Anda di halaman 1dari 10

Kondisi Perekonomian Indonesia

Tahun 2010 menjadi tahun yang penting bagi Indonesia. Terpilihnya presiden baru, menandakan
era baru dalam pemerintahan Indonesia. Keberhasilan Indonesia lepas dari jeratan krisis financial
global, hingga mampu menjadi satu dari dua negara Asia yang mencatatkan pertumbuhan
ekonomi positif di tahun 2009, membangkitkan optimisme di awal tahun 2010.
Perekonomian Indonesia di tahun 2010 menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang cukup tinggi
di tengah ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global. Perekonomian domestik diprakirakan
akan dapat tumbuh 6.1% pada triwulan IV-2010 sehingga untuk keseluruhan tahun 2010
perekonomian nasional dapat tumbuh sekitar 6%. Untuk tahun 2011 dan 2012, Bank Indonesia
optimis bahwa pemulihan ekonomi domestik akan semakin kuat ditopang oleh peningkatan
permintaan domestik dengan kinerja investasi yang semakin baik. Perekonomian Indonesia di
tahun 2011 diprakirakan akan tumbuh mencapai kisaran 6,0-6,5% dan pada tahun 2012 menjadi
6,1-6,6%.
Sebagai negara yang mampu mencapai pertumbuhan positif selama masa krisis finansial global,
Indonesia semakin mendapat kepercayaan di mata dunia Internasional. Hal ini terbukti dari
meningkatnya peringkat Indonesia pada Global Competitiveness Index 2010-2011 yang
dikeluarkan oleh World Economic Forum. Indonesia berhasil meraih peringkat 44, naik 10
peringkat dibandingkan pada tahun 2009. Peringkat layak investasi Indonesia menurut S&P juga
mengalami peningkatan dari BB menjadi BBB. Kenaikan peringkat layak investasi ini
menunjukkan semakin dipercayanya pasar modal Indonesia di mata global.
Dinamika yang terjadi pada perekonomian global sepanjang tahun 2010 telah memberikan
pengaruh pada perkembangan ekonomi Indonesia. Pemulihan ekonomi global yang terus
berlanjut khususnya di negara-negara emerging markets dan terjaganya stabilitas perekonomian
telah memberikan dampak positif bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik. Pertumbuhan
ekonomi domestik tahun ini ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin seimbang
tercermin pada kuatnya konsumsi dan tingginya permintaan ekspor serta investasi yang
membaik. Konsumsi yang meningkat terutama berasal dari konsumsi rumah tangga sementara
konsumsi pemerintah masih relatif terbatas seiring penyerapan anggaran yang masih terbatas.
Di sisi ekspor, terjadi peningkatan kinerja pada tahun 2010 didukung oleh meningkatnya
permintaan eksternal seiring pemulihan ekonomi global khususnya di kawasan Asia.
Membaiknya kinerja ekspor juga di dorong oleh peningkatan harga komoditas global. Sementara
itu, kinerja investasi juga terus menunjukkan perbaikan didukung oleh membaiknya persepsi
pasar, meningkatnya pembiayaan, relatif rendahnya harga barang impor, dan penerapan berbagai
kebijakan pemerintah yang mendukung investasi.

Dari sisi penawaran, sektor nontradable dan sektor tradable menunjukkan kinerja yang
membaik di tahun 2010. Pertumbuhan sektor tradable terutama berasal dari pulihnya sektor
industri pengolahan yang mencapai tingkat pertumbuhan sebelum krisis keuangan global yakni
sekitar 4%.
Di sisi harga, tahun 2010 diwarnai oleh tekanan inflasi yang cenderung meningkat, yang
terutama bersumber dari kelompok bahan makanan (volatile food) akibat anomali cuaca yang
menyebabkan gangguan distribusi dan produksi. Sampai dengan November 2010 inflasi IHK
tercatat sebesar 6,33(yoy) atau mencapai 5,98% (ytd), sementara inflasi inti mencapai
4,31%(yoy) atau 3,89%(ytd).
Di sisi Neraca Pembayaran, pertumbuhan ekspor yang tetap kuat serta aliran modal masuk, baik
dalam bentuk PMA maupun portfolio yang masih kuat membawa dampak pada peningkatan
surplus Neraca Pembayaran Indonesia.

