan untuk mencapai tujuan organisasi (Mortimer,
2011:7). Ideologi berkaitan dengan gagasan-gagasan perjuangan kelas dan
pelanggengan kekuasaan kelas tertentu (Mulyanto, 2011:136). Menurut Manner
dan Kaplan (2002:154), ideologi adalah kristalisasi gagasan absolut dan bersifat
universal yang berfungsi merasionalkan, menyerang, dan menjelaskan keyakinan,
kepercayaan, tindakan, dan pengaturan kultural tertentu. Ideologi berfungsi
melegitimasi kekuatan kelas penguasa. Karena itu, ide dominan di dalam
masyarakat adalah ide kelas penguasa (Eagleton, 2002:6). Sebagai sistem ide,
xvii

jaringan konsep, persepsi, tindakan yang digunakan sebagai alat legitimasi


kekuasaan, ideologi adalah kristalisasi gagasan/ide/konsep mengenai sesuatu
(sosial, politik) yang dipandang sebagai yang absolut dan universal.
2.2.3 Sastra Lekra
Sastra Lekra adalah karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan aktivis
Lekra periode 1950-1965 yang menganut paham seni realisme sosialis (Ratna,
2007:171,
Setiyono, 2010:xxiii). Lekra menggariskan seni sebagai alat
pembimbing kesadaran politik massa dan mengabdi kepada revolusi (Prasetyo,
2002:6). Karena itu, karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan Lekra berpihak
kepada massa rakyat tertindas, revolusioner, dan pro-Soekarno (Putra, 2006:966).
Berdasarkan pandangan tersebut, maka konsep sastra Lekra, yakni: (1) ditulis oleh
sastrawan aktivis Lekra (periode 1950-1965); (2) berfungsi sebagai alat
propaganda dan agitasi PKI; (3) menganut paham seni realisme sosialis, (4)
berpihak kepada massa rakyat yang tertindas/terisap; dan (5) perlawanan (berjiwa
revolusioner) terhadap imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme untuk
mencapai sosialisme.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori new historicism sebagai teori utama dan
dibantu dengan teori sosiologi sastra Marxis dan teori interteks. Menurut Lai
(2006:1) kelahiran teori new historicism tidak terpisahkan dari munculnya
pemikiran baru mengenai hubungan sejarah dan sastra yang menyerupai jaring
laba-laba. Sastra dan sejarah adalah jejaring kerja (teks) yang saling bersilangan
sehingga batas teks dan konteks, batas sejarah dan fiksi, mulai lebur. Teori new
historicism memandang bahwa sejarah sastra sebagai bagian dari sejarah
kebudayaan yang lebih besar. Karya sastra bukan produk kesadaran tunggal tetapi
produk proses sejarah dan budaya (Greenblatt, 1980:3-6). Karena itu, sastra dikaji
dalam konteks sosial, politik, dan sejarah kebudayaan (Selden dan Widdowson,
1993:161).
Istilah new historicism diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt, kritikus
Amerika (Greenblatt, 2005:18). Di Inggris new historicism dikenal dengan
cultural materialism atau cultural poetics (Payne, 2005:1). Di Amerika disebut
the new history, critical history, dan historical materialist criticism. Teori new
historicism dipengaruhi oleh Michel Foucault dan Louis Althusser bahwa tidak
ada kebenaran objektif dalam sejarah (Selden dan Widdowson,1993:163).
Stephen Greenblatt juga dipengaruhi oleh pandangan Clifford Geertz bahwa
tulisan antropologi adalah fiksi dalam pengertian sesuatu yang dibentuk atau
sesuatu yang diciptakan dan fiksi bukan sebagai hal yang tidak faktual (Geertz,
1996:19).
Pandangan baru yang ditawarkan oleh teori new historicism yaitu
menganalisis hubungan karya sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi,
dan politik yang melingkupinya (Brannigan, 1999:421; Bressler, 1999:236;
Barry, 2010:201; Budianta, 2006:2-3). Menurut Tillyard, terjadi interkoneksi
sastra dan kebudayaan (dalam Selden dan Widdowson, 1993:162). Eksistensi
sastra dan sejarah ada dalam dialektika produser dan produk (Williams, tt:125).
xviii

