Anda di halaman 1dari 16

Peran Masyarakat dalam Penanggulangan Korupsi (Mafia Hukum)

by Maruarar Siahaan, S.H.


Pendahuluan.
Korupsi yang dikualifisir sebagai kejahatan luar biasa, dan yang juga dipandang
telah membudaya bahkan menjadi sistem, merupakan persoalan yang kita hadapi
bersama sebagai bangsa. Kerusakan yang timbul akibat kejahatan tersebut telah
merongrong sendi-sendi kehidupan bangsa yang berakibat luas terhadap kepercayaan
pada kepemimpinan pemerintahan dan kemasyarakatan. Kegagalan dalam
penanganan terhadap korupsi yang dianggap luar bisa besar (mega korupsi), telah
meletakkan pemimpin pemerintahan dalam posisi yang semakin sulit. Dalam
penilaian beberapa lembaga survey dunia, Indonesia menduduki peringkat korupsi
yang sangat tinggi diantara Negara-negara didunia, yang dipandang menjadi
hambatan utama dalam menarik para investor asing untuk menanam modalnya di
Indonesia. Hal itu telah menjadi kesulitan yang amat besar dalam upaya membangun
perekonomian, karena merajalelanya korupsi mulai dari level pemerintahan yang
terendah, sampai ke-level pemerintahan yang tertinggi, membuat perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi menjadi sesuatu yang tidak dapat dirancang
dengan baik dan akurat. Korupsi tersebut dikatakan pula telah membudaya
dimasyarakat[1]. Masyarakat juga kehilangan kepercayaan terhadap kejujuran dan
kesungguhan aparat pemerintahan.
Tingkat kerugian yang tinggi terhadap ekonomi dan keuangan Negara, diperkirakan
mencapai 30 % dari seluruh anggaran belanja Negara, bahkan kemungkinan lebih[2].
Oleh karenanya dikatakan pula bahwa korupsi merupakan suatu pelanggaran hak-hak
asasi manusia, yaitu hak asasi masyarakat secara kolektif, yang akibat kebocoran
tersebut rakyat menjadi miskin dan terhambat hak-haknya untuk memperoleh
kemajuan secara ekonomi karena ketidakberdayaan pemerintah melaksanakan
pembangunan. Konvensi PBB tahun 2003 yaitu Convention Against Corruption sudah
ditanda tangani Pemerintah Indonesia dan telah pula disahkan atau diratifikasi dengan
undang-undang No. 7 tahun 2006. Meskipun konvensi tersebut yang telah berlaku
sebagai hukum internasional tidak mengatakan bahwa korupsi itu merupakan
extraordinary crime, sifat sebagai extraordinary crime tersebut telah diadopsi secara
khusus dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
menyebutkan sebagai berikut :
a. Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945
b. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, juga telah menghambat pertumbuhan
dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.[3]
2. Dalam perubahan Undang-Undang kemudian ditentukan, bahwa:
a. Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hakhak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa pula.[4]
3. Undang-undang KPK kemudian menentukan, bahwa:

a. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pemberantasan tindak pidana
yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal,
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif,
dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian Negara, dan menghambat pembangunan nasional.
b. Lembaga pemerintah yag menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.[5]
Upaya-upaya yang dimulai sejak lama untuk memberantas tindak pidana korupsi
dalam bentuk kelembagaan yang menangani sebagaimana telah terlihat diatas, juga
telah beberapa kali melahirkan perubahan Undang-undang yang mengubah rumusan
delik untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara lebih efektif.
Namun tampaknya seluruh perubahan Undang-Undang maupun badan-badan yang
berulangkali diganti tetap juga tidak membawa hasil. Tetapi masalah terbesar yang
dihadapi sekarang justru merajalelanya korupsi, yang menjadikan kelumpuhan
penegak hukum. Korupsi bahkan telah merupakan bagian dari budaya itu sendiri,
sehingga menyebabkan penegakan hukum itu menjadi sangat lemah. Seperti
dikatakan oleh seorang penulis :
Corruption has been a latent virus to Indonesia, eating away the social institution,
spreading in all levels and state institutions. So widespread is this crime that some
even asserted that it has become institutionalised and might be a part of culture[6].
Keadaan ini menimbulkan hilangnya kepercayaan terhadap lembaga Negara,
termasuk penegak hukum. Walau demikian meski tampak keadaan seolah-olah tidak
memperlihatkan kemajuan dan seolah-olah sudah putus asa, namun kita bukan tanpa
harapan (desperate but not without hope). Dalam penilaian yang dilakukan lembagalembaga jajak pendapat, dikatakan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang paling
korup dan bahkan dikatakan bahwa korupsi itu telah membudaya. Barangkali
penilaian tersebut melupakan bahwa sesungguhnya mayoritas orang Indonesia
memandang korupsi adalah suatu kejahatan yang dapat dan harus dihapuskan.
Korupsi melemahkan kemampuan negara untuk memberikan pelayanan umum yang
baik dan menghambat berfungsinya secara efektif. Akibatnya hal itu membebankan
pajak yang berat bagi orang-orang Indonesia yang miskin dan paling lemah,
menciptakan resiko ekonomi makro yang tinggi membahayakan stabilitas keuangan,
mengkompromikan keamanan umum dengan hukum dan ketertiban, dan terlebih lagi
merongrong legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat. Oleh karena nya
korupsi menggambarkan adanya suatu ancaman besar terhadap transisi politik dan
ekonomi indonesia yang berhasil .
Survey yang dilakukan Partnership
For Governance Reform in Indonesia
menunjukkan bahwa 75% dari responden yang disurvey memandang korupsi
merupakan hal yang sangat umum terjadi di sektor publik. 65% responden dari rumah
tangga melaporkan telah mengalami secara langsung korupsi tersebut dan 70%
responden memandang korupsi itu sebagai suatu penyakit. Dari survey tersebut dapat
disimpulkan adanya tiga penemuan penting yaitu,
i)
Masyarakat memiliki kepercayaan yang sangat kecil terhadap lembagalembaga pemerintahan atau negara. Mereka melihat korupsi itu justru melibatkan

lembaga-lembaga disektor peradilan seperti polisi, hakim, jaksa dan Departemen


kehakiman, Kantor pajak dan bea cukai;
ii)
Lembaga-lembaga yang dipandang sebagai lembaga yang paling korup
juga dilihat sebagai yang paling tidak efisien pelayanannya, masyarakat cenderung
untuk berpaling kepada lembaga-lembaga non pemerintah sebagai alternatif bagi
pelayanan tertentu seperti mencari keadilan serta penyelesaian sengketa;
iii)
Survey itu memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang sebab-sebab
dari korupsi di Indonesia. Meskipun hasil survey tersebut menunjukkan suatu
keyakinan yang kuat bahwa korupsi disebabkan oleh gaji pegawai negeri yang rendah,
moral individu yang bobrok dan kurang nya pengawasan serta akuntabilitas, tetapi
analisis yang lebih hati-hati dari data-data yang dihasilkan menunjukkan suatu
konklusi yang lebih kompleks.
Dikatakan bahwa 4 (empat) faktor yang sangat berkaitan erat dengan tingkat korupsi
yang rendah yaitu adanya manajemen yang tinggi kualitasnya dimana hadir aturanaturan formal dengan implementasi yang efektif, nilai-nilai anti-korupsi yang kuat
didalam organisasi, manajemen personel dan manajemen pengadaan barang yang
tinggi kualitasnya. Gaji pegawai negeri dan moralitas memiliki hubungan korelasi
yang kecil dengan pemahaman tentang tingkat korupsi yang rendah. Merajalelanya
korupsi dipandang telah menimbulkan kerugian-kerugian besar yang menghambat
pembangunan ekonomi dan merupakan pelanggaran hak asasi masyarakat yaitu hak
sosial dan ekonomi. Lebih jauh lagi bahkan hal itu dipandang sebagai kejahatan yang
luar biasa yang tidak dapat diatasi dengan cara-cara biasa dan oleh badan-badan atau
lembaga yang biasa. Untuk itu oleh pembuat undang-undang dianggap perlu untuk
membentuk suatu badan khusus untuk memberantas korupsi secara luar biasa[7],
dengan kewenangan-kewenangan tertentu yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan
yang bersifat umum ( Lex Generalis ) dalam hukum acara pidana.
PERMASALAHAN.
Problem korupsi yang diuraikan diatas kelihatannya merujuk pada korupsi dalam
bentuk yang amat besar, seolah-olah tidak menyangkut masyarakat banyak dalam
kenyataan hidup bermasyarakat sehari-hari. Padahal pelayanan publik yang
merupakan hal yang dihadapi, sesungguhnya melibatkan seluruh warganegara tanpa
kecuali. Dikatakan bahwa korupsi telah terjadi secara meluas dan merugikan hak
sosial dan ekonomi masyarakat dan merupakan kejahatan yang luar biasa, dan telah
dicoba melakukan penanganan secara hukum melalui perubahan Undang-Undang dan
Badan-Badan yang bertugas menanggulanginya tetapi
tidak menunjukkan
keberhasilan.
Dari latar belakang pembentukan KPK yang merupakan titik kulminasi kegagalan
mengatasi persoalan lama berupa korupsi yang sistemik yaitu kejahatan yang
dilakukan secara melembaga dan terorganisasi serta mencakup seluruh sektor politik
dan ekonomi, menyebabkan timbul pertanyaan, apakah masalah korupsi hanya
sekedar masalah hukum, atau juga merupakan bagian budaya kalau tidak semata-mata
masalah budaya. Kalau dikatakan korupsi terjadi secara luas dan merugikan hak sosial
dan ekonomi rakyat, apakah juga hal itu tidak berarti meliputi korupsi dengan nilai
kecil yang dihadapi oleh semua warganegara. Apakah juga kultur yang ikut kita
bangun dengan sikap permissif tidak turut menyumbang kepada kondisi yang semakin
memburuk, karena memilih jalan pintas untuk tidak ingin direpotkan dengan kesulitan
yang menyedot waktu dan tenaga . Dengan kata lain apakah masyarakat dan kita tidak

ikut menyumbang terhadap kondisi tersebut, sehingga juga turut bertanggung jawab
untuk ikut mengatasinya.
Dalam kata pengantarnya, Nono Anwar Makarim mengutip kegalauan Masdar F.
Masudi, seorang analis yang mengatakan :
Indonesia adalah Negara berpenduduk muslim terbesar dunia.Segala sarana dan
prasarana agama seperti mesjid, majelis taklim, madrasah, pesantren, perayaan hari
besar dan upacara keagamaan Islam lengkap berfungsi sebagaimana diniatkan
penyelenggaranya. Kontingen jamaah haji dari Indonesia adalah yang terbesar
jumlahnya, walaupun ognkos naik haji termahal di dunia. Dengan infrastruktur yang
lengkap begitu dan yang jumlahnya meluap bagaimana bisa terjadi bahwa Indonesia
adalah Negara terkorup di dunia?[8]
Jikalau kegalauan dan pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang cendekiawan Islam
yang ditujukan kepada umat Islam, sesungguhnya hal tersebut meliputi kita semua,
yang ikut dalam kepemimpinan atau warga gereja biasa serta ikut dalam
kepemimpinan pendidikan Kristen dan peserta didiknya. Ketika pemberantasan
korupsi di dengungkan, dan ada pemimpin gereja tertentu mulai merasakan urgensi
melakukan sesuatu tentang hal tersebut dengan menyuarakan suara kenabian dari
mimbar, orang-orang muda bertanya, mengapa dilingkungan mereka hal seperti itu
tidak disuarakan juga. Gereja dan umat kristiani sudah pasti tidak berpihak kepada
korupsi yang menyebabkan kehancuran yang mengerikan, karena memangsa orang
miskin, merampok kekayaan Negara dan rakyat, menghancurkan lingkungan dengan
perilaku yang sangat buruk dan jahat.[9] Apakah yang dapat dilakukan pemimpin
gereja dan pendidikan Kristen di Indonesia, dalam upaya untuk mengurangi kalau
tidak untuk turut serta mendorong penghapusannya.
Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio. Dari bahasa latin itulah lahir katakata, corruption dan corrupt dalam bahasa Inggris serta corruptie dalam bahasa
Belanda. Menurut Prof. DR. Andi Hamzah SH., dari bahasa Belanda kata itu turun
menjadi kata korupsi dalam bahasa indonesia[10]. Arti kata korupsi itu adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral dan
lain-lain. Korupsi tersebut merupakan suatu istilah umum bagi penyalahgunaan
jabatan publik yang didasarkan atas kepercayaan, untuk memperoleh keuntungan
pribadi. Definisi dan penerapannya secara spesifik (khusus) bervariasi menurut waktu,
tempat, dan budaya. Banyak tindakan secara populer dikatakan korupsi tetapi tidak
demikian dalam hukum. Pengertian korupsi secara umum tersebut diartikan sebagai
suatu penyimpangan dari ukuran-ukuran etika yang ketat. Definisi korupsi dibidangbidang lain dari politik juga tidak pasti, karena sifat publik dari perusahaanperusahaan besar dinegara-negara kapitalis liberal, manipulasi keuangan dan
keputusan-keputusan yang merusak atau mengganggu perekonomian sering juga
dicap sebagai korupsi. Korupsi yang bersifat politik menyangkut upaya yang melawan
hukum atau penyalahgunaan jabatan publik. Korupsi dalam jabatan-jabatan publik itu
dapat mengambil bentuk dalam jual-beli keputusan legislatif, pemerintahan ataupun
putusan hakim. Pembayaran terselubung dalam bentuk hadiah-hadiah, honorarium,
pekerjaan, keuntungan-keuntungan kepada anggota keluarga, pengaruh sosial maupun
hubungan-hubungan yang mengorbankan kepentingan dan kesejahteraan sosial, baik
dengan maupun tanpa pembayaran sejumlah uang, biasanya juga disebut sebagai
korupsi dalam pengertian umum[11].
Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih
dan Bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pertimbangannya menyatakan

bahwa penyelenggara negara mempunyai peranan yang menentukan dalam


penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa, mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Berdasarkan hal itu dikatakan bahwa praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme yang dapat dilakukan diantara para penyelenggara negara
maupun dengan pihak lain dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara sehingga diperlukan
landasan hukum untuk pencegahannya. Oleh karena itu berdasarkan pemikiran
tersebut, dalam rangka mencapai para penyelenggara negara yang bersih yaitu yang
mentaati asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bebas dari praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme maka KKN tersebut telah dijadikan suatu bentuk tindak pidana,
yang diancam dengan pidana. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan KKN
tersebut? Pasal 1 angka 3, 4 dan 5 berturut-turut memberikan definisi korupsi, kolusi
dan nepotisme tersebut. Korupsi dirumuskan adalah sebagai tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan
hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Sedangkan Nepotisme
adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya diatas kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara[12]. Sejak diundangkannya undang-undang no 28
tahun 1999 tersebut, tampaknya belum ada data bahwa kolusi dan nepotisme telah
dituntut sebagai tindak pidana didepan persidangan pengadilan. Sehingga oleh
karenanya yang menjadi obyek atau fokus pekerjaan dalam bidang penyelidikan,
penyidikan serta penuntutan dan persidangan didepan hukum baik oleh kepolisian,
kejaksaan ataupun KPK adalah korupsi dalam arti sebagai tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
Tindak Pidana Korupsi Dalam Perkembangan Undang Undang di Indonesia
1.
Undang-undang nomor 24/Prp Tahun 1960.
Perkembangan perundang-undangan dalam rangka memberantas tindak pidana
korupsi sesungguhnya, sebagaimana telah diuraikan diatas telah mengalami
perjalanan yang panjang. Ketika diberlakukannya keadaan darurat-perang yang
disahkan oleh DPR pada tahun 1957, maka Penguasa Perang menurut Undang-undang
No. 74 tahun 1957 tentang darurat perang tersebut, mempunyai kekuasaan untuk
membuat peraturan perundang-undangan. Diantara peraturan-peraturan perundangundangan yang dibuat penguasa perang tersebut terdapat Peraturan Penguasa Perang
Pusat Kepala Staff Angkatan Darat tanggal 16 april 1958 No.Prt/Peperpu/013/1958
yang tujuannya adalah untuk memberantas perbuatan korupsi yang merajalela dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya[13]. Peraturan Penguasa perang tersebut kemudian
disahkan menjadi Undang-undang No. 24 Prp Tahun 1960.
Pasal 1 Undang-undang No. 24 Prp Tahun 1960 tersebut merumuskan tindak pidana
korupsi sebagai berikut:
a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau
Daerah atau merugikan keuangan suatu badan hukum yang menerima bantuan
keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal
dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat.

b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan
dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan
pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 Kitab Undangundang Hukum Pidana.
Tindak pidana korupsi didalam rumusan pasal 1 a dan b Undang-undang No. 24 prp
Tahun 1960 tersebut, merupakan cara untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain
dengan atau melalui suatu kejahatan dan pelanggaran. Hal itu berarti kejahatan
dan pelanggaran tersebut terlebih dahulu harus dibuktikan sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri yang menjadi unsur dari tindak pidana korupsi tersebut, misalnya
dengan cara memalsukan surat, kwitansi penerimaan, yang merupakan kejahatan
dalam KUHP. Cara perumusan demikian menimbulkan kesulitan didalam
pembuktian. Oleh karena perkembangan masyarakat yang memerlukan penyelamatan
keuangan dan perekonomian negara maka ketentuan dan rumusan tindak pidana
korupsi dalam Undang-undang No. 24 prp Tahun 1960 tersebut, dipandang kurang
mencukupi untuk mencapai hasil yang diharapkan sehingga perlu diganti dengan
Undang-undang yang baru[14]. Undang-undang baru yang dimaksud adalah Undangundang No.3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mulai
berlaku tanggal 29 maret tahun 1971.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
Perumusan tindak pidana korupsi mengalami perubahan dalam undang-undang baru
ini, dimana unsur kejahatan dan pelangaran dirubah menjadi unsur yang melawan
hukum dan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan, sebagaimana tampak pengaturannya dalamPasal 1 seperti berikut:
a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
badanmenyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal pasal 209, 210, 387,
388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP.
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud
dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau kewenangan yang melekat
pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang
tersebut dalam pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian
atau janji-janji tersebut kepada yang berwajib.
Pasal 2 : Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan
tindak pidana tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e.
Dari uraian pasal (1) a, dapat dilihat unsur-unsur pidana korupsi itu adalah dengan
melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, langsung
atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau,
diketahui / patut disangka olehnya perbuatan itu merugikan perkonomian negara.

Dengan rumusan pasal (1) a ini, maka setiap orang termasuk yang bukan pejabat atau
pegawai negeri boleh dituntut dan diadili melakukan tindak pidana korupsi jika
memenuhi rumusan tersebut.
Sedangkan pasal (1) b, unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran
yang ada padanya karena jabatan dan atau kedudukan, merupakan tindak pidana
korupsi yang khususnya diterapkan pada orang-orang yang memiliki jabatan atau
kedudukan dengan segala kewenangan yang dimilikinya.
Pasal (1) c, hanya mengangkat 13 pasal yang berasal dari KUHP menjadi tindak
pidana korupsi.
Dilain pihak pasal (1) d, menyangkut pemberian hadiah atau janji kepada pegawai
negeri yang memiliki kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya.
Sedang pasal (1) e, diterapkan pada pegawai negeri yang setelah menerima pemberian
atau janji kepadanya tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib.
Undang-undang tentang tindak pidana korupsi sesungguhnya merupakan undangundang tindak pidana yang bersifat khusus jika dibandingkan dengan tindak pidana
yang menyangkut keuangan dan jabatan yang dalam beberapa jenis sudah diatur juga
didalam KUHP (Bab XXVIII pasal 413-435). Dalam perkembangannya kemudian
dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971, sesuai dengan sifat penamaan nya maka
tindak pidana korupsi itu baik dalam undang-undang a quo maupun yang berasal dari
KUHP, maka perbuatan yang dijadikan tindak pidana korupsi adalah :
Secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan
hukum yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan
atau perekonomian negara .
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal 209 Memberi hadiah kepada pegawai negeri untuk berbuat atau tidak berbuat,
Pasal 210 Memberi hadiah kepada hakim untuk mempengaruhi putusannya, Pasal 387
Suatu akal tipu yang dilakukan pemborong atau penjual bahan bangunan yang
membahayakan keselamatan orang atau barang atau negara waktu perang, Pasal 388
Akal tipu yang dilakukan orang yang menyerahkan barang bagi tentara yang
mendatangkan bahaya bagi keselamatan negara, Pasal 415 pegawai negeri waktu
menjalankan pekerjaan nya menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya atau membiarkan uang atau surang berharga diambil atau
digelapkan orang lain, Pasal 416 pegawai negeri yang sengaja membuat atau
memalsukan buku atau daftar yang dibuat untuk pemeriksaan administrasi, Pasal 417
Pegawai negeri yang menggelapkan, merusak, barang yang diperuntukkan untuk
tanda bukti dan pasal-pasal, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP tersebut adalah
menyangkut pemberian hadiah dalam pekerjaan atau jabatannya.
Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri.
Menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya
Meskipun ketentuan-ketentuan itu tampaknya overlapping satu sama lain, tetapi inti
pokok kejahatan-kejahatan jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUHP, yang
melibatkan hadiah pemberian maupun janji-janji berupa kekayaan ataupun

keuntungan yang bersifat non-moneter, akan tetapi seluruh keuntungan itu pada
umumnya bersifat ekonomis.
Perubahan yang mendasar dari undang-undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 tentang
pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi terletak pada rumusan
tindak pidana korupsi yang mensyaratkan bahwa tindak pidana korupsi itu dilakukan
dalam suatu kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi dalam Undang-undang Nomor 3
tahun 1971 unsur kejahatan atau pelanggaran tersebut dihapuskan dan digantikan
menjadi unsur Melawan Hukum sehingga unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam
pasal 1 huruf a Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut adalah sebagai berikut :
Melawan hukum
Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.
Langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sedangkan pasal 1 huruf b unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
a. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau jabatan;
b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan ;
c. Langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Dalam Kategori tindak pidana korupsi pasal 1 ayat (1) a, unsur melawan hukum
tersebut adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan tidak menjadikan perbuatan melawan
hukum itu sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Dilain pihak kata dapatmerugikan
keuangan negara dan atau perekonomian negara, menyebabkan unsur kerugian
keuangan negara dan perekonomian negara tersebut dalam pasal 1 ayat 1 (b) tidak
selalu harus timbul tetapi cukup apabila dalam bentuk kemungkinan saja. Hal ini
dikatakan menyebabkan bahwa tindak pidana dalam pasal 1 ayat 1 (a) sebagai delik
materiil, sedangkan pasal 1 ayat 1 (b) sebagai delik formil.
3. Undang-undang nomor 31 tahun 1999
Ketentuan-ketentuan yang telah diangkat menjadi tindak pidana korupsi baik didalam
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 juga dilanjutkan dalam Undang-Undang No. 31
tahun 1999, akan tetapi jumlah butir ketentuan yang didalam Undang-undang No 3
tahun 1971 berjumlah 12 (duabelas) butir ketentuan, dimana 12 pasal yang diangkat
menjadi tindak pidana korupsi berasal dari KUHP. Didalam Undang-undang No 31
tahun 1999 dia berkurang menjadi 14 (empatbelas) butir ketentuan dimana delapan
pasal yang berasal dari KUHP diangkat menjadi tindak pidana korupsi dalam pasal
tersendiri dalam undang-undang tersebut. Akan tetapi khusus Bab III Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 menambahkan juga beberapa tindak pidana yang disebut
Tindak pidana Lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu dalam pasal
21, 22, 23 dan 24. Pasal 21 menjadikan sebagai tindak pidana perbuatan yang dengan
sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung maupun tidak
langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan tindak pidana korupsi. Pasal 22
menjadikan sebagai tindak pidana perbuatan yang dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar dalam tindak pidana
korupsi. Pasal 23 menentukan bahwa pelanggaran terhadap pasal-pasal 220, 231, 421,
422, 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan penjara paling lama
6 tahun dan minimum 1 tahun. Sedangkan pasal 24 Undang-undang Nomor 31 1999
menentukan sebagai tindak pidana saksi yang menyebut nama dan alamat pelapor
tindak pidana korupsi baik didalam penyidikan maupun dalam persidangan di

pengadilan. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 disamping mengangkat tindak


pidana dalam KUHP yang oleh Undang-undang nomor 3 tahun 1971 maupun
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah dijadikan juga menjadi tindak pidana
korupsi akan tetapi dalam Undang-undang yang baru tersebut dikatakan bahwa
rumusannya diubah dengan tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP darimana
ketentuan tersebut berasal tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat
dalam masing-masing pasal-pasal KUHP yang menjadi acuan, menjadi tindak pidana
korupsi.
Perkembangan yang paling besar dalam undang-undang No. 31 tahun 1999
dibandingkan dengan Undang-undang No. 3 tahun 1971 adalah diperberatnya
ancaman hukuman terhadap tindak pidana korupsi. Bahkan jika tindak pidana korupsi
yang disebut dalam pasal 2 yaitu melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain yang dapat merugikan keuangan negara, dilakukan dalam keadaan tertentu,
pelaku dapat dijatuhi hukuman mati. Penjelasan ayat 2 tersebut menerangkan bahwa
yang dimaksud dengan keadaan tertentu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak
pidana korupsi dalam ketentuan ini ialah apabila tindak pidana tersebut dilakukan
pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, atau dilakukan waktu terjadi bencana alam nasional maupun sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau dilakukan pada waktu negara dalam keadaan
krisis ekonomi dan moneter. Perbedaan lain yang menonjol yang perlu diperhatikan
adalah :
Ancaman Pidana
Berbeda dengan undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, undang-undang no 31 Tahun
1999 menentukan adanya ancaman pidana minimum khusus, dan pidana denda yang
lebih tinggi serta memuat juga pidana berupa penggantian uang kerugian negara.
Ancaman pidana minimum tersebut merupakan pidana paling rendah (minimum)
yang wajib dijatuhkan oleh hakim apabila dakwaan tertentu dipandang
terbukti.Sebelumnya hal ini tidak dikenal.
Pengertian Melawan Hukum
Yang dimaksud dengan melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.[15]
3. Korporasi
Korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini
tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Korporasi yang dimaksud
disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 butir 1 dan pasal 20). Merupakan
perkembangan baru bahwa dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengatur
korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat baik dalam crime for
corporation ataupun corporate criminal[16].
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Diundangkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, didasarkan atas pertimbangan bahwa tindak

pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Disamping itu juga dikatakan bahwa perubahan itu diperlukan untuk lebih menjamin
kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak sosial-ekonomi masyarakat serta pelakuan secara adil
dalam memberantas tindak pidana korupsi[17]. Perubahan yang dilakukan oleh
undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tersebut adalah sebagai berikut :
Penjelasan pasal 2 ayat 2 merubah pengertian keadaan tertentu dalam undangundang Nomor 31 tahun 1999 sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya
sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam
keadaan krisis ekonomi dan moneter, perubahan alasan pemberatan pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap
dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam
nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang merupakan
rumusan tindak pidana yang diangkat dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) menjadi tindak pidana korupsi tetapi merujuk pada KUHP tersebut. Dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 hal itu berubah. Rumusan tindak pidana
korupsi yang diangkat dari KUHP langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat
dalam masing-masing pasal-pasal KUHP tersebut sehingga menjadi rumusan tindak
pidana korupsi yang tidak perlu lagi merujuk pada pasal-pasal KUHP yang dimaksud.
Akan tetapi dengan ketentuan ini belum jelas bagi kita apakah pasal-pasal KUHP
yang diangkat menjadi tindak pidana korupsi tersebut menyebabkan pasal-pasal 209,
210...dst, sudah menjadi tidak berlaku lagi. Atau sebaliknya apakah untuk tidak
pidana korupsi yang lebih kecil dari Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) sebagaimana
disebutkan dalam pasal 12 (a) atau kerugian yang jumlahnya sangat kecil masih tetap
dapat menggunakan pasal-pasal KUHP tersebut.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 diantara pasal 12 dan pasal 13
diselipkan tiga pasal baru yaitu pasal 12 (a), Pasal 12 (b) dan pasal 12 (c). Pasal 12 (a)
menentukan bahwa untuk tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 yang nilainya kurang dari 5 juta rupiah, tidak berlaku
ketentuan minimum pidana baik menyangkut pidana penjara maupun denda. Yang
diberlakukan adalah pidana maksimum. Pasal 12 (b) menyangkut pemberian kepada
penyelenggara negara yang disebut gratifikasi jika nilainya 10 juta rupiah atau lebih
diperlakukan pembuktian terbalik, yaitu dibebankan kepada penerima gratifikasi,
bahwa pemberian tersebut bukan suap. Sedangkan pemberian yang nilainya kurang
dari 10 juta rupiah pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap tetap
diberlakukan kepada jaksa.
Dengan ketentuan tersebut misalnya memberi atau menjanjikan sesuatu pada hakim
maupun advokat menjadi satu tindak pidana yang secara explisit disebutkan dalam
undang-undang No. 20 tahun 2001. Ketentuan lain dalam Undang-undang No. 20

tahun 2001 ini adalah adanya suatu tindak pidana baru yang sebagaimana telah
disebutkan diatas dengan gratifikasi yaitu pemberian kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang dianggap suap apabila hal itu berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya yakni pemberian yang nilainya 10.000.000 (sepuluh juta)
rupiah atau lebih, wajib dibuktikan oleh penerima gratifikasi bahwa pemberian
tersebut bukan suap. Sedang apabila kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta)
penuntut umum wajib membuktikan bahwa itu adalah suap. Meskipun dengan
perkembangan terakhir dari pergeseran pengaturan dalam tindak pidana korupsi
menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001 ternyata bahwa dalam tindak pidana
korupsi tertentu khususnya yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara ancaman hukuman berupa pidana penjara seumur hidup tidak berubah.
Makna dari perubahan-perubahan yang dilakukan oleh undang-undang itu
sesungguhnya secara berarti adalah karena mengangkat tindak pidana tertentu dalam
KUHP menjadi tindak pidana korupsi dengan cara merumuskan unsur-unsur tindak
pidana KUHP tersebut secara langsung menjadi tindak pidana korupsi.
Perubahan Perundang-undangan dibidang tindak pidana korupsi dari masa-kemasa
seperti yang terlihat dari uraian diatas baik dengan pemberatan ancaman hukuman
maupun dengan perluasan rumusan tindak pidana telah diimbangi dengan
pembentukan lembaga-lembaga di luar lembaga resmi dibidang penyidikan dan
penyelidikan, yang tampaknya masih juga tidak membawa hasil. Setelah perubahan
yang demikian, Undang-undang No. 30 Tahun 2002 membawa suatu konsepsi baru
yang lebih luas lagi yaitu dengan menambahkan wewenang penuntutan terhadap
lembaga baru yang dibentuk dengan undang-undang tersebut disamping wewenangwewenang lain yang dianggap menyimpang dari hukum acara yang berlaku.
Perubahan tersebut terutama adanya suatu kriteria tindak pidana korupsi yang menjadi
kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang :
i. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada
kaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara.
ii. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat
iii. Disamping kategori-kategori tindak pidana yang menyangkut keuangan negara
seperti yang telah dikemukakan diatas, maka dalam undang-undang Nomor 28 tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi,
Dan Nepotisme yaitu : i) Kolusi, dan ii) Nepotisme. Sesungguhnya dalam undangundang tersebut dimuat juga suatu tindak pidana yaitu korupsi, akan tetapi secara
tegas dirujuk bahwa korupsi tersebut adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi,
sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu.
Dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa Nepotisme adalah setiap perbuatan
penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan
keluarganya dan atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan
negara[18]. Dilain pihak dikatakan bahwa Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama
secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara

danpihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat atau dan negara[19]. Kedua
jenis tindak pidana ini sesungguhnya menjadi tidak relevan oleh karena telah dicakup
dalam rumusan tindak pidana korupsi yang sangat luas. Nepotisme yang merupakan
perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan
keluarganya atau kroni-nya telah tercakup didalam rumusan tindak pidana korupsi
dalam pasal 2 dan 3 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001. Sedangkan Kolusi sebagai permufakatan atau kerjasama
secara melawan hukum juga telah tercakup didalam bentuk delik-delik penyertaan dan
pembantuan sebagaimana diatur dalam Bab V Buku I KUHP.
Seorang ahli berpendapat bahwa perubahan-perubahan rumusan tindak pidana korupsi
dalam hukum pidana materiil indonesia dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2002,
didasarkan pada alasan tidak berhasilnya aparat penegak hukum untuk mengurangi,
apalagi membasmi tindak pidana korupsi secara menyeluruh. Sesungguhnya alasan
kegagalan aparat penegak hukum tidak perlu menyebabkan seringnya berubah
perumusan tindak pidana korupsi karena hukum materiil itu merupakan norma standar
yang bisa ditegakkan dalam situasi yang berbeda. Lagipula perubahan-perubahan
yang terjadi tersebut dapat menyebabkan susunan maupun substansi suatu norma
menjadi tidak baik dan tidak logis.[20] Pendapat ini sebagian ada benarnya. Akan
tetapi sepanjang mengenai perkembangan tentang dapat dipidananya korporasi
sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah merupakan perkembangan penting dan
diperlukan untuk mengatasi keadaan yang timbul pada masa sekarang.
PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN.
Dalam perkembangan dan perubahan keseluruhan konsepsi pemberantasan tindak
pidana korupsi, baik rumusan dan lembaga yang menangani, satu teknik yang belum
dipergunakan secara sungguh-sungguh untuk memberantas dan mencegahnya adalah
pengaturan beban bukti dengan melakukan pembalikan beban tersebut dari penuntut
umum menjadi beban dari seorang tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi.
Pembalikan beban pembuktian ini yang sangat terkenal dengan istilah asing yaitu
omkering van hetbewijslast,yang dalam literatur common law system disebut sebagai
reversal of burden of proof. Meskipun secara terbatas seorang terdakwa dalam
undang-undang hukum acara perkara tindak pidana korupsi diberikan kesempatan
membuktikan bahwa harta yang diperolehnya bukan berasal dari tindak pidana
korupsi, namun pembuktian tersebut tidak melepaskan beban dari Jaksa/penuntut
umum untuk wajib membuktikan kesalahan terdakwa tersebut. Yang dilakukan dalam
Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi tentang beban bukti tersebut
baru sebatas menggeser sedikit (shifting of burden of proof), khusus dalam
pengaturan gratifikasi, di mana seorang terdakwa diwajibkan membuktikan bahwa
uang diterimanya bukan merupakan gratifikasi.[21]
Kedepan yang harus dicoba penerapannya adalah pembalikan beban pembuktian
seperti yang sudah dianut di beberapa negara dan yang diatur dalam United Nations
Convention Against Corruption, yang menentukan bahwa :
States parties may consider the possibilities of requiring that an offender demonstrate
the lawful origin os such alleged proceeds of crime or other property liable to
confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the fundamental

principles of their domestic law and with the nature of judicial or other
proceedings.[22]
Perlawanan yang dihadapi ketika ada upaya untuk menggunakan pembalikan beban
bukti secara keseluruhan dalam proses pemeriksaan dan persidangan tindak pidana
korupsi selalu dihadapkan dengan asas dalam hukum tentang praduga tidak bersalah
(presumption of innocence).Terutama sekali kekawatiran timbul jikalau tanpa satu
dugaan permulaan yang cukup atau diluar proses hukum acara yang berjalan, orang
menuntut seorang pejabat publik untuk membuktikan bahwa harta yang diperolehnya
bukan dari kejahatan korupsi. Oleh karenanya kehati-hatian memang dibutuhkan
untuk menggunakan dan mengadopsi lembaga tersebut dalam hukum acara pidana
Indonesia.
APAKAH YANG DAPAT KITA LAKUKAN.
Salah satu tugas KPK adalah melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi, yang dijabarkan dengan program pendidikan anti korupsi, sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi dan melakukan kampanye anti korupsi kepada
masyarakat umum.[23] Hal tersebut kita pahami, sebagai beban yang terletak juga
kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu dalam pencegahan kalau bukan
pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
Dalam posisi sebagai pemimpin
gereja, pimpinan pendidikan kristen dan warga masyarakat bisa yang menjadi warga
gereja, sudah dipastikan bahwa kita tidak berpihak kepada korupsi, koruptor dan sikap
koruptif. Ajaran Kristiani hemat saya sangat jelas dalam hal tersebut, meskipun saya
tidak dapat merujuknya dengan tegas karena larangan mencuri adalah salah satu dari
Sepuluh Hukum yang harus dipatuhi. Iman kristiani pasti berupa pemihakan kepada
kebenaran dan keadilan, serta penghormatan pada harkat dan martabat manusia.
Dengan uraian tentang tindak pidana atau kejahatan korupsi dalam hukum pidana,
masyarakat juga telah mengembangkan sendiri istilah-istilah yang secara umum
menjadi bagian dari korupsi ataupun korupsi itu sendiri dengan nama beragam, money
politics, suap pungli, uang terima kasih dan lain sebagainya. Anggota msyarakat yang
menghadapi persoalan hukum dan meminta jasa hukum dari para professional di
bidangnya masing-masing, kerap menginginkan keberhasilan mutlak dalam arti
dimenangkan, terlepas dari unsur kebenaran, sehingga berani mengeluarkan jumlah
uang yang besar sebagai suap, yang kadangkala dikemas dengan istilah uang terima
kasih untuk memenangkan satu perkara tersebut. Meskipun dia menyadari bahwa
putusan demikian dasar hukumnya tidak benar, namun pergeseran budaya yang
terjadi dimana nilai-nilai yang dianut bukanlah menerima dengan sportif dan lapang
dada satu kebenaran diungkapkan, melainkan arrogansi dan kesombongan
menyebabkan terbentuknya kultur bahwa yang adil itu adalah jikalau menang dalam
berperkara(justice is winning).
Di lain pihak, seorang yang berniat menjadi Kepala Daerah sebagai Gubernur,
Walikota dan Bupati, juga tidak segan mengeluarkan uang besar untuk memenangkan
jabatan tersebut, meskipun diketahuinya prediksi perolehan suara tidak akan mencapai
keterpilihan, lalu berupaya mencari jalan-jalan yang mudah untuk mewujudkannya
dengan money politics. Money politics, yang sesungguhnya hanyalah satu jenis suap,
merupakan penggunaan uang untuk membeli suara melalui transaksi jual belis suara.

Uang yang digunakan untuk menjual belikan dukungan politik biasanya bersumber
dari negara.[24]
Dalam pelayanan pejabat publik atau pemerintahan sehari-hari, sering kita tidak sabar
menunggu sejenak atau membuang tenaga sedikit, sehingga menyerah kepada
permintaan petugas untuk dilayani dengan uang semir, yang sesungguhnya adalah
juga pungli atau suap. Harus diakui bahwa meskipun kita berusaha untuk tidak
mengikuti jalan-jalan yang tidak legal tersebut, namun suatu kondisi yang buruk
ditingkat pejabat publik baik dalam pemerintahan dan peradilan, merupakan hambatan
besar dalam menempuh jalan yang lurus. Kita menjadi korban yang tidak mempunyai
kepastian dalam penyelesaian urusan, sehingga seringkali harus menyerah. Dikatakan
dibanyak negara korupsi telah menjadi satu cara hidup bagi para petugas. Tanpa tip
satu berkas dapat hilang tanpa tentu rimbanya, dan tanpa memberi suap, tidak dapat
dijamin menang dalam perkara yang dihadapi.[25]
Terlepas dari kesukaran yang menghambat penghapusan korupsi, suap dan pelicin
dalam kehidupan pemerintahan serta masyarakat, yang timbul karena berkembangnya
budaya dalam kehidupan pemerintahan dan negara yang memaksa dilayani agar
mau bergerak menjalankan apa yang sesungguhnya menjadi tugas publiknya, sikap
menyerah tidak menjadi pilihan. Disadari benar bahwa akan sangat memakan waktu
membangun kultur atau budaya hidup lurus dan bersih, sebagaimana pendekatan
hukum juga telah menunjukkan ketidak berhasilannya meskipun telah membentuk
KPK dengan kewenangan yang luar biasa. Hemat kami pemberantasan korupsi dan
mafia hukum harus disertai juga dengan pendidikan dan ajar untuk membangun kultur
baru yang anti korupsi dan suap. Meskipun kebanyakan kita sudah putus asa melihat
perkembangannya yang semakin subur karena ulah gerak Mafia Hukum dan Pajak,
upaya kita tidak boleh mati, karena keadaan tersebut bukanlah tanpa harapan, karena
keberadaan ajaran Kristiani yang kita imani. Gereja dan lembaga-lembaga
pendidikan Kristen harus menyuarakan nilai-nilai kristiani tentang kehormatan,
kehidupan yang beradab dan bermartabat untuk menjadi landasan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Meski semua lini jabatan publik telah
dicemari korupsi, namun dorongan untuk hidup secara bermartabat dalam iman
kristiani, harus secara terus menerus disuarakan dan diajarkan oleh Gereja dan
Lembaga Pendidikan Kristen, agar warga gereja mendapat arah yang tepat dan benar
dalam menjunjung tinggi pengabdiannya kepada negara dan masyarakat, serta
masyarakat dimana kita berada.
Penutup.

Gereja dan lembaga pendidikan kristen sebagai lembaga yang membangun moralitas
kekristenan bagi warga gerja yang sekaligus menjadi warga masyarakat, harus
mampu memberikan pesan kuat bagi warga untuk dapat hidup dalam kebenaran dan
keadilan meski dalam kondisi yang sulit sekalipun. Upaya tersebut merupakan hal
yang dilakukan terus menerus, walaupun dengan jatuh bangun. Bagaimana
membangkitkan dan membangun upaya yang berkesinambungan untuk membentuk
landasan yang kukuh bagi warga dan anak didik menolak praktik-praktik tidak sehat
korupsi dan mafia hukum, merupakan tugas kita. Sambil melakukan introspeksi diri
sendiri, keteladanan orang tua, rohaniawan dan para pendidik kristen sangat
mendasar dalam mendidik dan mengajar warga dan jemaat untuk menjadi warga

yang membawa semangat keadilan dan damai sejahtera ditengah masyarakat dan
negara.

Jakarta, 26 Maret 2011

[1] Teten Masduki dan Danang Widoyoko,Menunggu Gebrakan KPK, dalam Jentera
journal hukum edisi 8 Tahun III Maret 2005 hal. 43
[2] Sumitro Djojohadikusumo dan Emil Salim. Bahkan Bank Dunia mengatakan
kebocoran dana pembangunan mencapai 45 %(Dikutip dari Pengadilan Khusus
Korupsi, Leip, MTI, PSHK, TGTPK, 2002. Hal.3
[3] Konsiderans menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
[4] Konsiderans menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.
[5] Konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK.
[6] Prof.Dr. Harkristuti Hernowo S.H.
[7] Konsiderans a UU nomor 20 tahun 2001.
[8] Nono Anwar Makarim, dalam Mencuri Uang Rakyat, 16 Kajian Korupsi di
Indonesia, Mencari Paradigma Baru,Hamid Basyaib dkk (eds), Yayasan Asara Untuk
Kemitraan Bagi Pembaruan Tata pemerintahan, 2002, hal i.
[9] Gary Goodpaster, dalam ibid, hal iv
[10] Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahan, Penerbit PT. Gramedia tahun
1984 Hal.9
[11] Encyclopedia Americana International Edition Vol. 8, Hal. 22
[12] Undang-undang No. 28 Tahun 1999
[13] Penjelasan Umum UU. NO. 24 Prp. Tahun 1960
[14] R. Wiyono S.H, Op.Cit Hal. 11
[15] Pengertian melawan hukum yang dimuat dalam penjelasan ini, dalam putusan
Mahkamah Konstitusi no. /PUU-IV/2006, telah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 yang menganut
azas legalitas, yang mewajibkan aturan hukum pidana harus tertulis.
[16] Ramelan S.H, Dalam Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Mahkamah Agung
RI, 2002, hal. 98
[17] Konsiderans Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
[18] Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.28 tahun 1999.
[19] Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 28 Tahun 1999.
[20] DR. Mudzakir S.H M.H, Risalah Sidang Perkara No.012, 016, 019 / PUU IV /
2006 Tanggal 11 Oktober 2006 Hal. 50
[21] Pasal 12B jo Pasal 38A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[22] Pasal 31 angka 8 United Nations Conventions against Corruption, 2003,
sebagaimana dikutip dari Akil Mochtar,Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana
Korupsi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hal 185.
[23] Pasal 6 c jo. Pasal 13 huruf c,d dan e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang komisi Pemberantasan Korupsi.
[24] Masdar F. Masudi, Korupsi Dalam Perspektif Budaya dan Syariat Islam, dalam
Mencuri Uang Rakyat, op.cit hal 80.
[25] Michael Kirby, sebagaimana dikutip oleh Maruarar Siahaan, Access to Justice in
Indonesia : Special Note on Indonesias Transition Era and Corruption, yang

disampikan dalam Compring Access to Justice in Asian and European transitional


Countries Seminar, June 27-28, 2005 in Bogor , Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai