Anda di halaman 1dari 6

ASPIRASI FEMINISME NH.

DINI DALAM CERPEN DUA DUNIA


Oleh
Yuli Christiana Yoedo
Fakultas Sastra UK Petra
E-mail: yulichy@peter.petra.ac.id
Tanggal 10 Nopember yang lalu kita baru saja merayakan hari pahlawan
mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur di medan laga. Tubuh mereka telah
berbaur dengan alam tetapi buah perjuangan mereka menemani langkah-langkah kita
menantang masa depan. Satu lagi pahlawan yang telah berjuang, sedang dan akan tetap
berjuang di bumi tercinta Indonesia ini sampai ajal menyapa. Beliau dilahirkan di
Semarang 71 Tahun yang silam dengan nama Nurhayati Sri Hardini atau kini lebih
dikenal dengan nama Nh. Dini. Pena digunakannya sebagai senjata untuk menunjukkan
ketidakadilan yang dialami wanita sedangkan tokoh-tokoh dalam karya sastranya
digunakannya sebagai corong ide untuk menyuarakan hati nurani wanita [Dini, 1984: 15;
Dini, 1983: 113]. Dengan kata lain, untuk menggugat ketimpangan dalam bidang sosial,
cinta, rumah tangga, kesenian, bahkan juga pendidikan [Prihatmi, 1999: vii].
Meskipun Nh. Dini sadar bahwa dia hanya dapat menunjukkan bahwa
ketidakadilan tersebut ada atau terjadi, dia tetap gigih untuk berjuang mengajak
masyarakat atau pembaca karyanya berpikir apakah semua ketidakadilan yang telah
diungkapkannya itu sepatutnya ada dan layak berlangsung di negeri ini, di dunia ini
[Dini, 1983: 116]. Dia berusaha agar pembaca, khususnya laki-laki, mengenal dan
mencoba mengerti pikiran dan pendapatnya sebagai wakil wanita pada umumnya [Dini,
1994: 76]. Dapat disimpulkan bahwa pembaca karyanya diajak masuk ke dalam dunia
derita wanita agar dapat turut merasakan penderitaan di dalamnya setidaknya
mencicipinya, kemudian sadar bahwa penderitaan itu memang tidak seharusnya ada
sehingga akhirnya berjuang untuk meniadakannya. Memang perjuangan wanita masih
panjang tetapi paling tidak Nh. Dini telah memulainya dengan berani menunjukkan reaksi
keras atas perlakuan yang tidak sewenang-wenang terhadap wanita. Bila dicermati, reaksi
keras tersebut sebenarnya juga merupakan inspirasi bagi wanita lain, baik untuk
menghindari perangkap penderitaan maupun berjuang keluar dari penderitaan yang kini
dialami.
Baik dari segi jumlah maupun mutu, novel-novel Nh. Dini yang menyangkut
penindasan laki-laki terhadap wanita sangat mengesankan sehingga membuat Teeuw
menyebutnya sebagai wanita pengarang terkemuka dalam sastra prosa Indonesia
modern [Teeuw, 1989: 192,194]. Sementara itu, Darma berani menjulukinya sebagai
satu-satunya wanita pengarang feminis [Darma, 2000: 12-3]. Karya-karyanya yang
ditulis sejak tahun 1960-an hingga sekarang dan mungkin sampai nanti baik yang berupa
cerpen, novel, maupun kisah biografis, penuh dengan serangan terhadap laki-laki,
sedangkan Ayu Utami, penulis Saman, dalam menulis berbeda dengan apa yang
dilakukan Nh. Dini. Karya Ayu Utami ini tidak menyerang laki-laki.
Begitu juga dalam menampilkan tokoh-tokoh wanitanya, Nh. Dini berbeda
dengan wanita-wanita pengarang lainnya. Wanita-wanita pengarang novel pop,
diantaranya seperti Marga T., Ike Supomo, La Rose, dan V. Lestari menyajikan wanita-