Karya sastra yang lahir dalam hubungan ini dipandang sebagai produk budaya dan
agen ideologi (Williams, tt:125). Di antara sastra dan sejarah terdapat dialog yang
dinamis atau hubungan timbal-balik historisitas teks dan tekstualitas sejarah
(Motrose, dalam Liu, 2006:2).
Teori new historicism memaknai karya sastra melalui hubungan timbalbalik karya sastra dan teks nonsastra (sejarah) karena makna karya sastra sering
lebih mudah diuraikan dengan melihat sejarah (Greenblatt, 2005:13; Ryan,
2011:217). Menurut Greenblatt (1980:3-6), sejarah dan sastra tidak berlaku secara
mutlak, abadi, dan berkesinambungan antargenerasi. Untuk memaknai karya
sastra atau sejarah, harus kembali kepada zamannya dengan memanfaatkan
berbagai teks yang diciptakan pada masa itu karena sastra memiliki hubungan
timbal-balik dengan teks nonsastra sezaman. Karena karya sastra adalah teks di
antara teks lainnya (Selden dan Widdoson, 1993:163) maka tidak ada isolasi
tekstual (Foucault dan Harari dalam Junus, 1996:1).
Menurut Barry (2010:202), dokumen sejarah yang sezaman tidak
disubordinasikan sebagai konteks karya (Payne, 2005:6) melainkan dianalisis
sebagai teks tersendiri (ko-teks) atau teks dampingan (Ismayasari, 2011). Hal ini
didasari oleh pandangan bahwa batas-batas disiplin ilmu dan disiplin
pengetahuan, batas-batas fiksi dan realitas telah mencair (Liu, 2006:3). Liu
menegaskan, fokus teori new historicism ada pada hubungan timbal-balik
tekstualisme dan kontekstualisme.
Secara ontologis teori new historicism memandang karya sastra dan teks
nonsastra yang sezaman memiliki hubungan timbal-balik atau terjalin dalam
dialog yang dinamis. Karya sastra dan teks nonsastra bersama-sama
mengartikulasikan proses sejarah yang melahirkannya sehingga sastra adalah visi
lain dari sejarah. Secara epistimologis teori new historicism bekerja dengan
menggunakan metode membaca paralel/membaca berdampingan karya sastra dan
teks nonsastra. Teks nonsastra (sejarah) bukan sebagai latar belakang karya sastra
tetapi teks yang dikaji secara paralel/simultan (ko-teks). Dari segi aksiologinya,
teori new historicism memberi manfaat praktis dalam rangka memahami
hubungan sastra dan kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan ideologi.
Teori sastra Marxis menjelaskan konsep dasar hubungan proses budaya
dan sejarah dalam suatu masyarakat yang digerakkan oleh ideologi dan politik
partai. Di dalam proses ini kebudayaan bukan suatu kenyataan independen (Marx
dalam Selden dan Widdowson, 1993:71) sehingga sastra hanya bisa dipahami
dengan baik dalam bingkai realitas sosial yang lebih besar (Forgacs, 1982:135).
Sastra lahir dari relasi-relasi kontradiktif pengarang dengan ideologi dan struktur
sosial (Marx dan Engels dalam Swingewood, 1977:133). Sastrawan terus-menerus
dibentuk oleh konteks sosialnya (Barry, 2010:185-6). Kritik sastra Marxis
bersandar pada tinjauan historis (Lucaks dalam Eagleton, 2002:vi). Karya sastra
pun tidak dapat dipahami di luar totalitas kehidupan masyarakatnya (Damono,
1984:40).
Konsep
dasar
sastra
Marxis
dipengaruhi
oleh
teori
kesadaran/perjuangan kelas yang menyatakan bahwa sastra harus bersumber dan
sekaligus sebagai senjata perjuangan kelas (Swingewood, 1977:141; Grass dalam
Asad, 2006:19) karena perjuangan kelas sumber utama dinamika kehidupan
(Birchall, 1977:92; Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1998:105). Perjuangan kelas
xix

direfleksikan di atas panggung sastra (Rickwood dalam Swingewood (1977:141).


