Anda di halaman 1dari 12

Kondisi Perekonomian Indonesia 2008

Indonesia merupakan negara small open economy sehingga imbas dari krisis finansial global
sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis
finansial global adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada tahun
2008 atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,3%.
Dampak negatif dari krisis global, antara lain sebagai berikut :

Menurunnya kinerja neraca pembayaran.

Tekanan pada nilai tukar Rupiah.

Dorongan pada laju inflasi.

Pertama, kinerja neraca pembayaran yang menurun.


Pada saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika Serikat mengalami resesi yang serius,
sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menggerus daya beli
masyarakat Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika
Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia.
Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari
Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan
terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan
secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008.
Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal asing dari Indonesia
khususunya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia).
Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio mencatat defisit
sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV-2008. Selain itu, adanya sentimen
negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya pelepasan aset finansial oleh
investor asing dan membuat neraca finansial dan modal ikut menjadi defisit.
Kedua, tekanan pada nilai tukar Rupiah.
Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan September 2008.
Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta
kebijakan makroekonomi yang berhati-hati. Namun sejak pertengahan September 2008, krisis
global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah
melemah menjadi Rp 11.711,- per USD pada bulan November 2008 yang merupakan
depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp
10.048,- per USD. Pergerakan Kurs Rupiah selama tahun 2008 dan awal 2009 dapat dilihat
dari grafik dibawah ini:

diolah dari: www.bi.go.id


Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed exchange rate atau sistem
nilai tukar tetap. Tetapi pada Pemerintahan berikutnya sampai sekarang, sistem yang dianut
telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang.
Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di pasar.
Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate dimana Bank Indonesia berkewajiban
menjaga Rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual valas untuk
menghadapi supply dan demand yang berubah-ubah. Pada masa krisis global yang terjadi
sejak beberapa waktu yang lalu, terjadi keketatan likuiditas global, dengan demikian supply
dollar relatif sangat menurun. Hal inilah yang memeberikan efek depresiasi terhadap Rupiah.
Keketaatan likuiditas global terjadi akibat perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga
likuiditasnya untuk berjaga-jaga dari berbagai resiko bisnis yang meningkat akibat krisis
global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mencari dana talangan dalam membiayai defisit
anggaran pemerintah. Rumah tangga konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja
guna mengantisipasi terhadap goncangan yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas
diperparah oleh sikap bank yang terlalu berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya dalam
rangka meminimalisir terjadinya kredit macet.
Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karena secara teoritis
akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Harga-harga produk dalam negeri
menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang
diimpor dari negara lain. Di pasar negara tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih
memilih produk dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan
ekspor Indonesia meningkat.
Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga mengalami hal yang sama seperti
Indonesia dimana mata uangnya juga mengalami depresiasi. Krisis global membuat daya beli
masyarakat di setiap negara pada umumnya menurun. Sehingga Depresiasi tidak serta merta
membuat ekspor Indonesia meningkat, bahkan ekspor justru turun. Berdasarkan laporan BPS
awal Maret 2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya
sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai ekspor pada Desember
2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008, nilai
penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36%.

Ketiga, dorongan pada laju inflasi.

Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya
kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global
yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga
komoditi yang menurun dan penurunan harga subsidi BBM. Pergerakan inflasi di Indonesia
dapat dilihat dari grafik berikut:

diolah dari: www.bi.go.id

Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008
yakni hingga bulan September 2008. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia
terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga
barang yang ditentukan pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi
mulai turun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia.
Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah
menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan
dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04
persen. Deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi,
dan jasa keuangan. Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari
keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat
meningkat tajam pasca kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun
2008 mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen.
Kebijakan Bank Indonesia dalam Menghadapi Krisis Global
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang mempunyai independensi dari pemerintah
mempunyai kewajiban menjaga stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang dapat meminimalisir dampak dari krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan
beberapa kebijakan, yakni:

