Akankah Pembangunan Sosial di Indonesia Berkembang?!
Di Indonesia, Pembangunan sosial yang seyogyanya adalah
kawan manunggal pembangunan ekonomi-memiliki sederetan masalah unik, atau unik dalam konteks kebudayaan organisasi politik. Hal itu merupakan cerminan kebijakan pemimpin dan pelaksana-pelaksana pembangunan. Singkatnya, lahirnya pelbagai masalah sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang terpampang, merupakan akibat kebijakan dan kepemimpinan masa rezim orde baru lalu. Kebijakan dan kepemimpinan itu di praktekan secara loyal yang pada sisi lain, disertai pelanggaran hak asasi manusia pada keseluruhan tataran dan wilayah pemerintahan. Berbeda dengan pembangunan yang ingin menyejahterahkan kehidupan ekonomi, pembangunan sosial bertujuan memampukan masyarakat dan individu untuk sedapat mungkin menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi intelektual, kerohanian, kognisi dan mental. Potensi-potensi ini dimungkinkan kalau telah terjadi kondisi kualitas hidup memuaskan yang menyangkut faktor-faktor keadilan sosial dan individual, ketertiban hukum, keamanan atau ketentraman, dan kelayakan hidup ekonomi. Penanggulangan dan peningkatan faktor-faktor ini merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh departemen-departemen pemerintahan masa lalu yang diorganisasikan melalui proyek-proyek pembangunan, dan dirancang bersama konsultan asing serta wakil negara pemberi bantuan dana. Pembangunan sosial yang multidimensional dengan jumlah dana yang tergolong luar biasa pada tiga dasa warsa yang lalu bila dirancang dan dilaksanakan sebaik mungkin dan tidak dikorupsi, tentunya telah membawa kemajuan besar bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi adalah kegagalan yang terefleksi, misalnya, pada populasi penduduk miskin di Jawa dan pedalaman Papua yang nyaris tidak mengalami perubahan kualitas hidup yang berarti; bahkan, tetap kaya dengan pelbagai masalah hidup yang tidak manusiawi. Kenyataan kegagalan telah diperbesar dengan akibat-akibat kegagalan pembangunan ekonomi yang berlangsung selama tiga dasa warsa terakhir, seiring dengan ketidakmampuan hukum dan pranata- pranata pengadilan menegakkan kebenaran bagi kepentingan keseluruhan bangsa. Keseluruhan panorama sosial mengisyaratkan berbagai bentuk ketidakadilan dan pelanggaran hukum yang diperlihatkan oleh penguasa dari berbagai elit dan kelompok-kelompok pengikutnya. Dengan sendirinya, kekecewaan masyarakat merupakan akibat logisnya. Namun demikian, kemampuan sosial politik masyarakat tidak berkutik membendungnya. Sebaliknya, yang terjadi adalah kompromi untuk turut bersama-sama menikmati kondisi anomali sosial yang mewabah ini. Apalagi, kompromi itu dijadikan sebagai strategi untuk dapat membebaskan diri dari urusan sekuriti militer dan polisi yang sangat ditakuti. Demi keselamatan, kedudukan, dan kepentingan bisnis, adalah bijaksana bila dapat mengikuti arus politik penguasa; apalagi, bila dapat masuk dalam jaringan sosial keluarganya dan kawan-kawannya. Kemunafikan bukan lagi suatu tabu budaya, melainkan bagian dari strategi politik untuk memperoleh sesuatu yang didambakan. Menyusuli kekecewaan rakyat adalah hilangnya kepercayaaan terhadap kepemimpinan dan pemerintahan nasional dalam menerapkan pancasila dan hukum secara adil. Hilang pula kepercayaan terhadap kemampuan meneruskan atau memperbaiki strategi pembangunan guna diterapkan secara merata. Kausalitas kekecewaan serta ketiadaan kepercayaan sosial yang mendalam membenarkan penyebutan keadaan anomali ini sebagai ‘krisis budaya’. Latar belakang krisis budaya yang digambarkan secara singkat diatas mengisyaratkan bahwa kegagalan program-program pembangunan sosial di departemen-departemen pemerintahan orde baru secara kuat dipengaruhi oleh kondisi krisis budaya. Bentuk- bentuk penyimpangan yang paling umum dijumpai, antara lain adalah korupsi anggaran program, pelaksanaan tender yang pemenangnya sudah ditentukan lebih dahulu, pemalsuan tanda bukti pembayaran (seperti tiket pesawat dan kuitansi), pelaksanaan program fiktif. Tentu saja tidak semua program berlangsung secara ‘morat-marit’. Banyak yang nampaknyaberlangsung secara wajar dan memperlihatkan keberhasilan. Sekalipun demikian, dalam kenyataanya keberhasilan yang dimaksud tidak pernah mencapai tingkatan 100% sesuai dengan rencana program. Patut diduga, keberhasilannya rata-rata keberhasilan 50%. Krisis budaya tidak berdiri sendiri dalam mempengaruhi program pembangunan sosial secara negatif. Ada atau tidaknya suatu krisis budaya, birokrasi dalam kebudayaan pemerintahan telah berkembang sebagai suatu permasalahan tersendiri. Ternyata, pemerintahan orde baru telah berfungsi sebagai lahan subur bagi perkembangannya. Dalam pemerintahan orde baru ini, birokrasi telah menguat akibat berintegrasinya birokrasi dengan feodalisme dalam wadah organisasi pemerintahan. Pembangunan sosial merupakan sumber dana yang dinikmati oleh para birokrat sebagai aktor-aktor pelaksana pembangunan. Kedudukan dalam tataran