Menurut Dharta (2010c:15), perkembangan kesusastraan adalah sejarah
pertarungan dua kekuatan yang bertentangan. Teori sastra Marxis juga dibangun
berdasarkan pandangan partai terhadap sastra. Sastra mutlak menjadi alat partai
(Barry, 2010:187-188); pedoman/panduan untuk bertindak (Swingewood,
1977:142); dan alat untuk mendidik manusia dalam rangka mengidealkan
kehidupan (Zhadanov, dalam Atmaja, 2009:4) karena kehidupan sastra seperti
kehidupan partai, harus terorganisasi (Barry, 2010:188).
Secara ontologis, teori sastra Marxis memandang karya sastra
berhubungan erat dengan masyarakat yang melahirkannya. Secara epistimologis
teori sastra Marxis menggunakan metode fungsional. Metode ini diterapkan
dengan melihat fungsi ideologi dan politik sastra dalam proses sejarah dan
kebudayaan masyarakat. Dari segi aksiologinya, teori sastra Marxis memberi
manfaat praktis dalam rangka memahami hubungan sastra dengan kekuatan sosial,
politik, ekonomi, dan ideologi.
Teori interteks muncul pada akhir dekade 1960-an melalui pemikiran Julia
Kristeva yang dipengaruhi oleh M.M. Bakhtin (seorang ahli sastra Rusia) dan
kritikus sastra Perancis, Roland Barthes (Allen, 2000:95). Asal-mula teori
interteks dapat ditelusuri pada teori linguistik struktural Ferdinand de Saussure
yang mengkaji hubungan makna dan tanda (Allen, 2000:1). Menurut Saussure, di
dalam suatu sistem, tanda berelasi dengan tanda yang lain untuk mereproduksi
makna (dalam Allen, 2000:10).
Pengarang tidak hanya memilih kata tetapi juga plot, karakter, gambaran,
cara bercerita, bahkan frase atau kalimat dari karya sebelumnya (Bakhtin dalam
Allen, 2000:11). Karena itu, karya sastra tidak dapat dipandang sebagai kontainer
makna tetapi ruang yang potensial bagi sejumlah relasi yang menghasilkan makna
(Allen, 2000:12). Teks bukanlah sebuah garis kata-kata yang mampu melahirkan
makna teologi tunggal, seperti suara Tuhan yang absolut tetapi ruang
multidimensi yang ditempati oleh tulisan yang bervariasi dan tidak ada satu pun
yang asli (Barthes dalam Allen, 2000:13). Pengarang melakukan percampuran
berbagai tulisan atau mempertemukan tulisan satu dengan yang lain. Teks yang
dihasilkan oleh pengarang berupa lapisan atau susunan kutipan yang diambil dari
pusat-pusat kebudayaan yang jumlahnya tidak terhitung (lihat juga BeckerLeckrone, 2013:129).
Allen (2000:36) menunjukkan kesejajaran pandangan Roland Barthes dan
Julia Kristeva melalui kutipan yang diambil dari The Bounded Text, salah satu
tulisan yang dimuat dalam Desire in Language (Kristeva, 1980). Dalam tulisan
tersebut, Kristeva mengemukakan bahwa pengarang tidak menciptakan teksnya
dari pikiran asli tetapi mengkompilasi pikiran-pikiran dari teks-teks sebelumnya.
Tidak ada teks yang bersifat individual atau sebagai objek yang terisolasi,
mengingat teks diciptakan berdasarkan mode budaya/sosial. Walaupun harus
dilakukan pemilahan antara teks individual dan teks budaya namun keduanya
tidak dapat dipisahkan karena diciptakan dari materi yang sama (Kristeva dalam
Allen, 2000:36). Kristeva menyatakan bahwa teks tidak dapat dipisahkan dari
tekstualitas sosial budaya yang lebih besar yang mengkonstruksinya. Semua
wacana (yang mengandung materi yang sama) berada di dalam dialog dengan
xx