Pertama, Kebijakan dalam sektor moneter. BI mengarahkan kebijakan pada penurunan


tekanan inflasi yang didorong oleh tingginya permintaan agregat dan dampak lanjutan dari
kenaikan harga BBM yang sempat mendorong inflasi mencapai 12,14 persen pada bulan
September 2008. Untuk mengantisipasi berlanjutnya tekanan inflasi, BI menaikkan BI rate
dari 8 persen secara bertahap menjadi 9,5 persen pada Oktober 2008. Dengan kebijakan
moneter tersebut ekspektasi inflasi masyarakat tidak terakselerasi lebih lanjut dan tekanan
neraca pembayaran dapat dikurangi.
Selanjutnya, memasuki triwulan II-2008, seiring dengan turunnya harga komoditi dunia serta
melambatnya permintaan agregat sebagai imbas dari krisis keuangan global, BI
memperkirakan tekanan inflasi ke depan menurun, sehingga BI Rate pada bulan Desember
2008 diturunkan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 9,25 bps.
Kedua, Kebijakan dalam sektor perbankan. Kebijakan tersebut diarahkan pada upaya
memperkuat ketahanan sistem perbankan, khususnya dalam upaya persiapan implementasi
Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan
kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta
memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal
ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan
juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan
oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.
Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan
menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review
process, dan market discipline.Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking
approach yang memungkinkan untuk melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari
waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti
perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen
risiko.
Kebijakan dalam sektor perbankan lainnya adalah meningkatkan kapasitas pelayanan industri
perbankan syariah. Sistem perbankan syariah terbukti lebih tahan terhadap hantaman krisis.
Sistem perbankan ini juga sudah mulai digiatkan oleh negara-negara non-muslim seperti
Inggris, Italia, Hong Kong, China, Malaysia, dan Singapura. Bahkan menurut anggota
Komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap stabil di saat krisis global berlangsung
dikarenakan perbankan syariah merupakan pilihan yang komprehensif, progresif, dan
menguntungkan.
Seiring dengan semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008, kebijakan
perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan domestik.
Keketatan likuiditas yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan mempermudah akses bank
umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas pendanaan. Namun upaya
tersebut tetap dilakukan BI dengan memperhatikan risiko yang terjadi pada perbankan
nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat. Untuk itu, upaya menjaga
ketersediaan pendanaan bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai bantalan
perekonomian rakyat, juga senantiasa dicermati.

Terkait dengan kebijakan di sektor perbankan ini, BI telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan


yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi perbankan dalam menyalurkan kredit dengan
tetap memperhatikan unsur kehati-hatian dan kestabilan ekonomi secara umum. Ketentuanketentuan tersebut mencakup beberapa hal seperti: memperpanjang masa transisi penerapan
Basel II untuk perhitungan beban modal risiko operasional, menyederhanakan tatacara
pembukuan kantor bank (termasuk syariah), menyesuaikan bobot Aset Tertimbang Menurut
Resiko (ATMR) untuk Kredit Usaha Kecil dengan skim penjaminan, menyesuaikan tatacara
penilaian kredit dalam jumlah tertentu, memberikan fasilitas transaksi USDrepurchase
agreement (repo) bank kepada BI, dan mengurangi kewajiban pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva non produktif.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan tersebut akan diikuti dengan langkah pengaturan secara
lebih mendalam, terkait dengan upaya peningkatan transparansi perbankan, penguatan
efektifitas manajemen risiko likuiditas, dan produk-produk derivatif perbankan. Dengan
demikian diharapkan seluruh pelaku industri perbankan, baik bank umum konvensional
maupun syariah, akan memiliki ruangan yang cukup untuk menjalankan fungsi
intermediasinya tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko,
sebagai prioritas utama.
Ketiga, Kebijakan di sektor pembayaran. Bank Indonesia turut berupaya mencegah
terjadinya guliran krisis global terhadap kelancaran sistem pembayaran nasional. Dalam
mencegah risiko sistemik dari risiko gagal bayar peserta yang cenderung meningkat pada
kondisi krisis dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, BI telah melakukan perubahan
jadwal setelmen sistem pembayaran pada hari tertentu.
Kebijakan BI dalam sistem pembayaran terus dilakukan untuk meningkatkan pengedaran
uang yang cepat, efisien, aman, dan handal, meningkatkan layanan kas prima, dan
meningkatkan kualitas uang. Sementara kebijakan non tunai diarahkan untuk memitigasi
risiko sistem pembayaran melalui pengawasan sistem pembayaran, mengatur kegiatanmoney
remittances, meningkatkan efisiensi pengelolaan rekening pemerintah, dan meningkatkan
pembayaran non tunai.
Sebagai Bank Sentral, BI memang mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakankebijakan dalam menstabilkan kondisi moneter Indonesia. Dengan demikian diharapkan
kebijakan-kebijakan yang dibuat BI merupakan kebijakan yang strategis dan tepat sasaran
dalam meminimalisir dampak krisis keuangan. Kebijakan moneter yang diambil BI juga
diharapkan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sektor riil dan selanjutnya
pada kesejahteraan masyarakat.

