ABSTRAK
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi yang diberi kewenangan khusus
untuk mengatur daerahnya sendiri, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006.
Keistimewaan yang diberikan kepada Aceh menimbulkan peluang konflik, diantaranya masalah
kewenangan, pilkada dan pengelolaan sumber daya alam. Peluang konflik bukan hanya terjadi
di Aceh, melainkan juga akan terjadi di daerah lain berupa kecemburuan sosial. Pemerintah
harus tanggap terhadap peluang konflik ini dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
1 / 18
PENDAHULUAN
Berdasarkan UUD 1945, bentuk negara yang digunakan di Indonesia adalah bentuk negara
kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Pengaturan bentuk Negara kesatuan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUD)1945 yang berbunyi: Negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik
. Penggunaan asas desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ditunjukkan
dengan adanya pembagian daerah sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 amandemen
kedua Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi:
1. Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah Propinsi dan
daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap
Propinsi,
Kabupaten dan Kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan
Undang-Undang;
2. Pemerintah
Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus
sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintah
Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota memiliki Dewan
Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum
Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut mengisyaratkan bahwa sistem pemerintahan daerah
menurut UUD 1945 menempatkan pemerintah daerah sebagai bagian dari sistem
pemerintahan Indonesia. Hal ini berhubung dianutnya bentuk negara kesatuan menurut Pasal 1
ayat (1) UUD 1945, artinya Negara Republik Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang
didesentralisasi (Josef Riwu Kaho, 1991:6);
Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai dengan
gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di
daerah yang demokratis. Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa asas dekonsentrasi
adalah instrumen sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik
pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari sentralisasi(Bagir Manan, 2001: 9);
2 / 18
Mengacu kepada rumusan pasal di atas dan beberapa pasal-pasal berikutnya, pembagian
daerah di Indonesia dikenal pula adanya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
istimewa dan satuan-satuan masyarakat hukum adat yang merupakan pengaturan
pemerintahan asli Indonesia yang sepanjang hal itu masih ada sebagaimana diatur dalam UUD
1945 Pasal 18 B. Ketentuan ini mengandung arti bahwa dalam susunan daerah baik Propinsi,
Kabupaten maupun Kota dimungkinkan adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau istimewa, namun pengertian daerah khusus dan istimewa dalam UUD 1945 ini belum ada
batasan pengaturannya.
Selain Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota diatur pula adanya satuan masyarakat hukum adat
sepanjang hal itu masih ada, satuan masyarakat hukum adat tersebut mempunyai teritorial
yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Perkembangan selanjutnya dengan adanya perubahan paradigma otonomi daerah yang baru,
berturut-turut ditetapkan dan diundangkannya UU yang mengatur pemerintah daerah, yaitu:
5. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
3 / 18
UUD 1945, baik sebelum maupun setelah amandemen, memberi ruang hadirnya praktik
hubungan pusat dan daerah yang didasarkan kepada karakter khas suatu daerah. Dalam UUD
1945 hasil amandemen, misalnya, eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan menghormati
satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Berdasarkan
rumusan itu, UUD 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda
antara suatu daerah dan daerah lain. Namun, untuk mengatur lebih jauh bagaimana
perbedaan derajat (khusus maupun istimewa, UUD 1945 menyerahkannya kepada
undang-undang. Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan, semua daerah diatur seragam dan
semua undang-undang tentang pemerintahan daerah punya tafsir berbeda mengenai makna
khusus dan istimewa itu.Perkembangan berbeda mulai terasa sejak tahun 1999.
Pemerintah tak mungkin lagi mengaturnya secara seragam. Bahkan, untuk Aceh dan Papua,
beberapa ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus.
Untuk memenuhi amanat itu, tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh dan Papua tak diikuti dengan paradigma
baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan.
Campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah. Sejauh ini,
pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada
pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat
dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah dan daerah yang menerima otonomi
khusus.
Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut,
Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan
yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki
Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan
GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam
undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi
klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan
Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang.
4 / 18
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut,
setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undang ini, yaitu;
1. bahwa sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan
Undang-Undang;
2. bahwa berdasarkan perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan
satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu
karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan
dan daya
juang tinggi;
3. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi
tersebut bersumber dari pandangan hidup
yang berlandaskan syariat Islam
yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga
Aceh menjadi daerah modal
bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan
dan pelaksanaan pembangunan di Aceh
belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan,
pemenuhan, dan pelindungan
hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu
dikembangkan dan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan
5. bahwa bencana alam gempa bumi dan
tsunami yang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi
bangsa Indonesia untuk membangun kembali
masyarakat dan wilayah Aceh serta
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh,
berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Sesuai dengan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalah yang akan
dikaji lebih jauh pada tulisan ini, yakni:
1. Bagaimanakah
ruang lingkup kewenangan yang dimiliki oleh Aceh pasca
pemberlakuan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh?
2. Bagaimanakah
bentuk dan peluang sengketa yang dapat terjadi antara pemerintahan
Aceh
dan pemerintah (pusat) sehubungan dengan kewenangan yang dimiliki Aceh
berdasarkan UU 11/2006 tersebut?
3. Langkah-langkah
apa saja yang dapat ditempuh guna menciptakan hubungan yang
harmonis
antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat)?
5 / 18
PEMBAHASAN
6 / 18
Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut,
Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan
yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki
Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan
GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam
undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi
klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan
Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang.
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut,
setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undangan ini, yaitu:
1. bahwa sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan
Undang-Undang;
2. bahwa berdasarkan perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan
satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu
karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan
dan daya
juang tinggi;
3. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi
tersebut bersumber dari pandangan hidup
yang berlandaskan syariat Islam
yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga
Aceh menjadi daerah modal
bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan
dan pelaksanaan pembangunan di Aceh
belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan,
pemenuhan, dan pelindungan
hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu
dikembangkan dan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan
5. bahwa bencana alam gempa bumi dan
tsunami yang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi
bangsa Indonesia untuk membangun kembali
masyarakat dan wilayah Aceh serta
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh,
berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7 / 18
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) menegaskan bahwa Aceh adalah daerah
provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Dan
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan
kewenangan masing-masing.
Prinsip otonomi yang seluas-luasnya tersebut dipertegas lagi sebagai kewajiban konstitusional,
dengan tetap menekankan posisi Pemerintahan Aceh sebagai bagian tidak terpisahkan dari
NKRI. Penegasan ini dapat dibaca dalam penjelasan UUPA sebagai berikut :
Undang-undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi
seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem
dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada
dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional
untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.
8 / 18
Dengan adanya daerah diberikan hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri setiap urusan Pemerintahan menurut asas otonomi seluas-luasnya,
mengandung makna (1) dilihat dari segi formal yaitu proses bagaimana daerah diberikan
keleluasaan menurut caranya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga tidak lagi ada turut
campur Pemerintah pusat untuk menentukan bagaimana mengelola urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah, dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip pemberian
otonomi. (2) Dilihat dari segi materiil yaitu daerah diberikan kewenangan yang lebih besar
(banyak) untuk mengelola urusan Pemerintahan kecuali ketentuan yang ditetapkan dalam UU
merupakan kewenangan Pemerintah pusat, dengan demikian daerah diberikan kesempatan
untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh
pemerintahan lokal.
Menyangkut kewenangan yang dimiliki Pemerintahan Aceh diatur pada Pasal 7 UUPA, yakni:
(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan
pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter, fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. (3) Dalam
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
a. melaksanakan sendiri;
9 / 18
Pemerintah; dan menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, pada
bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006 ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang
merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip
NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Sementara
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan
UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan
kewenangan masing-masing.
Urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang dimaksudkan dalam ketentuan ini termasuk
kebijakan di bidang perencanaan nasional, kebijakan di bidang pengendalian pembangunan
nasional, perimbangan keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis,
konservasi dan standardisasi nasional.
Penjelasan frasa urusan pemerintahan yang bersifat nasional sekali lagi membuktikan
bahwa pembagian kewenangan antara pusat dan daerah sengaja dirumuskan sedemikian rupa
sehingga sulit dirumuskan dan diimplementasikan. Apalagi, hampir tidak urusan daerah yang
terkait dengan urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Jadi, prinsip residu power
dielemininasi sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat dapat melakukan intervensi untuk
10 / 18
semua urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Posisi pemerintah pusat akan semakin
dominan karena menurut Pasal 249 UU No 11/2006 menentukan bahwa pembinaan dan
pengawasan penyelenggaran Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota
dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Sebetulnya, titik rawan lain dalam pembagian urusan muncul karena adanya ketentuan Pasal
11 Ayat (1) UU No 11/2006 yang menyatakan, pemerintah menetapkan norma, standar, dan
prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota
.
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan:
Yang dimaksud dengan: Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai
tatanan untuk pelaksanaan otonomi daerah.
Standar adal
ah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Prosedur
adalah metode atau tata cara untuk elaksanakan otonomi daerah
11 / 18
Ada tiga embrio konflik dalam UUPA yang bila tidak disikapi secara bijak akan dapat
mengganggu jalannya proses demokratisasi dan upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat Aceh yang lebih baik di bawah UUPA ini.
Embrio konflik pertama adalah masalah kewenangan. Menyangkut kewenangan yang dimiliki
Aceh pasca pengesahan UUPA, sepintas tidak terdapat perbedaan dengan kewenangan yang
dimiliki oleh daerah lain. Provinsi Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan
mengurus seluruh sektor pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali yang bersifat
nasional, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal serta
urusan tertentu dalam bidang agama. Rumusan ini tidak berbeda dengan aturan yang terdapat
pada Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Masalahnya adalah bentuk dan ruang lingkup kewenangan yang diberikan kepada Aceh tidak
secara spesifik dijelaskan, di antaranya adalah siapa yang mesti merinci kewenangan yang
dimaksud serta apakah menjadi kewenangan mutlak dari pemerintah Aceh untuk merumuskan
kewenangan yang akan menjadi urusan pemerintah Aceh, ataukah kewenangan tersebut
nantinya akan dirinci oleh pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah seperti lazimnya
diberlakukan kepada daerah lain. Ini persoalan yang amat krusial.
Pada saat UUPA masih berbentuk rancangan dan diperdebatkan di Senayan, terdapat
rumusan Pasal 11 yang berbunyi; "pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur
serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota". Dalam perkembangan pembahasan UUPA, rumusan
pasal ini dihapus. Dengan dihapusnya pasal ini, pemerintah pusat seakan memberikan "cek
kosong" kepada pemerintah Aceh untuk mengurai dan mengatur sendiri kewenangan apa saja
yang diinginkan oleh pemerintah Aceh. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana
sekiranya terjadi konflik antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat menyangkut
kewenangan tersebut, lembaga mana yang akan menyelesaikannya?
Embrio konflik kedua adalah menyangkut masalah pilkada. UUPA mengatur pelaksanaan
pemilihan kepala daerah dan wakil di Provinsi Aceh dan kabupaten/kota dilakukan secara
langsung dengan nuansa kekhususan antara lain penyelenggara pemilihan dilakukan oleh
Komisi Independen Pemilihan Aceh dan komisi independen pemilihan kabupaten/kota.
Pasangan calon nantinya akan diusulkan oleh partai politik, partai lokal, dan kandidat
perseorangan. Jadi akan ada tiga pintu masuk pada proses pencalonan pasangan calon.
12 / 18
Persoalannya adalah menyangkut partai lokal yang diberikan kewenangan untuk mengusulkan
pasangan calon, namun teknis pembentukannya mesti menunggu aturan hukum dalam bentuk
peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh presiden. Dalam UUPA dijelaskan bahwa partai
lokal boleh ikut dalam pemilu untuk memilih anggta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota/Kabupaten (DPRK), mengajukan calon untuk mengisi
DPRA dan DPRK, mengusulkan pemberhentian dan pergantian antar waktu anggotanya,
mengusulkan pasangan calon gubernur-wakil, calon bupati-wakil, calon wali kota-wakil dan
dapat melakukan afiliasi dengan partai politik baik lokal maupun nasional.
Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini akan diatur dalam peraturan pemerintah yang harus
diterbitkan paling lambat Februari 2007. Dengan kata lain, campur tangan pemerintah pusat
dalam proses pilkada di aceh tetap terbuka lebar melalui perangkat peraturan pemerintah yang
akan dikeluarkan oleh presiden.
Di samping itu, dengan sistem pilkada yang terbuka tersebut, peluang terjadinya konflik akan
sulit untuk dibendung. Dengan pencalonan sistem satu pintu saja (melalui parpol) seperti yang
banyak dipraktikkan daerah lain, konflik pilkada terjadi pada hampir setiap daerah. Apalagi
dengan sistem tiga pintu yang akan digelar di Aceh nantinya. Tentu saja kerawanan akan
konflik jauh lebih besar. Solusi antisipasi jelas berada di tangan Komisi Independen Pemilihan
Aceh dalam merumuskan aturan pilkada yang aspiratif dan melalui proses yang transparan
serta yang terpenting melibatkan semua unsur yang terpaut langsung terhadap proses pilkada
di Aceh. Merumuskan aturan pilkada yang dapat memuaskan semua pihak tentu bukan
pekerjaan yang sederhana.
Embrio konflik yang ketiga adalah masalah pengelolaan sumber daya alam. Pasal 160 ayat (1)
UUPA merumuskan "Pemerintah dan pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama
sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan
Aceh". Namun pada penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa " Sumber daya migas dikelola
pemerintah Aceh". Pemberian kewenangan khusus kepada pemerintah Aceh untuk mengelola
sumber daya migas seakan mengenyampingkan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan "Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang".
Rumusan Pasal 160 ayat (1) UUPA bila dilihat dari segi kepentingan daerah lain, merupakan
embrio konflik yang mengkhawatirkan. Bagi daerah lain, sumber daya alam, khususnya migas
13 / 18
yang berada di Aceh tentu bukan sepenuhnya menjadi hak mutlak masyarakat Aceh.
Sepanjang masih berada di wilayah NKRI, migas di Aceh menjadi hak bagi setiap daerah.
Kecemburuan daerah lain tidak saja dipicu masalah migas di atas. Di sisi ekonomi, sumber
penerimaan Aceh memperoleh dana perimbangan yang diperlakukan khusus yaitu dari bagi
hasil hidrokarbon dengan besaran 70 persen. Di samping itu, Aceh juga akan memperoleh
dana otonomi khusus untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,
pendidikan, sosial dan kesehatan selama 20 tahun dengan rincian tahun 1-15 sebesar 2
persen plafon DAU nasional dan tahun 16-20 sebesar 1 persen plafon DAU nasional. Kebijakan
ini akan berlaku efektif mulai 2008. angka-angka yang amat fantastis ini seakan menjadi Aceh
sebagai "anak emas" baru di republik ini.
Agar ketiga konflik tersebut tidak meluas menjadi sebuah ketegangan baru hubungan
pusat-daerah, amat mendesak bagi pemerintahan SBY-JK mengambil langkah-langkah yang
bijak guna menjelaskan kepada publik, khususnya daerah-daerah minus yang terimbas
langsung dari kebijakan pemberikan otonomi baru kepada pemerintahan Aceh.
Lalu, menghadapi masalah-masalah pembagian kewenangan di atas, langkah apa yang harus
dilakukan untuk dapat keluar dari masalah tersebut? Pertanyaan itu menjadi penting karena
keberhasilan pelaksanaan kewenangan antara pusat dan daerah akan amat menentukan
keberhasilan UU No 11/2006. Saya menyarankan beberapa langkah berikut.
Pertama, berkaca pada pengalaman pelaksanaan hubungan pusat di daerah (yang bukan
dengan pola otonomi khusus) lain, sebaiknya dibentuk badan ad-hoc yang dapat menjembatani
penyelesaian pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Aceh dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembentukan itu tidak saja menjadi salah satu bukti bahwa
pemerintah serius mengelola otonomi khusus, tetapi juga mempercepat keluar dari
kecenderungan penyeragaman pola otonomi daerah di Departemen Dalam Negeri. Tanpa
pengelolaan yang sungguh-sungguh, otonomi khusus akan berubah menjadi otonomi kasus.
Kedua, pemerintah pusat mesti membuat bentuk produk hukum yang seragam dalam
menyusun norma, standar, dan prosedur sehingga benar-benar tidak
mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota sebagai daerah yang diberi status khusus atau istimewa. Akan lebih baik
kalau produk hukum penyusunan norma, standar, dan prosedur
dibuat dalam satu produk hukum saja.
14 / 18
Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No 11/2006 akan menjadi babak
baru praktik otonomi daerah di Indonesia. Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau
kehadiran UU No 11/2006 mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik
guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang demikian juga
muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No 11/2006. Keraguan itu muncul, di
antaranya, karena pengalaman dan praktik otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (UU No 18/2001).
Namun, keraguan bahwa Aceh sebagai daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana
dengan baik karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas
dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006
menyatakan: pemerintah (pusat) menetapkan norma, standar, dan prosedur serta
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Aceh, kabupaten, dan kota.
15 / 18
PENUTUP
I. Kesimpulan
16 / 18
2. Ada 3 embrio konflik akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006, yaitu: masalah
kewenangan, masalah pilkada karena adanya hak bagi partai lokal mengusung calonnya,
masalah pengelolaam sumber daya alam.
II. Saran
1. Agar pemerintah cepat tanggap dalam dugaan-dugaan konflik yang akan terjadi
akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006.
2. Agar terus dilakukan penyempurnaan terhadap aturan hukum yang terkait dengan
otonomi khusus Aceh sehingga semakin meminimalisir terjadinya peluang konflik.
DAFTAR PUSTAKA
17 / 18
-------------, 1973, Pemerintah Daerah dan Pembangunan, Bandung, PT. Bandung Press,
Sumur
Manan, Bagir, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA
-------------, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH),
Yogyakarta, UII Press.
PSHK, Catatan PSHK Untuk Akhir Masa Sidang IV 2005-2006 DPR; Penuh Dinamika Namun
Tidak Jelas Arahnya, dikutip dari http://www.pshk.org
Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, BPFE-Yogyakarta, Edisi
Kedua, 2004 Josef Riwu Kaho,
Analisa Hubungan Pemerintah pusat dan daerah di Indonesia
, Rineka Cipta
Sujamto, 1988, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bina Aksara
18 / 18