Anda di halaman 1dari 12

Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo

Endro Probo

Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo

Gambaran Umum Kabupaten Ponorogo


Kabupaten Ponorogo mempunyai luas wilayah 1.371,78 km2 yang
terletak antara 111’ 17’- 111’ 52’ bujur timur dan 7’ 49’ – 8’ 20’ lintang
selatan dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2563 meter
diatas permukaan laut1. Adapun jarak ibu kota Ponorogo dengan ibu
kota Propinsi Jawa Timur (Surabaya) kurang lebih 200 Km arah timur
laut dan ke ibu kota negara (Jakarta) kurang lebih 800 Km kearah
barat2. Dengan luas wilayah yang demikian jumlah penduduk yang
dimiliki oleh Kabupaten Ponorogo adalah 841.497 jiwa yang tersebar
dalam 20 wilayah kecamatan dan terbagi dalam 26 kelurahan dan 277
desa3.

Berdasarkan jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo dan pembagian


wilayah administratifnya yang terdiri dari 20 Kecamatan, diperkirakan
jumlah aparat keamanan dalam hal ini kepolisian di Ponorogo terbagi
atas 1 institusi Polisi Resort (Polres) di tingkat Kabupaten yang
membawahi sekitar 20 Polisi Sektor (Polsek) di tingkat kecamatan4.
Dengan jumlah personel secara keseluruhan sekitar 850 personel
kepolisian di seluruh wilayah
Kabupaten Ponorogo5. Perkiraan tersebut dibuat karena belum
didapatkannya sumber resmi tentang jumlah aparat keamanan dalam
hal ini polisi di wilayah Kabupaten Ponorogo dari pihak Kepolisian
setempat6.

Secara socio-kultural sedikit terdapat perbedaan dikalangan


masyarakatnya yang didasarkan atas pemisahan geografis
kewilayahan oleh sungai Sekayu yang membentang dari selatan ke
utara wilayah Ponorogo, dan membelah Kabupaten Ponorogo menjadi
dua, yaitu wetan kali (sebelah timur sungai) dan kulon kali (sebelah
barat sungai). Stereotype yang dimunculkan atas batas sungai
tersebut adalah, masyarakat wetan kali merupakan masyarakat yang

1
Lihat Ponorogo Dalam Angka Tahun 2001. Hal. 2
2
Lihat Hasil Pengolahan Sensus Penduduk 2000 Di Kabupaten Ponorogo. Hal. 4
3
Ibid
4
Polsek merupakan institusi pada level Kecamatan dan hal umum yang terjadi di
Indonesia jumlah Polsek mengikuti jumlah kecamatan yang terdapat di suatu wilayah
Kabupaten.
5
Perkiraan jumlah personel kepolisian tersebut didasarkan atas Ratio Police (RP) PBB
yang 1:400, sedangkan Polri 1:1.000. Lihat Polisi-Polisi yang cuma Bisa Berdoa.
Artikel yang ditulis oleh Anton Tabah, dalam Media Indonesia - Opini (14/11/2000
00:56 WIB)
6
Sumber resmi tersebut berupa data sekunder yang berkaitan dengan jumlah
personil kepolisian, perbandingan personil polisi berdasarkan gender, serta
penyebaran jumlah personil kepolisian di tingkat Kecamatan.

Page 1 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

Santri dan Priyayi7. Sedangkan masyarakat kulon kali adalah


masyarakat yang abangan. Justifikasi terhadap 2 stereotype tersebut
adalah di wilayah wetan kali banyak terdapat Pondok Pesantren, salah
satunya Pondok Pesantren Gontor serta wilayahnya banyak yang
berada di pusat kota Ponorogo. Sedangkan daerah kulon kali, adalah
suatu tempat asal mula berkembangnya kesenian reog Ponorogo,
sehingga tokoh warok banyak ditemukan di wilayah kulon kali ini8. Hal
yang lain adalah daerah kulon kali sempat menjadi tempat
persembunyian dan tertangkapnya tokoh pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 di Madiun bernama Musso.