wacana yang mendahuluinya (Todorov, 1983:xiv). Makna dan struktur teks tidak
khusus bagi teks bersangkutan tetapi kombinasi dan kompilasi bagian-bagian teks
di dalam proses sosial dan budaya yang sedang terjadi (Allen, 2000:37).
Secara ontologis, teori interteks memandang karya sastra sebagai teks di
antara semesta teks atau teks di antara teks lainnya (Plett, 1991:5). Teks tersebut
berada dalam jejaring kerja/hubungan/relasi. Secara epistimologis teori interteks
bekerja dengan menggunakan metode jaringan/relasional/perbandingan untuk
mengetahui lalu lintas dan kualitas hubungan di antara teks. Dari segi
aksiologinya, teori interteks memberi manfaat praktis dalam memahami
keberadaan suatu teks dalam hubungannya dengan teks lain secara diakronis
maupun sinkronis.
3. Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
kualitatif, yang analisisnya bukan seperti pada ilmu eksperimental untuk mencari
hukum melainkan analisis untuk mencari makna (Geertz, 1996: 5). Penelitian ini
menggunakan pendekatan sosiologis dan historis dengan data penelitian berupa
dokumen karya sastra dan teks nonsastra.
Objek formal penelitian ini dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) representasi
ideologi dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah; (2) persoalan sosial
politik yang dikemukakan dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah; dan (3)
hubungan timbal-balik puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam
Laporan dari Bawah dan teks nonsastra. Objek material penelitian terdiri atas 452
puisi, 96 cerpen, 20 pidato Presiden Soekarno, dan tulisan D.N. Aidit yang
terhimpun dalam dua buku.
Data dikumpulkan dengan metode pustaka, melalui beberapa tahap, yaitu
(1) membaca dan menyimak setiap satuan atau judul karya sastra secara cermat
dan intensif; (2) mengidentifikasi tema atau pokok persoalan (isi) yang
dikemukakan di dalamnya; dan (3) mengutip data dari sumber data, (4) mencatat
serta mengorganisasi data dalam file. Data penelitian dianalisis dengan metode
membaca paralel (paralell reading) dan metode deskriptif analitik (Ratna, 2010:
336). Metode analisis data tersebut ditunjang oleh teknik analisis isi (content
analysis). Teknik ini diterapkan melalui tiga tahap, yaitu: (1) menentukan unit
kata, frase, kalimat, paragraf, nama yang mengandung isi/pesan komunikasi; (2)
melakukan klasifikasi; dan (3) menganalisis hubungan timbal-balik karya sastra
dengan teks nonsastra, melalui metode membaca paralel.
4. Hasil Penelitian
4.1 Representasi Ideologi Marxis dalam Sastra Lekra
CC PKI memposisikan sastra dan seni di bawah kendali ideologi dan
partai. Melalui Lekra dan aktivitasnya, PKI menjadikan sastra dan seni sebagai
alat ideologi dan senjata perjuangan kelas tertindas. Representasi Marxis dalam
Gugur Merah dan Laporan dari Bawah mencerminkan hubungan sastra dan
ideologi. Di dalam puisi dan cerpen, tema menjadi sarana sastra dalam
merepresentasikan Marxisme. Dalam puisi, representasi Marxisme juga tampak
melalui diksi. Diksi puisi Lekra khas, umum/populer pada zamannya, ideologis,
xxi

politis, dan revolusioner. Representasi Marxisme di dalam cerpen juga melalui


tokoh cerita kelas massa rakyat pekerja yang tertindas dan terisap (umumnya
kaum tani dan buruh), pertentangan atau konflik yang membangun cerita sebagai
representasi kesadaran/perjuangan kelas, dan struktur penceritaan yang diadaptasi
dari hukum materialisme dialektika historis (MDH). Tema, diksi, penokohan,
konflik, dan struktur penceritaan memberi ciri khas puisi dan cerpen Lekra yang
identik dengan Marxisme.
Tema puisi Lekra bersumber pada pokok Marxisme, yaitu: (1) penderitaan
massa rakyat pekerja; (2) kesadaran/perjuangan kelas; dan (3) sosialisme. Tema
ini diintegrasikan ke dalam perjuangan PKI sehingga puisi-puisi dalam Gugur
Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah didominasi oleh perjuangan
kaum tani dan buruh dalam membebaskan diri dari penindasan dan pengisapan
tuan tanah dan majikan. Hal ini terjadi karena basis perjuangan PKI adalah kaum
tani dan buruh.
Diksi yang digunakan umumnya identik dengan ajaran/teori Marxis dan
perjuangan PKI, seperti proletar, proletariat, sosialisme, Lenin,
Leninisme, Marxis, Marxisme, Komunisme, merah, Bung Aidit,
Kawan Aidit, Tiongkok, PKI, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia),
sama rata sama rasa, rakyat, rakyat pekerja, barisan tani, BTI (Barisan
Tani Indonesia), petani, kaum tani, tanah, tanah garapan, buruh,
derita, penderitaan, lapar, kelaparan, bagi hasil, Dekon
(Dekonstruksi Ekonomi), Nasakom, perjuangan kelas, landreform,
Manipol (Manifesto Politik), UUPA (Undang-undang Pokok Agraria),
UUPBH (Undang-undang Pokok Bagi Hasil), revolusi, imperialisme, tuan
tanah, lintah darat, tujuh setan desa, nekolim (neokolonialisme), jengki,
yankee, pengisap, pengisapan. Diksi-diksi tersebut adalah ikon zaman
Revolusi Indonesia. yang juga memberi ciri khas puisi-puisi dalam Gugur Merah
dan cerpen-cerpen
Representasi Marxisme dalam cerpen melalui sejumlah tema, yaitu
propaganda PKI, perlawanan terhadap penjajah, sengketa tanah (landreform,
UUPA, dan UUPBH), penderitaan (kemiskinan) rakyat jelata, perjuangan buruh,
anti-Amerika, dan antifeodalisme. Tokoh yang selalu disertai identitas kelas
tertindas/terisap (tani, buruh, pelacur, tukang becak, tukang cukur, loper koran,
dan lain-lain) merepresentasikan massa rakyat pekerja. Penggambaran konflik
kelas adalah representasi kesadran/perjuangan kelas. Struktur cerita yang terdiri
atas (penderitaan massa rakyat pekerja [tesis], perjuangan/perlawanan/konflik
kelas [antitesis], dan kemenangan massa rakyat pekerja [sintesis]) adalah
representasi materialisme dialektika historis.
4.2 Persoalan Sosial Politik dalam Sastra Lekra
Persoalan sosial politik yang dikemukakan dalam puisi dan cerpen
berbasis pada penderitaan hidup rakyat jelata dan perjuangan PKI dalam
membebaskan mereka menuju sosialisme. Hal ini terkait erat dengan agenda
perjuangan PKI pada masa Revolusi Indonesia. Dalam puisi dan cerpen,
persoalan sosial politik menjelma menjadi: (a) sengketa tanah; Landreform
(UUPA, UUPBH); (b) perjuangan buruh; (c) perlawanan bangsa Indonesia
xxii

