Anda di halaman 1dari 4

Mengidentifikasi Kemiskinan Masyarakat

Oleh: Endro Probo

Penanggulangan Kemiskinan Global

Kemiskinan merupakan sebuah kata yang mungkin saat


ini selalu bergema di telinga kita manakala menyaksikan
tayangan di televisi atau berita-berita media massa yang
menggambarkan betapa minimnya keadaan hidup anak
manusia di satu belahan dunia tertentu. Mungkin saja hal itu
kita saksikan di Afrika, Asia, bahkan mungkin tidak jauh dari
tempat kita membaca tulisan sederhana ini, di negara kita
sendiri, Indonesia. Dalam konteks Indonesia telah sering kita
melihat berbagai program yang dirancang pemerintah untuk
menaggulangi kemiskinan. Sebut saja program IDT (Inpres Desa
Tertinggal), JPS (Jaring Pengamana Sosial), dan PDM-DKE
(Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak
Krisis Ekonomi). Sepertinya tak akan pernah habis kita
berbicara apabila menyangkut masalah kemiskinan di republik
yang genap berusia 60 tahun ini. Terkait dengan hal tersebut,
muncul pertanyaan, apakah negeri ini hanya berdiri sendiri
menghadapi kemiskinan yang meluas di berbagai penjuru
wilayahnya?
Jawaban untuk pertanyaan di atas adalah ?tidak?.
Memasuki milenium ketiga, kemiskinan telah menjadi isu global
yang perlu untuk dipecahkan bersama. PBB menyelenggarakan
sebuah pertemuan akbar yang disebut ?Millenium Summit?
pada tanggal 6-8 September 2000. Pertemuan tersebut berhasil
merumuskan dokumen ?The United Nations Millenium
Declaration? (TUNMD) dimana dalam pengantarnya Sekjen PBB
Kofi Annan menegaskan bahwa kemiskinan merupakan salah
satu pertanyaan besar yang harus dijawab oleh seluruh negara
di dunia,
Dalam dokumen TUNMD tersurat butir-butir penting yang
disepakati dalam pertemuan yang dihadiri oleh 147 kepala
negara dan pemerintahan di seluruh dunia tersebut. Butir-butir
penting itu disebut ?Millenium Development Goal 2015?. Intinya
terdapat beberapa sasaran yang disepakati menjadi target
bersama seluruh negara di dunia, khususnya dalam
penanggulangan kemiskinan. Salah satu yang dapat disebutkan
disini adalah pada tahun 2015 semua negara dapat
menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan hingga setengah
dari jumlah yang ada sekarang. Perlu diketahui, bahwa jumlah
orang miskin di dunia 1,2 milyar jiwa atau dengan kata lain 1
dari 6 orang di dunia itu miskin.
Bertolak dari realita tersebut, sebuah pertemuan akbar
lain yang diselenggarakan oleh para pegiat kredit mikro seluruh
dunia diadakan di Washington DC pada bulan Februari 1997.
Pertemuan yang disebut ?Microcredit Summit? ini mengibarkan
kampanye global untuk menjangkau 100 juta keluarga
termiskin di dunia, khususnya kaum perempuan, dengan kredit
mikro untuk menciptakan lapangan kerja mandiri dan kegiatan
keuangan mikro yang berkelanjutan sebagaimana tertuang
dalam 4 tema inti pertemuan. Semangat yang menjadi
pendorong dalam pertemuan itu dan kampanye-kampanye
selanjutnya adalah dorongan untuk memusatkan perhatian
pada kaum termiskin (the poorest of the poor) di negara-negara
miskin dan berkembang dimana mereka merupakan 50% dari
orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Kritik terhadap Pendekatan Konservatif

Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana


mengidentifikasi kaum miskin yang membutuhkan pelayanan.
Banyak kejadian yang dialami oleh lembaga-lembaga yang
bergerak di bidang pengembangan masyarakat maupun
pengembangan keuangan mikro bagi masyarakat miskin yang
kurang atau bahkan tidak mampu menjangkau kaum miskin itu
sendiri. Yang umum terjadi adalah bahwa kaum masyarakat
termiskin sering menjadi eksponen paling akhir terjangkau oleh
program-program pembangunan. Menilik dari pengalaman-
pengalaman tersebut, dapat dilihat bahwa lembaga yang ingin
melayani masyarakat miskin justru terjebak karena tidak dapat
menjangkau sasaran yang tepat. Ini dikarenakan
kekurangtepatan lembaga dalam melakukan identifikasi
kemiskinan di masyarakat.
Metode-metode yang jamak dilakukan dalam
mengidentifikasi kemiskinan di masyarakat saat ini umumnya
belum menjawab pertanyaan masyarakat mana yang akan
dilayani. Sebagai contoh, apabila kita bermaksud
mengidentifikasi masyarakat miskin di pedesaan dengan
berpatokan pada kondisi fisik rumah, apakah hal itu bisa
menjadi suatu dasar yang sahih? Di wilayah pedesaan di Pulau
Jawa umumnya orang akan mendapati rumah warga yang
cukup besar, berlantai keramik, dan kondisi cukup nyaman.
Namun ketika ditengok, belum tentu rumah itu berisi perabotan
layaknya orang yang hidup cukup. Rumah itu cenderung kosong
melompong. Lalu, jika ditanyakan kepada empunya rumah,
berapa lama dia membangun rumah sebesar itu, mungkin
jawabnya akan mengejutkan. Mungkin 5 tahun, 10 tahun, atau
mungkin 15 tahun. Mengapa bisa terjadi? Di wilayah pedesaan
masih terdapat banyak lahan kosong untuk bisa dibangun
rumah di atasnya, jadi orang masih punya peluang membangun
rumah berukuran besar (berbeda dengan di kota besar yang
lahan kosong sudah sangat minim). Sementara warga desa
tersebut tidak bisa serta merta membangun rumah besar itu,
karena kondisi sosial-ekonomi keluarga tidaklah mampu. Jalan
keluarnya dia membangun rumah setahap demi setahap dan itu
membutuhkan waktu tahunan. Tahun pertama hanya mampu
membuat pondasi, tahun kedua mengumpulkan genteng, tahun
ketiga mengumpulkan kayu, tahun kelima mengumpulkan batu-
bata, dan seterusnya. Disinilah letak salah satu kelemahan
metode konservatif.
Hal kedua yang perlu disorot dari metode konservatif adalah
partisipasi masyarakat itu sendiri. Ketika sebuah identifikasi
kemiskinan dilakukan tanpa melibatkan partisipasi warga
masyarakat didalamnya lalu kemudian digulirkan sebuah
program ?bantuan? kepada orang-orang yang tergolong ?
miskin?, acap kali yang terjadi adalah kecemburuan sosial.
Mengapa? Sebab dalam pandangan warga masyarakat
setempat, warga yang memperoleh bantuan bukanlah
tergolong warga yang miskin di lingkungan tempat tinggal
mereka. Masyarakat setempat memiliki pandangan atau konsep
tersendiri mengenai kemiskinan di wilayah tinggal mereka.
Inilah yang umum disebut sebagai ?kearifan lokal?. Dalam
mengidentifikasi kemiskinan di masyarakat, unsur kearifan lokal
perlu dihargai. Masyarakatlah yang lebih mengetahui keadaan
di wilayahnya daripada orang luar yang datang membawa
seperangkat alat untuk melihat kemiskinan di wilayah mereka.

Alternatif yang Partisipatif

Bertolak dari kritik terhadap metode-metode identifikasi


kemiskinan yang konservatif, telah dikembangkan metode-
metode alternatif dalam melakukan kegiatan tersebut, yaitu CHI
(Cashpoor House Index) dan PWR (Participatory Wealth
Ranking). Kedua perangkat ini dipandang murah dan mudah
diterapkan.
CHI dilaksanakan dengan menguji rumah calon warga
dampingan (calon penerima bantuan) untuk menentukan
apakah keluarga itu tergolong miskin atau tidak. Pengujian
dilakukan dengan cara memeriksa ukuran, kualitas bangunan,
dinding, dan atap setiap rumah serta menetapkan nilai-nilai
tertentu pada setiap kondisi. Proses berikutnya dilakukan
dengan tes aset sebagai cara untuk memverifikasi dan
pemastian tingkat kemiskinan.
PWR merupakan alternatif yang dipandang lebih
partisipatif dengan mengedepankan partisipasi warga
masyarakat dan kesetaraan gender. Metode ini diterapkan
dengan melibatkan seluruh warga masyarakat di suatu dusun
atau desa untuk terlibat didalamnya. Metode ini juga dipandang
sebagai pengembangan mutakhir atas metode PRA
(Participatory Rural Appraisal) yang selama ini banyak
digunakan dalam memetakan permasalahan, potensi, dan
kebutuhan masyarakat yang akan dilayani. Nilai lebih dari
metode ini selain mengedepankan partisipasi dan kesetaraan
gender adalah pengakuan dari 29 lembaga donor yang
tergabung dalam CGAP (Consultative Group to Assist the
Poorest). Ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga penting
yang terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat dunia
telah memandang penting adanya perangkat atau metode
partisipatif untuk mengidentifikasi kemiskinan masyarakat.
Menurut Dr. DSK Rao, organizer Microcredit Summit Campaign
(organ kampanye kredit mikro secara global) wilayah Asia, dari
994 lembaga yang menyerahkan datanya, 716 lembaga (72%)
telah melakukan pengukuran kemiskinan lebih dari sekadar
mengira-ira saja, melainkan menggunakan perangkat tertentu.
Lalu 324 lembaga (45%) dalam jumlah tersebut telah
menggunakan salah satu dari CHI dan PWR. Ini merupakan
peningkatan sebesar 166% dari para pegiat pengembangan
masyarakat yang menggunakan perangkat pengukuran
kemiskinan pada tahun 2002 dan merupakan peningkatan
312% dalam 2 tahun terakhir.
Partisipasi adalah semangat yang perlu dikedepankan
dalam membangun dan bekerja bersama masyarakat, karena
itu merupakan saluran dimana suara masyarakat bisa
digemakan. Sudahkah kita mengangkatnya sebagai semangat
dalam karya-karya kita?

Penulis adalah Mantan Pasivis Mahasiswa Antropologi


Unair Angkatan 94, saat ini aktif sebagai Consultant
Worldbank pada Kecamatan Development Project

Anda mungkin juga menyukai