Masyarakat wetan kali digambarkan sebagai masyarakat yang


mempunyai karakter halus dalam berperangai dan lebih banyak
bermata pencaharian sebagai pegawai dan sebagai tokoh agama
Islam, sedangkan masyarakat kulon kali adalah masyarakat yang
brangasan (kasar) sebagai implikasi dari karakter warok dalam
kesenian reog Ponorogo dengan mayoritas mata pencahariannya
adalah petani. Namun perbedaan stereotype sosio cultural tersebut
tidak menjadikan polarisasi dalam interaksi yang terjadi diantara
sesama anggota masyarakat Kabupaten Ponorogo secara umum.

Type konflik utama yang menjadi perhatian besar di Kabupaten


Ponorogo berdasarkan sosio cultural masyarakatnya seperti tersebut
diatas adalah konflik antar perguruan silat yang melibatkan sesama
anggota perguruan silat yang berbeda dengan pemicu awal selalu
persoalan pribadi. Persoalan tersebut menjadi isu kelompok yang lebih
besar karena rasa persaudaraan sesama anggota kelompok dalam
satu perguruan dengan mengidentifikasikan kelompok yang lain
sebagai musuhnya9.

Kasus yang melibatkan perkelahian antar perguruan silat di wilayah


Kabupaten Ponorogo Propinsi Jawa Timur mulai merebak pada awal
tahun 2000 an10. Sebagai suatu Kabupaten di wilayah Karesidenan
Madiun, Ponorogo sedikit banyak juga terkena imbas dari
7
Tipologi masyarakat Jawa oleh Clifford Geertz dalam, Abangan Santri, dan Priyayi
Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta, PT Pustaka Jaya Tahun 1981. Geertz
mengelompokkan masyarakat jawa dalam 3 kategori tersebut. Priyayi adalah orang-
orang yang memiliki hubungan dengan aristokrasi Jawa kuno yang kemudian
dipergunakan Belanda sebagai pegawai colonial. Golongan ini adalah kaum elit Jawa
yang dicirikan memiliki sopan santun yang sangat halus dan ilmu kebatinan, serta
menekankan keagamaan pada elemen Hindu dan sinkretisme Jawa. Santri secara
tradisonal dihubungkan dengan pedagang-pedagang pesisir yang mnekankan
unsure-unsur islam dan menolak unsure-unsur pra islam. Abangan atau tradisi petani
Jawa dicirikan dengan beraneka ragam kepercayaan spiritual dan ritual yang
menekankan unsure-unsur animesme dan sinkretisme Jawa.
8
Lihat Analysis Pieces Sosio Cultural Setting Ponorogo Pada Phase I dan IIa penelitian
ini
9
Lihat Studi Kasus Kode. 2, 8, dan 15. phase I

Page 2 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

perkembangan kelompok perguruan silat yang berpusat di Madiun.


Kasus perkelahian kelompok silat ini sempat menyita perhatian
berbagai kalangan masyarakat yang ada di wilayah Ponorogo dan
sekitarnya karena dampak yang ditimbulkan atas kasus konflik
semacam ini cukup besar dirasakan oleh kalangan anggota
masyarakat dari berbagai lapisan.

Type konflik yang lain adalah konflik yang berkaitan dengan Pemilihan
Kepala Desa, fenomena tersebut hampir terjadi di seluruh desa di
wilayah Kabupaten Ponorogo11. Konflik ini dipicu dan disebabkan oleh
beberapa faktor seperti pencurian suara, perjudian, dan Money
politic.12 Eskalasi dari konflik tersebut akan semakin besar apabila para
kandidat dalam Pemilihan Kepala desa tersebut memiliki jumlah
pendukung yang sama-sama besar dan mempunyai fanatisme yang
tinggi terhadap calon yang didukungnya.

