Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatitis kronik mewakili serangkaian penyakit hepar dari aneka
macam penyebab dan keparahan dengan radang dan nekrosis hepar berlanjut
paling sedikit selama 6 bulan. Bentuk yang lebih ringan adalah non progresif
atau hanya progresif dengan lambat, sementara

bentuk yang lebih berat

mungkin dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut dan organisasi


arsitektur yang bila berlanjut akhirnya akan menyebabkan terjadinya sirosis
hepatis.
Beberapa kategori hepatitis kronik telah dikenali. Hal ini termasuk
hepatitis virus kronik, hepatitis kronik diinduksi obat dan hepatitis kronik
autoimun. Pada banyak kasus, gambaran klinis dan laboratorium tidak cukup
kuat untuk memungkinkan penempatan kedalam satu dari ketiga kategori ini.
Kasus idiopatik ini juga dipercayai untuk mewakili hepatitis kronik autoimun.
Akhirnya gambaran klinis dan laboratorium hepatitis kronik adakalanya tampa
pada pasien dengan penyakit herediter/metabolic seperti penyakit Wilson
(kelebihan tembaga) dan bahkan adakalanya pada pasien dengan cedera hepar
alkoholik.
Walaupun semua tipe hepatitis kronik memberikan gambaran klinis,
laboratorium dan histopatologik tertentu, hepatitis virus kronik dan hepatitis
autoimun kronik cukup berbeda untuk manfaat diskusi terpisah.

B. Tujuan
Mengingat bahaya dari hepatitis kronik maka penting bagi kita sebagai
tenaga medis khususnya dokter untuk mengetahui tentang hepatitis kronik,
baik definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, dan penatalaksanaan yang
tepat.
Tujuan penulisan referat ini juga sebagai syarat pendidikan dokter
dalam kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta di RSUD Dr. Harjono Ponorogo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hepatitis kronis adalah terjadinya peradangan, nekrosis,dan fibrosis
dari hepatosit di hepar yang berlangsung minimal 6 bulan.

B. Epidemiologi
Pengidap hepatitis B kronik diketahui dengan terdapatnya HbsAg
dalam darah lebih dari 6 bulan. Hepatitis B kronik tidak selamanya harus
didahului oleh serangan hepatitis B akut. Pada beberapa keadaan, hepatitis akut
langsung diikuti oleh perjalanan ke arah kronisitas. Keadaan lain, walaupun
seperti akut, ternyata sudah terjadi hepatitis kronis. Kira-kira 10% orang dewasa
dan 90% neonatus yang terinfeksi akut menjadi kronis. Insidensi
ditemukannya HbsAg mendekati 5% penduduk dunia (300 juta orang). Lebih
dari 10% nya tinggal di SubSahara dan Asia Tenggara. Dari yang terinfeksi
secara kronis 20% nya akan menjadi sirosis atau hepatoseluler karsinoma
(HCC) dan sekitar 1-2 juta orang pertahun yang akan meninggal dunia.
Prevalensi hepatitis virus C (HCV) meningkat di seluruh dunia. WHO
memperkirakan lebih dari 170 juta individu di seluruh dunia terjangkit HCV.
Insiden HCV di Indonesia sampai saat ini belum ada data pasti,
namun dari pemeriksaan terhadap penderita HCV (+) dilaporkan terdapat
44,8% HCV RNA (+), dan HCV RNA (+) ini lebih banyak ditemukan pada
usia tua dan ekonomi rendah.
HDV dipercaya menginfeksi sekitar 5% dari pengidap 300 juta
HbsAg di dunia, dimana angka tertinggi di Amerika Selatan dan Afrika.
Kronisitas hepatitis D sama dengan hepatitis B, yaitu sekitar 10-15% dari
hepatitis akut. Pada mereka pengguna obat-obat narkotika IV yang positif
HbsAg terdapat peningkatan prevalensi HDV sebanyak 17-90%. Transmisi
juga dapat melalui hubungan sexual dan perinatal

