Indonesia merupakan negara small open economy sehingga imbas dari krisis finansial global
sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis
finansial global adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada tahun
2008 atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,3%.
Dampak negatif dari krisis global, antara lain sebagai berikut :
Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya
kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global
yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga
komoditi yang menurun dan penurunan harga subsidi BBM. Pergerakan inflasi di Indonesia
dapat dilihat dari grafik berikut:
Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008
yakni hingga bulan September 2008. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia
terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga
barang yang ditentukan pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi
mulai turun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia.
Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah
menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan
dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04
persen. Deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi,
dan jasa keuangan. Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari
keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat
meningkat tajam pasca kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun
2008 mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen.
Kebijakan Bank Indonesia dalam Menghadapi Krisis Global
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang mempunyai independensi dari pemerintah
mempunyai kewajiban menjaga stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang dapat meminimalisir dampak dari krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan
beberapa kebijakan, yakni:
Akibatnya, demi merebut dan menjaring minat konsumen, operator melakukan perang tarif
meskipun dinilai masih dalam tahap yang masih wajar. Iklan operator memberi tarif lebih
murah dilancarkan, bahkan sangat menggiurkan konsumen karena ada yang menawarkan tarif
telepon gratis meski dengan syarat dan ketentuan berlaku. Hasilnya, pangsa pasar pelanggan
operator telekomunikasi berubah, ada yang dominan namun ada juga yang sama sekali tidak
bisa bergerak, bahkan ada operator seperti Indosat tidak mampu mengembangkan layanan
telepon tetap nirkabel (StarOne), padahal telah mengantongi lisensi tertentu. Melihat
persaingan yang kian menjurus "saling memakan" itu, Ketua Komite Tetap Bidang
Telekomunikasi Kadin Indonesia, Anindya Bakrie memperkirakan akan terjadi konsolidasi
seperti merger dan akuisisi antar operator karena dalam mengembangkan infrastruktur
layanan dibutuhkan dana atau belanja modal yang tidak kecil, industri ini juga dituntut
semakin efisien di tengah terbatasnya lisensi frekuensi.
Pada tahun 2008, industri telekomunikasi juga dikejutkan keputusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) bahwa enam operator enam operator telepon seluler PT
Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk,
PT Mobile-8 Telecom, dan PT Smart Telecom terbukti melakukan pelanggaran persaingan
usaha tidak sehat dengan melakukan kartel layanan pesan singkat (SMS) periode tahun 2004
sampai 1 April 2008. Menurut keputusan KPPU atas tuduhan praktik kartel SMS itu harus
dihormati, dan keputusan itu merupakan pembelajaran demi terwujudnya industri
telekomunikasi yang kompetitif dan tarif layanan khususnya SMS yang lebih terjangkau.
Sesungguhnya dalam memberikan layanan operator sudah memasuki kompetisi yang sehat,
terlihat dari tarif yang diberlakukan operator yang mengacu pada mekanisme pasar. Selain
itu, industri telekomunikasi pada 2008 juga dikejutkan dengan hengkangnya Singapore
Technologies Telemedia (STT) yang merupakan bagian dari Temasek Singapura dari Indosat.
Kepemilikan saham operator telekomunikasi ke dua terbesar di Indonesia itu pun sesaat
beralih ke Qatar Telecom sebagai pemegang saham mayoritas yang akan menguasai hingga
65 persen. Makin besarnya jumlah kepemilikan asing di industri telekomunikasi semakin
dilematis. Di satu sisi butuh investasi besar karena industri ini sangat besar, namun di sisi lain
penguasaan saham asing sangat terkait dengan masalah nasionalisme karena telekomunikasi
termasuk industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pengamat ekonomi dari INDEF,
Iman Sugema mengatakan kepemilikan asing seharusnya dibatasi maksimal 20 persen dengan
kebijakan "single presence policy" atau hanya boleh memiliki saham pada satu perusahaan
telekomunikasi. Hal ini katanya, demi menghindari monopoli karena industri telekomunikasi
menyangkut pelayanan publik. Menurutnya, jika terjadi monopoli maka setiap keputusan
yang diambil akan tergantung kepada kepentingan bisnis pemegang saham atau bukan untuk
kepentingan publik.
Untuk tahun 2008, isu konsumen telekomunikasi selular yang saat ini tengah berkembang
adalah statement KPPU dalam putusan kasus Temasek bahwa telah terjadi Consumer Loss di
industri telekomunikasi selular Indonesia. Isu Consumer Loss tersebut dibangun dengan
penghitungan terlalu pragmatis. Dalil Consumer Loss yang tertuang dalam putusan KPPU
memang tidak secara rinci menguraikan datangnya kesimpulan Consumer Loss tersebut.