Kondisi Industri Telekomunikasi


Tahun 2008 boleh dikatakan sebagai masa yang sangat berat bagi industri telekomunikasi
karena persaingan antar operator yang kian sengit. Pada tahun 2008 itu pula banyak catatan
penting yang menghiasi wajah industri telekomunikasi tanah air. Registrasi data pengguna
atau pelanggan telepon mulai diberlakukan, penurunan tarif interkoneksi yang ditetapkan
regulator mengimplikasikan penurunan tarif layanan komunikasi.

Akibatnya, demi merebut dan menjaring minat konsumen, operator melakukan perang tarif
meskipun dinilai masih dalam tahap yang masih wajar. Iklan operator memberi tarif lebih
murah dilancarkan, bahkan sangat menggiurkan konsumen karena ada yang menawarkan tarif
telepon gratis meski dengan syarat dan ketentuan berlaku. Hasilnya, pangsa pasar pelanggan
operator telekomunikasi berubah, ada yang dominan namun ada juga yang sama sekali tidak
bisa bergerak, bahkan ada operator seperti Indosat tidak mampu mengembangkan layanan
telepon tetap nirkabel (StarOne), padahal telah mengantongi lisensi tertentu. Melihat
persaingan yang kian menjurus "saling memakan" itu, Ketua Komite Tetap Bidang
Telekomunikasi Kadin Indonesia, Anindya Bakrie memperkirakan akan terjadi konsolidasi
seperti merger dan akuisisi antar operator karena dalam mengembangkan infrastruktur
layanan dibutuhkan dana atau belanja modal yang tidak kecil, industri ini juga dituntut
semakin efisien di tengah terbatasnya lisensi frekuensi.
Pada tahun 2008, industri telekomunikasi juga dikejutkan keputusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) bahwa enam operator enam operator telepon seluler PT
Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk,
PT Mobile-8 Telecom, dan PT Smart Telecom terbukti melakukan pelanggaran persaingan
usaha tidak sehat dengan melakukan kartel layanan pesan singkat (SMS) periode tahun 2004
sampai 1 April 2008. Menurut keputusan KPPU atas tuduhan praktik kartel SMS itu harus
dihormati, dan keputusan itu merupakan pembelajaran demi terwujudnya industri
telekomunikasi yang kompetitif dan tarif layanan khususnya SMS yang lebih terjangkau.
Sesungguhnya dalam memberikan layanan operator sudah memasuki kompetisi yang sehat,
terlihat dari tarif yang diberlakukan operator yang mengacu pada mekanisme pasar. Selain
itu, industri telekomunikasi pada 2008 juga dikejutkan dengan hengkangnya Singapore
Technologies Telemedia (STT) yang merupakan bagian dari Temasek Singapura dari Indosat.
Kepemilikan saham operator telekomunikasi ke dua terbesar di Indonesia itu pun sesaat
beralih ke Qatar Telecom sebagai pemegang saham mayoritas yang akan menguasai hingga
65 persen. Makin besarnya jumlah kepemilikan asing di industri telekomunikasi semakin
dilematis. Di satu sisi butuh investasi besar karena industri ini sangat besar, namun di sisi lain
penguasaan saham asing sangat terkait dengan masalah nasionalisme karena telekomunikasi
termasuk industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pengamat ekonomi dari INDEF,
Iman Sugema mengatakan kepemilikan asing seharusnya dibatasi maksimal 20 persen dengan
kebijakan "single presence policy" atau hanya boleh memiliki saham pada satu perusahaan
telekomunikasi. Hal ini katanya, demi menghindari monopoli karena industri telekomunikasi
menyangkut pelayanan publik. Menurutnya, jika terjadi monopoli maka setiap keputusan
yang diambil akan tergantung kepada kepentingan bisnis pemegang saham atau bukan untuk
kepentingan publik.

