Anda di halaman 1dari 3

Sosok pengemis Walang dan rekannya Saaran ketika ditangkap petugas Sudin Sosial Kota

Jakarta Selatan dengan bawaan uang Rp25juta memunculkan penafsiran bermacam-macam.


Peristiwa ini bisa saja dijadikan inspirasi bagi orang miskin atau orang yang merasa miskin di
negeri untuk melakukan hal yang serupa (=mengemis) meskipun uang Rp25 juta itu ternyata
memangmenurut pengakuan merekabukan hasil murni mengemis selama 15 hari di Jakarta.
Namun, kesan yang tertangkap masyarakat adalah menjadi mengemis itu bisa kaya, bisa
mempunyai mobil, bahkan hebatnya lagi bisa menunaikan ibadah haji, seperti Walang itu.
Bagaikan selebritas, Haji Walang beberapa hari lalu menghiasi media massa dengan beragam
sudut pandang liputan dan wawancara. Walang sendiri mengaku justru senang karena menjadi
sosok terkenal se-Indonesia.
Pemerintah terus-menerus berusaha menekan jumlah pengemis dengan berbagai cara. Pada 2009,
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur yang didukung MUI Pusat mengeluarkan fatwa haram
mengemis. Para ulama, khususnya di daerah Sumenep, Madura, mulai khawatir dengan aktivitas
mengemis yang menjadi mata pencaharian sebagian besar warga itu.
MUI DKI Jakarta juga mengeluarkan fatwa haram atas segala aktivitas yang menganggu
ketertiban umum seperti mengemis, berdagang dengan cara mengasongkan, mengelap mobil di
jalan, atau memberi uang kepada pengemis di jalan raya karena berpotensi merugikan banyak
orang dan menimbulkan kerawanan sosial.
Kemiskinan yang menjadi bagian kehidupan negeri ini dalam ruang dan rentang waktu yang
panjang memastikan bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai realitas ekonomi.
Artinya kemiskinan tidak sekadar gejala keterbatasan lapangan kerja, kekurangan pendapatan,
minimanya pendidikan, dan rendahnya kualitas kesehatan masyarakat.
Kemiskinan ini sudah menjadi realitas sistem atau struktur dan tata nilai kemasyarakatan.
Kemiskinan juga menjadi suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap gampang
menyerah kepada keadaan. Pengemis adalah pengemis. Fatwa MUI dan kebijakan pemerintah
tentang larangan mengemis tidak berdampak meruntuhkan mental pengemis dan kemudian tidak
lagi meminta-minta.
Perlu langkah mengurai penyebab utama orang mengais rezeki dengan cara mengemis. Paling
tidak ada lima hal yang menyebabkan orang menjadi pengemis. Pertama, menganggur. Orang
yang menganggur tidak memiliki etos kerja (sense of work), tidak memikirkan jalan lain untuk
mengisi kekosongan waktu mereka dengan hal-hal positif yang dapat memenuhi kebutuhan
harian mereka.
Dampak menganggur ini yang kemudian menumbuhkan anggapan atau pemahaman bahwa
mengemis merupakan jalan satu-satunya yang dapat mereka tempuh. Padahal Nabi Muhammad
SAW telah mewasiatkan kepada kita untuk bekerja keras karena bekerja itu lebih baik daripada
mengemis.

Kedua, serakah. Keserakahan menjadikan mengemis sebagai pekerjaan sampingan (secondary