Dalil tersebut didasarkan pada hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI). Padahal LPEM UI sendiri menegaskan tidak
terjadi Consumer Loss dalam industri telekomunikasi selular Indonesia. LPEM UI
mengatakan bru ada Consumer Loss jika tarif telekomunikasi selular Indonesia dibandingkan
dengan tarif di negara lain yang lebih murah.
Tentu tidaklah tepat jika penghitungan Consumer Loss dilakukan sepragmatis itu. Faktorfaktor produksi telekomunikasi selular di Hongkong yang hanya sebuha pulau kecil dan
Indonesia yang negara kepulauan luas jelas sangat jauh berbeda. Faktanya konsumen
telekomunikasi selular Indonesia justru mengalami Consumer Surplus. Hal ini bisa
dibuktikan kenyataan bahwa mulai tahun 2000 s/d 2007 terjadi penurunan tarif , penurunan
harga penjualan kartu prabayar serta tarif SMS .Konsumen diuntungkan dengan banyaknya
pilihan tarif yang makin murah yang ditawarkan oleh operator seluler. Indikasi lain terjadinya
Consumer Surplus adalah Average Revenue Per User (ARPU) yang semakin rendah . ARPU
semakin rendah akibat terjadinya perang tarif antar operator seluler dan diluncurkannya
produk voucher pulsa isi ulang (untuk kartu pra-bayar) yang sangat murah sebagai upaya
menjaring pelanggan yang memiliki daya beli relatif rendah. Tingkat kartu hangus (churn
rate) yang tinggi akibat harga jual starter pack yang ditekan sangat rendah demi menjaring
pelanggan sebanyak-banyaknya. Rendahnya harga jual starter pack ini mengakibatkan
banyak pelanggan yang memperlakukan starter pack hanya sebagai calling card yang akan
segera dibuang setelah pulsa habis digunakan. Adapun churn rate pada tahun 2004 adalah 8%
dan diperkirakan meningkat menjadi 17,6 % pada kuartal I tahun 2008.
Kondisi ini meyebabkan jasa telekomunikasi seluler tak lagi hanya bisa dinikmati oleh
kalangan menegah keatas saja tapi sudah kekalangan masyarakat rendah. Suatu pasar dalam
industri produk sekunder yang dapat dinikmati kalangan bawah adalah bukti yang signifikan
telah terjadi konsumer surplus. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dalil Consumer Loss
yang dibangun KPPU ternyata tidak memiliki pijakan ilmiah yang kuat. Dalil tersebut tentu
akan membawa akibat negatif bagi pertumbuhan industri telekomunikasi selular tersebut.
Pada akhirnya yang akan dirugikan justru konsumen telekomunikasi selular itu sendiri.
PEMBERSIHAN OBSTACLE PERTUMBUHAN INDUSTRI TELEKOMUNIKASI
SELULAR AKAN SANGAT MENGUNTUNGKAN KONSUMEN
Seharusnya tahun 2008 dan 2009 adalah tahun dimana pertumbuhan industri selular
Indonesia mencapai puncak. Hal tersebut juga berarti konsumen akan semakin dimanjakan
karena kerasnya persaingan antar operator. Tahun 2008 dan 2009 akan ditandai dengan
memanasnya persaingan antara partai politik dalam rangka pemilu 2009. Hal ini tentu akan
meyebabkan peningkatan tajam pengunaan SMS dan percakapan seluler oleh aktivis LSM,
Parpol dan Tim kampanye untuk kepentingan Pemilu. Pooling poling SMS dan konsoslidasi
parpol diperkirakan akan meningkat 56% .
Logikanya persaingan yang sanagat ketat oleh setiap operator seluler akan memberikan
keuntungan bagi Parpol ,LSM , lembaga pooling dan tentu saja masyarakat luas karena makin
rendahnya tarif. Namun kondisi tersebut hanya bisa terjadi apabila obstacle pertumbuhan
industri telekomunikasi selular tersebut bisa dihilangkan . Munculnya persoalan seperti
Keputusan KPPU berikut dalil Consumer Loss diharapkan bisa diselesaikan dengan baik oleh
institusi terkait.
