Anda di halaman 1dari 101

BAB I

KASUS

Nama

: Tn. A

TTL

: Jakarta/08/08/1948

Usia

:66 tahun

JK

: Laki-laki

Alamat

: Ancol

Tanggal MRS

: 29/09/2014

Dr yang merawat

: dr. Insanil H.Sp.Pd

AUTOANAMNESIS dan Alloanamnesis

KU : Nyeri dada kanan kiri sejak 3 hari SMRS

KT :Sesak ,lemas, batuk berdahak,demam,keringat malam,BB turun


cepat,mual,

RPS : Os mengeluh nyeri dada kanan dan kiri sejak 3 hari SMRS,nyeri
dirasakan timbul mendadak dan terus menerus.Sebelumnya pasien terdapat
batuk berdahak dan sesak sejak 4 bulan.Batuk dan sesak terasa terus
menerus,dan dahak sudah 2 kali berwarna merah kehitaman, Sesak tidak
berkurang walaupun pasien tidak beraktifitas.Keluhan ini disertai lemas yg
hampir dirasakan setiap hari semenjak 1 bulan ini. Disertai Sakit kepala,
terutama dibagian belakang kepala dan berkurang bila os minum obat
hipertensi. Dan terdapat demam yang naik turun dan keringat malam selama
4 bulan. Os mengeluh mual ,Os nafsu makannya meningkat,dalam 4 bulan
hari os bisa makan sebnyak 5 x, dan cepat merasa haus.BB terasa
turun.Menurut istri os mngeluh akhir-akhir ini sering BAK sering tengah
malam. BAB lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu :

R.DM (+) 1 tahun


R.Tb paru (+) 2 tahun
Riwayat Hipertensi 2tahun (+)

R.penyakit.jantung disangkal
R.Asma disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

DM disangkal

Asma disangkal

Peny.Jantung disangkal

HTdisangkal

Riwayat Pengobatan

1. Bila demam istri pasien memberikan parasetamol meskipun demam turun


beberapa jam kemudian Os timbul demam lagi
2. Riwayat konsumsi obat untuk gula darah dari dokter spesialis sebelumnya
dan diminum setiap hari.
3. Riwayat konsumsi obat untuk menurunkan tekanan darah bila pasien
mengeluh gejala sakit kepala.
4. Riwayat berobat di 2 dokter untuk keluhan sesak nafas,dokter mendiagnosis
infeksi paru2 dan harus diobati dengan suntikan sebanyak 15 kali dalam 15
hari,tetapi Os hanya mau datang 8 kali krn malas

R. Alergi

Alergi obat-obatan,makanan,debu dan cuaca disangkal

R.psikososial

Os pola makannya tidak teratur

Suka makan makanan yg bersantan.

Suka Makan yang kue2 manis.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: GCS 14

Tanda Vital
Suhu

: 37,50 C

TD

: 150/90 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Napas

: 27x/menit

Status Generalis

Kepala : Normocephal, rambut hitam, lurus, tidak rontok


Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),edema palpebra(-/-)
Hidung: Septum deviasi (-), epistaksis (-/-),
Mulut : Mukosa kering (-), faring hiperemis (-), tonsil T1/T1,(stomatitis)
Telinga: Normotia, otore -/-,nyeri tekan tragus(-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran thyroid (-)
Thorax
Jantung
-

I : Tidak tampak ictus cordis

P : Teraba ictus cordis di ICS V linea mid clavicula sinistra

P : Batas jantung kanan relatif di linea parasternal dextra ICS V, batas


jantung kiri relatif di linea midclavicula sinistra ICS V

A: Bunyi jantung I dan II murni reguler, murmur (-), gallop (+)

Paru
-

I : Bentuk dan gerak simetris, scar (-)

P : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru

P : Sonor di kedua lapang paru

A : Vesikular di kedua lapang paru, ronchi (+/-), wheezing (-/-)

Abdomen
-

Inspeksi

: Perut datar, terdapat luka bakar sebatas epidermis, scar(-)

Palpasi

: Nyeri tekan abdomen (+), hepatomegali (-), splenomegali (-)

Perkusi

: Timpani keempat kuadran

Auskultasi

: Bising usus (+)

Ekstremitas:
-

Superior : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-), sensoris baik,
motorik 5/5

Inferior : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-), sensoris baik,
motorik 5/5

pemeriksaan Laboratorium UGD 29-09-2014

PEMERIKSAAN

HASIL

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Hemoglobin

L 11,7

g/dL

13,2-17,3

Jumlah Leukosit

H 18,8

ribu/L

3,60-11,00

Trombosit

350

ribu

150-440

HT

36

35-47

SGOT

28

U/L

10-34

SGPT

33

U/L

9-43

Aseton Darah

(-)

GDS

Darah Perifer

(-)
61

Mg/dl

70-200

30-09-2014
Pemeriksaan Hasil

Satuan

GDP

L 25

mg/dl

2 JM PP

86

mg/dl

Nilai Rujukan

1-10-2014
Pemeriksaan

Hasil

Satuan

GDP

L 36

mg/dl

11.00

198

mg/dl

16.00

189

mg/dl

Nilai Rujukan

2-10-2014

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

GDS 10.00

156

mg/dl

12.00

61

mg/dl

15.00

145

mg/dl

17.00

80

mg/dl

20.00

47

mg/dl

23.00

90

mg/dl

Radiologi :

Cor dan aorta baik

Sinus / diaphragma baik

Infiltrate kanan dan kiri atas dan bawah

Kesan : KP duplex

RESUME
anamnesa:
Tn. A 66 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sejak 1 bulan yang lalu, pada dada
kanan dan kiri sejak 3 hari SMRS,yang dirasakan timbul mendadak
dan terus menerus.Sebelumnya pasien terdapat batuk berdahak dan
sesak sejak 4 bulan,sesak terasa terus menerus,dan dahak sudah 2
kali berwarna merah kehitaman.Dan terdapat demam yang terus
menerus dan keringat malam selama 4 bulan,selain itu Os terdapat
nyeri

kepala

yang

berkurang

bila

os

minum

obat

anti

hipertensi,keluhan disertai mual dan nafsu makan meningkat tetapi


BB dirasakan os menurun dan selalu kehausan, os sering BAK pada
malam hari ,Riwayat DM 1thn lalu dan selalu meminum obat
DM,riwayat hipertensi dan tidak teratur minum obat.Riwayat tb paru
2 thn dan tidak selesai berobat.
pemeriksaan Fisik ditemukan :

Keadaan Umum

Kesadaran

Tanda Vital

: Tampak sakit sedang


: GCS 14

Suhu: 37,50 C
TD:150/90 mmHg
Nadi: 82 x/menit
Napas: 27x/menit

DAFTAR MASALAH:

Dypsneu e.c TB kronik

Hipoglikemia e.c DM Tipe 2

Hipertensi Grade I

Combutio Derajat II

ASSESSMENT
1. TB duplex
Berdasarkan :
Anamnesis:

Anam

: Nyeri dada sejak 3 hari,sesak,batuk berdahak,dan demam sejak 4

bulan SMRS keringat malam hari(+),BB terasa sangat cepat turun,Riwayat


infeksi paru dan tidak selesai berobat.

Pf

Ro thorax : bercak infiltrat di kedua lapang paru

Sputum BTA : Positive

Dd

Rdx : LED,kultur kuman

Rth : istirahat,nutrisi, 2 RHZ /4 RH ( gula tidak terkontrol : 2 RHZ/ 7

: Auskultasi paru ronkhi(+/+)

: KP Duplek

RH)

2. Hipertensi grade 1
Berdasarkan :
Anam : Nyeri kepala terus menerus,Riwayat Hipertensi sejak 2 tahun
Pf

: TD : 170/100 mmhg

Dd

: Hipertensi Grade 1

Rdx : EKG
Rth

: modifikasi gaya hidup,captopril 12.5 mg 3 x 1

3.Hipoglikemia e.c DM tipe 2


Anam : cepat lemas(+),poliuria,polidipsi,polifagi.
Lab : gdp 25 mg/dl(rendah)
Rdx : protein/albumin,kolesterol
Rth : modifikasi gaya hidup ,insulin

4.Combutio derajat 2

Anam : Luka bakar terkena air panas.

Lab

:-

Rdx

: Cek elektrolit

Rth

: debridemant luka,Infus NaCL,berikan salep bioplacenton.

BAB II
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di berbagai negara
berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan,
akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan
perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan
peningkatan prevalensi penyakit degenerative, seperti penyakit jantung
koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemi, diabetes, dan lain-lain.
Di Indonesia, penyandang diabetes mellitus (DM) tipe 1 sangat jarang.
Demikian pula di negara tropis lain. Hal ini rupanya berhubungan dengan
letak geografis Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa. Dari angka
prevalensi berbagai negara tampak bila makin jauh letak suatu negara dari
garis khatulistiwa, makin tinggi prevalensi DM tipe 1 nya. Ini bisa dilihat dari
tingginya angka DM tipe 1 di Eropa.
Untuk DM tipe 2, berbagai peelitian epidemiologi menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi DM tipe
2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang.
Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari
hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade
1980 meunjukkan sebaran prevalensi DM tipe-2 antara 0,8% di Tanah
Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitan era 2000
menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh
penelitian di Jakarta dari prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7%
pada tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah
sub-urban Jakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta

jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah
rural sebesar 7,2%, maka dperkirakan pada tahun 2003 terdapat
penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di
daerah rural. Selanjunya, berdasarkan pola pertambahan penduduk,
diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban
14,7% dan rural 7,2% maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Suatu jumlah yang
sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani
sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis bahkan oleh semua tenaga
kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak
terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan
yang cukup besar, semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah,
seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam
upaya pencegahan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2005, diabetes
mellitus

merupakan

suatu

kelompok

penyakit

metabolik

dengan

karakteristik hiperglikemik yang terjadi Karena kelainan sekresi insulin,


kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980
dikatakan bahwa diabetes mellitus merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum

10

dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomic dan kimiawi


yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi
insulin absolute atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Tampaknya
terapat pada keluarga tertentu, berhubungan dnegan aterosklerosis yang
dipercepat, dan merupakan predisposisi untuk terjadinya kelainan
mikrovaskular spesifik seperti retinopati, nefropati dan neuropati.
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi yang pernah tercetus pada
tahun 1965 oleh WHO telah terjadi pada tahun 1980 dan kemudian
diperbaharui pada 1985 dan 1994. Sedang pada tahun 1997, ADA
memperbaharuinya lagi.
Para

pakar

(Perkumpulan

di

Indonesia

Endokrinologi

pun

bersepakan

Indonesia)

pada

melalui
tahun

PERKENI

1993

untuk

membicarakan standar pengelolaan diabetes mellitus, yang kemudian


melakukan revisi konsensus tersebut pada tahun 1998, 2002 dan 2006
dengan menyesuaikannya dengan perkembangan baru.
Secara epidemiologik, diabetes sering tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis
ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus
yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan
adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat
karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor
resiko

yang

berubah

secara

epidemiologik

diperkirakan

adalah

bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi


lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua
faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan
dengan DM tipe 2.
B. Klasifikasi
Tabel klasifikasi etiologis DM
Tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi


insulin absolut:

Autoimun

11

Tipe 2

Idiopatik

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai


defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain

Defek genetik fungsi sel beta

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pancreas

Endokrinopati

Karena obat atau zat kimia

Infeksi

Sebab imunologi yang jarang

Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes
melitus
gestasional

Penetapan Klasifikasi tipe 1 atau tipe 2


Diabetes pada orang dewasa seringkali langsung dinyatakan sebagai
DM tipe 2, hal ini sebenarnya merupakan suatu kesimpulan yang terlalu
cepat diambil, karena diabetes tipe ini merupakan suatu kelainan yang
sangat heterogen dan mempunyai berbagai bentuk. Suatu studi di
Denmark memberikan suatu gambaran lain yaitu DM tipe 1 tidak jarang
terjadi pada orang dewasa. Ia dapat terjadi pada semua umur dan
kekerapan akan meningkat secara kumulatif mulai dari umur 30 tahun,
sehingga resiko terjadinya DM tipe 1 berhubungan dengan umur lama
hidup. Seangkan I New Zealand, DM pada dewasa 14% menggunakan
insulin dan diantara mereka 83% telah memulai pemakaiannya sebagai
pengobatan permanen kurang dari 12 bulan setelah diagnosis diabetes

12

ditegakkan. Mereka yang menggunakan insulin selama 12 bulan ini


secara bermakna mempunyai kadar auto-antibodi terhadap GAD (Glutami
Acid Decarboxilase). GAD merupakan autoantigen terhadap sel beta
pancreas dan terdapat pada 80% DM tipe 1 baru dan juga terdapat pada
80% subyek 10 tahun sebelum terjadinya diabetes tipe 1. Pada penelitian
Inggris, orang dengan DM tipe 2 ternyata memiliki anti GAD yang positif,
dan diantara mereka setelah 6 tahun 0% kemudian memakai insulin,
sedang yang anti GAD negatif hanya 6% yang kemudian memakai
insulin.
Menentukan seseorang termasuk diabetes tipe apa memang sukar.
Misalnya, seseorang dengan diabetes tipe 2 dan berat badan kurang,
selama ini memakai insulin sering dianggap sebagai DM tipe .
Karakteristik yang dapat digunakan untuk memebedakan DM tipe 1 dan
DM tipe 2:
DM tipe 1

DM tipe 2

Mudah terjadi ketoasidosis

Pengobaan

harus

Tidak

mudah

terjadi

ketoasidosis

dengan

insulin

Tidak harus dengan insulin

Onset akut

Onset lambat

Biasanya kurus

Gemuk atau tidak gemuk

Biasanya pada umur muda

Biasanya >45 tahun

Berhubungan dengan HLA-

Tidak berhubungan dengan

DR3 &DR4

HLA

Didapatkan Islet Cell Antibody

Riwayat

keluarga

diabetes

(+) pada 10%

30-50%
terkena

ada

Islet

Cell

Antibody (ICA)

(ICA)

Tidak

kembar

Riwayat keluarga (+) pada


30%

identik

+100%

kembar

identik

terkena

13

C. Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa
darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria
saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan
darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis
DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya
dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan
program pemantau kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian,
sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh
(whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnosis yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk
pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring.
Uji

diagnostik

DM

dilakukan

pada

mereka

yang

menunjukkan

gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk


mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko
DM.
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok dengan salah satu
resiko DM sebagai berikut:

Usia > 45 tahun

Usia lebih muda, terutama dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)


>23 kg/m2,

Kebiasaan tidak aktif

Turunan pertama dari orang tua dengan DM

Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram,


atau riwayat DM gestasional

Hipertensi (> 140/90)

Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl

14

Menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan


klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin

Adanya riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau


glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya

Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar


glukosa darah sewaktu aau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT
dan GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka.
Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju
DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berubah
menjadi DM, 1/3 lainnya tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal.
Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok
TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan
kelompok normal. TGT sering bertkaitan dengan penyakit kardiovaskular,
hipertensi dan dislipidemia.
Tabel. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM

Belum

Pasti DM

DM
Kadar

Plasma

Glukosa

vena

Darah

Darah

Sewaktu

kapiler

Kadar

Plasma

Glukosa

vena

Darah Puasa

Darah

<100

100-199

> 200

<90

90-199

> 200

<100

100-199

> 126

<90

90-199

>100

kapiler
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,
PERKENI, 2006)

15

Diagnosis DM ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan


klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasama puasa >200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah
diterima oleh pasien dan murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan
untuk diagnosis DM. Ketiga, dengan TTGO. Meskipun TTGO engan
beban glukosa 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding
dengan

pemeriksaan

glukosa

plasma

puasa,

namun

memiliki

keterbatasan tersendiri, karena sulit untuk dilakukan berulang-ulang.


Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung
hasil yang diperoleh.

TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeiksaan


TTGO didapatkan glukosa plasma puasa 2 jam setelah beban
antara 140-199 mg/dl.

GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan


glikosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl.

Kriteria Diagnosis DM:


1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl
atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl
atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl
Langkah-langkah

untuk

menegakkan

diagnosis

DM

dan

gangguan toleransi glukosa


Diagnosis klinis DM akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikeluhkan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas ada,
pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk

16

menegakkan diagnosis DM. hasil pemeriksaan glukosa darah puasa


>126 mg/dl juga dijadikan patokan untuk diagnosis DM. Untuk kelompok
tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
sekali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis
DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi
angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar
glukosa darah sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes
toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembebanan >200 mg/dl.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994):
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti kebiasaan seharihari dengan karbohidrat yang cukup dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB
(anak-anak) dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam
waktu5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat
dan tidak merokok

D. Penatalaksanaan
Tujuan :
1.

Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan


mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

2.

Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati,


mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir

17

menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.


3.

Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.


Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah
terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin
dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk
memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus
tercermin pada langkah pengelolaan.

4.

Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan


perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan
perilaku.

Langkah-langkah penatalaksanaan peenyandang diabetes:


1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, meliputi:

Riwayat penyakit
-gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratoris terdahulu
termasuk A1c, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait
DM
-pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan
-riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau dewasa
muda
-pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara
lengkap
-pengobatan yang sedang dijalani
-riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemi,
hipoglikemi)
-riwayat infeksi sebelumnya, terutama riwata infeksi kulit, gigi,
dan traktus urogenitalis
-gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik
-faktor resiko seperti merokok, hipertensi, PJK, obesitas dan
riwayat penyakit keluarga

Pemeriksaan fisik
-pengukutan TB dan BB

18

-pengukuran tekanan darah


-pemeriksaan funduskopi
-pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
-pemerksaan jantung
-evaluasi nadi secara palpasi maupun engan stetoskop
-pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah termasuk jari
-pemeriksaan kulit dan pemeriksaan neurologis
-tanda-tanda penyakit lain yang apat menimbulkan DM tipe lain.

Evaluasi laboratoris/penunjang lain


-glukosa darah puasa 2 jam post prandial (GD2PP)
-A1c
-profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL,
trigliserida)
-kreatinin serum
-albuminuri
-keton, sedimen dan protein dalam urin
-eletrokardiogram
-foto sinar-x dada

Tindakan rujukan
-ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut
-konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif
-konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi
-konsultasi dengan edukator diabetes
-konsultasi dengan spesialis kaki, spesialis perilaku atau
spesialis lain sesuai indikasi

2. Evaluasi medis secara berkala

Dilakukan peeriksaan kadar glukosa darah puasa an 2 jam


sesudah makan sesuai dengan kebutuhan

Pemeriksaan A1C dilakukan setiap 3-6 bulan

Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan:


-jasmani lengkap

19

-mikroalbuminuri
-kreatinin
-albumin/globulin dan ALT
-kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
-EKG
-foto sinar-x dada
-funduskopi

Pilar utama pengelolaan DM :


1. Edukasi
2. Perencanaan makan
3. Latihan jasmani
4. Obat-obatan
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan
disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4
minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat
memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan
intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan
insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan
tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan
indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa
darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah
mendapat pelatihan khusus untuk itu.

Edukasi
Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana
telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri
diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam
merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi
pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur

20

hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan


edukasi,

pengembangan

keterampilan

(skill),

dan

motivasi

yang

berkenaan dengan:

Makan makanan sehat

Kegiatan jasmani secara teratur

Menggunakan obat-obat diabetes secara aman, teatur dan


pada waktu-waktu yang spesifik

Melakukan

pemantauan

glukosa

darah

mandiri

dan

memanfaatkan berbagai informasi yang ada

Melakukan perawatan kaki secara berkala

Mengelola diabetes dengan tepat

Dapat menggunakan fasilitas perawatan kesehatan

Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan


penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.
Perubahan

perilaku

hampir

sama

dengan

proses

edukasi

dan

memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan


evaluasi.

Perencanaan makan
Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab
heterogen, sehingga tidak ada satu cara makan khusus yang dapat
mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus
disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang
dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat, sedang
istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja
cepat tidak digunakan lagi.
Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes
mendukung akan perlunya dimasukannya makanan yang mengandung
karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan
susu rendah lemak dalam menu makanan orang dengan diabetes.
Banyak faktor yang berpengaruh pada respons glikemik makanan,

21

termasuk didalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa,


laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara
memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta
komponen makanan lainnya (lemak, protein).
Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal
dari berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6
minggu kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik,
bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
jumlah total kalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau
macam makanannya.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat: 60-70%
Protein: 10-15%
Lemak: 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan idaman.

Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks
Massa Tubuh (IMT).
IMT = BB(kg)/TB(m2)

Klasifikasi IMT (Asia Pasifik)


Lingkar Perut

Klasifikasi IMT (Asia Pasific)

<90cm (Pria)

>90cm (Pria)

<80cm (Wanita)

>80cm
(Wanita)

22

Risk of co-morbidities

BB Kurang

<18,5

Rendah

Rata-rata

BB Normal

18,5-22,9

Rata-rata

Meningkat

BB Lebih

>23,0 :

- Dengan risiko : 23,0-24,9

Meningkat

Sedang

- Obes I

: 25,0-29,9

Sedang

Berat

- Obes II

: 30

Berat

Sangat berat

Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori,


penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan
Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%

Status gizi:
BB kurang bila BB < 90% BBI
BB normal bila BB 90-110% BBI
BB lebih bila BB 110-120% BBI
Gemuk bila BB >120% BBI

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman


dikalikan kebutuhan kalori basal (30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25
kcal/kgBB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori
untuk aktivitas (10-3%); untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak
lagi sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi
status gizi (bila gemuk, dikurangi; bila kurus, ditambah) dan kalori yang
dibutuhkan menghadapi stres akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan
kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu
hamil diperlukan perhitungan tersendiri.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan

23

sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya.


Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan
pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien
DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa
pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal,
kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal.
Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi
karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang baik.Jumlah
kandungan kolesterol <300 mg/hari. Diusahakan lemak dari sumber asam
lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh. Jumlah
kandungan serat + 25 g/hari. Diutamakan serat larut (soluble fibre).
Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan
mengkonsumsi garam seperti orang sehat, kecuali bila mengalami
hipertensi, harus mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat
dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizin-kan.
Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan
untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori. Untuk
mendapatkan kepatuhan ter- hadap pengaturan makan yang baik,
adanya pengetahuan mengenai bahan penukar akan sangat membantu
pasien.

Latihan jasmani

Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam


penatalaksanaan diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat memperbaiki
sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa dan
selain itu dapat pula menurunkan berat badan. Di samping kegiatan
jasmani sehari-hari, dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara

24

teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan yang
dapat dilakukan adalah jalan atau bersepeda santai, bermain golf atau
berkebun. Bila hendak mencapai tingkat yang lebih baik dapat dilakukan
kegiatan seperti, dansa, jogging, berenang, bersepeda menanjak atau
mencangkul tanah di kebun, atau dengan cara melakukan kegiatan
sebelumnya dengan waktu yang lebih panjang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur, kondisi sosial ekonomi, budaya dan
status kesegaran jasmaninya.

Obat-obatan

Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan

latihan

jasmani yang teratur namun sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dipertimbangkan penggunaan obat-obat anti diabetes oral sesuai indikasi
dan dosis menurut petunjuk dokter. Untuk dapat mencegah terjadinya
komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. Diabetes
mellitus terkendali baik tidak berarti hanya kadar glukosa darahnya saja
yang baik, tetapi harus secara menyeluruh kadar glukosa darah, status
gizi, tekanan darah, kadar lipid/ lemak dan A1c.

Kriteria Pengendalian DM (Asia Pasifik)

Glukosa darah puasa


(mg/dl)
Glukosa darah 2 jam (mg/dl)

A1c (%)

Baik

Sedang

Buruk

80-109

110-125

>126

110-144

145-179

>180

<6.5

6.5 8

>8

25

Kolesterol Total (mg/dl)

<200

200-239

>240

Kolesterol LDL (mg/dl)

<100

100-129

>130

Kolesterol HDL (mg/dl)

>45

Trigeliserida (mg/dl)

<150

150-199

>200

18,5-22,9

23-25

>25

<130/80

130-140/80-90

>140/90

IMT (kg/m2)
Tekanan darah (mmHg)

Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kadar glukosa


darah lebih tinggi dari biasa (puasa < 150 mg/dl, dan sesudah makan <
200 mg/dl), demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain,
mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan
mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah
kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.

E. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemi DM Tipe 2


Kegagalan pengendalian glikemi pada DM setelah melakukan
perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat
mencegah

terjadinya

komplikasi

diabetes

atau

paling

sedikit

menghambatnya.
Kasus DM yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang
umumnya mempuyai latar belakang kelainan yang diawali dengan
resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan
kelainan DM secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pancreas masih
dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi hiperinsulinemia dan
glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian
setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pancreas, baru akan terjadi DM
secara klinis, ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang
memenuhi kriteria DM.
Dengan dasar pengetahuan ini, dapat diperkirakan bahwa dalam
mengelola DM tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik

26

sangat tergantung pada fase mana diagnosis DM ditegakkan yaitu sesuai


dengan kelainan yang terjadi pada saat tersebut seperti:

Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati

Kenaikan produksi glukosa oleh hati

Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas

Macam-macam obat anti hiperglikemik oral


1. Golongan insulin sensitizing
Biguanid
Yang banyak dipakai saat ini adalah metformin. Metformin
terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak
dometabolisme, tapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal.
Karena cepatnya proses tersebut, maka metformin diberikan 23x/hari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan
dengan dosis maksimal dapat menurunkan A1c 1-2%. Efek
samping yang terjadi adalah asidosis laktat, dan sebaiknya tidak
digunkaan apada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (creatinin
>1,3 mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada laki-laki) atau
pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung, serta harus
diberikan dengan hati-hati pada lansia.
Mekanisme kerja. Metformin menurunkan kadar glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,
distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus
sehingga

menurunkan

glukosa

darah

dan

juga

diduga

menghambat absorbsi glukosa di usus seusai makan. Setelah


diberikan peroral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh.
Metformin akan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak
menyebabkan hipoglikemi, sehingga tidak dinyatakan sebagai obat
hipoglikemik, tapi sebagai obat anti hiperglikemik. Pada pemakaian
kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemik bisa terjadi akibat

27

pengaruh sulfonilurea. Pada keadaan tunggal metformin dapat


menurunkan kadar glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi
insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak
menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada penggunaan
sulfonilurea.
Pemakaian

kombinasi

dengan

sulfonilurea

sudah

dapat

dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes dan hanya 50%


pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan
pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis
maksimal.
Kombinasi insulin dengan metformin dapat dipertimbangkan
pada

pasien

gemuk

dengan

kadar

glikemia

yang

sukar

dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik


daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada
yang mendapatkan kombinasi insulin dengan metformin lebih baik
daripada hanya insulin saja.
Efek

samping

gastrointestinal

sering

ditemukan

pada

pemakaian awal metformin dan bisa dikurangi dengan memberikan


obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan
dengan makanan.
Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga
ber[pengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu lipid,
tekanan darah dan plasminogen activator inhibitor (PAI-I).
Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai
monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid,
nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan glitazone. Efektivitas
insulin menurunkan kadar glukosa pada orang gemuk sebanding
dengan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin,
mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid,
maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan DM
pada orang gemuk dengan dislipidemi dan resistensi insulin berat

28

merupakan pilihan pertama. Bila monoterapi tidak berhasil, dapat


dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.

Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan
obat yang juga memiliki efek farmakologis untuk meningkatkan
sensitivitas insulin. Obat ini dapat diberikan secara oral, kimiawi
maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya.
Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi
glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1c 1,4-2,6%
dibanding dengan plasebo.
Mekanisme kerja. Glitazon merupakan agonist peroxisome
proliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif
dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di dalam jaringan
target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati,
sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator
homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang
dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memprebaiki glikemia
(GLUT-1, GLUT-4, dll) selain itu dapat mempengaruhi ekspresi
dan pelepasan mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin,
dll.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi
terjadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak tidak mempengaruhi
farmakokinetik obat ini.
Penggunaan dalam klinik.. Rosiglitazone dan pioglitazon dapat
digunakan

sebagai

monoterapi

maupun

kombinasi

dengan

metformin dan sekretagok insulin.


2. Golongan sekretagok insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemi dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini
meliputi sulfonilurea dan glinid.

29

Sulfonilurea
Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak
tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis
pada awal pengobatan DM dimulai. Terutama bila konsentrasi
glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan sekresi insulin.
Mekanisme kerja. Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta
pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor channel tersebut,
maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan
terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta,
terjadi

depolarisasi

membran

dan

membuka

channel

Ca

tergantung voltase, dan penyebabkan peningkatan Ca intrasel, ion


Ca akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan eksositosis
granul yang mengandung insulin.
Golongna ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersmpan. Karena itu hanay
bermanfaat pada pasien yang masih dapat mengeluarkan insulin.
Untuk mengurangi hipoglikemi terutama pada pasien tua, dipilih
obat yang masa kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan
masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut.
Selain pada orang tua, hipoglikemi juga sering terjadi pada pasien
gagal ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien dengan
asupan makanan yang kurang dan jika digunakan bersama obat
sulfa.
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar
(36%) daripada glukosa setelah makan (21%).
Penggunaan

dalam klinik. Pada

pemakaian

sulfonilurea

umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari


kemungkinan hipoglikemi. Bila kadar glukosa darah sangat tinggi
dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan
perhatian khusus bahwa beberapa hari sudah dapat diperoleh efek

30

klinis yang jelas dan dalam satu minggu sudah terjadi penurunan
kadar glukosa yang cukup bermakna
Dosis permulaan tergantung pada beratnya hiperglikemi. Bila
konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dl sebaiknya dimulai dengan
dosis kecil dan dititrasi bertahap setelah 1-2 minggu sehingga
tercapai kadar GDP 90-130 mg/dl. Bila GDP >200 mg/dl bisa
diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan
jam sebelum makan karena diserap dengan baik. Pada obat yang
diberikan satu kali setiap hari sebaiknya diberikan saat makan pagi
atau saat makan porsi besar.
Kombinasi sulfonilurea dengan insulin lebih baik daripada
insulin sendiri dan dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah.
Glinid
Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonilurea.
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea, memiliki kemiripan
struktur dengan sulfonilurea namun berbeda efeknya. Repaglinid
dan nateglinid keduanya diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme
dalam

hati

hingga

diberikan

2-3

x/hari.

Repaglinid

bisa

menurunkan kadar glukosa darah puasa mesk masa paruhnya


singkat karena menempel pada reseptor sulfonilurea. Nateglinid
mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan tidak menurunkan
kadar glukosa darah puasa. Keduanya merupakan sekretagok
yang khusus menurunkan kadar glukosa postprandial dengan efek
hipoglikemik yang minimal. Kekuatan untuk menurunkan kadar
A1c tidak begitu kuat.
3. Penghambat alfa glukosida
Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dapat meurunkan penyerapan glukosa dan
menurukan hiperglikemi postprandial. Obat ini bekerja di lumen
usus, tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada
kadar insulin.

31

Acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase


yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian
proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan
pembentukan

monosakarida

intraluminal,

menghambat

dan

memperpajang peningkatan glukosa darah postprandial dan


mempengaruhi respon insulin plasma. Ebagai monoterapi tidak
dapat

merangsang

sekresi

insuli

dan

tidak

menyebabkan

hipoglikemi. Efek samping pada GI tract seperti meteorismus,


flatulence dan diare.
Penggunaan dalam klinik bisa digunakan sebagai monoterapi
atau

kombinasidengan

insulin,

metformin,

glitazone,

atau

sulfonilurea. Untuk efek maksimal, obat harus diberikan segera


saat makan utama. Monoterapi dengan acarbose menurunkan
rata-rata glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan GDP10-20 mg/dl,
A1c

sebesar

0,5-1%.

Dengan

terapi

kombinasi

dengan

sulfonilurea, metformin atau insulin, acarbose bisa menurunkan


lebih banyak A1c sebesar

0,3-0,5% dan rata-rata glukosa post

prandial 20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.

F. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus


Pengaruh fisiologis insulin dan indikasi penggunaannya
a. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
langerhans

pankreas.

Isulin

dibentuk

dari

proinsulin

yang

kemudian distimulasi terutama oleh peningkatan kadar glukosa


darah.
b. Insulin memiliki beberapa pengaruh terhadap jaringan tubuh yaitu
menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan
lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi.
Insulin juga menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel ntuk
digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan
glikogen di dalam sel otot dan hati.

32

c. Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas


sedangkan insulin eksogen adalah insulin yang disuntikka dan
merupakan suatu produk farmasi.
Indikasi terapi insulin
a. Semua orang dengan DM tipe 1.
b. Orang dengan DM tipe 2 tertentu mungkin memerlukan insulin bila
terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah
atau bila mengalami stres fisiologis seperti pada tindakan
pembedahan.
c. Orang dengan DM gestasi membutuhkan insulin bila diet saja tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
d. Pada DM dengan ketoasidosis.
e. Pasien

DM

yang

mendapat

nutrisi

parenteral

atau

yang

memerlukan suplemen tinggi kalori, untuk memenuhi kebutuhan


energi yang meningkat, secara bertahap akan memerlukan insulin
eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi
peningkatan kebutuhan insulin
f. Pada

pasien

DM

dengan

komplikasi

akut

berupa

koma

hiperosmolar non ketotik


Tipe-tipe insulin
4 tipe insulin yang diproduksi dikategorikan berdasarkan awal
kerja, puncak kerja dan lama kerjanya:
Sediaan insulin

Awal kerja

Puncak

Lama

(jam)

kerja (jam)

kerja

(ultra-rapid-acting)

0,2-0,5

0,5-2

Insulin glulisin (Apidra)

0,2-0,5

0,5-2

Insulin aspart (Novo rapid)

0,2-0,5

0,5-2

Insulin analog, kerja sangat


cepat

Insulin lispro (Humalog)

33

Insulin kerja menengah


(intermediate-acting)
NPH Insulatard

1,5-4

4-10

0,5-1

2-3

Insulin glargine (lantus)

1-3

Tanpa

Insulin detemir (levemir)

1-3

puncak

Humulin N
Insulin kerja pendek
(short-acting)
Reguler (Human) Humulin
R/actrapid
Insulin kerja panjang
(long-acting)

Insulin campuran
Kerja cepat dan menengah
70%

NPH/30%

reguler 0,5-1

3-12

(Mixtard, Humulin 70/30)


70% NPH/30% analog rapid

0,5-1

3-12

(Novomix)

Memulai alur pemberian insulin


Pada pasien DM tipe 1 terapi insulin dapat diberikan segera
setelah diagnosis ditegakkan. Pada pasien ini terapi yang dianjurkan
adalah injeksi harian multipel untuk mencapai kendali kadar
glukosayang baik. Selain itu pemberian bisa juga dilakukan dengan
pompa insulin.
Menurut PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006,
sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan
baik (A1c>6,5%) dalam jangka awaktu 3 bulan dengan 2 obat oral,
maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat
antidiabetik oral dan insulin.
Penyulit DM

34

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
Penyulit akut:
1. Ketoasidosis diabetik
2. Hiperosmolar non ketotik
3. Hipoglikemia

Penyulit menahun:
1. Makroangiopati:
pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner)
pembuluh darah tepi
pembuluh darah otak (stroke)
2. Mikroangiopati:
retinopati diabetik
nefropati diabetik
Neuropati
3. Rentan infeksi, misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi
saluran kemih
4. Kaki diabetik (gabungan sampai dengan 4)
5. Disfungsi Ereksi

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

35

1. Diabetes mellitus tidak bisa sembuh, tetapi bisa dikendalikan


sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang
2. Diagnosis DM ditegakkan bila ditemukan keluhan klinis dengan
salah satu dari pemeriksaan GDP >126 mg/dl atau GDS>200
mg/dl, atau bila kadar glukosa 2 jam TTGO >200 mg/dl
3. Pengobatan DM selalu diawali dengan perubahan pola hidup
seperti latihan jasmani dan pengaturan diet, bila tidak berhasil
barulah dengan terapi farmakologis

B. Saran
Diabetes mellitus tipe 2 dapat dicegah baik primer, sekunder dan
tersier. Pencegahan dini dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.

BAB III
PEMBAHASAN

A. DEFINISI

36

Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis,

khas ditandai dengan terjadinya pembentukan

granuloma pada jaringan yang terinfeksi.Infeksi ini paling sering mengenai paru,
akan tetapi dapat juga meluas mengenai organ-organ tertentu.1

B. ETIOLOGI
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA), dengan ukuran
panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Kuman tumbuh optimal pada suhui sekitar
37oC dengan pH optimal pada 6,7 sampai 7,0. Untuk membelah dari satu sampai dua
(generation time) kuman membutuhkan waktu 14-20 jam. Sebagian besar dinding
kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga
disebut bakteri tahan asam (BTA) serta lebih tahan terhadap gangguan kimia dan
fisis. Kuman dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini
terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini, kuman
dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis aktif kembali.2
Didalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi kemudian disenangi
karena benyak mengandung lipid. Sifat lain kuman Mycobacterium tuberculosis
adalah aerob, sehingga kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian
lain, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis..2

C. PENULARAN
M.tuberculosis

ditularkan

dari

orang

ke

orang

melalui

jalan

pernafasan.Walaupun mungkin terjadi jalur penularan lain dan kadang kadang


terbukti,tidak satu pun yang penting.Basilus tuberkel di secret pernapasan
membentuk nuclei droplet cairan yang dikeluarkan melalui batuk,bersin dan
berbicara.Droplet keluar dalam jarak dekat dengan mulut dan sesudah itu basilus
yang ada tetap berada diudara untuk waktu yang lama.Infeksi pada penjamu yang

37

rentan terjadi bila terhirup sedikit basilus ini.jumlah basilus yang dikeluarkan
kebanyakan orang yang tidak terinfeksi banyak;khas diperlukan kontak rumah tangga
selama beberapa bulan untuk penularanya.Namun demikian pasien dengan
tuberculosis laring ,penyakit endobrokial,penyebaran tuberculosis transbronkial yang
baru dan penyakit paru berkavitas yang luas sangat sekali menular.Infeksi berkaitan
dengan jumlah kuman pada sputum yang dibatukan,luasnya penyakit paru,dan
frekuansi batuk.Mikobakterium rentan terhadap penyinaran ultraviolet dan penularan
infeksi diluar rumah jarang terjadi pada siang hari.Sebagian besar pasien tidak
infeksius pada dua minggu setelah pemberian kemoterapi yang tepat karena
penurunan jumlah kuman yang dibatukan.1
D. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS

1.Klasifikasi tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang terkena:


Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru. Tidak termasuk pleura (selaput pleura) dan kelenjar pada hilus.
Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.3

2.Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu :


Tuberkulosis paru BTA positif
-

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB


positif

38

1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak


SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
-

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative

Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis

Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

Kasus Bekas TB:

Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung

Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat


pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologic.3

3.Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi

39

gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala


klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
- Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu
antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
- Infeksi jamur
- TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
- Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
- Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
Catatan:
Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.3

40

Gambar. Skema klasifikasi tuberkulosis

E. PATOGENESIS DAN PERJALANAN ALAMIAH TB PARU

Tuberkulosis Primer

41

Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.Bila partikel ini terisap oleh orang
sehat ia akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru.partikel alveolar dapat
masuk ke alveolar jika ukuran partikel < 5 mikrometer.kuman pertama kalin akan
dihadapi oleh netrofil kemudian baru makrofag..kebanyak partikel ini akan mati oleh
makrofag atau dibersihkan makrofag keluar dari percabangan trakeabronkial bersama
gerakan silia dan sekretnya.2
Bila kuman menetap dijaringan paru berkembang biak didalam sitoplasma
makrofag.disini ia dapat masuk ke organ tubuh lainnya .kuman yang bersarang di
jaringan paru akan membentuk sarang tuberculosis kecil dan disebut sarang primer
(focus ghon). Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.semua
proses ini memakan waktu 3 8 minggu. Kompleks primer ini akan mengalami salah
satu nasib sebagai berikut2 :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara : Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu
contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Penyebaran secara
hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah
dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,

42

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada


alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.2

Tuberkulosis pasca-primer
Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa.Mayoritas reinfeksi
mencapai 90 %.Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi ,alcohol,penyakit maligna,diabetes ,AIDS,gagal gnjal.Tuberkulosis pasca
primer ini dimulai dengansarang dini yang berlokasi diregio atas paru..invasinya
adalah kedaerah parenkim paru-paru dan tidak kenodus hiler paru.2
Sarang dini ini mulai membentuk sarang pneumonia kecil.Dalam 3 10 minggu
sarang ini menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma dari sel sel histiosit dan sel datia
langhans yang dikelilingi oleh sel sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.TB ini dapat
berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua .tergantung dari
jumlah kuman ,virulensinya,dan imunitas pasien.Sarang dini ini dapat menjadi :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2.Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih
keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya
dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3.Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding
tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). 2
Nasib kaviti ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Dapat
pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan

43

menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan
membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).2

F. GEJALA KLINIS
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Demam subfebris, kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41oC Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul, sehingga pasien merasa tidak
pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini sangat di pengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberkulosis yang masuk.2
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang

44

keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, batuk
baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang
lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas,
tetapi juga dapat terjadi pada ulkus dinding bronkus.2
Perasaan tidak enak (malaise), lemah. Penyakit tuberkulosis bersifat
radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia,
tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin
lama betambah berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.2
.
Sesak Nafas,Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan
sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.2
Nyeri Dada, Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru),
dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Gejala ini agak jarang
ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik /melepaskan nafasnya.2

G. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik pasien sering menunjukkan suatu kelainan pun
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.
Demikian pula bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan

45

kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran. Suara yang lebih rendah
dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi, dan auskultasi. Secara
anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.2
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara
nafas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infitrat ini
diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.2
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menciut dan menarik
isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi hiperinflasi. Bila
jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan
terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan
arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadi kor pulmonal dan gagal
jantung kanan. Di sini akan di dapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal
jantung kanan seperti takipnea, takikardi, sianosis, right ventricular lift, right atrial
gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang
meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.2
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang
sakit terlihat agak tertinggal saat pernafasan. Perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, Tb paru sering asimtomatik dan penyakit baru di
curigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau
uji tuberkulin yang positif.2

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang paling praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya
lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan

46

keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua
hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.2
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi juga mengenai lobus bawah (bagian
inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis
endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang
tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi oleh jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.2
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat
bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercakbercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang
luas disertai dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun pada satu bagian paru.2
Gambaran tuberkuulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/pleura (pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
(pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas ( non sklerotik/sklerotik) maupun ateletaksis dan emfisema.2
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologis, sehingga di katakan tuberculosis is the greatest imitator.
Gambaran infiltrat dan tuberkuloma sering di artikan sebagai pneumonia, mikosis
paru, karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering sering di artikan sebagai abses
paru. Di samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto. Faktor
kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering

47

di lakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi
densitas kertas.2
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang
sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik,
klasifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.2
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi,
yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalanin pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak di
pakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan).
Pemeriksaan ini lebih superior dibandingkan radiologis biasa. Perbedaan densitas
jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat di buat trasversal.2
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lain adalah Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi
proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut. Sayatan bisa
dibuat transversal, sagital dan koronal. 2

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapatkan perhatian, karena hasilnya kadangkadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat
tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal dan jumlah penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah mulai meningkat.
Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit
masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.2
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga :
1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer.
2. Gama globulin meningkat
3. Kadar natrium menurun

48

Pemeriksaan tersebut di atas nulai juga tidak spesifik.


Pemeriksaan serologi yang pernah di pakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak.
Kriteria positif yang di pakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini juga
kurang mendapatkan perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif
palsunya masih besar.2
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologi yang banyak juga di pakai yakni
Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa peneliti mendapatkan nilai
sensitivitas dan spesifitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain
meragukannya karena mendapatkan angka-angka yang lebih rendah. Sungguhpun
begitu PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan
sebagai sarana tunggal untuk diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah
menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M. Tuberculosae.
Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M. tuberculin var bovis BCG yang
dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan oleh ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB
dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan uji PAP-TB positif. Hasil
positif palsu kadang-kadang masih didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan dan
masa 3 bulan revaksinasi BCG.2
Ujii serologi lain terhadap TB hampir sama cara dan nilainya dengan uji PAPTB adalah uji Mycodat. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang
dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik, sisir ini dicelupkan ke dalam serum
pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan
warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi. 2

Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum
juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan
(puskesmas). Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan sputum, terutama pasien yang
tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum
pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan

49

melakukan reflek batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obatan


mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30
menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkos-kopi di ambil
dengan brushing atau dengan bronchial washing atau BAL (broncho alveolar
lavage). BTA dari sputum juga bisa didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini
sering dikerjakan pada anak-anka karena mereka sulit untuk mengeluarkan
dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.2
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka
ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.
Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman tersebut
tidak ditemukan dalam sputum mereka.2
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sendiaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam 1 ml sputum.
Untuk pewarnaan sendiaan sputum yang dilakukan memakai cara Tan Thiam
Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara pemeriksaan sendiaan sputum yang dilakukan adalah :
Pemeriksaan sendiaan langsung dengan mikroskop biasa.
Pemeriksaan sendiaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan
khusus)
Pewarnaan dengan biakan (kultur)
Pemeriksaan terhadap resistensi obat2
Pemeriksaan dengan mikroskop flouresens dengan sinar ultra violet walaupun
sensitivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai
(auramin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik.
Pada pemeroksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum
dalam medium biakan, koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium
biakan yang sering di pakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa.2
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA dengan cara
Bactec (Bactec 400 Radiometric System), di mana kuman sudah dapat dideteksi

50

dalam 7-10 hari. Di samping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.
tuberculosae yang tidak tumbuh pada sendiaan biakan. Dari hasil biakan biasanya
dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman.2
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasanya terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasil negatif. Ini terjadi pada fenomena dead bacilli
atau non culturable bacliiI yang disebabkan keampuhan paduan obat anti
tuberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sendiaan mikroskopis biasa dan sendiaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan parru,
pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan cerebrospinal, urin
dan tinja.2

Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni
dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D. (Purified Protein Derivative)
intrakutan berkekuatan 5 T.U. (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat
dengan 5 T.U. dapatdiberikan dulu 1 atau 2 T.U. (first strength). Kadang-kadang bila
dengan 5 T.U. masih memberikan hasil negatif dapat diulang lagi dengan 250 T.U.
(second strength). Bila dengan 250 T.U. masih memberikan hasil negatif, berarti
tuberkulosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantouks dengan 5 T.U. saja sudah
cukup berarti.2
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. tuberculosa, M. bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak
(Mycobacterium tuberculosae atau BCG) antibodi seluler pada permulaan dan
kemudian diikuti oeh pembentukan antibodi seluler pada permulaan dan kemudian
diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya akan menekan
antibodi sekitarnya.2

51

Bila pembentukan antibodi selular cukup misalnya pada penularang dengan


kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman yang sangat besar atau pada mana
keadaan di mana pembentukan antibodi humoral sangat berkurang (pada hipogamaglobulinemia), maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan.
Setelah 42-72 jam di suntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan
yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler
dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persernyawaan antibodi seluler dan
antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh
antibodi humoral, makinkecil indurasi yang ditimbulkan.2
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini di bagi dalam :
1. Indurasi 0-5 mm ( diameternya ) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di
sini peran antibodi humoral sangat paling menonjol.
2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Di sini
peran antibody humoral masih menonjol
3. Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan normal sentivity. Di sini peran
kedua antibodi seimbang
4.

Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hipersentivity. Di

siniperan antibodi seluler paling menonjol.2


Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux tes
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih
banyak di temui dari pada positif palsu.2
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulosis berkurang ( negatif palsu ) yakni :
Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis
Anergi, penyakit sistemik berat ( Sarkoidosis, LE )
Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air,
poliomielitis
Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)
Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obatan imunosupresan
lainnya.
Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.

52

Untuk pasien dengan HIV paositif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif.2
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
-

Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)

Infeksi TB dan sakit TB

TB yang telah sembuh

2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)


3. Infeksi M. atipik

4. Tidak ada infeksi TB


5. Dalam masa inkubasi infeksi TB
6. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai
keadaan, sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap
tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa
keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk,
keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit
morbili, pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian
vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang dimaksud dengan
influenza adalah infeksi oleh virus influenza, bukan batuk-pilekpanas
biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut
sebagai selesma (common cold). 2

I. DIAGNOSIS
Diagnosis

TB

dapat

ditegakan

berdasarkan

gejala

klinis,pemeriksaan

fisik,pemeriksaan bakteriologi,radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.


Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
- batuk 2 minggu
- batuk darah

53

- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.3
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.3

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum. 3
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang
di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.3

54

Gambar paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior

Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan

bakteriologik

untuk

menemukan

kuman

tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal,

bilasan

bronkus,

bilasan

lambung,

kurasan

bronkoalveolar

(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi


jarum halus/BJH)3
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari
berturut-turut.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi anatomi

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

55

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin,
faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara
- Mikroskopik
- Biakan3
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif


1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasiliti foto toraks,
kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif
bila 3 kali negatif BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi


WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease)3
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
-Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)3

Pemeriksaan biakan kuman:


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara:
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media : Middle brook
-Mycobacteria growth indicator tube test ( MGITT)
-BACTEC3
Pemeriksaan Radiologik

56

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberculosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).3
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
- Fibrotik
- Kalsifikasi
- Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
- Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari
atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai
aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
- Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
- Lesi luas. Bila proses lebih luas dari lesi minimal.3

Pemeriksaan Penunjang lain


1. Analisis Cairan Pleura

57

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan
glukosa rendah.3
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk
dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.3
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan
sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik.3
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.3

58

Gambar. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa Alternatif 13

J. PENATALAKSANAAN
Tujuan Pengobatan TB adalah :

Menyembuhkan

pasien

dan

mengembalikan

kualitas

hidup

dan

produktivitas

Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutan

Mencegah kekambuhan

Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain

Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularanya.3

Prinsip pengobatan :
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif selama 2 bulan
dan tahap lanjutan selama 4 bulan. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan

59

secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.3

Obat yang dipakai:


1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)3
Kemasan
Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.(3.hal.21)
Jenis, sifat, dan dosis OAT 4
Jenis OAT

Sifat

Dosis yang direkomendasikan


(mg/kg)

60

Harian

3xseminggu

Isoniazid (H)

Bakterisid

5 (4-6)

10 (8-12)

Rifampicin (R)

Bakterisid

10 (8-12)

10 (8-12)

Pyrazinamide(Z)

Bakterisid

25 (20-30)

35 (30-40)

Streptomycin (S)

Bakterisid

15 (12-18)

15 (12-18)

Ethambutol (E)

Bakteriostatik

15 (15-20)

30 (20-35)

Tabel 2. Jenis dan dosis OAT


Obat

Dosis

Dosis yg dianjurkan

(Mg/Kg
BB/Hari)

Harian

Intermitten

(mg/kgBB/

(mg/Kg/BB/kali)

Dosis

Dosis (mg) / berat

Maks

badan (kg)

(mg)

< 40

40-60

>60

hari)
R

8-12

10

10

600

300

450

600

4-6

10

300

150

300

450

20-30

25

35

750

1000

1500

15-20

15

30

750

1000

1500

15-18

15

15

Sesuai

750

1000

1000

BB

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting


untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB
merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal
dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis
obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada
tabel.3

Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap

61

Fase intensif

Fase lanjutan
2 bulan

BB

4 bulan

6 bulan

Harian

Harian

3x/Minggu

Harian 3x/Minggu Harian

RHZE

RHZ

RHZ

RH

150/75/400/275 150/75/400

150/150/500

150/75 150/150

400/150

30-37

1,5

38-54

55-70

>71

RH

EH

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang


dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke
rumah sakit /dokter spesialis paru /fasiliti yang mampu menanganinya.3

PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT),
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.5
Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

62

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai.Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan5.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan
mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat
ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhanadan meningkatkan kepatuhan pasien5
Paduan OAT dan peruntukannya.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru5
Tabel . Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Berat Badan

Tahap Intensif

Tahap Lanjutan

tiap hari selama 56 hari

3 kali seminggu selama 16

RHZE (150/75/400/275)

minggu
RH (150/150)

30 37 kg

2 tablet 4KDT

2 tablet 2KDT

38 54 kg

3 tablet 4KDT

3 tablet 2KDT

55 70 kg

4 tablet 4KDT

4 tablet 2KDT

63

71 kg

5 tablet 4KDT

5 tablet 2KDT

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)5
Tabel Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Berat

Tahap Intensif tiap hari

Tahap Lanjutan

Badan

RHZE (150/75/400/275) + S

3 kali seminggu
RH (150/150) + E(275)

3037 kg

Selama 56 hari

Selama 28 hari

selama 20 minggu

2 tab 4KDT

2 tab 4KDT

2 tab 2KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.

3854 kg

3 tab 4KDT

+ 2 tab Etambutol

3 tab 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj.

3 tab
2KDT
+ 3 tab Etambutol

5570

kg 4 tab 4KDT

4 tab 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin

4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol

inj.

71 kg

5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin

5 tab 4KDT

5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol

inj.

64

Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat
pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram
yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml
= 250mg)5
3. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)

30 37 kg

2 tablet 4KDT

38 54 kg

3 tablet 4KDT

55 70 kg

4 tablet 4KDT

71 kg

5 tablet 4KDT

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya


kanamisin)dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua.5

65

Cara Kerja dan Efek Samping OAT :


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.2

Isoniazid mempunyai kemampuan bakterisidal Tb yang terkuat.mekanisme


kerjanya adalah menghambat cell wall biosynthesis pathway.INH dianggap sejenis
obat yang aman ;efek sampingnya terutama antara lain hepatitis dan neuropati perifer
karena interfensi fungsi biologi vitamin b6 atau piridoksin.
Rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh dia menghambat
polymerase DNA depent ribonucleic acid (RNA) M.Tuberkulosis.Efek samping
yang

sering

diakibatkan

antara

lain

hepatitis,flu

like

syndrome

dan

trombositopenia.Rifampisin meningkatkan metabolism hepatic kontrasepsi oral


sehingga dosis kontrasepsi oral harus ditingkatkan.2
Pirazynamid merupakan obat bakterisidal untuk organism intraseluler dan
agent antituberkulosis ketiga juga cukup ampuh. hanya diberikan untuk 2 bulan
pertama pengobatan.Efek samping yang sering diakibatkan adalah hepatotoksisitas
dan hiperurisemia.
Etambutol satu satu nya obat lapis pertama yang mempunya efek
bakteriostatis,tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan rifampisin terbukti bisa
mencegah resisten obat.2
Streptomisin merupakan salah satu obat tuberculosis pertama yang
ditemukan.streptomisin ini antibiotic golongan aminoglikosida yang harus diberikan
secara

parental

dan

bekerja

mencegah

pertumbuhan

organism

ekstraselular.kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf cranial ke
delapan yang bisa menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya
pendengaran.OAT yang aman untuk ibu hamil adalah Isoniazid,rifampisin dan

66

etambutol.obat lapisan kedua dicadangkan untuk pengobatan kasus kasus resisten


multi obat.2
Tabel 4. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya3
Efek Samping

Kemungkinan Penyebab

Tatalaksana

Minor

OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, Rifampisin

Obat

sakit perut

sebelum tidur

Nyeri sendi
Kesemutan

Pyrazinamid
s/d

rasa INH

terbakar di kaki

diminum

malam

Beri aspirin /allopurinol


Beri

vitamin

B6

(piridoksin) 1 x 100 mg
Perhari

Warna kemerahan pada air Rifampisin

Beri

penjelasan,

seni

perlu diberi apa-apa

tidak

Tabel 5. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya3


Efek Samping

Kemungkinan Penyebab

Mayor
Gatal dan kemerahan

Hentikan Obat Penyebab


Semua jenis OAT

pada kulit
Tuli

Tatalaksana

Beri antihistamin &


dievaluasi ketat

Streptomisin

Streptomisin dihentikan
ganti etambutol

Gangguan keseimbangan

Streptomisin

(vertigo dan nistagmus)

Ikterik /Hepatitis Imbas

Streptomisin dihentikan
ganti etambutol

Sebagian besar OAT

Hentikan semua OAT

Obat (penyebab lain

sampai ikterik menghilang

disingkirkan)

dan boleh diberikan


hepatoprotektor

Muntah dan confusion


(suspected drug-induced

Sebagian besar OAT

Hentikan semua OAT &


lakukan uji fungsi hati

67

pre-icteric hepatitis)
Gangguan penglihatan

Ethambutol

Hentikan ethambutol

Kelainan sistemik,

Rifampisin

Hentikan Rifampisin

termasuk syok dan


purpura

Pengobatan suportif /simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat:
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.3
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis,
kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.3
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB3

68

TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
b. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)3

Kriteria Sembuh
BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif3

EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.3
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

69

Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik


- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resisten3
Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan3

Evaluasi efek samping secara klinik


Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.
Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat.
Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat
sesuai pedoman.3

Evalusi keteraturan berobat

70

Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum
/tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan
dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.3

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal
yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA
dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan
sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.3
Hasil pengobatan TB

Sembuh
Bila hasil hasil pem ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 kali berturut-turut
negatif, salah satu diantaranya haruslah pemeriksaan pada akhir pengobatan

Pengobatan Lengkap
Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, tapi tidak ada
pemeriksaan ulang dahak, khususnya pada akhir pengobatan.

Gagal
Pasien yang pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali positif pada
akhir bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan.
Pasien yang pemeriksaan dahaknya negatif dan foto toraks positif menjadi
dahak positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

Defaulted atau drop-out /lalai


Penderita yang tidak mengambil / meminum obat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai 3

K. KOMPLIKASI

71

Penyakit tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi ,baik sebelum


pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Komplikasi yang mungkin timbul :

Batuk darah

Pneumothorax

Gagal nafas

Gagal jantung3

L.ISTC (INTERNATIONAL STANDAR FOR TUBERCULOSIS CARE) edisi


kedua
ISTC merupakan standar yang melengkapi guideline program penanggulangan tb
nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO.

Standar diagnosis (1 6 )

Standar Pengobatan ( 7 13 )

Standar penanganan tb HIV dan kondisi komorbid lain( 14 17 )

Standar kesehatan masyarakat( 18 21 )

ISTC terbaru memuat sekitar 21 standar yaitu :


1. Identifikasi pada penderita batuk selama 2-3 minggu yang diperkirakan TB.
2. Mengumpulkan spesimen sputum untuk diperiksa secara mikroskopik dua
kali atau minimal satu kali pada sputum pagi hari.
3. Pemeriksaan mikroskopik, biakan dan histologi jika pasien diduga terkena
EPTB (Extrapumonary tuberccolosis)
4. Evaluasi mikrobiologi bagi pasien yang diduga TB setelah melihat
pemeriksaan thoraks.
5. Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan bila tedapat gejala yang mengarah pada
TB, hasil thoraks positif tetapi uji sputum negatif dan tidak merespon
pemberian antibiotik. Apabila ditemukan positif TB pada pemeriksaan
konfirmasi maka pengobatan TB harus segera dimulai.

72

6. Diagnosa TB pada anak dilakukan dengan memeriksa sputum, biakan,


temuan X- ray.
7. Praktisi medis harus memberikan obat dan menilai kepatuhan pasien dalam
menjalani terapi pengobatan.
8. Pasien yang belum pernah menjalani pengobatan paru diinisiasi selama 2
bulan dengan pemberian INH, RIF, PZA dan EMB yang dilanjutkan dengan
INH dan RIF selama 4 bulan.
9. Hubungan yang baik harus dibina antara pemberi layanan kesehatan dan
pasien dalam upaya menciptakan kepatuhan pasien terhadap terapi.
10. Respon terapi dimonitor dengan pemeriksaan sputum setelah inisiasi 2 bulan
terapi. Jika hasil sputum masih positif dilakukan pemeriksaan pada bulan
ketiga. Bila hasilnya masih positif dilakukan uji terhadap resistensi INH dan
RIF.
11. Resistensi dianalisa berdasarkan riwayat pengobatan, pajanan sumber yang
mungkin resistensi, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Juga
diupayakan cara-cara pengendalian infeksi sesuai tempat pelayanan.
12. Pasien yang terbukti MDR harus diberikan pengobatan kombinasi 4 agen
dengan satu suntikan. Diberikan sekitar 18-24 bulan setelah konversi biakan.
Konsultasi harus terus dilakukan.
13. Rekam medik pasien meliputi jenis pengobatan, respon baketriologi dan efek
samping harus dicatat dan disimpan bagi semua pasien.
14. Uji HIV dan konseling harus dilakukan pada pasien yang diduga mengalami
infeksi opurtunis.
15. pasien dengan TB dan HIV harus dievaluasi untuk menerima pengobatan
ARV.
16. Pasien HIV tetapi negatif TB harus diobati INH dengan asumsi TB laten
selama 6-9 bulan.
17. Penyelenggara kesahatan harus melakukan penilaian menyeluruh terhadap
kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respon pengobatan. Misalnya,
pada kasus diabetes. Penyelenggaara kesehatan juga harus dapat memberikan
pelayanan tambahan yang mendukung dan memaksimalkan hasil pengobatan
pada pasien.

73

18. Penyelenggara kesahatan harus memberikan perhatian pada orang yang


termasuk kontak erat pasien TB. Prioritas diberikan pada kontak erat, anak
berusia kurang dari lima tahun, terinfeksi HIV dan kontak dengan pasien
yang mengalami MDR atau XDR.
19. Pada kelompok berisiko karena kontak erat jika ditemukan negatif harus
dilakukan manajemen terapi sebagai TB laten dengan pemberian INH.
20. Pusat pelayanan kesehatan berkewajiban mengembangkan dan menjalankan
rencana pengendalian infeksi TB yang memadai.
21. Penyelenggara kesehatan harus melaporkan kasus TB baru maupun
pengobatan ulang dan hasilnya kepada kantor dinas kesehatan setempat
sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.3

TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)


Pendahuluan
DM TIPE 2
Diabetes melitus tipe2 adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin,kerja
insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan,
disfungsi dan gangguan berbagai-bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf,
Jantung dan pembuluh darah. 6
Patogenesis DM tipe 2 sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun
peranan faktor genetik dan faktor lingkungan dalam proses terjadinya DM tipe 2
sudah diketahui dengan pasti. Disamping itu defisiensi sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan resistensi insulin diperifer merupakan 2 keadaan yang ditemukan
secara bersamaan pada DM tipe2. Yang menjadi masalah adalah proses mana yang
lebih dahulu terjadi belum diketahui dengan pasti. 6
Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yaitu bila
ditemukan gejala klinis yang khas DM seperti poliuri, polidipsi dan polifagi serta

74

penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya dan kadar glukosa plasma
sewaktu > 200 mg/dl maka diagnosis DM dapat ditegakkan. Sebaliknya apabila tidak
ada keluhan maka perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
dengan mengukur kadar glukosa plasma puasa dan 2 jam setelah beban glukosa 75
gram. Bila kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dan atau kadar glukosa 2 jam
setelah beban > 200 mg/dl maka diagnosis DM sudah dapat ditegakkan.6

Dalam perjalanannya DM tipe 2 sering mengalami komplikasi selain komplikasi


mikroangiopati yang erat kaitannya dengan kontrol glukosa plasma yang jelek seperti
retinopati dan nefropati diabetik, juga komplikasi makroangiopati yang erat
kaitannya dengan aterosklerosis seperti penyakit kardiovakuler, stroke dan gangren
diabetik.
Diabetes melitus dapat mengakibatkan individu rentan infeksi yang disebabkan oleh
faktor predisposisi yaitu kombinasi antara angiopati, neuropati dan hiperglikemia.
Gangguan mekanisme pertahanan tubuh akibat gangguan fungsi granulosit,
penurunan imunitas seluler, gangguan fungsi komplemen dan penurunan respons
limfokin, dapat mengakibatkan lambatnya penyembuhan luka.Infeksi sendiri dapat
menyebabkan hiperglikemia dan dapat mempresipitasi ketoasidosis diabetik yang
disebabkan

oleh

glukoneogenesis

kenaikan

sekresi

regulatory

hormone

yang

merangsang

dan meningkatkan sistim syaraf simpatis yang menekan

pengeluaran insulin.Resistensi insulin dapat meningkat karena respons pengeluaran


sitokin akibat infeksi.6
Pada pasien DM yang terinfeksi pengobatan biasanya diganti dengan pengobatan
insulin sampai infeksinya membaik dan bagi pasien DM yang sudah mendapat
insulin maka dosis insulin perlu ditingkatkan.Dalam naskah ini akan dibicarakan
pengaruh TB paru pada DM khususnya kepekaan terhadap infeksi, efek metabolik
akibat infeksi, manifestasi klinis dan pengelolaan DM pada TB paru.Diabetes
melitus dan kepekaan terhadap infeksi Meningkatnya kepekaaan pasien DM
terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia
sangat berperan mudahnya pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena

75

hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) termasuk


kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam
intraseluler.6
Diabetes melitus oleh WHO dianggap sebagai suatu penyakit imunodefisiensi
sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya
dieleminasi; perlangsungan lebih lama dan lebih berat disertai infeksi sering
rekuren. Gangguan salah satu mekanisme respons imun biasanya granulosit
polimorfonuklear (PMN) dan atau aktifitas subset limfosit. Bila mengenai PMN
maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu. 6
Lekosit PMN ditarik ke tempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan
oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor-faktor yang di
pengaruhi secara lokal oleh PMN. Pada penelitian invitro sel-sel pasien DM
mempunyai kemotaksis yang menurun., terutama pada keadaan DM yang tidak
terkontrol..
Fagositosis juga terganggu pada DM dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN.
Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity (aktifitas membunuh) dari
enzim lisosom yang menurun. Pada keadaan hiperglikemia cenderung terbentuk
sorbitol yang disebabkan oleh enzim aldose reduktase dengan bantuan Nicotinamide
Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH) menjadi NADP melalui metabolisme
polyol pathway. Akibat NADPH banyak digunakan untuk membentuk sorbitol maka
aktifitas membunuh mikroaorganisme intrasselular yang memerlukan NADPH
menurun karena respiratory burst. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera
meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam.6
Faktor-faktor lokal juga menyebabkan kecenderungan pasien DM mudah infeksi
yaitu: hiperglikemia memberi kecenderungan infeksi bakteri dan fungi pada pasien
DM. Insufisiensi vaskuler dan hipoksia jaringan
organisme

anaerob,

terbatasnya

mekanisme

menyebabkan pertumbuhan

pertahanan

tubuh;

neuropati

menyebabkan gangguan distribusi tekanan, yang berperan pada infeksi dan ulserasi
pada kaki. Pada kandung kemih neuropati menyebabkan atoni buli-buli yang
menyebabkan retensi urinaria yang cenderung bakteriuria.Efek metabolik infeksi

76

Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30 %


episode ketoasodosis diabetik diprepisitasioleh infeksi dan umumnya pada DM
tipe2.6

Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa

dengan

meningkatkan kadar glukosa darah dan meningkatkan kebutuhan insulin pada pasien
DM tipe 1. Pada DM tipe 2 memerlukan pengobatan insulin selama ada infeksi dan
pada orang-orang non diabetik atau normal adanya infeksi dapat meningkatkan
kadar glukosa darah (hiperglikemia). Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh
kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh
meningkatnya sekresi counter-regulatory hormone(glukagon, kortisol, growth
hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Katekolamin dalam hal ini simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal,
keduanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan sekresi
insulin. Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan
pada stadium awal. 6
Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM
tipe 2 akan tetapi akibat adanya resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan
malahan cenderung meningkat dan dapat menyebabkan ketoasidosis diabetik.
Resistensi insulin terutama pada otot skelet dimana insulin tidak mampu
meningkatkan asupan glukosa demikian pula di hati. Mekanisme yang mendasarinya
belum diketahui dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat didalam
sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan.
Selanjutnya interleukin dan tumor necrosis factor mengganggu kerja insulin diperifer
dengan menekan tyrosine kinase activity pada reseptor insulin.Kenaikan kadar
glukagon terutama pada defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang terkait
erat dengan terjadinya ketoasidosis pada infeksi DM.6
Infeksi Tuberkulosis Pada DM

77

Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin.


Di negara-negara barat insidens tuberkulosis sudah menurun walaupun insidensnya
masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien dengan Acquired
Immun Defisensi Syndrome(AIDS). Didaerah dimana tuberkulosis masih bersifat
endemik maka insiden tuberkulosis pada DM masih tinggi.Perlangsungan TB paru
pada DM lebih berat dan kronis dibanding non diabetes. Hal ini disebabkan pada
DM, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama,
mempunyai kecenderungan lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur
sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda-tanda klinis TB paru toksik tersamar
sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan oleh karena
gangguan syaraf otonom dan pada keadaan hiperglikemia pemberian obat
kemoterapi pada umumnya tidak efektif. Pada pemeriksaan radiologis biasanya yang
terkena infeksi adalah lobus bawah paru-paru kadang kadang lebih dari satu lobus
dan tidak segmental.6

Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas kuman
tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan .Penelitian TB
paru pada DM di Indonesia masih cukup tinggi yaitu antara 12,8-42% dan bila
dibanding dengan luar negeri maka prevalensi di Indonesia masih tinggi.
Laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa tuberkulosis cenderung mengenai lobus
bawah dan tengah paru dan dalam jangka yang tidak terlalu lama dapat mengenai
beberapa lobus (multiple-lobe) dan biasanya timbul kavitas dan distribusinya non
segmental. Belum dapat dipastikan bahwa apakah lobus tengah /bawah juga lebih
sering pada pasien DM bila pemeriksaan computed tomography dikerjakan.6
Selain itu pasien DM juga terbukti

mempunyai risiko tinggi mendapat

mukormikosis paru yang telah dibuktikan pada beberapa pasien DM hemoptisis.


Tuberkel basilus cenderung resistens dengan berbagai antibiotik apabila reaktivasi
tidak terjadi.Telah diketahui sejak dahulu ada hubungan bermakna antara DM
dengan TB paru khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol baik.6

78

Survey Philadelphia pada tahun 1952 menunjukkan bahwa dari 3106 pasien DM
yang diteliti ditemukan 8,4% pasien TB paru berdasarkan pemeriksaan radiologis
dibanding

dengan

71.767

kontrol

non

DM

ditemukan

hanya

4,3%.7

Penelitian oleh Ezung dkk (2002) melaporkan 100 pasien DM yang berobat jalan dan
nginap di Imphal India menunjukkan 27% didiagnosis tuberkulosis paru dan 6%
didiagnosis dengan pemeriksaan sputum. Pemeriksaaan radiologis ditemukan 11
pasien lesi minimal, 7 pasien lesi moderat, 9 pasien dengan lesi berat atau far
advanced lesions; kavitasi ditemukan pada 3 pasien, fibrosis 4, opasitas homogen 6,
opasitas heterogen 10, efusi pleura pada 3 pasien dan 1 pasien dengan fibrosis dan
konsolidasi. Umur rata-rata pasien berumur diatas 40 tahun (mean age 55,4 tahun) ,
23 pasien (85,18%) mengidap DM rata-rata 7,6 tahun . 6
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi antara lamanya DM dengan
prevalensi tuberkulosis paru. Demikian pula tidak ditemukan adanya korelasi dengan
riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis.Penelitian menunjukkan bahwa TB paru
pada

DM

berkorelasi

dengan

meningkatnya

umur.

Sejumlah

penelitian

menunjukkan prevalensi TB paru pada DM rata-rata diatas 40 tahun. Faktor umur


berperan dalam meningkatkan prevalensi TB paru pada DM karena umur lebih tua
meningkatkan kepekaan terhadap

tuberkulosis, Pada DM,infeksi tuberkulosis

biasanya tersamar (mask tuberculous infection) sehingga diagnosis tuberkulosis paru


umumnya sudah terlambat.6
Pada usia lanjut, disamping fungsi sel beta lebih terganggu, juga pada usia lanjut
umumnya sudah lama menderita DM serta kontrol DM biasanya labil. Pasien DM
laki-laki mempunyai kemungkinan 2 kali mendapat TB paru dibanding wanita. Dan
71% adalah pasien DM non obes, 15% obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti
lainnya menemukan sebagian besar DM yang menderita TB paru mempunyai berat
badan normal.7Keluhan pasien menunjukkan 53% mengeluh perasaan lemah, 14%
batuk-batuk, 8% poliuria, 7% hemoptisis, 6% sesak napas, demam dan polifagi
masing-masing 3%, sedang perasaan kesemutan, berat badan menurun, perasaan
terbakar pada tungkai hanya 1%.6

79

TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)

Prinsip sama dengan TB tanpa DM

Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol

Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan
dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan 9 bulan (bila
perlu konsultasi ke ahli paru)

Gula darah harus dikontrol

Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada


mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada
mata

Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti


obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan

Perlu kontrol /pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol


/mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan3

Pengobatan DM pada TB PARU


Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM nya dan
pengobatan terhadap TB parunya.Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM
pada umumnya yang meliputi terapi perencanaan makan /diet, anti diabetes oral
maupun insulin.Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah ,
juga untuk mengembalikan berat badan ke berat badan ideal. 6
Bila pasien DM kurus diberikan diet DM yang lebih tinggi kalori sedang apabila
gemuk maka diturunkan berat badan. Pada umumnya pengobatan diet diabetes
berkisar 2000-2400 kalori. Pemberian obat anti diabetes pada DM disertai dengan
TB paru dipilih pengobatan dengan insulin. Bagi pasien yang sementara dapat
pengobatan anti diabetes oral, seperti sulfonilurea dan biguanid sebaiknya diganti
dengan insulin. 6
Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah kontra indikasi karena
tuberkulosis dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang

80

biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu
makan menurun , berat badan menurun dan adanya malabsorbsi glukosa, dimana
metformin mempunyai mekanisme kerja sama diatas. 6
Pemberian rifampicin pada DM dengan TB paru dapat mempercepat metabolisme
obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi

sulfonilurea dan

meningkatkan

kebutuhan insulin. Disamping itu rifampicin menyebabkan early hyperglicaemia


pada non DM maupun non TB paru dan meningkatkan absorbsi glukosa di usus.
Sebaliknya isoniazid dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja
antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang isoniazid menyebabkan pankreatitis
dan menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa di usus.6

Pada DM tipe 2 disertai tuberkulosis paru pemberian insulin dianjurkan selama


infeksi masih aktif.
Telah dikenal berbagai macam insulin mulai kerja cepat, pendek, sedang sampai
lama yang disuntikkan sendiri (tunggal) atau mixed dalam satu semprit. Saat ini
tersedia insulin analog yang kerja cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart.
Sedang untuk kerja pendek tersedia Actrapid, HumulinR, kerja sedang seperti
monotard, insulatard dan humulin N. Sedang kerja lama atau panjang adalah ultra
lente, insulin glargine(lantus).3,8 Insulin yang dikombinasi (tercampur) antara
insulin kerja pendek dan sedang adalah Insulin mixtard, yang terdiri Monotard 70%
dan Actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang insulin murni atau human insulin
yang dibuat dengan teknologi rekombinan DNA dan mempunyai kerja lebih cepat
dan lama kerja lebih pendek dibanding dengan insulin babi.6
Di Indonesia hanya beredar insulin dengan dosis 40 unit per ml dan 100 unit per ml.
Di luar negeri tersedia pula insulin dengan dosis 500 unit per ml yang ditujukan pada
kasus-kasus resistensi insulin dimana memerlukan insulin dosis besar.8,9
Pemberian insulin pada DM dengan TB paru diindikasikan pada keadaan penurunan
berat badan yang cepat, hiperglikemia berat apalagi disertai ketosis, perlu

81

penanganan lebih ketat kadar glukosa darah dan obat-obat anti TB paru mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes. 6
Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid atau
humulin R dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap jam sebelum makan dan
dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian
insulin dapat diubah sesuai respons pasien.6
Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka
insulin kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja menengah seperti
monotard atau Humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila
dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari maka cukup pemberian insulin
kerja menengah sekali perhari dan apabila dosis lebih 30 unit maka pemberian
insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan pagi dan 1/3 dosis
sebelum makan malam. 6
Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa darah
dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran sebaiknya mengikuti
petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan dilakukan 15 menit
sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak
dianjurkan menggambungkan antara lente insulin dengan NPH karena Zink pospat
dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek.
Demikian pula insulin glargine tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena
pH rendah karena akan saling mengencerkan.6
Dosis insulin pada pasien DM tergantung respos glikemik setiap individu dan
asupan makanan serta latihan jasmani. Pada umumya pada pemberian awal diberikan
3 kali atau lebih suntikan perhari dengan insulin kerja pendek untuk memperoleh
derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan tergantung dari kadar glukosa darah, jumlah
asupan makanan, aktifitas fisik (olahraga) dan tipe insulin yang dipakai.. Pada
umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit sebelum makan khusus untuk insulin
kerja pendek karena penyuntikan setelah makan atau segera sebelum makan akan

82

menyebabkan hipoglikemia atau insulin tidak efektif menekan kenaikan glukosa


darah postprandial.6
Pada saat ini setiap pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti DM
dengan TB paru maka perlu monitor glukosa darah sendiri .7 Untuk memantau
kadar glukosa dapat dipakai darah kapiler

dengan memakai meter. Hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah dengan meter dapat dipercaya sejauh kalibrasi
dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar
yang dianjurkan. Secara berkala , hasil pemantauan dengan cara meter atau reagens
kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.9 . Waktu pemeriksaan untuk
pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu tidur untuk menilai risiko
hipoglikemia. Pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan untuk menilai
ekskursi maksimal glukosa selama sehari.6
Pengobatan antituberkulosis untuk pasien dengan DM adalah terapi quadripel yang
meliputi rifampicin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Selama 2 bulan pertama,
dan diikuti 4 bulan berikutnya dengan pengobatan rifampicin dan isonoazid. 6

Pemberian rifampicin pada DM dengan TB paru dapat mempercepat metabolisme


obat-obat anti diabetik oral dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya
isoniazid dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis
dengan sulfonilurea.Sebagai petunjuk atau guidelines untuk pengelolalaan DM
selama infeksi adalah sebagai berikut :
Pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah :

Monitor kadar glukosa plasma

Pada pasien yang sudah mendapat pengobatan dengan insulin, dosis insulin

sekurang-kurangnya 4 jam terakhir.

ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten.

Kebutuhan kalori disesuaikan dengan berat badan. Bagi pasien yang kurus
kebutuhan kalori lebih besar dari yang semestinya, demikian pula pada

83

pasien gemuk, kalori yang

diberikan lebih rendah dari kalori standard.

Indeks massat tubuh dipertahankan antara 18,5-23.

Kendalikan DM seoptimal mungkin yaitu mempertahankan kadar glukosa


darah puasa antara 80-109 mg/dl, 2 jam setelah makan antara 80-144
mg/dl,A1c<6,5,

Kendalikan kadar dari fraksi lipid antara lain kadar kolesterol total
dipertahankan < 200 mg/dl, kolesterol LDL < 100mg/dl, kolesterol HDL>45,
trigliserid <150 mg/dl.

Tekanan darah dipertahankan < 130/80 mgHg Awasi bila timbul muntahmuntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki
segera.6

Pada pasien rawat inap tindakan adalah sebagai berikut:

Monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir; tingkatkan dosis insulin


untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin intravena atau
tetes.

Pada pasien yang memakai obat hipoglikemia oral pertimbangkan untuk


mengganti atau menambah dengan insulin.

Atasi dan awasi kemungkinan adanya dehidrasi.6

Komplikasi Diabetes tipe 2 dengan TBC Paru

DM dengan gejala utama hiperglikemi dapat menganggu fungsi neutrofil &


monosit(makrofag) yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga
menyebabkan mudah terkena infeksi,salah satu infeksi tersering adalah
TB paru.

Lokasi tersering pada TB paru dengan DM pada lobus bawah dan tengah
beberapa lobus (multiple lobus ) dan timbul kavitas & usia rata rata resiko
timbulnya TB pada pasien DM pada usia 40 tahun

84

Faktor faktor yang mempengaruhi TB paru pada penderita DM :

1.Fisiokimia : DM dengan hiperglikemia ,hipoglikemia,asidosis menyebabkan


tekanan osmosis ekstrasel meningkat sehingga sel dehidrasi (kemampuan fagosit
,menurun) .
2. Kekebalan : DM yang menimbulkan gangguan metabolisme protein,kadar kortisol
plasma meningkat,benda keton,asidosis sehingga proses fagositosis menurun.
3.Aktivitas imunitas humoral.
Gejala Klinis yang timbul pada penderita TB paru DM

Perasaan Lemah 53 %

Batuk 14 %

Poliuria 8%

Hemoptisis 7 %

Sesak nafas 6%

Demam & polifagi 3 %

Kesemutan , bb turun masing masing 1 %

Pengobatan TB paru pada DM

pengobatan terhadap DM dan TB parunya. Sama dengan yang tanpa DM.

DM :

Diet:

Anti diabetes oral sebaiknya jangan diberikan. (J Med Nus. 2004; 25:45-49)

insulin.

insulin mulai dengan dosis rendah dinaikan bertahap,penggantian ke OAD jangan


mendadak,insulin diturunkan perlahan kemudian OAD dinaikan perlahan .

Sulfonilurea kontraindikasi pada pasien TB dengan infeksi serius inrekuren

Biguanide tidak diberikan pada kondisi pasien dengan TB yang memiliki


keluhan nafsu makan menurun, BB menurun , malabsorbsi glukosa.

Monitoring glukosa.

TB PARU

Paduan OAT : 2 RHZ (E-S)/4 RH dg regulasi gula yang optimal

85

Bila kdr gula tidak terkontrol fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ(E-S)/ 7 RH

Mutlak keadaan DM terkontrol :

1.Fungsi leukosit normal kembali


2.Reaksi imuniti kembali normal
3.Mikroangiopati akan berkurang
4. Kadar asam lemak bebas.gliserol,asam amino berkurang medio bertumbuhan
kuman TB kurang baik
5.Keadaan malnutrisi & dehidrasi teratasi.

KESIMPULAN

DM lebih mudah terinfeksi TB

TB paru DM tak terkontrol lebih berat dari yang tekontrol.

Perlu pemberian insulin karena TB merupakan infeksi berat dan inrecuren.

Perlu kerja sama multidisiplin

Selain pengobatan perlu juga gaya hidup yang aktif(OR)disamping itu diit
pengaturan makanan.

86

) ANATOMI KULIT
Kulit terbagi menjadi 3 lapisan:
1. EPIDERMIS
Terbagi atas 4 lapisan:
a. Lapisan basal / stratum germinativum

terdiri dari sel sel kuboid yang tegak lurus terhadap dermis.

Tersusun sebagai tiang pagar atau palisade.

Lapisan terbawah dari epidermis.

Terdapat melanosit yaitu sel dendritik yang yang membentuk melanin(


melindungi kulit dari sinar matahari.

b. Lapisan Malpighi/ stratum spinosum

Lapisan epidermis yang paling tebal.

Terdiri dari sel polygonal

Sel sel mempunyai protoplasma yang


menonjol yang terlihat seperti duri.

c. Lapisan Granular / stratum granulosum

Terdiri dari butir butir granul


keratohialin yang basofilik.

d. Lapisan tanduk / stratum korneum

Terdiri dari 20 25 lapis sel tanduk tanpa inti.

2. DERMIS

Merupakan lapisan dibawah epidermis.

Terdiri dari jaringan ikat yang terdiri dari 2 lapisan:pars papilaris.( terdiri
dari sel fibroblast yang memproduksi kolagen DAN Retikularis YG
Terdapat banyak p. darah , limfe, dan akar rambut, kelenjar kerngat dan k.
sebaseus.

87

3. JARINGAN SUBKUTAN ATAU HIPODERMIS / SUBCUTIS

Lapisan terdalam yang banyak mengandung sel liposit yang menghasilkan


banyak lemak.

Merupakan jaringan adipose sebagai bantalan antara kulit dan setruktur


internal seperti otot dan tulang.

Sebagai mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan penyekatan panas.

Sebagai bantalan terhadap trauma.

Tempat penumpukan energi.

DEFINISI LUKA BAKAR


Luka bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan oleh api, atau
oleh penyebab lain seperti oleh air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi.
Kerusakan dapat menyertakan jaringan dibawah kulit.

JENIS - JENIS LUKA BAKAR


1. Luka bakar akibat termal :
a. dingin
b. panas
Pada luka bakar akibat uap panas :

lukanya lebih dalam, dapat mencapai otot.

suhu mencapai 400-600 derajat celsius.

uap panas yang terhirup mengakibatkan kerusakan organ, misalnya


saluran pernapasan, tergantung lama dan jarak paparan.

Komponen-komponen yang terdapat dalam debu vulkanik:

Karbon dioksida (CO)

Hidrogen sulfida (HS)

Hidrogen klorida (HCL)

Sulfur dioksida (SO)

Carbon monoksida (CO)

2. Luka bakar akibat listrik

88

3. Luka bakar akibat zat kimia, bisa berasal dari asam, basa, misalnya air
aki, atau air keras.
4. Luka bakar akibat radiasi radioaktif berasal dari kebocoran stasion
nuklir bom atom.

DERAJAT LUKA BAKAR


1. Superficial (derajat I)

Hanya mengenai lapisan epidermis

Luka tampak pink cerah sampai merah (eritema ringan sampai berat).

Kulit memucat bila ditekan.

Edema minimal.

Tidak ada blister.

Kulit hangat dan kering.

Nyeri

Dapat sembuh spontan dalam 3-7 hari.

2. Partial thickness (derajat II)


Partial tihckness dikelompokan menjadi 2, yaitu superficial partial thickness
dan deep partial thickness.

Mengenai epidermis dan dermis.

Luka tampak merah sampai pink

Terbentuk blister

Edema

Nyeri

Sensitif terhadap udara dingin

Penyembuhan luka :
-

Superficial partial thickness : 14


21 hari

89

Deep partial thickness : 21 28 hari

Namun demikian penyembuhannya bervariasi tergantung dari kedalaman dan


ada tidaknya infeksi.
Pada kasus, pasien berada pada derajat 2 berarti telah mengenai lapisan
epidermis yang lebih dalam dan sebagian dermis serta disertai lepuh dan atau
edema.
3. Full thickness (derajat III)

Mengenai semua lapisan kulit, lemak subcutan dan dapat juga mengenai
permukaan otot, dan persarafan dan pembuluh darah.

Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat
atau hitam.

Tanpa ada blister.

Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras.

Edema.

Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri.

Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan.

Memerlukan skin graft.

Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jika tidak dilakukan tindakan
preventif.
LUAS LUKA BAKAR
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi:
1. Rule of nine
2. Lund and Browder, dan
3. Hand palm

90

Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari
metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari
permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan
bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam
menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai
suatu alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas
luka bakar. Dasar dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam
bagian-bagian anatomik, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah
genitalia 1 %. Pada metode Lund and Browder merupakan modifikasi dari
persentasi bagian-bagian tubuh menurut usia, yang dapat memberikan
perhitungan yang lebih akurat tentang luas luka bakar.
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara
lainnya yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara
menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak
tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang
mengalami luka bakar.
BERAT RINGANNYA LUKA BAKAR:
A. Ringan:
-

luka bakar derajat I

luka bakar derajat II seluas < 15%

luka bakar derajat III seluas < 2%

B. Sedang:

luka bakar derajat II seluas 10-15%

luka bakar derajat III seluas 5-10%

C. Berat :

luka bakar derajat II seluas >20%

luka bakar derajat II yang mengenai wajah, tangan, kaki, alat kelamin,
atau persendian sekitar ketiak

luka bakar derajat III seluas >10%

91

luka bakar akibat listrik dengan tegangan >1000 volt

luka bakar dengan komplikasi patah tulang, kerusakan luas jaringan


lunak atau gangguan jalan napas

Pada kasus luka bakar grade II dengan luas luka bakar 60% berarti pasien
masuk dalam luka bakar berat.
PERTOLONGAN PERTAMA PADA LUKA BAKAR
1. Jauhkan dari sumber trauma yaitu evakuasi pasien tersebut dari awan
panas
2. Kulit yang terbakar segera siram dengan air
3. Bebaskan jalan nafas:

buka baju

Jika ada lendir dihisap

Trakeostomi dilakukan bila ada keraguan jalan nafas.

4. Perbaikan pernafasan (resuisitasi pernafasan)


5. Perbaiki sirkulasi (pasang infus NaCl atau Ringer laktat)
6. Jika terkena awan panas diruangan tertutup, ada kecurigaan keracunan
CO, berikan oksigen murni.
7. Baju, alas dan penutupluka/ tubuh diganti dengan yang steril.

Lakukan tindakan sebelum ke Rumah Sakit untuk melindungi luka yaitu :

Isolasi luka dari sekitarnya

Jaga luka agar tidak terjadi dehidrasi

Jaga luka agar dalam keadaan istirahat.

CARA MEMBERIKAN RESUSITASI CAIRAN


Renjatan ialah kegawatan yang sering dijumpai di ruang intensif ataupun di
bangsal perawatan biasa. Pada anak hampir selalu disebabkan perdarahan,
kehilangan cairan atau plasma atau trauma multipel yang menyebabkan
gangguan sirkulasi dan respirasi.

92

Gejala dan tanda renjatan (shock) :

Nadi teraba kecil dan cepat serta takikardi

Tekanan darah dan tekanan nadi menurun

Tampak pucat, ekstremitas dan kulit terasa dingin

Oliguri

Kebutuhan cairan untuk resusitasi : (Baxter / Parkland)


4 cc / kg BB / % LLB / 24 jam pertama
untuk 8 jam pertama
untuk 16 jam berikutnya
Dihitung mulai saat kejadian, monitor jantung dan diuresis
Cairan kristaloid
Tiga kali defisit cairan yg menyebabkan syok diberikan dlm 2 jam pertama.
Sisa jumlah cairan yg diperhitungkan menurut metode Baxter/ Parkland
diberikan berdasarkan kebutuhan sampai dengan 24 jam.

Jenis Cairan Infus


o

Cairan hipotonik:
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion
Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah
dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi
sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi,
misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada
pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis
diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba

93

cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps


kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
o

Cairan Isotonik:
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian
cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh
darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan
cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko
terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal
jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat
(RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

Cairan hipertonik:
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik
cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.
Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan
mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose
5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan
albumin.

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:


o

Kristaloid:
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan
(volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat,
dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya
Ringer-Laktat dan garam fisiologis.

94

Koloid:
Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan
keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah,
maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh
darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.
Hemodinamik normal jika :
Frekuensi nadi menurun
Meningkat tekanan nadi (>20 mmHg)
Warna kulit menjadi normal
Ujung jari menjadi hangat
Kesadaran membaik (GCS score meningkat)
Tekanan systolic meningkat
Produksi urine 1 2 ml/kg BB/jam

Pemasangan NGT untuk semua luka bakar diatas 30%


Pemberian obat2an
Analgesik kuat --- morphin
Antibiotik
Antitetanus
Terapi suportif
Protektif lambung
Perawatan luka
Topikal silver sulfadiazine 1%
a)Perawatan terbuka
Perawatan luka bakar secara terbuka sering dilakukan bila mendadak
terdapat banyak korban luka bakar, sehingga tidak terdapat cukup kasa steril
untuk menutupnya. Selain itu luka bakar di daerah muka, leher, perineum,
dan seluruh badan lebih baik dilakukan perawatan secara terbuka. Penderita
hanya diberi sungkup agar tidak dihinggapi lalat atau kemasukan debu.

95

Dengan membiarkan luka bakar berhubungan dengan udara, luka akan


mongering dalam waktu 3-4 hari. Dengan demikian, terbentuklah keropeng
yang akan melindungi luka.
Kulit epitel akan tumbuh di bawah keropeng pada luka bakar derajat
kedua dalam waktu 2-3 minggu, sedangkan luka bakar derajat ketiga
epitelisasi baru terjadi setelah 4-5 minggu.
Keberhasilan penumbuhan epitel kulit itu sangat tergantung dari ada
tidaknya infeksi.
Pasien luka bakar harus tidur dengan sprei steril. Perawatan luka harus
dilakukan secara asepsis. Perawat yang membantu pasien luka bakar harus
masker dan sarung tangan steril. Pengunjung harus diberi tahu agar tidak
menyentuh sprei atau pasien. Kamar pasien harus bersih betul. Lalat dijaga
jangan sampai masuk ke kamar pasien.
Suhu kamar diatur jangan terlalu panas atau dingin, suhunya harus
harus bekisar antara 24 C- 25 C. suhu yang terlalu panas dapat
menyebabkan penderita kehilangan cairan melalui keringat. Bila suhu kamar
terlalu dingin, pasanglah selimutdi atas sungkupan pasien.
Keuntungan cara terbuka
1. Perasaan takut sewaktu mengganti perban tidak ada.
2. Infeksi yang terjadi dapat terlihat segera.
3. Lebih banyak pasien dapat diobati secara serentak.
Kerugian cara terbuka
1. Tidak cocok bagi luka bakar pada tangan dan kaki.
2. Tidak cocok bagi pasien yang perlu dikirim ke rumah pasien
yang perlu dikirim ke rumah sakit untuk rujukan atau
mengangkat pasien dari medan pertempuran.
3. Bila ada kerusakan lain, misalnya patah tulang, tidak dapat
diobati dengan cara terbuka.
b)Perawatan tertutup

96

Perawatan luka bakar tertutup memakai kasa steril dengan lubang


agak besar yang diberi vaselin atau dapat dipakai kasa paten, misalnya Sofratulle atau Daryant-tulle.
Kotoran, pasir, sisa pakaian, kayu, daun, dan kulit yang telah mati
harus dibuang dengan cara aseptik. Gelembung besar harus dipecahkan dan
dibuang agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan kuman. Lukanya
dibersihkan dengan antiseptic, misalnya phisoHex dan cairan fisiologis.
Setelah luka bersih, ditutup dengan kasa jarang steril yang telah diberi
salep, atau Sofra-tulle, lalu dilapisi lagi dengan beberapa lapis kasa steril.
Luka bakar di muka, leher dn perineum jangan dirawat dirawat secara
tertutup karena selain sulit membungkusnya, juga sulit menjaga kebersihan/
dari ingus yang keluar dari hidung atau kencing.
Luka bakar yang mengenai jari-jari harus dibungkus satu per satu dan
diusahakan jangan sampai kulit yang terbakar bersentuhan satu sama lain,
dapat tumbuh bersatu dan saling melekat. Luka bakar di telinga, dahi, sela
paha dan diantara buah dada, harus juga dijaga agar tidak bersentuhan satu
sama lain.
Perban diganti 4-8 hari sekali. Bila perban menjadi basah karena
eksudat, harus diganti dengan yang kering agar tidak menjadi tempat bagi
mikroorganisme.
Untuk mencegah terjadi udemapada luka bakar di tungkai bawah,
tungkai dapat diganjal dengan bantal kepala yang telah dilapisi dengan
plastic.
Sewaktu memasang perban jagalah agar balutannya tidak terlalu
kencang, supaya tidak merusak saraf dan peredaran darah di tempat itu.
ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK, DAN PEMERIKSAAN
PENUNJANG YANG DIBUTUHKAN
Anamnesis:

Luka bakar karena apa ?

Kapan terjadinya ?

Diruang tertutup/terbuka ?

97

Ada sesak/tidak ?

Berapa lama terkena pajanan ?

Obat-obatan apa yang dikonsumsi terakhir ?

Pemeriksaan Fisik :

Status Generalis : Inspeksi, Auskultasi, Palpasi, Perkusi

Status Lokalis :
- Jenis Luka

: Luka Bakar Thermal (Uap Panas)

- Derajat

: 2 Luka Berat karna derajat 2 > 20 %

- Luas : 60 %
- Dasar Luka : Dermis/Epidermis
- Warna Luka: Kemerahan/Abu-abu
- Yang ditemukan : Bula (berisi cairan)
- Terdapat Neurovascular disturbance

Pemeriksaan Penunjang :
-

Laboratorium :
Hb, Ht untuk mengetahui kehilangan darah yang
ditimbulkan
Pemeriksaan Serum
Pemeriksaan elektrolit : Natrium, Kalium, Kalsium, dan Alkali
Fosfat
Analisis Gas Darah
Fungsi Faal Hati dan Ginjal

Pencitraan :
Foto Thorax untuk mengetahui apakah ada Udem Pulmonal
dan Ileus Paralitik
EKG untuk mengetahui adanya aritmia

98

Kemungkinan yang dapat terjadi pada luka bakar dan rencana tindak
lanjutnya:
1. Syok Hipovolemik Beri Resusitasi segera sampai stabil dan
kesadaran baik
2. Kesadaran Menurun
3. Hambatan Jalan Napas Pasang tube/Trakeostomi
4. Intoksikasi CO Berikan O2 murni 48%, dikombinasi dengan CO2
57%
5. Ileus Paralitik Pasang NGT
6. Stress Emosional Cegah dangan Psikolog
7. Asidosis berikan bikarbonat
8. Infeksi Berikan AB IV dan berikan Anti Tetanus bila perlu.

99

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. 2007. Jakarta: FKUI
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. PERKENI 2006
Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. PERKENI 2007
Becker, Gretchen. Type 2 Diabetes: An Essential Guide for the Newly
Diagnosed. 2001. Newyork: Publisher Group West

100

LAPORAN KASUS
TUBERKULOSIS PARU PADA DM

Pembimbing

dr. Hj.Ihsanil Husna Sp.PD

Di Susun Oleh :
Faridah Laili
2007730050

STASE INTERNA RS ISLAM JAKARTA PUSAT


FAKULTAS KEDOKTERAN dan KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
OKTOBER 2014

101

Anda mungkin juga menyukai