Kejadian HAI lebih sering pada wanita dibanding laki-laki (4:1). HAI
dibandingkan dengan penyakit hepar lainnya merupakan kasus yang jarang.
Prevalensi diperkirakan 50-200/1.000.000 kasus di Eropa Utara dan populasi
Kaukasian Amerika Utara, dimana 20% sebagai hepatitis kronik. Secara
epidemiologik penyakit ini diduga terkait dengan HLDASR4. HAI memiliki
mortalitas yang tinggi dan remisi yang rendah. Tanpa pengobatan, 50% pasien
dengan HAI berat akan meninggal dalam 5 tahun.
C. Cara Penularan (Cara Transmisi)
1. Hepatitis B
Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien
hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah.
Transmisi seksual
Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa : tertusuk jarum,
penggunaan

ulang peralatan

medis

yang

terkontaminasi,

penggunaan bersama pisau cukur dan silet, tato, akupuntur,


tindik, penggunaan sikat gigi bersama.
Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant
Tak ada bukti penyebaran fekal-oral.

2. Hepatitis D : Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan


resiko infeksi HBV (koinfeksi atau superinfeksi) = IVDU,
homoseksual atau biseksual, resipien donor darah, dan pasangan
seksual. Cara penularan :
Melalui darah
Transmisi seksual
Penyebaran maternal-neonatal

3. Hepatitis C
Darah (predominan) : IVDU dan penetrasi jaringan, respien
produk darah.
4

transmisi seksual : efisiensi rendah, frekuensi rendah


penyebaran maternal-neonatal : efisiensi rendah, frekuensi
rendah
Tak ada bukti transmisi fekal-oral

D. Klasifikasi Gambaran Histologis


1.

Hepatitis kronik persisten


Terdapatnya infiltrasi sel-sel radang di daerah portal, fibrosis
periportal sedikit sekali atau tidak ada, arsitektur lobular normal,
limiting plate pada hepatosit utuh, piece meal necrosis (-). Umumnya
pasien asimtomatik atau mengalami gejala konstitusi ringan (lemah,
anoreksia, mual). Pada pemeriksaan fisik hati membesar, lembek,
kenyal. Limpa tidak teraba, ikterik ringan. Pada laboratorium
peningkatan ringan aktivitas aminotransferase. Perkembangan menjadi
hepatitis kronik aktif dan sirosis sangat

jarang terjadi, terutama

pasien hepatitis kronis persisten idiopatik atau autoimun.


2.

Hepatitis kronik lobuler


Terdapat fokus nekrosis dan peradangan dalam lobulus hati. Secara
morfologis mirip hepatitis akut yang sedang sembuh perlahan. Limiting
plate utuh, fibrosis periportal sedikit atau tidak ada, arsitektur lobulus
normal. Jarang menjadi hepatitis kronis aktif dan sirosis.
Dapat dianggap varian hepatitis kronik persisten dengan
komponen lobuler dengan gambaran klinis/laboratoriumnya serupa.
Kadang-kadang aktivitas klinis meningkat spontan, mirip hepatitis akut,
perburukan sementara gambaran histologis.

3.

Hepatitis kronik aktif


Ditandai oleh nekrosis hati yang terus-menerus, peradangan
portal/periportal dan lobuler serta fibrosis. Keparahan dari ringan
sampai berat. Dapat menimbulkan sirosis, gagal hati, dan kematian.

Bentuk ringan: erosi ringan dari limiting plate dengan beberapa piece
meal nekrosis tanpa nekrosis bridging atau penumpukan rosette.
Bentuk

berat:

septa

fibrous

meluas

ke

kolumna

sel

hati,

pembentukan rosette, nekrosis bridging sel hepar, saluran porta dan


vena sentralis, juga antara portal. Jika terkena multilobulus dan
mengenai seluruh hati terjadi perburukan cepat bahkan gagal hati akut.
Klinis walaupun ada yang asimtomatik, tapi sebagian besar dengan
konstitusi ringan sampai berat, terutama rasa lelah. Lebih sering
ditemukan hipertensi portal, kadar aminotransferase cenderung lebih
tinggi dan ikterik (hiperbilirubinemia). Pada 20-50% biopsi

juga

sudah mengalami sirosis, bersamaan dengan hepatitis kronik aktifnya.