10
Lihat berbagai studi kasus perselisihan antar kelompok silat dalam Conflict
Negoitation Study Phase 2a dan 2b.
11
Lihat Transkrip kode 3, 13, dan 15. Phase I
12
Lihat studi kasus kode. 3, 10, 15. phase I

Page 3 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

PETA WILAYAH POLISI SEKTOR (POLSEK) KABUPATEN


Polisi Sektor
PONOROGO
(Polsek)

Polisi Resort
(Polres)

Page 4 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

Aparat Kepolisian dan Konflik antar Kelompok Silat


Seperti telah diketahui sebelumnya, kasus perselisihan antar kelompok
silat merebak di Ponorogo antara tahun 1998 – 2000.13 Banyak pihak
menganggap bahwa kasus ini berhubungan dengan masalah politis,
yaitu pencalonan kembali Markum Singodimedjo menjadi Bupati
Ponorogo untuk periode tahun 2000 – 2005. Markum dianggap tidak
akan terpilih kembali sehingga dia menciptakan kondisi tidak aman.
Ketika masyarakat mulai resah, Markum berlagak menjadi orang yang
bisa mengembalikan keamanan Ponorogo. Kesan bahwa dia bisa
mengendalikan keamanan ini yang kemudian menjadi siasat untuk
menarik simpati masyarakat Ponorogo14.

Dalam kondisi yang lain, aparat keamanan dapat melakukan


pencegahan sebelum timbul perkelahian yang besar antar anggota
kelompok silat. Aparat keamanan bisa melakukan tindakan
pencegahan ini karena mereka telah mengetahui gejala yang
mengarah pada pertikaian besar. Kasus seperti ini tampak pada
perselisihan antara kelompok silat dari desa Biting, Kecamatan
Badegan dengan anggota kelompok silat dari Purwantoro [salah satu
kecamatan di Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah yang
berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo]. Perkelahian tidak sempat
terjadi karena polisi dari Polres Ponorogo dan Polres Wonogiri telah
mengetahui isu perkelahian sehingga mereka bisa melakukan
antisipasi dengan menjaga perbatasan kedua kabupaten15.

Kasus yang menunjukkan bahwa polisi bisa menghentikan perselisihan


terlihat ketika terjadi perkelahian massal di Desa Kunti, Kecamatan
Sampung. Perselisihan ini dipicu oleh perkelahian antar kelompok silat
pada saat pertunjukan campursari16 di Desa Pagerukir yang berbatasan
dengan Desa Kunti. Perkelahian itu kemudian berbuntut penyerbuan
oleh anggota SH Terate ke rumah Ketua Ikatan Kera Sakti di Desa
Kunti. Polisi dapat bertindak dengan cepat karena mereka sudah
diminta menjaga pertunjukan campursari. Ketika personil yang
menjaga pertunjukan tersebut tidak mampu mengatasi perkelahian
maka mereka dengan cepat bisa memita bantuan ke Polsek Sampung
dan Polres Ponorogo. Akan tetapi, Polisi tidak dapat berbuat banyak
ketika mereka tidak diminta untuk menjaga pertunjukan campursari
seperti yang terjadi di Desa Sampung. Polisi tidak dapat bertindak

13
. Lihat studi kasus perselisihan antar kelompok silat di Desa Sampung, Desa
Pagerukir, dan Desa Biting.
14
Lihat wawancara no. 10 (Penelitian fase I) dengan Ketua LSM Peduli Ponorogo, 18
Februari 2003
15
Lihat Transkrip Kode 837_Modo_Pilkades, Silat_Biting_12 Juli 2003. Phase 2b
16
. Sebuah seni pertunjukan yang menampilkan lagu-lagu Jawa

Page 5 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

dengan cepat untuk mengendalikan massa yang mengamuk karena


jumlah massa yang sangat banyak dan menyebar.17

Kasus perselisihan antar kelompok silat memang sering kali dipicu oleh
pertunjukan-pertunjukan kesenian, misalnya campursari, wayang, atau
dangdut, yang diadakan pada malam hari. Biasanya anggota-anggota
kelompok silat yang berbeda membuat kelompok yang berbeda pula
ketika mereka menonton pertunjukan tersebut. Perkelahian antar
pemuda yang berlainan kelompok silat sering kali terjadi ketika
menonton pertunjukan tersebut. Senggolan ketika sedang berjoget
atau hanya karena saling melihat bisa menjadi pemicu perkelahian.
Masalah sepele bisa menjadi perkelahian karena kelompok-kelompok
penonton ini selalu menenggak minuman keras ketika hendak atau
selama menonton pertunjukan.