INVESTOR AKAN WAIT AND SEE DALAM TRIWULAN PERTAMA 2008


KARENA KASUS TEMASEK
Pertumbuhan industri telekomunikasi selular Indonesia di tahun 2008 tampaknya masih
terpengaruh persoalan vonis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menghukum
Temasek dan Telkomsel karena dituduh telah melakukan praktek monopoli. Vonis KPPU
tersebut nampaknya akan menjadi ganjalan serius bagi masuknya investasi di sektor
telekomunikasi selular. Para investor mempertanyaka implementasi hukum persaingan usaha
yang dilakukan KPPU dalam kasus tersebut. Keputusan KPPU yang menghukum Temasek
dan Telkomsel dinilai cenderung tanpa argumentasi hukum atau kajian ekonomi yang
komprehensif. Tendensi politik dalam keputusan tersebut cukup tinggi. Ditengarai kasus
tersebut dilatar-belakangi adanya kepentingan pemain baru yang enggan membangun industri
baru seluler dan hanya ingin menguasai yang sudah ada . Keputusan KPPU dalam kasus
Temasek akan membahwa dampak negatif terhadap tumbuhnya pasar telekomunikasi seluler
serta menghamabat meningkatnya penetrasi pasar .
Kepemilikan saham asing di Indosat, Telkomsel dan XL dalam 9 tahun terakhir sudah
menunjukan bahwa ada pengaruh terhadap meningkatnya konsumer surplus disektor Industri
seluler . Hal tersebut dibuktikan dengan terus meningkatnya penetrasi pasar , menurunnya
tarif seluler , dan tumbuhnya jumlah pelanggan serta berubahnya segmen paasar dari industri
seluler dari kalangan ekonomi kelas atas dan menegah sebagai konsumennya , dalam 8 tahun
terkahir kalang ekonomi bawah sudah dapat mengkonsumsinya. Sebagian besar Investor
nampaknya bersikap wait and see terhadap kasus yang saat ini sedang diperiksa dalam
tingkat banding tersebut. Apabila dihitung berdasarkan waktu pemeriksaan keberatan yang
terdapat dalam UU No.5 Tahun 1999, maka paling lambat pada bulan April 2008 kasus
Temasek sudah selesai diperiksa pada tingkatan MA.
Dengan masa wait and see sampai keluarnya putusan MA dalam kasus Temasek tersebut,
maka selama triwulan pertama 2008 pertumbuhan industri telekomunikasi akan mengalami
pelambatan. Jika pada tingkatan Mahkamah Agung terjadi perubahan signifikan terhadap
keputusan KPPU maka arus investasi akan masuk secara normal. Namun apabila tidak terjadi
perubahan signifikan maka dipastikan arus investasi akan tersendat.
ISU CONSUMER LOSS YANG JUSTRU KONTRA PRODUKTIF
Di dunia bisnis internasional, isu pemenuhan dan pelanggaran hak konsumen adalah isu yang
sangat sensitif. Sebuah Pelaku Usaha bisa babak belur jika terbukti telah melanggar hak
konsumen. Berbagai gugatan konsumen terhadap pelaku usaha yang melanggar hk konsumen
beulang-kali dikabulkan oleh pengadilan. Bahkan dibebrapa negara, lobby asosiasi konsumen
begitu kuat hingga bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu pelaku usaha bereputasi internasional akan sangat berhati-hati dalam hal
pemenuhan hak konsumen. Pelaku bisnis juga akan sangat terganggu dengan adanya isu
pelanggaran hak konsumen yang tidak berdasar, tidak ilmiah dan cenderung manipulatif.