terhadap penjajah; (d) antiimperialisme, antikolonialisme, anti-Amerika dan


sekutunya; dan (e) perlawanan terhadap feodalisme. Seluruh persoalan sosial
politik yang muncul dalam puisi dan cerpen, dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu: (1) persoalan yang identik dengan perjuangan PKI dan (2)
persoalan umum dalam Revolusi Indonesia (rakyat dan Revolusi Indonesia,
kemerdekaan, revolusi, nasionalisme, gerombolan bersenjata).
4.3 Paralelitas Sastra Lekra dan Teks Nonsastra
Keterlibatan PKI dalam Revolusi Indonesia adalah paradigma yang dapat
menjelaskan pola hubungan timbal-balik puisi, cerpen, dan pidato Presiden
Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Dari sudut pandang Lekra (sejarah pendirian,
Mukadimah, Konsepsi Kebudayaan Rakyat, dan asas metode kerja kombinasi 1-51), hubungan timbal-balik ini dipicu oleh tindakan memobilisasi massa rakyat
dalam bidang kehidupan kesenian dan sastra yang dimotori oleh seniman dan
sastrawan.
Pandangan sastrawan Lekra, Presiden Soekarno, dan D.N. Aidit,
mengenai Revolusi Indonesia bersumber pada mode zaman yang sama, yaitu
perjuangan rakyat Indonesia yang tertindas melawan musuh revolusi (feodalisme,
kolonialisme, dan imperialisme). Pandangan mereka direpresentasikan dalam teks
yang divisualkan melalui puisi, cerpen, pidato, dan tulisan (materi kuliah)
sehingga tercipta jaringan kerja teks Revolusi Indonesia. Di dalam jaringan ini
puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah,
pidato Presiden Soekarno dan tulisan D.N. Aidit, berhubungan secara timbal-balik
(antarteks). Melalui paradigma inilah teori new historicism membaca secara
paralel puisi Boyolali (Amarzan Ismail Hamid, hal. 165-167), cerpen
Boyolali (Amarzan Ismail Hamid, hal.50-51), pidato Presiden Soekarno yang
berjudul Laksana malaikat jang menjerbu dari langit, djalannja revolusi kita, dan
tulisan D.N. berjudul Sifat Revolusi Indonesia pada tahap sekarang adalah
nasional
demokratis.
Hubungan
timbal-balik
tampak
melalui
ide/gagasan/pemikiran mengenai reforma agraria (landreform) sebagai hal yang
mutlak dalam Revolusi Indonesia. Ide/gagasan/pemikiran mengenai reforma
agraria muncul dalam kata, istilah, semboyan/slogan yang populer pada masa itu
yang ditemukan dalam puisi, cerpen, pidato Presiden Soekarno, dan tulisan D.N.
Aidit.
4.4 Politik Sastra
Berpijak pada referat D.N. Aidit yang berjudul Dengan Sastra dan Seni
yang Berkepribadian Nasional Mengabdi Buruh, Tani dan Prajurit yang berisi
pandangan mengenai hubungan sastra, seni dan ideologi, partai (PKI), serta
pendirian Lekra (sejarah, Mukadimah, dan Konsepsi Kebudayaan Rakyat, dan
asas metode kerja kombinasi 1-5-1), maka representasi Marxisme dalam puisi dan
cerpen adalah proses sejarah dan produk sosial. Oleh karena PKI mengambil
bagian secara langsung dalam Revolusi Indonesia dan Lekra dijadikan
lembaga/front kebudayaan untuk melakukan mobilisasi massa rakyat yang
dimotori oleh seniman dan sastrawan, maka basis persoalan yang dikemukakan
dalam puisi dan cerpen Lekra adalah ide/gagasan/pemikiran Marxis dan agenda
xxiii