Masalah perkelahian antar kelompok silat pada saat pertunjukan ini


bisa menjadi lebih besar karena setelah perkelahian kecil, anggota
kelompok silat selalu mengajak teman-teman mereka untuk
melakukan perkelahian massal dengan anggota kelompok silat yang
lain. Di Ponorogo, masalah perkelahian beberapa orang bisa membuat
seluruh anggota sebuah kelompok silat bermusuhan dengan anggota
kelompok silat yang lain. Keadaan seperti ini bisa terjadi karena di
dalam sebuah kelompok silat, keguyuban dan persatuan selalu
dibentuk dan disahkan secara terus menerus dan kontinyu, misalnya
lewat sumpah dan pengesahan. Perselisihan dengan kelompok lain
justru muncul dari penanaman ideologi keguyuban dan kerukunan
antar anggota dalam sebuah kelompok silat. Sepertinya keguyuban
dan persatuan dalam sebuah kelompok silat menjadi lebih terasa
ketika seorang anggota membela temannya pada saat berhadapan
dengan kelompok lain, seakan-akan memang selalu diperlukan musuh
untuk menggalang persatuan.

Kasus perselisihan antar kelompok silat menurun dengan cepat sejak


Hari Harnowo menjadi Kapolres Ponorogo pada tahun 2000. Berbagai
pihak menganggap bahwa Hari Harnowo bisa bertindak tegas terhadap
pelaku perselisihan18. Di sisi lain, Hari Harnowo juga bisa merangkul
pimpinan-pimpinan kelompok silat untuk berdialog dan mencoba
mengajak pimpinan kelompok silat untuk mengendalikan anggota
kelompok mereka masing-masing19. Sayangnya Hari Harnowo baru
berhasil mempertemuan kelompok silat pada tingkat elit-elit
kelompok silat , belum mencapai anggota kelompok silat di level
bawah.
17
. Lihat studi kasus “Amuk Massa; Pelemparan Rumah pada Perselisihan Campursari
di Kulon Pasar Sampung”
18
Lihat studi kasus kode 8, 14, 18. phase I
19
Lihat Transkrip kode 27. phase 2a

Page 6 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

Sebenarnya anggota kelompok silat sangat menghormati senior dan


pelatih mereka. Di dalam sebuah kelompok silat ada penjenjangan
secara hierarkis dari anggota baru, meningkat terus hingga sampai
pada pimpinan tertinggi. Semua perkataan pelatih akan dituruti oleh
anggota kelompok silat, apalagi jika perkataan itu berasal dari
pimpinan tertinggi. Usaha Hari Harnowo mempertemukan elit-elit
kelompok akan benar-benar berhasil jika elit-elit kelompok silat bisa
memberikan pengarahan kepada anggota mereka masing-masing.
Akan tetapi, sampai saat ini belum ada usaha dari pimpinan kelompok
silat untuk mengantisipasi perselisihan anggota kelompok mereka
dengan anggota kelompok yang lain.

Siasat lain yang dipergunakan oleh Hari Harnowo untuk meredam


konflik antar kelompok silat adalah dengan memasukkan personil polisi
menjadi anggota kelompok silat-kelompok silat yang ada di
Ponorogo20. Polisi yang masuk dalam sebuah kelompok silat
diharapkan mengetahui berbagai isu yang berkembang dalam
kelompok silat. Mereka bersama dengan pemimpin kelompok silat bisa
mencari siapa pelaku perkelahian, pemukulan, atau pelemparan
rumah. Pelaku kemudian diserahkan kepada polisi untuk diproses
sesuai dengan peraturan. Personil polisi yang menjadi anggota
kelompok silat juga bertugas untuk mengetahui ideologi kelompok silat
yang dimasukinya sehingga penyelesaian masalah dapat dilakukan
dengan lebih baik.

Salah seorang polisi yang menjadi anggota kelompok silat adalah


Hendrik. Dia adalah anggota SH Terate dan saat ini bertugas di Polsek
Sampung21. Hendrik bisa mengendalikan anggota-anggota SH Terate
karena posisinya sebagai polisi dan sekaligus anggota SH Terate.
Perannya mengatasi anggota SH Terate sangat terlihat ketika teradi
kasus pelemparan rumah di Desa Sampung. Anggota SH Terate yang
melempari rumah bisa dibubarkan oleh Hendrik. Saat ini polisi baru
bisa mengendalikan konflik-konflik kecil secara parsial, belum sampai
pada penyelesaian isu besar yang melatarbelakangi konflik antar
kelompok silat.