Pemulihan ekonomi global yang terus berlangsung terutama di negara-negara emerging markets
telah mendorong kuatnya pertumbuhan ekspor. Peningkatan harga komoditas global juga turut
mendorong perbaikan ekpor Indonesia dengan pangsa komoditas berbasis sumber daya alam
(SDA) yang semakin besar. Di sisi lain, peningkatan ekonomi domestik dan apresiasi nilai tukar
telah mendorong peningkatan impor yang lebih besar. Sementara itu, pemulihan ekonomi global
yang tidak seimbang telah mendorong peningkatan yang besar pada aliran masuk modal asing.
Secara keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia pada tahun 2010 mencatat surplus yang
meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan perkembangan NPI tersebut,
cadangan devisa Indonesia sampai dengan akhir November 2010 tercatat sebesar USD 92,759
miliar atau setara dengan 6,96 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah.

Nilai tukar rupiah menguat secara signifikan di tahun 2010. Penguatan rupiah didukung oleh
faktor fundamental yang solid tercermin pada kinerja neraca transaksi berjalan yang mencatat
surplus signifikan. Di samping itu, penguatan rupiah tersebut juga derasnya arus modal masuk
asing terkait dengan melimpahnya likuiditas global, kuatnya ekspektasi berlanjutnya kebijakan
suku bunga rendah di negara-negara maju dan peluncuran Quantitave Easing tahap II oleh the
Fed. Derasnya aliran masuk modal asing juga didorong oleh terjaganya persepsi risiko dan
sentimen positif sejalan dengan stabilitas makro dan sistem keuangan yang terkendali,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan sustainabilitas fiskal yang terjaga. Dengan kondisi
tersebut, sepanjang tahun 2010 nilai tukar rupiah telah terapresiasi secara rata-rata sebesar 3,7%
(ytd) atau menguat 4,3% (p-t-p) dibandingkan tahun 2009. Penguatan tersebut diikuti juga oleh
tingkat volatilitas tahunan yang turun menjadi 0,4% dari sebelumnya 0,9%.

Pasar keuangan domestik menunjukkan perkembangan yang terus membaik di tahun 2010
seiring dengan perkembangan perekonomian yang terus terakselerasi. Transmisi kebijakan
moneter juga membaik sebagaimana tercermin pada respons suku bunga pasar uang dan
perbankan yang terus menurun, serta ekspansi kredit yang meningkat. Di pasar obligasi,
transmisi kebijakan moneter tercermin pada penurunan yield SUN untuk seluruh tenornya. Di
pasar saham, indeks harga menunjukkan lonjakan yang membawa IHSG ke level tertinggi
sebesar 3.756,9.
Ke depan, perkembangan ekonomi domestik diperkirakan akan terus membaik. Pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2011 diperkirakan terakselerasi dan dapat mencapai kisaran 6,0%-6,5%.
Sementara, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2012 diperkirakan mencapai kisaran 6,1%-6,6%.
Pertumbuhan tersebut didukung oleh konsumsi rumah tangga yang tetap kuat, investasi yang
membaik, serta masih solidnya kinerja ekspor seiring dengan masih kuatnya pertumbuhan di
negara mitra dagang, terutama di kawasan Asia. Di sisi harga, Bank Indonesia memprakirakan
inflasi di 2011 dapat diarahkan pada kisaran sasarannya, yaitu 5%1% pada tahun 2011 dan
4,5%1% pada tahun 2012. Meskipun demikian, perlu tetap diwaspadai beberapa faktor risiko
terhadap pencapaian sasaran inflasi tersebut maupun prospek makroekonomi ke depan, seperti
masih tingginya ketidakpastian pemulihan ekonomi global, kenaikan harga komoditas
internasional, dan derasnya aliran modal asing masuk yang memicu currency war. Dari sisi
domestic, risiko tersebut antara lain terkait dengan meningkatnya ekses likuiditas di sektor
keuangan dan kemungkinan gangguan produksi serta distribusi bahan kebutuhan pokok.
Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia akan menekankan penerapan bauran kebijakan moneter
dan makroprudensialserta memperkuat koordinasi dengan Pemerintah. Beberapa langkah yang
sedang dipersiapkan Bank Indonesia untuk mitigasi dampak negatif dari arus masuk modal asing
dan sekaligus memperkuat ketahanan sistem perbankan antara lain terkait dengan pengaturan
GWM valas dan vostro account (rekening giro Rupiah yang dimiliki oleh non-residen di bank
domestik).
Berdasarkan asesmen dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia
pada 3 Desember 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan
koridor suku bunga sebesar 100 bps. Keputusan tersebut juga mempertimbangkan bahwa
tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah dan
dipandang masih kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan dan mendorong intermediasi
perbankan. Evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian secara umum mengarah pada
kondisi yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2011 dan tahun 2012 diperkirakan akan
meningkat dengan sumber pertumbuhan yang semakin berimbang.

Kondisi Industri Telekomunikasi di Indonesia


Peta Persaingan Industri Telekomunikasi Seluler saat ini
Awalnya adalah liberalisasi industri telekomunikasi selular sekitar tahun 1995 yang
memperbolehkan sektor swasta untuk ikut berkecimpung dalam bisnis telekomunikasi dan
bersaing secara terbuka. Kebijakan tersebut langsung disambut oleh maraknya operator baru
yang memasuki pasar industri seluler di tanah air. Masuknya para pemain baru di industri
telekomunikasi seluler pasca kebijakan baru tersebut didorong oleh tingginya pertumbuhan
dalam industri seluler baik dari pertumbuhan konsumen maupun output industri seluler itu
sendiri.
Tingkat pertumbuhan konsumen seluler tahunan (CAGR) di Indonesia dalam periode 2005-2009
tercatat sebesar 39,5 persen. Sementara untuk tahun 2009 sendiri tercatat sebesar 47,4 persen
yang merupakan salah satu tingkat pertumbuhan tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Hingga bulan
Juni 2010 jumlah pengguna seluler di Indonesia telah mencapai 180 juta pelanggan, atau
mencapai sekitar 80 persen dari populasi penduduk. Dari 180 juta pelanggan seluler itu,
sebanyak 95 persen adalah pelanggan prabayar (1). Berdasarkan laporan yang dikeluarkan XL
juga tercatat bahwa tingkat penetrasi sebesar 80 persen tersebut tidak mencerminkan jumlah
pelanggan yang sesungguhnya karena banyak konsumen di Indonesia yang menggunakan lebih
dari satu nomor. Dengan kata lain masih masih terdapat peluang untuk tumbuh lebih tinggi. Hal
inilah yang menjadikan pasar seluler di Indonesia kemudian dikerubungi oleh banyak pemain
baru.
Kini, setelah 15 tahun liberalisasi sektor telekomunikasi, Indonesia telah memiliki 10 operator
seluler yang menggunakan jaringan GSM dan CDMA untuk menyediakan layanan
telekomunikasi seluler. Dari 10 operator tersebut lima operator menggunakan teknologi GSM,
diantaranya Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Hutchison CP Telecom Indonesia (Three) dan
Natrindo Telepon Seluler (Axis). Sementara operator lainnya yang menggunakan teknologi
CDMA terdiri dari Bakrie Telecom (Esia), Smart Telecom (Smart), Mobile-8 (2) (Hepi & Fren),
Sampoerna Telecom (Ceria) dan juga Telkom (Flexi) sebagai penyelenggara layanan tetap yang
ikut mengeluarkan produk seluler CDMA. Selain itu Indosat juga mengeluarkan StarOne ,
sebagai produk dengan teknologi CDMA-nya . Jumlah operator seluler di Indonesia ini
merupakan salah satu yang terbesar di Asia setelah India. Negara tetangga seperti Filipina hanya
memiliki 3 operator begitu juga dengan Malaysia dengan 3 operator. Bahkan Cina hanya
memiliki 2 operator seluler.

Banyaknya jumlah operator saat ini mencerminkan tingkat persaingan yang tinggi yang
seharusnya akan menguntungkan konsumen seluler. Namun jika dilihat dari strukturnya, industri
seluler termasuk dalam pasar oligopoli. Beberapa indikatornya adalah rasio konsentrasi tiga
perusahaan besar (CR3) dan Indeks Herfindahl yang mengukur penguasaan pasar pemain utama

dimana berdasarkan penelitian yang dibiayai Bappenas secara berturut menunjukkan angka
sebesar 0,989 dan 4.450 pada tahun 2005 (3). Kedua indikator tersebut menunjukkan adanya
indikasi mengarah pada struktur pasar oligopoli. Dari sisi penguasaan pasarnya, total tiga
operator GSM terbesar hingga Desember 2009, menyumbangkan sekitar 75 persen dari total
pelanggan layanan seluler di Indonesia (4). Sementara operator lainnya hanya menguasai kurang
dari 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa persaingan antara operator seluler secara praktis
terjadi hanya pada 3 operator besar dan mengindikasikan struktur pasar oligopoli yang sangat
ketat.
Salah satu ciri dalam struktur pasar oligopoli adalah kecenderungan untuk menentukan harga
melalui kesepakatan antar pemain dalam bentuk kartel seperti kasus kartel SMS beberapa waktu
lalu. Namun, berdasarkan kajian yang dibiayai BAPPENAS pasar oligopoli tidak dengan
sendirinya diikuti oleh persekongkolan horisontal dalam bentuk kartel misalnya. Struktur pasar
oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki intensitas modal yang tinggi
sehingga menyulitkan pemain baru untuk masuk. Dengan kata lain hambatan masuk ke dalam
industri tersebut terjadi secara alamiah karena faktor modal yang dimiliki. Begitu juga yang
terjadi dalam telekomunikasi seluler sehingga sebagian pemain baru yang mencoba masuk
kepasar sebagian besar adalah modal asing. Hal yang paling tidak menguntungkan dari pasar
dengan tingkat konsentrasi yang tinggi adalah persaingan akan menjadi tidak kondusif bagi para
pemain baru dan memiliki kecenderungan untuk terjadi persaingan yang sangat tajam dan tidak
efisien bagi industri secara keseluruhan.
Ketua Komisi Kadin bidang Telekomunikasi menilai industri telekomunikasi nasional saat ini
mulai mengalami titik jenuh. Berbagai pemicu yang mempengaruhi kejenuhan itu, seperti
pertumbuhan revenue kini semakin tertekan. Tidak adanya batasan yang jelas antara pemain
seluler dan fixed wireless access (FWA). Sehingga membuat pemain FWA terdesak. Hal ini
terlihat dari revenue per minute (RPM) seluler yang mulai menyamai FWA. Diungkapkan sejak
lima tahun terakhir, industri telekomunikasi di Indonesia mengalami booming. Tahun 2010, data
KADIN mencapat penetrasi pasar telekomunikasi mencapai 84,3% dari populasi penduduk 240
juta jiwa.
Angka ini diambil dari penghitungan jumlah penjualan SIM card yang mencapai 204,8 juta unit.
Jumlah ini naik sekira 8% dari 2009, yang jumlah penjualan SIM card hanya 183,27 juta, atau
sama dengan penetrasi 76,3%. Jumlah pendapatan di sektor industri selular tahun 2010 mencapai
Rp 83,7 trilliun, atau naik dari tahun 2009 sebanyak Rp 77,9 triliun. Tahun 2008 Rp 70,5 triliun,
dan Rp 61,4 di tahun 2007. Pendapatan industri internet tahun 2010 adalah Rp6,7 triliun, Rp 5,5
triliun tahun 2009, Rp 4,2 triliun tahun 2008, dan Rp 2,8 triliun tahun 2007. Namun pendapatan
industri jaringan tetap (fixed line) terus mengalami penurunan. Tahun 2010 mencapai Rp 7,5
triliun, Rp 7,9 triliun di 2009, Rp 9,2 triliun di 2008, dan pada tahun 2007 adalah Rp 10,4 triliun.
Jumlah pelanggan industri selular pada 2010 adalah 198.14 juta dan sebanyak 164.098 juta di
2009. Sedangkan jumlah pelanggan industri fixed line tahun 2010 adalah 8.384 juta, atau turun

dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 8.460. Dan pelanggan di industri internet 2010
sebanyak 7.359 juta. Meski mengalami titik jenuh. Tapi, peluang kompetisi diprediksi akan terus
berlanjut. Juga untuk mengatasi kejenuhan, diperlukan regulasi yang kuat untuk memantau,
mengawasi persaingan usaha dan menata kembali industri telekimunikasi agar tidak terjadi
keadaan dimana salah satu pihak berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Operator
dihimbau untuk melakukan persaingan usaha yang sehat. Khususnya dalam berpromosi agar
semua operator bisa saling menguntungkan, bukannya semakin merugikan operator itu sendiri,
atau bahkan merugikan pelanggan.
Direktur Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Masyarakat Informasi (LPPMI)
membenarkan kondisi titik jenuh di industri telekomunikasi nasional mulai terasa. Juga adanya
perubahan pola dimana masyarakat sudah mengarah ke layanan broadband. Saat ini penetrasi
broadband di Indonesia hanya 10 juta pengguna, sehingga peluang ke depan semakin luas. Selain
itu, pasar yang jenuh kebanyakan berada di wilayah Pulau Jawa yang mencapai 42% dari total
penjualan telekomunikasi. Sehingga peluang ke luar Jawa akan semakin terbuka sehingga
mampu mengatasi titik jenuh. Untuk itu dibutuhkan dukungan pemerintah dan regulator untuk
menyiapkan infrastruktur atau serat optik pita lebar, sebagai dukungan pembangunan akses yang
dilakukan operator
Jumlah pendapatan di sektor industri selular pada tahun 2010 adalah sebesar Rp83,7 trilliun, atau
naik dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp77,9 triliun. Pada tahun 2008 adalah Rp70,5
triliun, dan Rp61,4 di tahun 2007. Sementara itu, untuk pendapatan di sektor industri internet
pada tahun 2010 adalah Rp6,7 triliun, Rp5,5 triliun tahun 2009, Rp4,2 triliun tahun 2008, dan
Rp2,8 triliun tahun 2007. Sedangkan pendapatan di sektor industri jaringan tetap (fixed line)
terus mengalami penurunan. Dimana pada tahun 2010 mencapai Rp7,5 triliun, Rp7,9 triliun di
2009, Rp9,2 triliun di 2008, dan pada tahun 2007 adalah Rp10,4 triliun.
Jumlah pelanggan industri selular pada tahun 2010 adalah 198.14 juta dan sebanyak 164.098 juta
di 2009. Sedangkan jumlah pelanggan industri fixed line pada tahun 2010 adalah 8.384 juta, atau
turun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 8.460. Sementara pelanggan di industri
internet pada tahun 2010 adalah sebanyak 7.359 juta. Sedangkan pada tahun sebelumnya hanya
5.216 juta. Dibandingkan dengan negara lain, jumlah operator jaringan selular terbesar terdapat
di Indonesia. Terdapat beberapa varian produk dan servis yang mendorong pertumbuhan industri
telekomunikasi. Pertama, kata dia, adalah servis dasar (basic services), seperti short message
service (SMS) dan akses internet broadband. Kedua, adalah konten seperti musik dan toko
online. Ketiga, servis yang memberikan nilai tambah (value added services) seperti sistem alat
pembayaran (E-payment) dan jaringan lokal nirkabel (Wireless LAN /WLAN).
Banyak peluang lebih dari sekedar mendapatkan dan mempertahankan pelanggan, tapi lebih dari
itu, pemain dalam industri telekomunikasi, harus mengevaluasi dan melihat peluang-peluang di
masa yang akan datang. Pada tahun 2020, diperkirakan bahwa akan ada lebih dari 50 miliar
perangkat yang tersambung di dunia. Data dari United Nation forecast ditahun 2020 akan ada

delapan miliar populasi di dunia, maka jumlah koneksi akan berada di sekitar 6,25 kali jumlah
penduduk di dunia. Jika kita mengambil rata-rata ke Indonesia dengan perkiraan 270 juta
penduduk pada tahun 2020, maka akan terdapat sekitar 1,7 miliar perangkat yang terhubung di
Indonesia.

Industri Penyewaan Menara di Indonesia

Menurut Departemen Riset IFT, industri penyewaan menara di Indonesia masih tetap
menjanjikan, seiring dengan pertumbuhan layanan data dan internet operator telekomunikasi,
sebab operator harus terus membangun infrastrukturnya seperti base transceiver station (BTS)
3G yang memerlukan menara untuk mendukung layanan data dan internet.
Pada tahun ini, sejumlah emiten infrastruktur telekomunikasi menargetkan pembangunan
menara-menara (Base Transceiver Station) baru dan mengakuisisi menara-menara milik
perusahaan lain. Langkah itu dilakukan demi memperluas cakupan wilayah pelayanan serta
memperbaiki kualitas jaringan. Ketatnya persaingan di industri telekomunikasi saat ini berimbas
pada langkah bisnis perusahaan-perusahaan jasa infrastruktur menara telekomunikasi. Beberapa
perusahaan yang bergerak di bidang tersebut gencar membangun menara telekomunikasi atau
mengakuisisi menara-menara milik perusahaan lain.
Langkah yang ditempuh perusahaan-perusahaan itu utamanya dimaksudkan untuk memperluas
cakupan wilayah pelayanan serta memperbaiki dan meningkatkan kualitas sinyal. Lazim

diketahui, dalam industri telekomunikasi, menara telekomunikasi atau dikenal juga dengan base
transceiver station (BTS) merupakan perangkat yang sangat penting dalam berkomunikasi
dengan menggunakan jaringan seluler atau nirkabel. Dikatakan penting karena BTS berfungsi
sebagai penghubung sinyal telekomunikasi antardaerah. Semakin rapat menara telekomunikasi di
suatu kawasan, semakin kuat sinyal di kawasan tersebut. Alhasil, kualitas telekomunikasi pun
semakin baik, dalam arti tidak terjadi blank spot. Pada umumnya, para operator telekomunikasi
akan membangun fasilitas BTS di lokasi-lokasi dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi

Jumlah operator telekomunikasi yang terus bermunculan membuat para operator telekomunikasi
ini harus memutar otak untuk mengurangi pengeluaran, agar laba bersih yang diperoleh tetap
tinggi meskipun pendapatan mereka tertekan.
Salah satu pengeluaran terbesar para operator telekomunikasi adalah biaya untuk mendirikan
menara BTS. Jika operator membangun menara sendiri, investasi yang mesti ditanamkan untuk
satu lokasi BTS mencapai Rp 750 juta - 1 miliar. Itu belum termasuk biaya akuisisi tanah yang
luasnya rata-rata 200 meterpersegi, perizinan, listrik, retribusi, dan sebagainya. Total biaya yang
dikeluarkan bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Padahal, operator seharusnya konsentrasi untuk
bersaing dalam memberikan layanan kepada pelanggan.
Kompetisi antar operator akhirnya berujung pada efisiensi, sehingga sewa menara menjadi
solusinya. Apalagi saat ini operator telekomunikasi lebih memilih menyewa menara ketimbang
membangun menara sendiri, karena alasan efisiensi waktu dan biaya. Bahkan beberapa operator
merencanakan menambah BTS baru dan menyewa menara dalam jumlah besar, seperti PT Axis
Telekom Indonesia. Operator Axis ini berencana membangun 1.000 unit BTS 3G dan menyewa
5.000 unit menara dalam tempo tiga tahun ke depan. PT Hutchison CP Telecommunications juga
berkomitmen membangun BTS 3G, jika pemerintah memberikan alokasi blok 3G tahap kedua
(second carrier) kepada perusahaan.

Sakti Wahyu Trenggono, Ketua Asosiasi Pengembang Menara Telekomunikasi Indonesia,


sebelumnya mengatakan perusahaan penyewaan menara memiliki pasar besar, yaitu sebanyak 11
operator seluler dan fixed wireless access (FWA). Asosiasi memperkirakan kebutuhan menara
mencapai 6.000 unit per tahun.
Di Indonesia saat ini terdapat 54 ribu menara dengan nilai investasi Rp 81,3 triliun. Kebutuhan
tersebut dapat meningkat sesuai dengan perkembangan teknologi dan rencana ekspansi operatoroperator ke wilayah-wilayah potensial di luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi dan Sumatera.

Anda mungkin juga menyukai