E. Patogenesis
1. Hepatitis B Kronik
Seperti diketahui ada 4 fase perjalanan penyakit hepatitis B kronik,
yaitu fase awal yaitu fase imuntolerans sampai usia 20-30 tahun dimana
HBV DNA tinggi, HBeASg-positip namun keadaan ini belum menggangu
fungsi hepar dimana Alt, Ast masih normal dan bahkan jika dibiopsipun
hepatosit dan gambaran histologik masih normal. Fase kedua yaitu fase
imun klirens dimana VHB mulai menyerang sel hepar dan mengganggu
fungsinya. Fase ini ditandai dengan HBV DNA mulai berfluktiasi, masih
meninggi dan demikian pula nilai Alt dan Ast mulai meningkat
berfluktuasi dan bisa terjadi keluhan dan gejala.

Empat fase Perjalanan Penyakit infeksi hepatitis B

Dalam perjalanannya di fase 4 nilai HBV DNA akan makin


menurun dan pada akhirnya mencapai kadar yang tidak terdeteksi.
Demikian pula nilai Alt akan menjadi normal dan fase ini memasuki fase 3
yang ditandai penyakit menjadi reda dan menjadi baik diamana tidak
terjadi keaktifan dan disebut sebagai fase pengidap HBsAg inaktif.
Sepertinya perjalanana infeksi akan memasuki fase kesembuhan, namun
beberpa penderita ternyata mengalami proses replikasi kembali, dan
keadaan infeksi HB menjadi aktif kembali HBV DNA muncul kembali,
Alt meningkat kembali. Fase ini disebut fase reaktivasi.
Virus hepatitis B bersifat tidak sitopatik, kerusakan hepatosit
terjadi akibat lisis hepatosit melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan
dari

infeksi

VHB

bergantung

pada

integritas sistem imunologis

seseorang. Infeksi kronis terjadi jika terdapat gangguan respon imunologis


terhadap infeksi virus. Selama infeksi akut, terjadi infiltrasi sel-sel radang
antara lain limfosit T yaitu sel NK (Non spesific Killer) dan sel T
sitotoksik.

Antigen

virus,

terutama

HbcAg

dan

HbeAg, yang

diekspresikan pada permukaan hepatosit bersama-sama dengan glikoptotein

HLA kelas I, mengakibatkan hepatosit yang terinfeksi menjadi target


untuk lisis oleh limfosit T. Walaupun ekspresi HLA oleh hepatosit
normal cukup memadai, ekspresi ini akan semakin diperkuat

oleh

peningkatan aktivitas interferon endogen yang diproduksi selama fase


awal infeksi virus. Interferon juga akan

mengaktifkan enzim seluler

termasuk 2-5 oligoadenilat sintetase, endonuklease dan protein kinase.


Enzim-enzim tersebut akan menghambat sintesis protein virus dengan
cara

degradasi

mRNA

atau

menghambat

proses

translasi.

Perubahanperubahan akibat interferon ini akan menimbulkan suatu status


antiviral pada hepatosit yang tidak terinfeksi, dan mencegah reinfeksi
selama proses lisis hepatosit yang terinfeksi
Hepatitis virus B yang berlanjut menjadi kronik menunjukkan
bahwa respons imunologis selular terhadap infeksi virus tidak baik. Jika
respons imunologis baik, lisis hepatosit yang terinfeksi tidak akan
terjadi, atau berlangsung ringan saja. Virus terus berproliferasi sedangkan
faal hepar tetap normal. Kasus demikian disebut pengidap sehat. Di sini
ditemukan kadar HbsAg serum tinggi dan hepar mengandung sejumlah
besar HbsAg tanpa adanya nekrosis hepatosit.
Pasien dengan respons imunologis yang buruk menunjukkan
nekrosis hepatosit yang terus berlangsung, respons ini tidak cukup efektif
untuk eliminasi virus dan terjadilah hepatitis kronik. Gangguan respons
imunologis ini penting terutama pada pasien leukemia, gangguan ginjal
atau transplantasi organ, penerima obat imunosupresif, homoseksual,
pasien AIDS dan neonatus.
Kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi virus oleh limfosit T
dapat terjadi akibat berbagai mekanisme:
a.

Fungsi sel T supresor yang meningkat

b.

Gangguan fungsi sel T sitotoksik

c.

Adanya antibodi yang menghambat pada permukaan hepatosit

d.

Kegagalan pengenalan ekspresi antigen virus atau HLA class I pada


permukaan hepatosit. Kapasitas produksi atau respons terhadap
8

interferon endogen yang kurang akan menyebabkan gangguan


ekspresi HLA class I tersebut sehingga tidak akan dikenal oleh sel
limfosit T.

2. Hepatitis C Kronik
Bila seorang terinfeksi HCV sebagian kecil akan sembuh
sempurna dan sebagian besar menjadi kronis dengan terbentuknya
antibodi terhadap virus C (anti HCV). Reaksi imunologis bersifat humoral
dan selular dimana sistem humoral membentuk IgM anti HCV dan
imunologik selular mengaktivasi sel sitotoksik untuk menghancurkan virus
C dengan bantuan MHC (mayor histocompability) dan interferon, dimana
interferon melalui enzim 2,5 oligo adenylate sintetase menghambat
pembentukan protein virus (replikasi virus).
Bila sel T sitotoksik mampu mengeliminasi virus akan terjadi
penyembuhan dan bila gagal akan menjadi hepatitis kronik. Walaupun
anti HCV negatif selama lebih dari 6 bulan dan transaminase normal
namun kalau masih ditemukannya HCV RNA (+) maka penderita dianggap
sebagai pengidap hepatitis C.
Koinfeksi dengan HBV juga telah dihubungkan peningkatan
keparahan hepatitis C kronik dan mempercepat laju ke arah sirosis.
Tambahan koinfeksi dengan HBV mempengaruhi perkembangan ke arah
HCC.

3. Hepatitis Delta Kronik


Hepatitis D kronik dapat terjadi setelah koinfeksi akut HBV tetapi
dengan angka yang tidak

lebih tinggi dibandingkan angka kronisitas

hepatitis B. Walaupun koinfeksi HDV dapat meningkatkan keparahan


hepatitis B akut, HDV tidak meningkatkan kemungkinan perkembangan
menjadi hepatitis B kronik. Namun, bila ada superinfeksi oleh hepatitis B,
akan terjadi infeksi HDV jangka panjang dan perburukan penyakit hepar.
Kecuali keparahannya, hepatitis B plus D kronik memiliki gambaran klinis
dan laboratorium serupa dengan yang diperlihatkan oleh hepatitis kronik
saja. Biasanya terjadi hepatitis kronik aktif, dengan atau tanpa sirosis,
sedangkan hepatitis kronik persisten jarang ditemukan. Gambaran serologi
hepatitis D yang khas adalah adanya antibody terhadap mikrosom heparginjal dalam darah (anti LKM). Namun anti LKM yang ditemukan pada
hepatitis D diberi nama anti LKM3 dan berbeda dengan anti LKM1 yang
10

dijumpai pada pasien hepatitis kronik aktif autoimun dan pada subset
pasien hepatitis C kronik.
4. Hepatitis Autoimun
Patogenesis terjadinya HAI sampai saat ini masih belum
jelas. Bukti yang ada menampakkan adanya progresifitas secara
langsung menyerang sel hepar. Autoimunitas ini mungkin diturunkan
secara genetik dan spesifisitas kerusakan hepar dapat dicetuskan oleh
lingkungan. Sebagai contoh, pasien hepatitis A dan B yang self limited dapat
terjadi HAI. Bukti yang mendukung patogenesis HAI adalah:
a. Lesi histopatologi hepar dominan terdiri dari sel-sel T sitotoksik dan
sel plasma
b. Terdapatnya sirkulasi autoantibodi (nuclear, smooth muscle,
thyroid) faktor rheumatoid dan hiperglobulinemia
c. Kelainan autoimun lainnya seperti tiroiditas, reumatoid artritis,
autoimun

hemolitik,

colitis

ulcerativa,

glomerulonefritis

proliferatif, diabetes melitus juvenil, sindrom sjorgen sering terjadi


pada hepatitis autoimun.
d. Histocompability haplotypes dihubungkan dengan penyakit
autoimun seperti HLA-B1, -B8, -DRw3 dan DRw4 sering terjadi
pada pasien dengan hepatitis autoimun.
e. Tipe hepatitis kronis responsif terapi glukokortikoid/imunosupresif.
Kunci patogenesis HAI terdapatnya autoantibodi sirkulasi yang
digambarkan pada pasien dengan ANA, anti LKM, antibodi-antibodi
soluble liver antigen (sitokeratin), antibodi spesifik hepar reseptor
asiloglikoprotein (hepatic leptin) dan protein membran hepatosit dapat
menjadi faktor yang berperan patogenesis hepatitis autoimun.
Mekanisme imun humoral berperan terhadap terjadinya manifestasi
ekstrahepatik

seperti

artralgia,

artritis,

vaskulitis

kutaneus,

glomerulonefritis yang terjadi akibat mediasi sirkulasi kompleks imun.

11

F. Penatalaksanaan
1. Hepatitis B kronik
pengobatan dilakukan apabila infeksi VHB bersifat aktif dan
dilihat tanda-tanda bahwa virus sudah mulai memberikan gangguan dan
kerusakan hepar. Pengobatan dengan antivirus harus diberikan jika nilai
HBV DNA melebihi angka 20.000 IU/L (sama dengan > 100.000
/kopi/L)

pada pendrita HBV kronik dengan HBeAg-positip.

Untuk

penderita dengan HBV kronik dengan HBeAg-negatip, maka nilainya


cukup hanya lebih 2000 IU/L (atau 10.000 kopi/L) saja untuk bisa mulai
diobati. Dengan angka HBV DNA seperti tersebut diatas kita sudah bisa
menetapkan siapa yang masuk katagori yang harus diobati. Pertanyaan
berikutnya adalah kapan penderita sebaiknya mulai harus diobati. Salah
satu prinsip yang harus diingat dalam kita mengobati hepatitis kronik
adalah jangan terbur-buru latah segera memberi obat antivirus, pelajari
dahulu dengan teliti dan analisa seperti disebutkan diatas, namun
sebaliknya juga pengobatan jangan dimulai terlambat.
Saat yang paling baik pemberian pengobatan adalah jika fase
perjalanan penyakit memasuki fase imunklirens dimana nilai Alt dan Ast
meningkat dan berfluktuasi lebih dari 2 kali nilau batas atas normal. Jika
keadaan ini menetap pada ulangan pemeriksaan maka pemberian
pengobatan dapat segera dimulai. Saat lainnya dimana pengobatan harus
diberikan yaitu pada fase 4, fase reaktivasi.dimana juga ditemukan kada r
HBV DNA yang meningkat kembali dan demikian npula kadar Alt yang
kembali meninggi.
Pada saat ini sudah terdapat kelompok obat antivirus 1) Interferon
alfa (Interferon konservatif dan interferon pegilasi) dan 2) kelompok
nukleosida/nukleotida analog( lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudine,
tenofovir yang telah disetujui oleh FDA. Semua, kecuali tenofovkir sudah
ada di Indonesia dan telah disetujui badan POM Se3mua obat-obat
tersebut diatas dalam pedoman APASL dapat dipakai sebagai obat-obat

12

lini pertama. Dibawah ini dilampirkan algoritma pengobatan (Pedoman


APASL).
Tujuan pengobatan infeksi HB kronik adalah mengurangi risiko
terjadinya komplikasi seperi progresi menjadi sirhosis hepar dan
kegagalan hepar. Penderita dengan muatan virus jutaan dalam sepertiga
kasus akan berkembang dalam waktu 1 dekade dibandingkan para
penderita yang mereka yang hanya dengan muatan virus yang rendah
(kurang dari 300 kopi virus permililiter), dimana kejadiannya hanya 4.5%
saja.
Obat yang sekarang dipergunakan adalah interferon dan
nukleosida analog. Interferon alfa sudah dipergunakan untuk mengobati
hepatitis B lebih dari 20 tahun. Interferon adalah suatu protein yang
timbul secara alamiah yang dibuat oleh tubuh oleh sel darah putih untuk
memerangi infeksi virus. Selain efek langsung sebagai antiviral,
interferon mempunyai efek kedua, yaitu efek imuno moduloator yang
dapat merangsang sistim imun tubuh untuk menghilangkan virus dari
dalam tubuh. Dibandingkan dengan interferon alfa konvensional,
interferon pegilasi( Pegintron dan Pegasys ) lebih memiliki keunggulan,
dimana lebih unggul dan menyenangkan dalam pemberiannya yang hanya
sekali dalam seminggu. Nukelosia / nukleotida analog (NAs) adalah
bahan kimia buatan yang menyerupai nNukleosida/nukelotida yang
dipergunankan dalam pembuatan DNA. Contoh obat-obat golongan ini
adalah adefovir (hepasera), entecavir (Baraclude), lamivudine (EpiviHBV, odin), telbivudine (Sebivo) dan tenofovir (Viread). Yang disebut
terakhir belum masuk di Indonesia. Pada pendeita dengan HBeAg-positif
NAs mengurangi virus sampai kebatas tidak terdeteksi pada 21% sampai
67% kasus. Test faal hepar menjadi normal dalam 40% bsampai 77% dan
HBeAg menghilang dalam 12% sampai 22% setelah pengobatan 1 tahun.
Hasil lebih baik pada kasus dengan HBeAg-negatip dimana HBV DNA
tidak terdeteksi pada 50%-90%, normalisasi test faal hepar.

13

Dibawah ini dituliskan algoritma pengobatan Hepatitis BHBeAg-positif dan hegatif. Semua obat yang disebutkan diatas dapat
dipergunakan sebagai obat lini pertama menurut pedoman APASL .

Algoritma Pengobatan Hepatitis B Kronik dengan HBeAg-Positif

Walaupun pedoman penatalaksanaan hepatitis B sudah banyak


dibuat oleh berbagai organisasi profesi didunia, seperti AASLD
(American Association for the Study of Liver Disease). EASL( European

14

Association for the Study of Liver Disease), APASLD (Asian,


Association for the Study of Liver Disease) dll, namun masih banyak hal
yang sering belum dapat diselesaikan permasalahannya, dan seringkali
penatalaksanaan harus bersifat individual.

Tujuan terapi Hepatitis Kronik B


1. Menekan dan menghilangkan replikasi virus (HbeAg, HBV DNA)
2. Kontrol jangka panjang nekroinflamasi dai hepatosit (GPT)
3. Mencegah transformasi maligna dari hepatosit (Integrasi HBV

15

DNA virus ke dalam DNA

genom host)

Ketiga hal di atas bertujuan mencegah sekuele sirosis hepatis atau


KHP. Penerapan secara serologis:
HbeAg (+)

HbeAg (-) dan HbeAb (+)

HBV DNA

HBV DNA / (-)

HbsAg (+)

HbsAb (+)

TERAPI NON SPESIFIK/NASEHAT


1. Umum
Pengidap dilarang menjadi donor darah, sperma, susu atau organ
tubuh lainnya, pinjam meminjam alat cukur dan gosok. Pengidap
harus

memberitahukan

status

pengidapnya kepada

dokter

gigi,

dokter pribadi, dan petugas laboratorium. Keluarga di rumah,


istri/keluarga seharusnya diimunisasi bila HbsAg (-) dan HbsAb (-).
Bila ibu pengidap hamil, diberitahu dokter kebidanan untuk segera
mengimunisasi bayi yang baru lahir (pasif dan aktif).
2. Diet
Makanan sehat bergizi untuk mempertahankan berat badan tetap
normal. Dianjurkan diet tinggi kalori, protein, lemak secukupnya (diet
hepar). Bila sudah terjadi komplikasi sirosis hepar terutama dengan asites
dianjurkan restriksi lemak, garam, air, protein, sebaiknya diberikan
vitamin.
3. Latihan/kerja
Pengidap asimtomatis bisa kerja dan olah raga seperti biasa. Bila
timbul sirosis hepar hindari latihan berat.
4. Alkohol dan obat-obatan
Hindari hepatotoksik potensial, hindari minum alkohol secara rutin
dan regular. Steroid dan obat imunosupresif akan memperberat infeksi

16

laten dan dapat menimbulkan suatu hepatitis fatal.