20
Lihat transkrip kode. 8 dan studi kasus kode 8b. phase I
21
Lihat transkrip kode 8. phase 2a. lihat juga studi kasus Ketika Saudara Tak Lagi
Ramah ;
(Perkelahian Antar Perguruan Silat SH Terate dan SH Winongo Di Dusun Sampung
Kidul Desa Sampung)

Page 7 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

Type Indicator Success


Martial Art Violence Community Good
Happiness
Keeping Security Good
No Human Right Good
Abuse
Following Due Bad
Proccess
No Escalation Good

Aparat Kepolisian dan Konflik dalam Pemilihan Kepala Desa


Konflik dalam pemilihan kepala desa menjadi salah satu masalah yang
terjadi hampir di seluruh Kabupaten Ponorogo. Pemilihan kepala desa
juga selalu dijadikan ajang untuk berjudi. Konflik dalam pemilihan
kepala desa berawal dari kekecewaan pendukung calon kepala desa
yang kalah dan masalah kekecewaan karena kalah dalam perjudian.
Kekecewaan ini lah yang menjadi pemicu konflik dalam pemilihan
kepala desa. Ada kasus konflik dalam pemilihan kepala desa yang
berakhir dengan kekerasan, misalnya saja pembakaran Balai Desa
Gelangkulon. Ada juga yang berakhir dengan damai, misalnya
pemilihan Kepala Desa Pagerukir dan Pemilihan Kepala Desa
Dayakan.22

Pada pemilihan Kepala Desa Gelangkulon, aparat keamanan tidak


mencium akan adanya indikasi bahwa pihak-pihak yang kalah akan
membakar balai desa padahal pemilihan itu menyisakan masalah pelik
sampai berbulan-bulan. Aparat keamanan (Polisi dan Tentara) baru
mengamankan keadaan ketika peristiwa pembakaran balai desa telah
terjadi. Pelaku pembakaran juga tidak tertangkap karena tidak ada
cukup bukti untuk menyatakan seseorang sebagai terdakwa.

Pada pemilihan Kepala Desa Pagerukir dan Kepala Desa Dayakan,


aparat keamanan bisa mengendalikan keadaan sehingga konflik tidak
berakhir dengan kekerasan. Aparat keamanan telah bersiaga beberapa
hari menjelang pemilihan kepala desa dilaksanakan dan tetap
memonitor keadaan desa setelah pemilihan kepala desa selesai.
Tindakan pengamanan pra dan pasca pemilihan kepala desa ini
nampaknya menjadi salah satu faktor yang bisa membuat konflik
berakhir dengan damai.

. Lihat studi kasus pemilihan Kepala Desa Gelangkulon, pemilahan Kepala Desa
22

Paerukir, dan pemilihan Kepala Desa Dayakan

Page 8 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

Type Indicator Success


Head Village Community Good
Election Violence Happiness
Keeping Security Good
No Human Right Good
Abuse
Following Due Good
Proccess
No Escalation Good

Akses Masyarakat pada Aparat Kepolisian


Permasalahan yang berkaitan dengan perebutan sumber daya alam
ataupun domestic violence, tidak pernah sampai ke pihak kepolisian
proses penanganannya. Penyelesaian masalah tersebut selalu selesai
pada tingkat desa melalui tokoh-tokoh masyarakatnya. Polisi akan
bertindak apabila persoalan tersebut terutama masalah perebutan
sumber daya alam memiliki eskalasi konflik yang besar di masyarakat.
Sedangkan, persoalan yang berkaitan dengan domestic violence pada
masyarakat Ponorogo yang paternalistik dianggap sebagai suatu
persoalan pribadi dalam suatu rumah tangga yang tabu untuk
diketahui oleh orang lain, sehingga mekanisme penyelesaian masalah
tersebut lebih banyak diselesaikan oleh intern keluarga itu sendiri
ataupun oleh tokoh-tokoh masyarakat yang ada.