birokrasi menentukan besaran dana yang diperoleh seseorang. Bagi mereka, mutu keberhasilan program bukanlah tujuan utama. Pendapatan tambahan inilah yang diutamakan. Uraian diatas memperlihatkan adanya segolongan masalah yang bersumber pada organisasi pembangunan1. Rupanya, organisasi 1 Pendapat mengenai sumber masalah ini pernah dikemukakan oleh Foster dalam Applied Anthropology, pembangunan tidak henti-hentinya berfungsi sebagai sumber masalah pembangunan sosial, seperti yang dapat disaksikan hingga sekarang. Malahan, makin jelas terlibat bahwa masalah-masalah pembangunan sosial lebih banyak bersumber pada organisasi pembangunan itu sendiri. Jenis masalah lain bersumber pada kalangan profesional baik sebagai perencana maupun pelaksana program (konsultan). Bentuk tersebut misalnya adalah persepsi, nilai, norma, dan sikap yang tidak mendukung keberhasilan program, yang diperlihatkan dalam proses- proses komunikasi pada berbagai latar pembangunan. Lebih lanjut, hal ini dapat mengakibatkan terdistorsinya komunikasi. Bila hal itu berbentuk premis-premis budaya profesional yang mngendalikan perencanaan dan pelaksanaan program, maka sebagai masalah, hal itu disebut etnosentrisme profesional. Nampaknya, krisis budaya masih diperberat lagi dengan masalah-masalah pendekatan metodologi yang sebenarnya terlihat sejak pertama kali dikembangkannya Community Development sesudah perang dunia II. Dengan kata lain, sekalipun kita tidak mengalami krisis budaya, kinerja pembangunan sosial akan banyak dipengaruhi secara negatif oleh permasalahan ini, selain birokratisme dan etnosentrisme profesional tersebut diatas. Sejak berakhirnya perang dunia II, para ilmuwan sosial terutama Antropologi dan Sosiologi pedesaan telah memegang peranan menentukan dalam meneliti hambatan-hambatan dan potensi-potensi budaya, sosial dan psikis dari kelompok-kelompok kemasyarakatan sasaran program. Berkembangnya peranan mereka disebabkan oleh kegagalan berkali-kali program internasional, terutama seperti yang dialami program-program kesehatan internasional. Hasil-hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan program tidak didasarkan pada data tentang faktor-faktor budaya, sosial, dan psikis tersebut. Namun demikian, sekaligus kausalitas kegagalan telah diketahui, kinerja para perencana dan pelaksana program masih tetap kurang dari apa yang didambakan. Masih tetap banyak proyek yang belum berhasil sesuai dengan rencana. Hasil pemecahan masalah ini memperlihatkan bahwa penyebabnya justru bersumber pada organisasi program yang berwujud gejala-gejala persepsi pribadi, dan premis budaya profesional seperti yang telah dikemukakan diatas. Dengan demikian, perhatian terhadap faktor-faktor hambatan dan potensi perubahan pada kelompok sasaran, telah meningkat sejalan dengan perhatian terhadap masalah-masalah pada organisasi yang dimaksud. Seyogyanya, perubahan perhatian ini telah mempertajam metodologi dan pendekatan pembangunan sosial. Kenyataan dalam organisasi menunjukkan adanya kecenderungan bahwa anutan pendekatan pemimpin proyek seolah- Boston:Little, Brown tahun 1969 olah tidak dapat ditawar, karena dianggap terbaik/dan atau paling mutakhir. Pandangan seperti ini dapat menutup diskusi yang justru diperlukan untuk memperkaya keseluruhan pendekatan dan pelaksanaannya. Masalah ini, bila bertambah dengan ketidakjujuran penelitian, dan sikap atau kepribadian negatif anggota-anggota tim tertentu, tentu dapat mengurangi derajat keberhasilan program. Tulisan ini hanya sekedar merefleksikan apa yang saya temui selama proses penelitian ini berlangsung. Terutama berkaitan dengan pelaksanaan program-program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah termasuk didalamnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Pertanyaan yang dirumuskan sebagai judul tulisan ini tentu tidak dapat dijawab secara memuaskan dan lengkap melalui uraian diatas. Uraian diatas dimaksudkan untuk mengemukakan suatu kerangka permasalahan yang mencakup dimensi-dimensi yang saya anggap penting. Dimensi-dimensi ini diketengahkan untuk dikaji dan ditanggulangi oleh mereka yang berkepedulian terhadap perkembangan pembangunan sosial. Tentu saja penanggulangan krisis budaya dengan segala seginya merupakan urusan pemerintah. Keberhasilan penanggulanggannya dengan sendirinya mempengaruhi perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan sosial masa selanjutnya, terutama yang langsung dibiayai oleh pemerintah. Bagi program-program yang tidak, atau tidak langsung dibiayai oleh pemerintah, penilaian kemampuan organisatoris dan sumber daya manusia seyogyanya mulai dilaksanakan demi mengembangkan kegiatan-kegiatan organisasi sosial. Penilaian ini adalah wajar karena seharusnya merupakan suatu mekanisme dari organisasi yang diperlukan bagi pengembangannya. Kewajaran kepedulian dan kemauan baik pimpinan organisasi dan program inilah yang merupakan dasar pengembangan organisasi-organisasi pembangunan, apapun pendekatan pembangunan dan metodologi yang ditentukan.