PKI dalam Revolusi Indonesia. Melalui paradigma ini, hubungan timbal-balik


puisi, cerpen, pidato Presiden Soekarno, dan tulisan D.N. Aidit dapat dipahami
dan dimaknai.
Kedua antologi ini adalah bagian dari pergulatan politik sastra penyair dan
pengarang mengingat latar belakang kelembagaan, sikap yang berwujud peran
aktif dalam Revolusi Indonesia, dan kedekatan hubungan Lekra dan PKI. Politik
sastra adalah gerakan politik dalam bidang kesusastraan. Aktivitas politik adalah
aktivitas sastra. Aktivitas sastra adalah aktivitas politik. Melalui konsep politik
sastra, Gugur Merah dan Laporan dari Bawah bukan sebagai tujuan akhir
aktivitas sastra. Tujuan akhir aktivitas sastra adalah mencapai cita-cita revolusi
massa rakyat pekerja, yaitu sosialisme melalui kesusastraan.
Kajian ini membuktikan bahwa hubungan Gugur Merah, Laporan dari
Bawah dan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit, adalah hubungan
antarteks. Antarteks adalah jaringan teks secara sinkronis merepresentasikan
realitas sejarah. Dengan kata lain, teks-teks tersebut ada karena dipicu oleh
peristiwa sejarah pada suatu zaman. Ada beberapa indikasi terjadinya hubungan
antarteks yaitu persoalan pokok yang dibicarakan di antara sejumlah teks
(Revolusi Indonesia), ungkapan-ungkapan bahasa populer pada suatu zaman
(diksi), struktur atau bangunan pemikiran yang berlaku pada zamannya.
4.5 Analisis Karya
4.5.1 Perlawanan Kaum Tani dalam Puisi Tak Terpatahkan
Puisi Tak Terpatahkan (Chalik Hamid, hal. 269) menggunakan gaya
narasi yang kuat sehingga propaganda aksi perlawanan kaum tani terasa lebih
halus namun dalam. Pandangan dunia Marxis yang direpresentasikan
mengkonstruksi kaum tani Indonesia sebagai massa rakyat pekerja yang tertindas
dan terisap oleh tuan tanah feodal. Untuk itu, PKI memperjuangkan landreform
atau reforma agraria (tanah garapan bagi kaum tani).
Puisi Tak Terpatahkan diawali dengan penegasan keyakinan yang tak
terpatahkan bahwa manusia dihidupi oleh tanah garapan. Manakala tanah
garapan hanya menjadi alat pengisapan dan penindasan maka tiap jengkal tanah
kita pertahankan. Dari segi hukum dialektika materialisme historis, puisi ini
mencerminkan pertentangan penderitaan kaum tani (tesis) melawan perjuangan
menghancurkan belenggu penderitaan (antitesis). Pola ini juga sebagai pikiran
mendasar Revolusi Indonesia, yaitu penderitaan bangsa Indonesia karena
ditindas/diisap oleh imperialisme-kolonialisme dan feodalisme (tesis) dan
perjuangan (revolusi) untuk membebaskan diri dari belenggu penderitaan
(antitesis), menuju masyarakat adil makmur (sintesis).
Fokus puisi ini adalah propaganda penegakan landreform melalui
perlawanan kaum tani untuk mempertahankan atau merebut tanah dari kekuasaan
tuan tanah, dalam rangka menegakkan undang-undang reforma agraria (UUPA
dan UUPBH). Reforma agraria tidak bisa dilepaskan dari prinsip dasar bahwa
kaum tani adalah soskoguru utama Revolusi Indonesia. Menurut Aidit (1964b:56)
landreform saja belum cukup karena yang utama adalah pelaksanaan landreform
secara radikal. Dalam puisi ini, pelaksanaan landreform secara radikal dilakukan
dengan menempa satu barisan dan marakkan api yang menyala untuk memxxiv