Masyarakat di pusat kecamatan atau masyarakat desa yang dekat


dengan pusat pemerintahan di kecamatan cenderung lebih banyak
menghubungi aparat keamanan untuk menyelesaikan persoalan
mereka dibandingkan dengan masyarakat desa yang jauh dari
kecamatan. Masalah ini berkaitan dengan soal akses, masyarakat di
dekat pusat pemerintahan di kecamatan lebih mudah menghubungi
aparat keamanan jika mereka menemui masalah, dan permasalahan
tersebut biasanya berkaitan dengan masalah kriminalitas seperti
pencurian ataupun perampokan. Di pihak lain aparat keamanan lebih
mudah mengetahui persoalan yang dihadapi masyarakat disekitar
tempatnya bertugas.

Masyarakat dari desa yang jauh dari kecamatan kesulitan untuk


menghubungi aparat keamanan karena persoalan jauhnya jarak yang
harus mereka tempuh. Akan tetapi, masyarakat yang jauh dari pusat
pemerintahan di kecamatan cenderung mampu menyelesaikan
persoalan mereka sendiri. Mereka memiliki institusi lokal, atau paling
tidak memiliki tokoh masyarakat yang diyakini dapat menyelesaikan
persoalan. Tokoh masyarakat ini bisa berasal dari pejabat
pemerintahan desa atau tokoh informal yang lain, misalnya dukun atau
tokoh adat.

Page 9 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

Tokoh masyarakat biasanya berfungsi sebagai orang ketiga yang


menjadi mediator antar orang-orang yang berkonflik. Peran sebagai
mediator ini bisa mereka lakukan karena dalam terminologi
masyarakat Jawa dikenal istilah orang ketiga atau orang yang berpean
sebagai perantara dua pihak dalam menyelesaikan masalah. Orang
ketiga ini biasanya adalah orang yang dihormati oleh kedua belah
pihak yang bertikai. Dia juga berada pada posisi netral yang tidak
memihak salah seorang yang sedang bertikai. Akan tetapi,
perkembangan organisasi-organisasi sosial --termasuk partai politik
dan kelompok silat-- membuat orang mengidentifikasikan dirinya
sebagai bagian dari kelompok yang diikutinya. Kondisi ini kemudian
membuat tokoh masyarakat mulai kehilangan kemampuan untuk
menjadi mediator dalam menyelesaikan perselisihan karena
masyarakat lebih patuh kepada pimpinana mereka di dalam organisasi
yang mereka ikuti.

Pandangan Masyarakat Terhadap Kinerja Kepolisian & Kasus


Yang Pernah Terjadi Di Ponorogo
Kendala yang dihadapi aparat kepolisian dalam menjaga ketentraman
kehidupan masyarakat berawal dari oknum aparat itu sendiri. Banyak
pihak mensinyalir bahwa kurang berhasilnya aparat kepolisian
meredam konflik antar kelompok silat karena masih banyak oknum
aparat keamanan yang membiarkan peredaran minuman keras yang
menjadi salah satu penyebab maraknya perkelahian antar anggota
kelompok silat23. Oknum aparat bukan hanya membiarkan peredaran
minuman keras tersebut, mereka bahkan justru ikut menikmati
minuman keras yang seharunya mereka basmi.

Selain masalah minuman keras, oknum aparat keamanan sering


melindungi kegiatan perjudian di tengah masyarakat dengan imbalan
tertentu24. Oknum-oknum ini juga sering terlibat dalam perjudian pada
pemilihan kepala desa sehingga mereka tidak bisa bertindak secara
maksimal ketika mengahadapi persoalan-persoalan pasca pemilihan
kepala desa. Kondisi ini menjadi dilematis karena di satu sisi aparat
keamanan menjadi penegak hukum yang mestinya mengantisipasi
kegiatan-kegiatan kriminal --misalnya perjudian dalam pemilihan
kepala desa-- tetapi dalam kenyataannya mereka sendiri terlibat
dalam tindakan kriminal tersebut.

Kegiatan kriminal lain yang back-up oleh aparat keamanan adalah


masalah pencurian kayu. Pihak Perhutani di tingkat kecamatan
Sampung misalnya, mensinyalir bahwa beberapa oknum Polisi dan
Koramil di Kecamatan Sampung menjadi pelindung pencuri kayu.
23
lihat Transkrip Kode 29. Phase. 2a
24
lihat Transkrip Kode 16. Phase. 2a

Page 10 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

Mereka menganggap bahwa pencurian kayu ini menjadi sangat besar


karena aparat tidak melakukan tindakan yang tegas kepada pelaku
pencurian25. Pencuri yang tertangkap basah pun tidak diproses sesuai
dengan hukum formal yang berlaku.