wanita tradisional: wanita yang tidak memberontak. Marianne Katopo dalam Raumanen
misalnya, tetap mempertahankan ciri wanita tradisional: wanita yang mengalah, tidak
menuntut ini-itu, tidak menganggap kubu laki-laki sebagai kubu musuh [Darma, 2000:
10-1].
Karya-karya Nh. Dini baik cerita pendek maupun cerita kenangannya, selalu
konsisten mencerminkan kemarahannya terhadap laki-laki, baik individu maupun tradisi
yang berorientasi pada kepentingan laki-laki. Kemarahan yang disebabkan karena
kedudukan wanita dianggap lebih rendah daripada kedudukan laki-laki sehingga laki-laki
dapat menindas wanita atau memperlakukan wanita dengan sewenang-wenang. Dalam
cerita pendeknya, Dua Dunia, protes terhadap norma-norma dalam masyarakat yang
dianggap tidak adil bagi wanita juga digulirkan. Yang dipertentangkan bukanlah
perbedaan biologis antara wanita dan laki-laki, melainkan nurture dalam sistem
patriarki. Kemarahannya mulai timbul ketika laki-laki menggunakan perbedaan tersebut
untuk menolak kesejajarannya dengan wanita karena menurut pendapatnya keunggulan
dan kelebihan laki-laki secara jasmani tidak seharusnya digunakan untuk menindas kaum
wanita.

SINOPSIS DUA DUNIA


Cerita pendek Dua Dunia menceritakan kisah perjuangan Iswanti, seorang janda
muda dengan satu anak. Dalam keadaan sakit, dia harus berjuang untuk mencari nafkah
dan mempertahankan putri semata wayangnya, Kanti, agar tidak jatuh ke tangan bekas
suaminya, Darwo. Penderitaan Iswanti sudah bermula ketika dia masih di bawah
tanggung jawab orang tuanya, yaitu ketika dia harus mengerjakan tugas-tugas berat yang
bukan menjadi tanggung jawabnya. Didikan dan perlakuan dari orangtuanya yang
menganut paham patriarki membawanya dari penderitaan hidup yang satu ke penderitaan
hidup yang lain. Perbuatan ibunya yang tidak bertanggung jawab dan suami hasil pilihan
orang tuanya, membuat kesengsaraannya semakin berkepanjangan. Semenjak awal
kehamilannya, dia harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya berselingkuh di depan
matanya sementara ibu mertua selalu menistanya. Sebagai wanita, bukan hanya dari
orang tua tetapi juga dari suami dan ibu mertua yang menganut paham patriarki, Iswanti
menuai penderitaan.
ASPIRASI FEMINISME NH. DINI
Dalam cerita pendek Dua Dunia Nh. Dini mengajukan protes terhadap pendidikan
orang tua terhadap anak perempuannya yang mengacu pada ajaran adat Jawa yang
dinilainya hanya berorientasi pada kepentingan laki-laki. Menurut Nh. Dini tujuan orang
tua mendidik anak perempuannya menjadi manusia yang berarti bagi keluarganya atau
membawa kebesaran bagi nama keluarga adalah bukan mendidik anak untuk menuruti
semua perkataan orang tua dan tanpa mempunyai pendapat sendiri atau tidak memberi
kesempatan anak menentukan pilihannya sendiri karena orang tua juga bisa melakukan
kesalahan. Dengan didikan yang salah tersebut akhirnya anak yang mengetahui apa yang