Untuk tahun 2008, isu konsumen telekomunikasi selular yang saat ini tengah berkembang
adalah statement KPPU dalam putusan kasus Temasek bahwa telah terjadi Consumer Loss di
industri telekomunikasi selular Indonesia. Isu Consumer Loss tersebut dibangun dengan
penghitungan terlalu pragmatis. Dalil Consumer Loss yang tertuang dalam putusan KPPU
memang tidak secara rinci menguraikan datangnya kesimpulan Consumer Loss tersebut.
Dalil tersebut didasarkan pada hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI). Padahal LPEM UI sendiri menegaskan tidak
terjadi Consumer Loss dalam industri telekomunikasi selular Indonesia. LPEM UI
mengatakan bru ada Consumer Loss jika tarif telekomunikasi selular Indonesia dibandingkan
dengan tarif di negara lain yang lebih murah.
Tentu tidaklah tepat jika penghitungan Consumer Loss dilakukan sepragmatis itu. Faktorfaktor produksi telekomunikasi selular di Hongkong yang hanya sebuha pulau kecil dan
Indonesia yang negara kepulauan luas jelas sangat jauh berbeda. Faktanya konsumen
telekomunikasi selular Indonesia justru mengalami Consumer Surplus. Hal ini bisa
dibuktikan kenyataan bahwa mulai tahun 2000 s/d 2007 terjadi penurunan tarif , penurunan
harga penjualan kartu prabayar serta tarif SMS .Konsumen diuntungkan dengan banyaknya
pilihan tarif yang makin murah yang ditawarkan oleh operator seluler. Indikasi lain terjadinya
Consumer Surplus adalah Average Revenue Per User (ARPU) yang semakin rendah . ARPU
semakin rendah akibat terjadinya perang tarif antar operator seluler dan diluncurkannya
produk voucher pulsa isi ulang (untuk kartu pra-bayar) yang sangat murah sebagai upaya
menjaring pelanggan yang memiliki daya beli relatif rendah. Tingkat kartu hangus (churn
rate) yang tinggi akibat harga jual starter pack yang ditekan sangat rendah demi menjaring
pelanggan sebanyak-banyaknya. Rendahnya harga jual starter pack ini mengakibatkan
banyak pelanggan yang memperlakukan starter pack hanya sebagai calling card yang akan
segera dibuang setelah pulsa habis digunakan. Adapun churn rate pada tahun 2004 adalah 8%
dan diperkirakan meningkat menjadi 17,6 % pada kuartal I tahun 2008.
Kondisi ini meyebabkan jasa telekomunikasi seluler tak lagi hanya bisa dinikmati oleh
kalangan menegah keatas saja tapi sudah kekalangan masyarakat rendah. Suatu pasar dalam
industri produk sekunder yang dapat dinikmati kalangan bawah adalah bukti yang signifikan
telah terjadi konsumer surplus. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dalil Consumer Loss
yang dibangun KPPU ternyata tidak memiliki pijakan ilmiah yang kuat. Dalil tersebut tentu
akan membawa akibat negatif bagi pertumbuhan industri telekomunikasi selular tersebut.
Pada akhirnya yang akan dirugikan justru konsumen telekomunikasi selular itu sendiri.
PEMBERSIHAN OBSTACLE PERTUMBUHAN INDUSTRI TELEKOMUNIKASI
SELULAR AKAN SANGAT MENGUNTUNGKAN KONSUMEN
Seharusnya tahun 2008 dan 2009 adalah tahun dimana pertumbuhan industri selular
Indonesia mencapai puncak. Hal tersebut juga berarti konsumen akan semakin dimanjakan
karena kerasnya persaingan antar operator. Tahun 2008 dan 2009 akan ditandai dengan
memanasnya persaingan antara partai politik dalam rangka pemilu 2009. Hal ini tentu akan
meyebabkan peningkatan tajam pengunaan SMS dan percakapan seluler oleh aktivis LSM,

Parpol dan Tim kampanye untuk kepentingan Pemilu. Pooling poling SMS dan konsoslidasi
parpol diperkirakan akan meningkat 56% .
Logikanya persaingan yang sanagat ketat oleh setiap operator seluler akan memberikan
keuntungan bagi Parpol ,LSM , lembaga pooling dan tentu saja masyarakat luas karena makin
rendahnya tarif. Namun kondisi tersebut hanya bisa terjadi apabila obstacle pertumbuhan
industri telekomunikasi selular tersebut bisa dihilangkan . Munculnya persoalan seperti
Keputusan KPPU berikut dalil Consumer Loss diharapkan bisa diselesaikan dengan baik oleh
institusi terkait.
Kesimpulan
1. Keputusan KPPU yang menghukum Temasek dan Telkomsel akan memperlambat
penetrasi pasar seluler indonesia yang berakibat pertumbuhan pasar akan cenderung turun
pada tahun 2008 , akibat melambatnya pertumbuhan sektor industri telekomunikasi maka
program pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY/JK tidak akan
mencapai target
2. Dengan telah terjadinya pengabaian terhadap pengunaan dasar hukum yang tepat oleh
KPPU terhadap Temasek dan Telkomsel makin nyata bahwa ,keputusan KPPU menjadi bukti
bahwa tidak adanya kepastian hukum bagi investasi asing di Indonesia
3. Consumer surplus dalam Industri Telekomunukasi seluler dalam 7 terakhir ini yang
disebabkan meningkatnya penetrasi pasar dan pertumbuhan Industri Seluler menunjukan
bahwa masuknya Investasi asing dalam industri telekomunikasi seluler membawa dampak
yang positive terhadap penguna jasa telepon seluler dengan semakin banyaknya pilihan
terhadap operatornya
4. Consumer surplus dalam 7 tahun terkahir dalam sektor telekomunikasi seluler dapat
dibuktikan secara langsung , dengan berubahnya segmen pasar seluler yang saat ini sudah
dapat di konsumsi oleh masayarakt kalangan bawah yang mana tadinya hanya kalangan
ekonomi atas dan menegah saja yang bisa menikmati
5. Keputusan KPPU untuk memaksa menurunkan tarif terhadap Telkomsel tanpa dasar kajian
ekonomi dan hukum yang kuat akan berdampak pada matinya operator lainnya , dan
memperlambat pertumbuhan telekomunikasi seluler yang pada akhirnya apabila terjadi
perlambatan pertumbuhan kesempatan untuk meningkatnya consumer surplus akan terhambat
serta bila terjadi matinya operator lainnya maka akan menimbulkan angka pengangguran
yang tinggi di sektor industri seluler.

Industri Penyewaaan Menara di Indonesia


Tower Provider tengah menjadi trend baru dalam bisnis telekomunikasi. Sejak
dikeluarkannya Permen Kominfo no. 8 tahun 2008 tentang Pembangunan dan Penggunaan
Menara Bersama Telekomunikasi, berbagai pelaku industri telekomunikasi mulai berbenah
menyambut peluang baru tersebut. Mulai dari operator telekomunikasi, kontraktor, vendor,
konsultan, dan perusahaan-perusahaan yang terkait bisnis infrastruktur telekomunikasi

mencoba menyusun rencana dan bahkan restrukturisasi organisasi guna memenangkan


persaingan di segmen bisnis ini.
Tower provider merupakan usaha/unit bisnis yang bergerak di bidang jasa penyewaan,
penyediaan, pembangunan dan pengelolaan menara telekomunikasi untuk dipergunakan oleh
para operator telekomunikasi dalam penyelenggaraan aktivitas telekomunikasi. Sejak tahun
2008, bisnis tower provider terdiversifikasi ke dalam dua kategori besar, yaitu pembangunan
menara dan penyewaan menara. Salah satu pendorong utama lahirnya bisnis baru penyewaan
menara adalah adanya 2 (dua) regulasi pemerintah yaitu Permen Kominfo no. 2 tahun 2008
tentang Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi, dan Surat
Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri dan 1 Kepala Badan yaitu Menteri Dalam Negeri,
Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika serta Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07/PRT/M/2009, Nomor
19/PER/M.KOMINFO/3/2009, dan Nomor 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan
Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Kedua regulasi tersebut, kemudian direspon
secara cepat oleh Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan Perda dan Cellplan guna
mengatur dan menata peletakan menara-menara bersama telekomunikasi di masing-masing
wilayahnya.
Pada tahun 2008 menara telekomunikasi di Indonesia telah mendekati 60 ribu unit.
Telkomsel memiliki 25.000 lebih menara, Indosat mempunyai 11.000 menara, Excelcomindo
Pratama memiliki 7.000 menara, Indonesian Tower memiliki 1800 menara, Protelindo
memiliki 900 menara, Komselindo dan Metrosel memiliki 700 menara secara bersama,
Tower Bersama Group memiliki 700 menara, Bakrie Telecom memiliki 406 menara,
Natrindo memiliki 271 menara, Sampoerna memiliki 270 menara, Komet Konsorsium
memiliki 214 menara, dan ditambah perusahaan-perusahaan kecil lainnya, koperasi, dan
perseorangan. Demikian data yang dirilis dari Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara
Telekomunikasi (ASPIMTEL).
Berdasarkan analisis yang dilakukan Citigroup pada tahun 2007, industri seluler Indonesia
dalam lima tahun ke depan membutuhkan sekitar 158.030 menara telekomunikasi. Jika
diasumsikan investasi per menara sebesar Rp 1,098 Miliar, akan dibutuhkan tidak kurang dari
Rp 173,5 Triliun untuk pembangunan selama lima tahun ke depan. Sementara pada 2010 bisa
mencapai 43.000 unit dengan investasi setiap menara mencapai Rp 1,5 Miliar.
Beberapa fakta di lapangan mengindikasikan adanya keinginan perusahaan operator
telekomunikasi untuk menjual asset menara telekomunikasi, dengan tujuan untuk mendukung
anggaran belanja modal perusahaan seperti program ekspansi jaringan maupun dalam
membuka akses pasar baru. Di tahun 2005, Mobile-8 Telecom telah menjual 200 menaranya
ke Tower Bersama Group (TBG), dan sudah siap menjual sisa 200 menara telekomunikasi
yang masih dimilikinya. Untuk ekspansi usahanya kedepan, Mobile-8 Telecom tidak akan
membangun banyak menara telekomunikasi, tetapi hanya akan menyewa menara guna
efisiensi dan efektifitas jaringan. Di awal tahun 2009, Exelcomindo Pratama (XL)
membatalkan rencana penjualan 7.000 menara telekomunikasi miliknya karena harga

penawaran yang masuk dianggap tidak mencapai target. Sebelumnya, di akhir tahun 2008
lalu Bakrie Telecom yang berencana menjual 500 menaranya juga belum memiliki kejelasan.
Dari sisi cash flow, perusahaan tower provider dapat mengeluarkan capex belanja modal
sekitar Rp 1,5 Miliar per menara, ditambah dengan biaya maintenance. Dimana satu menara,
bisa disewakan 2-4 operator. Biaya sewa berkisar Rp. 15-20 juta per bulan. Sehingga
pendapatan sewa besarnya antara Rp 300 juta hingga Rp 500 juta per tahun per menara.
Break even point akan dicapai pada tahun keempat atau kelima. Diperlukan jangka waktu
sewa rata-rata minimal 10 tahun. Dan bagi operator telekomunikasi mengeluarkan biaya sewa
(opex) tersebut akan lebih efisien dibanding harus mengeluarkan belanja modal (capex) yang
besar di muka, sehingga mereka dapat lebih fokus pada core business-nya, serta mendorong
open accsess pada infrastruktur yang dianggap essential facility.
Namun di sisi lain, terdapat kompleksitas persoalan yang biasa dihadapi oleh perusahaan
tower provider. Diantaranya adalah sulitnya melakukan site acquisition, disinkronisasi antara
geolokasi site dengan zona rencana tata ruang wilayah/kota, overlapping tower diantara
sesama perusahaan tower provider, keengganan untuk tower sharing dari pihak operator,
ketidaksiapan cell plan pemerintah daerah (pemda/pemkot), dan sikap resistensi warga
masyarakat terhadap pendirian menara. Persoalan-persoalan tersebut di atas, seringkali
menjadi faktor utama yang menyebabkan perusahaan tower provider akan mampu
berkembang dengan baik, atau sebaliknya.
Bisnis menara telekomunikasi sudah dimulai dari unit bisnis pendirian menara sejak tahun
2000 oleh Indonesian Tower. Dan sejak tahun 2008, paska ditetapkannya Permen Kominfo
No. 2 tahun 2008, bisnis menara telekomunikasi terdiversifikasi ke arah bisnis penyewaan
menara. Perusahaan tower provider yang sebelumnya fokus ke bisnis pendirian menara,
secara cepat mengembangkan unit bisnis penyewaan menara yang masih cukup baru, dan
diperkirakan akan booming dalam beberapa tahun ke depan. Beberapa pemain lama seperti
Indonesian Tower, Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Konselindo &
Metrosel, dan lain-lain mulai berbenah menyusun strategi investment dan restrukturisasi guna
menggarap segmen bisnis penyewaan menara.
XL Towers
Excelcomindo Pratama (XL) sejak tahun 2008, secara serius membuat unit usaha baru yang
khusus menggarap bisnis menara yang dinamakan XL Towers. XL Towers berencana
menggaet beberapa perusahaan tower provider lokal dengan tujuan untuk mengakomodasi
pelibatan perusahaan domestik, dan memperkuat jaringan bisnis penyewaan menara. Sejak
tahun 2008, XL Towers sudah memiliki 7000 menara dengan jumlah kolokasi mencapai
8.000 titik, dan dalam beberapa tahun ke depan akan melakukan roll out hingga 12.000
menara. XL Towers dinilai sebagai perusahaan tower provider terbesar pertama di Indonesia
yang cukup agresif.

Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo)


Protelindo merupakan anak perusahaan Pan Asia Tower Investment asal Singapura, yang
khusus menggarap segmen pendirian, penyediaan, dan penyewaan menara telekomunikasi.
Tahun 2008 kemarin, Protelindo telah memiliki 900 menara telekomunikasi, dan jumlah
kolokasi mencapai 1.300 titik - tersebar diantaranya di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Nusa
Tenggara Barat. Merupakan perusahaan tower provider terbesar ketiga di Indonesia. Dan di
tahun yang sama, Protelindo telah memenangkan lelang pembelian menara milik Hutchison
sebanyak 3.692 buah. Tetapi, peristiwa ini dinilai oleh Pemerintah sebagai pelanggaran
hukum, mengingat kepemilikan asset menara telekomunikasi tidak diperkenankan pihak
asing.
Tower Bersama Group (TBG)
Sejak tahun 2008, Tower Bersama Group (TBG) cukup agresif melakukan akuisisi menaramenara telekomunikasi dan pendirian menara-menara baru. Sebanyak 500 menara milik
Mobile 8 Telecom (Fren) telah diakuisisi, dan hingga tahun 2009 ini Tower Bersama Group
telah memiliki 700 menara yang siap untuk disewakan ke semua operator. Perusahaan ini
memiliki capital yang cukup kuat untuk melakukan rencana akuisisi menara-menara milik
operator, diantaranya sebanyak 7000 menara XL yang sebelumnya akan dijual - tapi gagal.
TBG adalah perusahaan tower provider terbesar keempat di Indonesia (sumber : Company
Estimates, Broker Research, 2008).
Kompetitor Lainnya
Kompetitor-kompetitor kecil dan baru diprediksi akan banyak bermunculan, terutama di
daerah-daerah yang sudah mulai peka terhadap isu tower sharing. Regulasi di tingkat
pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) di berbagai wilayah di Indonesia, akan
berimbas terhadap munculnya perusahaan-perusahaan tower provider lokal yang akan turut
serta meramaikan pasar menara telekomunikasi.
Hal yang juga tak kalah agresif adalah keinginan perusahaan-perusahaan tower provider
asing yang siap menggarap lahan bisnis ini di Indonesia. Regulasi pemerintah yang melarang
kepemilikan menara telekomunikasi oleh pihak asing pun sedang hangat dibicarakan, dan
sebagian investor meminta untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Jika ke depannya nanti
regulasi ini akan dicabut, maka perusahaan-perusahaan tower provider asing akan berebut
masuk ke Indonesia, diantaranya American Tower dan Tower Vision. Atau setidaknya,
perusahaan asing akan berkolaborasi dengan perusahaan lokal dalam menggarap segmen ini.

Anda mungkin juga menyukai