Kesimpulan
1. Keputusan KPPU yang menghukum Temasek dan Telkomsel akan memperlambat
penetrasi pasar seluler indonesia yang berakibat pertumbuhan pasar akan cenderung turun
pada tahun 2008 , akibat melambatnya pertumbuhan sektor industri telekomunikasi maka
program pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY/JK tidak akan
mencapai target
2. Dengan telah terjadinya pengabaian terhadap pengunaan dasar hukum yang tepat oleh
KPPU terhadap Temasek dan Telkomsel makin nyata bahwa ,keputusan KPPU menjadi bukti
bahwa tidak adanya kepastian hukum bagi investasi asing di Indonesia
3. Consumer surplus dalam Industri Telekomunukasi seluler dalam 7 terakhir ini yang
disebabkan meningkatnya penetrasi pasar dan pertumbuhan Industri Seluler menunjukan
bahwa masuknya Investasi asing dalam industri telekomunikasi seluler membawa dampak
yang positive terhadap penguna jasa telepon seluler dengan semakin banyaknya pilihan
terhadap operatornya
4. Consumer surplus dalam 7 tahun terkahir dalam sektor telekomunikasi seluler dapat
dibuktikan secara langsung , dengan berubahnya segmen pasar seluler yang saat ini sudah
dapat di konsumsi oleh masayarakt kalangan bawah yang mana tadinya hanya kalangan
ekonomi atas dan menegah saja yang bisa menikmati
5. Keputusan KPPU untuk memaksa menurunkan tarif terhadap Telkomsel tanpa dasar kajian
ekonomi dan hukum yang kuat akan berdampak pada matinya operator lainnya , dan
memperlambat pertumbuhan telekomunikasi seluler yang pada akhirnya apabila terjadi
perlambatan pertumbuhan kesempatan untuk meningkatnya consumer surplus akan terhambat
serta bila terjadi matinya operator lainnya maka akan menimbulkan angka pengangguran
yang tinggi di sektor industri seluler.
penawaran yang masuk dianggap tidak mencapai target. Sebelumnya, di akhir tahun 2008
lalu Bakrie Telecom yang berencana menjual 500 menaranya juga belum memiliki kejelasan.
Dari sisi cash flow, perusahaan tower provider dapat mengeluarkan capex belanja modal
sekitar Rp 1,5 Miliar per menara, ditambah dengan biaya maintenance. Dimana satu menara,
bisa disewakan 2-4 operator. Biaya sewa berkisar Rp. 15-20 juta per bulan. Sehingga
pendapatan sewa besarnya antara Rp 300 juta hingga Rp 500 juta per tahun per menara.
Break even point akan dicapai pada tahun keempat atau kelima. Diperlukan jangka waktu
sewa rata-rata minimal 10 tahun. Dan bagi operator telekomunikasi mengeluarkan biaya sewa
(opex) tersebut akan lebih efisien dibanding harus mengeluarkan belanja modal (capex) yang
besar di muka, sehingga mereka dapat lebih fokus pada core business-nya, serta mendorong
open accsess pada infrastruktur yang dianggap essential facility.
Namun di sisi lain, terdapat kompleksitas persoalan yang biasa dihadapi oleh perusahaan
tower provider. Diantaranya adalah sulitnya melakukan site acquisition, disinkronisasi antara
geolokasi site dengan zona rencana tata ruang wilayah/kota, overlapping tower diantara
sesama perusahaan tower provider, keengganan untuk tower sharing dari pihak operator,
ketidaksiapan cell plan pemerintah daerah (pemda/pemkot), dan sikap resistensi warga
masyarakat terhadap pendirian menara. Persoalan-persoalan tersebut di atas, seringkali
menjadi faktor utama yang menyebabkan perusahaan tower provider akan mampu
berkembang dengan baik, atau sebaliknya.
Bisnis menara telekomunikasi sudah dimulai dari unit bisnis pendirian menara sejak tahun
2000 oleh Indonesian Tower. Dan sejak tahun 2008, paska ditetapkannya Permen Kominfo
No. 2 tahun 2008, bisnis menara telekomunikasi terdiversifikasi ke arah bisnis penyewaan
menara. Perusahaan tower provider yang sebelumnya fokus ke bisnis pendirian menara,
secara cepat mengembangkan unit bisnis penyewaan menara yang masih cukup baru, dan
diperkirakan akan booming dalam beberapa tahun ke depan. Beberapa pemain lama seperti
Indonesian Tower, Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Konselindo &
Metrosel, dan lain-lain mulai berbenah menyusun strategi investment dan restrukturisasi guna
menggarap segmen bisnis penyewaan menara.
XL Towers
Excelcomindo Pratama (XL) sejak tahun 2008, secara serius membuat unit usaha baru yang
khusus menggarap bisnis menara yang dinamakan XL Towers. XL Towers berencana
menggaet beberapa perusahaan tower provider lokal dengan tujuan untuk mengakomodasi
pelibatan perusahaan domestik, dan memperkuat jaringan bisnis penyewaan menara. Sejak
tahun 2008, XL Towers sudah memiliki 7000 menara dengan jumlah kolokasi mencapai
8.000 titik, dan dalam beberapa tahun ke depan akan melakukan roll out hingga 12.000
menara. XL Towers dinilai sebagai perusahaan tower provider terbesar pertama di Indonesia
yang cukup agresif.