bakar setandesa. Lebih lanjut, Chalik Hamid menggambarkan bentuk aski


perlawanan kaum tani dalam mempertahankan tanah garapannya, yaitu dengan
(ibu-ibu) menghadang traktor, (bapa-bapa) mengacungkan pacul, (pemudapemuda) merentangkan tangan.
Hanya dengan melaksanakan landreform secara radikal kaum tani akan
bebas secara radikal pula dari penindasan tuan tanah feodal. Sehubungan dengan
itu, D.N. Aidit menuntut agar kaum tani mempunyai tanah garapan sendiri dan
menjadi tuan atas tanah itu. Menurut Presiden Soekarno, tanah tidak boleh
menjadi alat pengisapan atau tanah bukan untuk orang yang hanya duduk
ongkang-ongkang mendjadi gemuk-gendut tetapi tanah hanya untuk kaum tani
(Soekarno, 1964:419). Pandangan Presiden Soekarno ini memberi landasan
pemaknaan puisi Tak Terpatahkan dengan lebih mendasar.
Propaganda aksi kaum tani untuk mewujudkan pelaksanaan reforma
agraria dalam puisi Tak Terpatahkan didasari kesadaran bahwa tuan tanah
berlaku sewenang-wenang dan menindas kaum tani (Aidit, 1964b:56) dan
menggunakan tanah sebagai alat pengisapan terhadap kaum tani penggarap
(Soekarno, 1964:419).
Ditinjau dari segi peran sebagai penghasil pangan masyarakat, kaum tani
adalah pencipta sejarah yang sesungguhnya karena mereka kelas yang berkeringat
menghasilkan benda kebutuhan masyarakat (Aidit, 1964b:52). Kenyataan inilah
yang dijadikan pertimbangan memberi kedudukan terhormat kepada kaum tani,
sebagai sokoguru Revolusi Indonesia (Soekarno, 1964:263).
Diksi tanah garapan (ungkapan revolusioner yang populer pada masa
Revolusi Indonesia), menjadi petunjuk hubungan timbal-balik puisi Tak
Terpatahkan dan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Dalam
pidato yang berjudul Laksana malaikat jang menjerbu dari langit, djalannja
revolusi kita (amanat Presiden Soekarno pada ulang tahun Proklamasi Indonesia,
17 Agustus 1960), dinyatakan bahwa salah satu program Revolusi Indonesia
adalah perombakan hak tanah dan penggunaan tanah (Soekarno, 1964:419), untuk
mewujudkan masyarakat adil makmur, khususnya meninggikan taraf hidup kaum
tani yang sekaligus berarti meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat (Soekarno,
1964:419). Oleh karena itu, landreform adalah hal mutlak karena melaksanakan
satu bagian yang mendasar dari Revolusi Indonesia (Soekarno, 1964:419).
Dalam subbab Tentang Sokoguru Buruh dan Tani (Revolusi Indonesia,
Latarbelakang sedjarah dan haridepannja [Aidit, 1964b]), Aidit (1964b:71)
menyampaikan bahwa sebagai sokoguru utama masyarakat, kaum tani berperan
penting sebagai penyambung hidup bangsa. Pada subbab Sifat Revolusi
Indonesia pada tahap sekarang adalah nasional dan demokratis (Revolusi
Indonesia, Latarbelakang sedjarah dan haridepannja [Aidit, 1964b]), diuraikan
bahwa permasalahan tanah garapan adalah bagian dari program berdiri di atas
kaki sendiri dalam bidang pangan. Program ini memberi tugas mulia kepada kaum
tani karena merekalah menghasilkan pangan bagi kehidupan bangsa (Aidit,
1964b:56). Untuk itu, kaum tani harus memiliki tanah garapan sendiri (Aidit,
1964:56) melalui penegakkan landreform secara radikal yang membebaskan kaum
tani secara radikal pula dari penindasan kekuasaan feodal (Aidit, 1964b:56).
xxv