benar tidak bisa berbuat apa-apa untuk meluruskan kesalahan karena diajarkan untuk
selalu menuruti perkataan orang tua atau diajarkan untuk tidak membantah perkataan
orang tua.
Dalam Dua Dunia, si anak perempuan yang bernama Iswanti tidak berani berbuat
sesuatu untuk menyadarkan ibunya dari kesalahannya, yaitu berjudi dan menelantarkan
keluarganya atau melaporkan perbuatan ibunya kepada ayahnya karena mungkin saja
ibunya melarangnya untuk berbuat demikian. Karena ingin menjadi anak yang berbakti
maka diapun menurut perintah ibunya. Pernikahan Iswanti dengan suami pilihan orang
tuanya dapat saja dilandasi dengan kebutuhan orang tuanya akan uang akibat terbelit
hutang di sana-sini. Pemikiran demikian didasari oleh perbuatan orang tuanya yang
bersedia menerima uang tunjangan anak dari bekas suami Iswanti tanpa berkonsultasi
dengannya atau memikirkan kebahagiaan cucu perempuan mereka. Jika demikian, maka
kesalahan kembali dibuat oleh kedua orang tuanya, yaitu menikahkan anak perempuan
mereka karena desakan ekonomi bukan karena memikirkan kebahagiaan anak.
Nh. Dini mencoba berargumentasi bahwa mempersiapkan anak perempuan
menjadi manusia yang berarti bagi keluarganya atau membawa kebesaran bagi nama
keluarga juga bukan berarti hanya mempersiapkan anak perempuan untuk menjadi istri
dan ibu yang baik saja karena tujuan hidup perempuan bukan hanya untuk melayani
suami dan menjadi ibu yang baik saja. Ada tujuan yang lebih mulia selain daripada itu.
Definisi istri yang baik bukanlah istri yang bersedia menerima semua perkataan dan
perlakuan suami walaupun menyakitkan hati. Sebaliknya istri juga perlu memikirkan
kebahagiaannya sendiri. Dengan kata lain, istri berhak untuk mengajukan pendapatnya
sendiri, tidak asal menurut suami demi mempertahankan perkawinan yang serasi
[Djajanegara, 2000: 55-6,58,61]. Pendapat Nh. Dini ini tentu saja berlawanan dengan
definisi istri yang baik versi masyarakat yang menganut paham patriarki dalam
Perempuan di Titik Nol, yaitu bahwa istri yang baik harus dapat menyenangkan suami
tanpa mempedulikan kesenangan dan hak-hak pribadinya [lihat Saadawi, 2000: xii-iv].
Menurut Nh. Dini sejalan dengan pemikiran Djajanegara dalam Kritik Sastra Feminis,
Sebuah pengantar, membawa kebesaran bagi nama keluarga juga bukan berarti bahwa
istri tidak boleh bercerai jika dia tidak tahan dengan sikap suaminya karena menurut
Saadawi, perkawinan bukanlah penjara bagi wanita. Ditambahkannya, laki-laki tidak
dapat menggunakan perkawinan sebagai alat untuk mengikat wanita sehingga laki-laki
dapat menindas mereka [Saadawi, 2000: 126].
Dalam Dua Dunia, Nh. Dini mencoba menunjukkan dampak dari didikan orang
tua yang salah, yaitu: Iswanti menjadi korban kesewenang-wenangan orang lain, dalam
hal ini ibu kandung, suami dan ibu mertuanya. Dia tidak berani berbuat apa-apa untuk
melepaskan diri dari intimidasi orang lain dan dia tidak dapat menunjukkan
kemarahannya melihat perselingkuhan suami di depan mata. Dapat dikatakan, memberi
didikan yang salah kepada anak sama dengan mengkebiri anak sehingga menjadi korban
cemoohan dan hinaan orang lain. Anak akan menjadi pasif dan tidak dapat menghargai
dirinya sendiri. Dia dapat mengahargai orang tua, suami dan orang lain tetapi dia sulit
menghargai dirinya sendiri.
Lalu apakah definisi manusia yang berarti bagi keluarganya? Dalam kamus
Nh.Dini, manusia yang berarti bagi keluarganya adalah manusia yang dapat menghargai
dirinya sendiri dan orang lain. Tidak mau diperlakukan dan memperlakukan keluarganya

dengan sewenang-wenang. Manusia yang berarti bagi keluarga adalah juga manusia yang
dapat berguna bagi dirinya sendiri dan keluarganya sehingga kebahagiaan bersama dapat
terwujud.
Nh. Dini juga memprotes tindakan orang tua yang membeda-bedakan perlakuan
terhadap anak laki-laki dan anak perempuan karena anak perempuan juga mempunyai
potensi dan hak yang sama dengan anak laki-laki. Beliau sangat yakin bahwa jika anak
perempuan diperlakukan sama dengan anak laki-laki maka merekapun tidak akan
dipermainkan oleh perkawinan nantinya dan akan mencapai kemandirian ekonomi, tidak
harus bergantung kepada laki-laki. Kekerasan hidup yang dialami Iswanti sendiri adalah
akibat kesalahan orang tuanya.
Kesalahan orang tua Iswanti lainnya adalah memfokuskan diri anak perempuan
mereka untuk trampil mengerjakan tugas rumah tangga, termasuk mengasuh anak tanpa
membekali dia dengan pendidikan yang memadai agar dapat berwawasan luas dan siap
masuk dunia keja jika diperlukan. Ibu yang mempunyai wawasan luas dapat mendidik
anaknya dengan lebih baik baik. Menurut saya, Nh. Dini tidak alergi dengan segala
pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci dan mengasuh anak karena dalam
Dua Dunia dtampilkan juga kerinduan wanita untuk melakukan itu semua.
Pesan yang saya tangkap dari Dua Dunia adalah bahwa anak laki-laki dan wanita
harus dididik agar dapat menghargai satu sama lainnya. Pendidikan yang mereka
dapatkan tidak membuat mereka merasa superior sehingga memperlakukan lawan
jenisnya sebagai korban. Laki-laki dan perempuan seharusnya sama-sama memainkan
perannya dengan cantik sehingga perjalanan hidup dapat dilalui dengan mulus sambil
bergandeng tangan mengatasi tantangan hidup. Menurut saya, Nh. Dini dengan
pengalaman internasionalnya mempunyai pemikiran yang begitu jauh. Beliau yakin
bahwa kemajuan Indonesia akan cepat terwujud jika manusia laki-laki dan wanita sehati
dan sepikir membangun negeri ini bersama-sama, bukan saling menjatuhkan. Dengan
melihat kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah wanita dan pendidik
utama dalam keluarga adalah wanita maka tidak salah kalau Nh. Dini berjuang untuk
memajukan wanita dan bahkan tidak segan-segan menunjukkan kemarahannya untuk
menunjukkan apa yang diyakininya salah. Saya percaya bahwa Nh. Dini tentu sedih jika
beliau mengetahui peistiwa ini.
Pernah terjadi di Indonesia. Ada sepasang suami istri yang berkarir sebagai polisi,
Karir sang istri lebih melejit sehingga mempunyai pangkat yang lebih tinggi dari
suaminya. Karena mempunyai tangung jawab yang lebih besar, sang istri harus berada di
kantor lebih lama. Sang suami merasa tidak diperhatikan lalu mulailah timbul sakit hati.
Karena merasa kalah prestasi, sang suami tidak lagi berani mengutarakan isi hatinya
kepada istrinya. Sebagai gantinya, dia menceritakan segala konfliknya kepada temanteman sekampungnya. Komunikasi yang sehat dengan istri tidak berusaha dibangunnya.
Semakin hari semakin menggunung kebenciannya dan akhirnya konflik batinnya diakhiri
dengan tembakan tepat di kepala istrinya. Untuk sesaat, memang penderitaannya hilang
tetapi muncul penderitaan lain bagi anak-anaknya yang masih kecil dan kebencian baru di
pihak keluarga istrinya. Yang pasti, penderitaan lainnya telah siap menanti, yaitu
kehidupan yang penuh derita di penjara.
Kita tidak tahu siapa yang salah dan tidak perlu mencari tahu siapa biang
keladinya tetapi kita perlu bertanya apakah ini yang kita kehendaki?. Apakah Indonesia
akan maju jika peristiwa seperti ini terus terjadi?

SIMPULAN
Jika disimak dengan benar, dapat disimpulkan bahwa apa yang hendak diangkat
Nh. Dini pengarang wanita Jawa ini dalam Dua Dunia adalah wanita dan pria seharusnya
dapat menjadi mitra yang baik. Penghalang yang menghadang adalah adanya tradisi
patriarki yang mendudukkan pria di posisi lebih tinggi dari wanita sehingga wanita bukan
menjadi mitra melainkan obyek dari pria. Pesan yang ingin disampaikan dikemas
pengarang wanita Jawa ini dengan apiknya lewat kemarahan tokoh utama wanita yang
juga bersuku Jawa. Penggunaan pemain utama yang sama-sama berlatar belakang
masyarakat yang mengagungkan patriarki sengaja dilakukan untuk menajamkan pesan.
Sekali lagi, apa yang diperjuangkan bukannya agar wanita dianggap lebih hebat dari lakilaki tetapi agar wanita diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki atau diperlakukan
yang sama dengan laki-laki karena sebetulnya wanita mempunyai potensi yang sama
dengan laki-laki.
Komunikasi harus dijalin,baik antara suami dan istri maupun antara orang tua dan
anak perempuannya.jangan menganggap bahwa anak perempuan tidak mampu
memberikan solusi bagimaslah keluarga.
Nh. Dini menganggap bukan masalah suami menjadi kepala rumah tangga tetapi harus
betl-betul menjalankan fungsinya dengan baik.
Suami istri merupakan satu, saling melengkapi karena suami bukan manusia sempurna
yang dapat berbuat salah juga. Istri harus tahu kapan angkat bicara. Komunikasi 2 arah
perlu dijalin seperti dalam Kelahiran. Untuk dapat menjadi mitra yang baik maka wanita
perlu dihargai keberadaannya, diberi kesempatan untuk bicara.
Wanita itu hargailah perasaannya. Berilah ruang lingkup bergerak yang lebih luas bukan
hanya menjadi istri dan ibu yang baik, berguna bagi keluarga tapi juga mandiri secara
finansial dan berguna bagi drinya sendiri. Dan masyarakat. Keluarga jangan egois.
Wanita bukan hanya punya kewajiban tetapijuga hak secara seimbang.
Kemarahan yang ditonjolkan bukan diarahkan kepada orang laki-laki tetapi
kepada perbuatan laki-laki yang menindas wanita. Nh. Dini ingin meyadarkan wanita
bahwa kemarahan akibat ditindas bukan merupakan sesuatu yang negatif, sesuatu yang
harus dihindari tetapi hendaknya menyadarkan wanita untuk bangkit dan menolong diri
sendiri agar bebas dari penindasan.
Juga dapat disimpulkan bahwa Nh. Dini ingin menyadarkan pembaca atau
masyarakat bahwa pembedaan status suami dan istri hanyalah menimbulkan penderitaan
bagi wanita. Sudah waktunya bagi suami untuk berbesar hati mau berbagi kekuasaan
dengan istri demi kebahagiaan keluarga. Nh. Dini juga menekankan bahwa menjadikan
istri sebagai obyek tidak menguntungkan suami tetapi malah merugikan karena istri tidak
dapat mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya semaksimal mungkin. Intinya,
pengarang Jawa ini ingin membuka mata pembaca atau masyarakat bahwa lebih
menguntungkan dan membahagiakan jika wanita dan pria menjadi patner daripada
menjadi pesaing.

DAFTAR PUSTAKA
Darma, Budi. 2000. SastraMutakhir Kita. Horison. Tahun XXXIV. No. 2, h. 6-18.
Dini, Nh. 1983. Naluri yangMendasari Penciptaan. Dalam Pamusuk Eneste (Ed).
Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia, h.
110-124.
Dini, Nh. 1984. Sikap Saya Sebagai Pengarang. Dalam Dewan Kesenian Jakarta (Ed).
Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan, h. 11-20.
Dini. Nh. 1994. Sekayu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis, Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1999. Nh.Dini: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.
Saadawi, Nawal el. 2000. Perempuan di Titik Nol (diterjemahkan oleh Amir Sutaarga).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai