Anda di halaman 1dari 16

Ikontinensia Urin

Rendy Aprianus Santoso (10.2008.020)


Mahasiswa Fakultas Kedoteran UKRIDA Semester III
Jakarta 2013
Email: Rendy13santoso@yahoo.com

Skenario 1
Ny. A, 70 tahun diantar oleh anaknya yang paling kecil (anak ke-8) berobat kepoli Geratri
dengan keluhan tidak dapat menahan kencing sehingga sering ngompol sebelum sampai
ke WC, jalan tidak bisa cepat, harus pelan-pelan nyeri sendi lututnya untuk berjalan dan
takut jatuh, karena pernah jatuh. Kadang saat tertawa, batuk juga ngompol. Karena tidak
dapat menahan kencing ibu merasa sangat tidak nyaman, malu sehingga segan / tidak mau
keluar rumah, padahal sebelumnya ibu sangat aktif dalam pergaulan. Riwayat penyakit
jantung, darah tinggi, kencing manis sebelumnya tidak ada.

BAB I
Pendahuluan
Pembahasan tentang proses menua semakin sering muncul dengan beratambahnya populasi
usia lanjut di berbagai belahan dunia. Telah banyak dikemukaan bahwa proses menua amat
dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan seharusnya dianggap sebagai suatu
proses normal dan tidak selalu menyebabkan gangguan fungsi atau penyakit. Proses
penuaan secara umum terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada
tingkat selular maupun pada tingkat organ sejalan dengan proses menua. Akibat penurunan
kapasitas fungsional tersebut, orang lanjut usia biasanya tidak berespon pada berbagai
rangsangan, baik internal maupun eksternal, sensitif yang dapat dilakukan orang yang lebih
muda. Menurunnya respon tersebut cenderung membuat orang usia lanjut sulit untuk
memelihara kestabilan homeostatis tubuh.

Salah satunya adalah inkontinensia urin dimana terjadi ketidakmampuan seseorang dalam
menahan air kencingnya. Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada
penderita lanjut usia, batasan inkontinensia adalah pengluaran urin tanpa disadari, dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan
atau sosial.

BAB II
ISI
Anamnesis
Anamnesa adalah cara pemeiksaan yang dilakukan dengan wawancara, baik langsung
kepada pasien (autonamnesis) maupun kepada orang tua atau sumber lain ( aloanamnesis)
Adapun hal-hal yang perlu kita tanyakan pada saat anamnesis adalah :
1. Identitas pasien : nama, umur,jenis kelamin, alamat, agama.
2. Riwayat penyakit sekarang: keluhan utama, keluhan tambahan
3. Riwayat penyakit dahulu.
4. Riwayat penyakit keluarga.
Anamnesis ini sangat penting dan menentukan dalam pemeriksaan klinis.1,2
Pada inkontinensia, pasien biasanya datang dengan keluhan sering tidak dapat menahan
kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai ke WC, kadang saat tertawa
dengan bersemangat dan batuk, tanpa sadar terkencing-kencing. Sedangkan penyakit
jantung, darah tinggi, kencing manis sebelumnya tidak ada.

Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik 1-3

Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu
menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan,
pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada
wanita) sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa
nyeri, massa atau riwayat pembedahan.

Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa


genitalia

Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk mendapatkan adanya obstipasi atau


skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perianal dan reflex bulbokavernosus.
Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.

Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa,


tonus otot, prolapse pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.

Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksaan


sensasi perineum,tonus anus dan reflex bulbokavernosus

Tes diganostik
Menurut

Ouslander,

tes

diagnostik

pada

inkontinensia

perlu

dilakukan

untuk

mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi


kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah berkemih,
dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan
kandung kemih tidak adekuat.1

Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa
urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik
dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat
dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika
kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk
ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali
dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan

berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas
kandung kemih.
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang
berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri,
glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal
didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes labolatorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen creatinin,
kalsium glukosa sitology.
Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi kemih bagian bawah.
Tes tekanan urethra mengukur tekanan didalam urethra saat istirahat dan saat
dinamis.
Imaging tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.2

Epidemiologi
Inkontinensia urin merupakan keluhan terbanyak yang tercatat pada Papyrus Ebers (1550
SM), Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan
prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%.
Di Amerika Serikat saat ini tercatat 13 juta orang mengalami inkontinensia dengan 11 juta
diantaranya berjenis kelamin wanita. Dua puluh lima persen wanita antara usia 30-59 tahun
pernah mengalami inkontinensia urin, sementara pada individu berusia 60 tahun atau lebih,
15%-30% menderita inkontinensia urin.
Di antara wanita berusia pertengahan, suatu penelitian mengindikasikan bahwa dari 58%
populasi yang melaporkan inkontinensia hanya 25% yang mencari terapi untuk kondisi
tersebut. Thomas mengidentifikasikan bahwa hanya 1 dari 10 wanita akan mencari
pelayanan kesehatan profesional untuk masalah inkontinensianya.
Tahun 1997, berdasarkan hasil dari 21 penelitian, Hampel menemukan bahwa stress
incontinence merupakan bentuk paling sering (49%) inkontinensia pada wanita sementara
urge incontinence merupakan bentuk tersering (40-80%) pada pria. Thomas et al
melaporkan bahwa gejala stress incontinence lebih sering terjadi pada wanita berusia 45-54
4

tahun, sementara urge incontinence kejadiannya akan meningkat seiring dengan


pertambahan usia (antara 35-64 tahun). Sementara Kondon dan rekannya menemukan
prevalensi stress incontinence maksimum (43%) pada kelompok usia 50 tahun)2,4.

Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ
kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan
air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih,
sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih
bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi.
Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi
perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan
cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa
terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik,
seperti diabetes melitus, yang harus terus di pantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang
berlebihan yang biasa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika
seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi factor penyebab produksi urin meningkat dan
harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bias disebabkan
oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan subsitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikilogis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik
atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obat tertentu karena
penyakit yang dideritanya.

Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretic, antikolinergik, analgesic,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalium
antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedative antagonik.
Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedative hipnotik juga memiliki
andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya ngompol. Ikontinensia
urin juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan oprasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot
dasar panggul karena ditekan selama 9 bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar paggul rusak akibat regangan otot dan
jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinesia urin. Dengan menurunya kadar hormone estrogen pada wanita di usia
menopause, akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih,sehigga
menyebabkan terjadinya ikontinesia urine.1-4

Patofisiologi
Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor
sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan didalam kandung kemih
tetap rendah, sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam
keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup, sewaktu miksi, tekanan
didalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif oto-ototnya, sementara terjadi
pengendoran mekanisme penutupan didalam uretra. Uretra membuka dan urin memancar
keluar.
Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinesia urin, ada inkontinensia urin tipe
stress, inkontinensia tipe fungsional dan tipe overflow. Inkontinensia tipe stress adalah
inkontinensia urin yang paling banyak di jumpai pada perempuan. Ada sebuah penelitian
yang melaporkan bawah inkotinensia urin stress ternyata tidak hanya disebabkan oleh
kegagalan penyokong ureter tetapi juga karena penutupan leher vesika yang tidak adekuat
dan gangguan pada system kendali kontinesia urin (neuromuscular). Pemahaman itu
memicu kesimpulan bahwa tatalaksana yang diberikan pada perempuan dengan
inkontinensia urine harus disesuaikan dengan jenis inkontinensia urin dan penyebab

kerusakan, sebaiknya tatalaksana ini tidak di samaratakan untuk semua kasus inkontinensia
urin.1-5

Gambari 1 tampak lateral mekanisme kontinesia yang memperlihatkan pendesakan tesia endopelvis menuju
fascia arkus tendinosus pelvis dan otot levator ani.

Irisan lateral organ panggul pada gambar 1 nunjukan anatomi yang berkaitan dengan system
kendali kontinensia. Beberapa komponen penting yang berperan ialah otot levator ani yang
berjalan dari tulang pubis menuju ke sfingter ani dibalik rectum untuk menyokong organ
pelvis. Otot ini berjalan disebelah lateral facia arkus tendinosus pelvis yang merupakan fasia
endopelvis yang menghubungkan tulang pubis dengan spina isiadika. Fasia tersebut
cenderung berperan pasif dalam mekanisme kontinensia tetapi hubungan fascia itu dengan
otot levator ani merupakan elemen penting dalam system kendali. Hubungan tersebut
memungkinkan kontraksi aktif otot pelvis untuk memicu elevasi leher vesika. Aktivasi
konstan normal otot levator ani menyokong leher veseika dalam proses miksi normal.
Salah satu pernyataan penting ialah bagaimana apartus itu dapat menjaga uretra tertutup
walaupun tekanan dalam vesika meningkat pada waktu batuk keras tanpa dapat mendesak
urin keluar melalui uretra. Pada model konseptul dijelaskan bahwa stabilitas lapisan
penyokong cenderung lebih mempengaruhi terjadinya kontinensia dibandingkan dengan
tinggi uretra. Individu dengan lapisan penyokong yang kuat, uretra akan ditekan antara
tekanan abdominal dan fasia pelvis pada arah yang sama. Kondisi tersebut diibaratkan saat
seseorang dapat menghentikan aliran yang melalui selang taman dengan menginjak selang
dan menekan kea rah lantai keras yang mendasari. Jika lapisan dibawah uretra tidak stabil
dan tidak memberikan tahan yang kokoh terhadap tekanan abdominal yang menekan uretra,
maka tekanan yang berlawanan akan menyebabkan hilangnya penutupan dan kerja oklusi
akan berkurang. Kondisi yang terjadi selanjutnya dapat diibaratkan seperti saat seseorang

mencaba menghentikan aliran air melalui selang taman dengan menginjak selang yang
berada di atas tanah liat.3
Analog tersebut juga dapat menjelaskan mengapa pada inkontinensia urin dapat terbentuk
sistoureterokel yang besar dan pada pasien dengan uretra yang terletak jauh dibawah posisi
normal seringkali tidak dapat menjalankan fungsi kontinensia dengan baik. Jika lapisan
suburetral dapat mempertahankan stabilitas maka mekanisme itu dipertahankan efektif
(gambar 2)

Gambar 2 A tekanan abdominal mendesak uretra terhadap penyokong uretra. B pada gambar ini jariangan
penyokong tidak stabil sehingga tidak membentuk jaringan yang kokoh saat uretra ditekan. C sistouretrokel
terbentuk saat uretra terletak lebih rendah dan normal tetapi memiliki lapisan penokong yang kuat yang
memungkinkan kompresi uretra

Klasifikasi inkontinensia urin

Inkontinensia Urin Akut Reveribel


Pasien delirium munkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia
urin umumnya juga akan teratasi . setiap kondisi yang menghambat mobilisasi
pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya
inkontinensia persisten seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya.

Resistensi urin karena oabat-obatan, atau obstruksi ananatomis dapat pula


menyebabkan

inkontinensia

urin.

Keadaan

inflamasi

pada

vagina

dan

urethra(vaginitis dan urethritis) munkin akan memicu inkontinensi urin. Konstipasi


juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai

kondisi

yang

menyebabkan

polyuria

dapat

memicu

terjadinya

inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi
vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudia mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nocturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan
terjadinya inkontinensia seperti calcium channel bloker, agonist adrenergic alfa,
analgesic narcotic, psikotropik, antikoninergik, dan diuretic
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat
dilihat akromin dibawah ini
D (delirium), R (restriksi mobilitas, retensi urin), I ( infeksi, inflamasi, impaksi), P
(polyuria,pharmasi)5

Inkontinensia Urin Presisten


Inkontinensia urin presisten dapat dikalsifikasikan dalam berbagai cara, meliputi
anatomis, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan klinis, klasifikasi klinis lebih
bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intevensi klinis.

Kategori klinis meliputi:


Inkontinensia urin stress
Tak terkendalikan aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal,
seperti pada saat batuk,bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh
melemahnya

otot

dasar

panggul.

Merupakan

penyebab

tersering

inkontinensia urin pada lansia dibawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada
wanita tetapi munkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter
urethra setelah pembedahan transurethreal dan radiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang
keluar dapat sedikit atau banyak.6
Inkontinensia urin urgensi
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan
berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi
9

detruksor tak terkendali. Masalah-masalah neurologis sering dikaitakan


degan ikontinensia urin urgensi ini. Meliputi stroke, penyakit Parkinson,
demensia dan cedera medulla spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu
untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga
timbul pristiwa inkontinensia urin. Inkontinesia tipe urgensi ini merupakan
penyebab tersering inkontinensia pada lansia diatas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detruksor dengan kontraktilitas
yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat
mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin strees,overflow dan obstruksi.oleh karena itu perlu untuk
mengenali kondisi penangannya tidak tepat.6
Inkontinensia urin luapan/overflow
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung
kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstuksi anatomis, seperti
pembesaran prostat, factor-faktor neurogenic pada diabetes mellitus atau
sclerosis multiple, dan fakto-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh
keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah
penuh6
Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan indentifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran
urin akibat factor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah
demensia berat, masalah musculoskeletal berat, factor lingkungan yang
menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan factor psikologis.

Manifestasi klinis5
1. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya.
Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
2. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran
seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol
selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang
abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak stabil.

10

4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah,


menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal),
fistula (menetes terus-menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus
besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang
mendasari.

Komplikasi
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area
bokong sampai dengan ulkus decubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat
terpleset oleh urin yang tercecer.

Differinsial diagnosis
Inkontinensia overflow merupakan hilangnya kendali miksi involunter yang berhubungan
dengan distensi kandung kemih yang berlebih. Hal ini dapat terjadi secara sekunder dari
kerusakan otot detrusor yang memicu kelemahan detrusor. Selain itu obstruksi uretra juga
dapat memicu distensi kandung kemih dan inkontinensi overflow.inkontinensia overflow
terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi penuh,
sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi, meningkatnya tegangan kandung kemih
akibat obstuksi prostat hipertrofi pada laki-laki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes
militus, trauma medulla spinalis, obat-obatan. Manifestasi klinisnya berupa pengosongan
kandung kemih yang tidak sempurna mengakibatkan urine menetes lewat uretra secara
intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Inkontinensia urin tipe fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan
kongnitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi
biasanya pada dimensia berat, penglihatan yang buruk, keengganan ke toilet karena depresi,
kecemasan atau kemarahan, drunkenness, atau dalam berada dalam situasi dimana tidak
mungkin untuk mencapai toilet, ganguan mobiditas, ganguan neurologic dan psikologik.

11

Working Diagnosis
Pada kasus ini, pasien menderita inkontinensia campuran (inkontinensia tipe stress dan
urgensi). Dikarenakan inkontinensia stress dapat terjadi akibat outlet kandung kemih atau
sfingter yang tidak kompeten. Apa saja yang mengakibatkan tambahan tekanan intraabdominal.

Tambahan

tekanan

intra-abdominal

dapat

terjadi

akibat

obsesitas,

kehamilan,mengangkat barang berat,batuk,bersin,tertawa,gerak badan dan seterusnya.


Sedangkan inkontinensia urgensi dikaitkan dengan pengeluaran urine yang tidak dapat
ditahan dan segera keluar(urgensi).3 kelainan ini dibagi menjadi 2 subtipe yaitu motorik dan
sensorik. Subtype motoric disebabkan oleh lesi pada system saraf pusat seperti stroke,
Parkinson, tumor otak dan sclerosis multiple atau adanya lesi pada meudla spinalis
suprasakral. Subtype sensorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat
sistitis,urethritis dan diverticulitis.

Medikamentosa
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara oprasi akan tetapi pada kasus
ringan ataupun sedang, bias dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul
dalah terapi non operatif yang paling popular, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi
dan pemakaian mekanis.
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Terapi Nonfarmakologis.
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hyperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretic, gula darah tinggi,
dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah:
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih
6-7x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila
belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu

12

tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap


sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam1-3.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahu petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi
kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksi otot dasar
panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksi otot dasar
otot panggul tersebut adalah dengan cara:
a. Berdiri dilantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,
kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 menit,
kedepan ke belakang 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan
dengan jarum jam 10 kali.
b. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita membuang air
besar dilakukan 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra
dapat tertutup dengan baik.3,4

Terapi Farmakologis
o Obat-obat

yang dapat

diberikan

pada

inkontinensia

urgen

adalah

antikolinergik seperti oxybutynin,propantteine, Dicylomine, flavoxate,


imipramine.
o Pada

inkontinensia

stress

diberikan

alfa

adrenergic

agonis,

yaitu

pseudoepherine untuk meningkatkan retensi urethra.


o Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfaklinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.

Terapi Pembedahan
Terapi ini dapat di pertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
13

Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, diverticulum, hyperplasia prostat dan
prolapse pelvic (pada wanita).

Modalitas Lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medic yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu lagi, lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pempers, kateter, dan alat bantu
toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan
sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan
pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air
seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya
kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit,
gatal dan alergi.
Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu.
Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang
secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini
digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih.
Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.4-6.

Prognosis

Inkontinensia urin tipe stress biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar
panggul, prognosis cukup baik

Inkontinensia tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki dengan
obat-obatan golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.

Inkontinensia tipe overflow, tergantung pada penyebab (misalnya dengan mengatasi


sumbatan/ retensi urin).

14

Penutup dan Kesimpulan


Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostic yang diperlukan mempunya hasil yang
baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini . jenis inkontinesia urine yang utama yaitu
inkontinensia strees, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan konservatif dilakukan
pada kasus inkompeten sfingter uretra sebleum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia
neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan factor penyebab.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan MKL.2008 juli, vol 58 (no 7)
2. Setiati

S,

Pramantara

IDP.

Buku

ajar

ilmu

penyakit

dalam.

Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Jilid I edisi ke-5.


Jakarta:Interna Publishing,2009
3. Baradero M, Daytrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal: seri asuhan
keperawatan. Jakarta:EGC;2005
4. Darmojo B. geriatric ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai
Penerbitan FKUI;2009
5. Siti Maryam, et al. mengenal usia lanjut dan perawatanya. Jakarta; Salemba
medika;2008
6. Imobilisasi

&

inkontinensia

urin.

Diunduh

dari:

http://www.scribd.com/doc/6240327/IMOBILISASI-INKONTINENSIA- URIN.
2011 Jan 15 .

16

Anda mungkin juga menyukai