work). Ketiga, bobroknya pendidikan di lingkungan rumah tangga dan sekitarnya yang terdekat.
Seseorang yang hidup dalam lingkungan rumah yang di dalamnya hidup para pengangguran dan
pengemis akan tumbuh dan besar sebagai pengangguran dan pengemis.
Keempat, biaya pendidikan yang kian mahal. Mahalnya biaya bersekolah menjadi faktor
penghalang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Sekolah yang
berkualitas hanya bagi orang yang kaya, dan sudah diakses orang yang tidak mampu. Padahal
salah satu tolok ukur kemajuan bangsa adalah kualitas sumber daya manusia (SDM), dan
kualitas SDM dibangun melalui pendidikan.
Kelima, kerusakan moral masyarakat. Kerusakan moral masyarakat menjadi salah satu penyebab
utama munculnya pengemis. Penyebab kerusakan moral sangat banyak, sementara lapangan
kerja positif sangat kurang. Di sisi lain terdapat kelompok masyarakat yang berusaha memenuhi
kebutuhan dan kesenangan dengan menggunakan berbagai cara, termasuk salah satunya dengan
cara mengemis.
Solusi
Umami dalam tesisnya (2005) yang disusun berbasis penelitian dengan sampel tujuh anak dari
keluarga yang tinggal di perkampungan sekitar Sungai Gajah Wong, Kota Jogja, menyatakan
mengemis bukanlah sekadar persoalan mengisi perut.
Mengemis belakangan berkembang menjadi pekerjaan dengan melibatkan anak-anak. Orang tua
kerap kali memanfaatkan anak-anak untuk mencari nafkah di jalanan dan memberikan hukuman
atau penghargaan dengan ukuran jumlah uang yang dibawa pulang anak-anak itu ke rumah.
Gejala demikian tampak pada didi Walang yang bermimpi punya rumah bagus dan mobil, serta
mampu melunasi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Harus diakui bahwa keberadaan
pengemis dan pengamen adalah masalah sosial. Dan masalah pengemis adalah domain
pemerintah, baik pemerintah daerah (provinsi, kabupatan, kota) maupun pemerintah pusat serta
tanggung jawab kita bersama.
Pemerintah melalui Kementerian Sosial sejatinya telah melakukan berbagai cara untuk
menangani pengemis. pengemis telah diberikan bekal pendidikan dan keterampilan serta tempat
tinggal di panti sosial dengan harapan mereka tidak lagi turun ke jalan untuk mengemis.
Dalam konteks fikih Islam perlu menyadarkan masyarakat dan mengembangkan zakat menuju ke
zakat produktif. Penggunaan zakat untuk tujuan produktif bagi kepentingan pemberdayaan
mustahik juga terjadi di jaman Rasulullah SAW. Ketika itu Rasulullah memberikan zakat kepada
orang miskin dan memintanya untuk mengembangkan dan menyedekahkannya lagi.
Ada dua makna dalam riwayat Nabi Muhammad SAW terkait zakat itu. Pertama, dalam
pengelolaan zakat ada sebagian dana yang digunakan untuk mengembangkan usaha produktif
bagi kepentingan mustahik. Kedua, orientasi utama pendistribusian zakat adalah untuk
mengubah status seorang mustahik menjadi muzaki.

Badan Amila Zakat Basional (Baznas) termotivasi dengan riwayat Nabi SAW tersebut dengan
mengimplementasikan pengelolaan zakat dalam bentuk lima program unggulan yaitu Indonesia
Cerdas, Indonesia Sehat, Indonesia Makmur, Indonesia Takwa, dan Indonesia Peduli.
Program ini diharapkan dapat memunculkan entrepreneur mikro yang memiliki daya tahan dan
daya saing. Dr. Yusuf al-Qardhawy dalam Fiqh Prioritas menjelaskan sudah saatnya umat Islam
menjalankan skala prioritas ibadah. Kewajiban yang perlu dilakukan dengan segera harus
didahulukan atas kewajiban yang bisa ditangguhkan.
Misalnya, menangguhkan ibadah haji yang kali kedua dengan mengalihkan biaya haji untuk
dimanfaatkan demi kepentingan sosial. Al-Ghazali mengaggap aib bagi orang kaya yang
melakukan ibadah haji berkali-kali sementara meninggalkan tetangganya yang kelaparan.
Penanaman jiwa kedermawanan dan membangun semangat solidaritas adalah menjadi prioritas
utama (afdlalul amal) bagi kaum muslim saat ini.
Faktor keteladanan pemimpin negeri ini mutlak bahkan wajib. Kasus-kasus korupsi, kolusi,
nepotisme yang menjerat para pemimpin menunjukkan kebobrokan moral pejabat dan
menjauhkan masyarakat dari sikap empati menuju sikap apatis.
Namun, keteladanan bukan hanya dari pemerintah atau para pejabat. Para pengusaha dan orangorang kaya juga harus jadi teladan. Sikap mempertontonkan kemewahan, berebut kekuasaan,
tidak punya rasa malu ketika bersalah, merupakan fenomena yang menghilangkan roh kultur
bangsa yang menjunjung etika bangsa yang beradab dan lemahnya iman seseorang.
Nabi SAW bersabda yang mengandung makna kurang lebih barangsiapa yang tidak peduli
kepada saudara-saudaranya, terhadap persoalan-persoalan saudara-saudaranya, maka orang
tersebut bukan termasuk golongan umat beliau.
Sumber: http://www.solopos.com/2013/12/06/gagasan-pengemis-dan-impian-orangmiskin-471776

Anda mungkin juga menyukai