Kasus penganiayaan meningkat hampir 100% pada tahun 1999


dengan jumah kasus 148 dari tahun sebelumnya (1998) yang hanya 82
kasus. Meningkatnya kasus penganiayaan ini berhubungan dengan
kejadian-kejadian lain yang berlangsung di tengah masyarakat,
misalnya pada masa kampanye Pemilihan Umum tahun 1999 dan
ketika trend bacok lari sedang marak di Ponorogo.26

Banyaknya kasus penganiayaan dari tahun 1998 sampai tahun 2000


dapat dihubungkan dengan kondisi keamanan Kabupaten Ponorogo
pada tahun-tahun tersebut. Beberapa informan menyatakan bahwa
antara tahun 1998 sampai tahun 2000 tersebut terjadi banyak kasus
perselisihan antar kelompok silat dan kasus bacok lari. Beberapa
informan mengidentifikasi kekisruhan Ponorogo berhubungan dengan
masalah politis, yaitu pencalonan kembali Markum Singodimedjo
menjadi Bupati Ponorogo pada tahun 2000.

Salah seorang informan dengan tegas mengatakan bahwa kekacauan


ini sengaja diciptakan oleh Markum untuk memenangkan pemilihan.
Markum sengaja menciptakan kekacauan, kemudian dia berlagak
menjadi orang yang sanggup meredakan kekacauan tersebut untuk
menarik simpati masyarakat Ponorogo. Kekacauan di Kabupaten
Ponorogo menurun kembali setelah Markum terpilih menjadi Bupati
Ponorogo.27

Tingginya tingkat kasus kekerasan yang terjadi dari tahun 1998


sampai tahun 2000 juga dapat dihubungkan dengan euforia reformasi
yang sedang melanda Indonesia. Beberapa informan menyatakan
bahwa polisi tidak dapat berbuat lebih banyak karena takut dikatakan
melanggar HAM28. Beberapa informan yang lain mengatakan bahwa
pada saat itu tidak ada personil polisi yang benar-benar bisa bertindak
tegas terhadap pelaku-pelaku kekerasan29. Turunnya angka kekerasan
yang terjadi di Ponorogo setelah tahun 2000 dikatakan sebagai efek
dari personaliti Kapolres Ponorogo yang baru. Banyak pihak
menganggap bahwa sejak tahun 2000, ketika AKBP Hari Harnowo
menjadi Kapolres Ponorogo, kekerasan di Ponorogo berkurang dengan

25
lihat Transkrip Kode 34. Phase. 2a
26
. Ibid, lihat juga wawancara-wawancara yang lain pada penelitian fase I dan fase II
27
. Lihat wawancara no. 10 (Penelitian fase I) dengan Ketua LSM Peduli Ponorogo, 18
Februari 2003
28
Lihat Transkrip Kode. 53. phase 2a.
29
lihat Transkrip Kode 29. Phase. 2a

Page 11 of 12
Peran Kepolisian Dalam Konflik Di Kabupaten Ponorogo
Endro Probo

cepat30. Akan tetapi, pandangan bahwa peran polisi menjadi besar


dengan hadirnya sosok Hari Harnowo di Ponorogo ini sangat
berbahaya. Masyarakat hanya memandang pimpinan polisi secara
individual dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di Ponorogo
tetapi tidak menganggap bahwa polisi secara institusional bisa
berperan mengendalikan keamanan31. Pada akhirnya, ketika Hari
Harnowo meninggalkan Ponorogo pada bulan Februari 2003, maka
kekerasan bisa meningkat kembali dengan cepat. Beberapa orang
informan memprediksi bahwa perselisihan antar kelompok silat akan
mencuat lagi.

30
lihat Transkrip Kode 65. Phase. 2a
31
lihat Transkrip Kode 29. Phase. 2a

Page 12 of 12

Anda mungkin juga menyukai