4.5.2 Representasi Materialisme Dialektika Historis dalam Cerpen


Dua Kemenangan
Cerpen Dua Kemenangan (Dwijono, hal. 104-107) menceritakan
perjuangan kaum tani dalam menegakkan UUPBH. Sebelum diberlakukannya
UUPBH, petani penggarap memperoleh 1/3 dan pemilik memperoleh 2/3.
UUPBH menetapkan pembagian hasil 1:1 dan segala ongkos ditanggung oleh
pemilik tanah. Cerpen ini diakhiri dengan kemenangan petani penggarap.
Cerita Dua Kemenangan dibangun di atas hukum materialisme
dialektika historis. Tesis di adalah penderitaan kaum tani penggarap akibat
ketidakadilan sistem bagi hasil. Kaum tani penggarap menerima bagian hanya 1/3
dan segala ongkos penggarapan sawah ditanggung oleh kaum tani, tuan tanah
menerima 2/3. Antitesis keadaan tersebut dalah diberlakukannya UUPBH. Kaum
tani penggarap dan tuan tanah menerima bagian yang sama dan semua ongkos
penggarapan sawah ditanggung oleh tuan tanah. Antitesis cerpen ini berwujud
tuntutan Parijem dan kaum tani penggarap kepada Pardi (tuan tanah) agar
mematuhi UUPBH. Teis cerpen adalah kemenangan kaum tani, seperti tampak
pada kutipan berikut.
Semua pulang dengan wajah yang gembira. Malamnya pesta
kemenangan diadakan dirumah Bung Ali yang mendapat sambutan
meriah. Parijem menjelaskan dalam pesta itu pengalaman dan pelajaran
yang didapat dari peristiwa yang berakhir dengan kemenangan siang tadi.
(Dua Kemenangan, Dwijono, hal. 107)
Dari sudut pandang PKI, penggambaran kemenangan kaum tani dalam
cerpen Dua Kemenangan adalah representasi sosialisme. Melalui penggambaran
kemenangan kaum tani, pengarang ingin membangun optimisme bahwa rakyat
pasti mencapai tujuan revolusi. Pada akhir cerita tersimpan ajakan membangun
angan-angan betapa indahnya masa depan (sosialisme).
6. Simpulan dan Saran
6.1 Simpulan
Representasi Marxisme dalam Gugur Merah dan Laporan dari Bawah
mencerminkan hubungan sastra dan ideologi. Di dalam puisi dan cerpen, tema
menjadi sarana sastra dalam merepresentasikan Marxisme. Dalam puisi, peran
diksi dalam merepresentasikan Marxisme lebih menonjol ketimbang cerpen
sehingga diksi puisi khas, umum/populer pada zamannya, ideologis, politis, dan
revolusioner. Dalam cerpen Marxisme direpresentasikan secara struktural melalui
tokoh cerita (representasi kelas massa rakyat pekerja yang tertindas dan terisap),
pertentangan
atau
konflik
yang
membangun
cerita
(representasi
kesadaran/perjuangan kelas), dan struktur penceritaan (representasi hukum
materialisme dialektika historis). Persoalan sosial politik yang dikemukakan
dalam puisi dan cerpen berbasis pada penderitaan hidup rakyat jelata dan
xxvi

perjuangan PKI dalam membebaskan mereka dari belenggu penderitaan, menuju


sosialisme yang berdasar kepada ideologi Marxis.
Puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari
Bawah, pidato Presiden Soekarno dan tulisan D.N. Aidit, berhubungan secara
timbal-balik (antarteks). Hal ini terjadi karena sastrawan Lekra, Presiden
Soekarno, dan D.N. Aidit, memiliki pandangan yang sama mengenai Revolusi
Indonesia. Pandangan ini bersumber pada mode zaman yang sama, yaitu
perjuangan rakyat Indonesia melawan musuh revolusi (feodalisme, kolonialisme,
dan imperialisme) menuju masyarakat adil dan makmur.
6.2 Saran
Dari segi kajian sastra, periode 1950-1965 merupakan wilayah penelitian
yang belum digarap secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian sastra yang
mengkaji periode tersebut sangat terbatas. Periode 1950-1965 perlu digali dalam
rangka menyingkap kabut sejarah yang menyelimuti. Hal ini merupakan salah
satu peran dan sumbangan dalam penyusunan sejarah sastra Indonesia.
Bagi peneliti yang tertarik menerapkan teori new historicism, tersedia
sejumlah dokumen sejarah yang dapat dipilih sebagai ko-teks wacana sastra.
Misalnya dengan memanfaatkan kajian sejarah yang telah dilakukan oleh para
sarjana Indonesia atau sarjana asing terhadap periode 1950-1965. Setelah semakin
terbukanya akses pada dokumen-dokumen politik periode 1950-1965, para
peneliti juga bisa memanfaatkan tulisan para petinggi PKI yang terlibat secara
langsung di dalam kancah sejarah. Melalui penelitian sastra, pemahaman terhadap
proses sejarah dan kebudayaan suatu bangsa akan semakin jelas.
Peneliti lain disarankan mengkaji pula karya-karya ekssastrawan Lekra
yang selamat dari Tragedi 1965 dan tetap berkarya dalam rangka mengungkap,
apakah karya-karya mereka: (1) berupa gugatan secara radikal dan perlawanan
terhadap pemalsuan sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru (Bandel, 2009:135);
(2) pengungkapan derita yang tidak terperikan, seperti kisah dalam buku Memoar
Pulau Buru (Setiawan, 2004); atau (3) mempertanyakan kesalahan-kesalahan,
seperti tampak pada puisi yang ditulis di Pulau Buru sejak tahun 1973 oleh
Bandaharo (2010).

xxvii

Anda mungkin juga menyukai