MEDIKAMENTOSA
Pilihan terapi medikamentosa
1. Interferon
2. Nucleoside analogue
3. Imunosupresif/steroid
1.

Interferon

Penyuntikan subkutis selama 4 bulan (16 minggu) setiap hari


dengan dosis 5 juta unit, atau 3 kali seminggu dengan dosis 10 juta unit,
menyebabkan serokonversi 40% dari infeksi HBV replikatif (HbeAg
dan DNA HBV terdeteksi dalam serum) menjadi nonreplikatif (anti
HbeAg terdeteksi) disertai perbaikan gambaran histologi hepar, dan pada
10% HbsAg mungkin tidak terdeteksi lagi. Respon terhadap interferon
meningkat pada pasien dengan kadar DNA HBV yang rendah sampai
sedang (<200pg/mL) dan pada pasien dengan lama sakit yang singkat
(rata-rata 1,5 tahun), 70%nya mengalami perubahan status replikatif bila
diikuti selama 5 tahun.
Efek samping interferon: lelah, sakit otot-otot, demam, sakit
kepala, anoreksia, berat badan menurun, rambut gugur, leukopenia,
trombositopenia.
Seleksi penderita yang diberi IFN
1. HbsAg (+), HbeAg (+), HBV DNA (+) lebih dari 6 bulan
2. Kenaikan nilai ALT persisten (1,5 kali nilai tertinggi atau 100/L)
3. Biopsi hepar: hepatitis kronis sirosis
Tanda perbaikan dalam terapi:

17

Ditandai hilang atau menurunnya HBV DNA, serokonversi


HBeAg

anti Hbe, HbsAg

anti HBs, lisis hepatosit yang

terinfeksi, peningkatan ALT.


2. Lamivudine
Merupakan nukleosida analog generai ke II. Mekanisme kerja
menghambat replikasi virus, menghambat nekroinflamasi, memperbaiki
histologi hepar, mencegah sirosis hepar dan KHP. Obat ini lebih toleran,
efektif, ekonomis, efek samping tidak ada. Dapat digunakan tunggal,
kombinasi dengan IFN, juga pada pemakaian IFN yang kurang berhasil
atau
kontraindikasi. Dosis 100 mg/hari. Penghentian pengobatan jika HbeAg
menghilang atau terjadi serokonversi ke anti Hbe (pemeriksaan beberapa
kali). Pada penelitian di Asia serokonversi HbeAg terjadi 22% dalam 1
tahun, 29% dalam 2 tahun dan 40% dalam 3 tahun. Obat-obat golongan
nukleosida

analog

generasi

kedua

yang

lain:

Lobucavir,

Famciclovir, Adefovir.
3. Steroid
Steroid tunggal tidak banyak berhasil dalam terapi hepatitis
kronis. Pemberian jangka pendek (6 minggu) kemudian dihentikan tibatiba menimbulkan efek withdrawal terjadi fenomena
penelitian

rebound. Hasil

dengan steroid obat tunggal maupun kombinasi dengan

interferon ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung.

2. Hepatitis C kronik
Indikator respon pengobatan yang diharapkan adalah klirens virus,
ditunjukkan dengan tidak terdapatnya HCV RNA di serum dengan
menggunakan test yang paling sensitif. Respon virus pada akhir
pengobatan (End of Treatment Viral Response = ETVR) dinyatakan
dengan tidak dijumpainya HCV RNA pada akhir pengobatan. Respon

18

virus menetap (Sustained Viral Response


HCV RNA pada

= SVR) dinyatakan dengan

6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan.

RESPON VIRUS MENETAP (SVR)


SVR adalah berkorelasi baik dengan manfaat perubahan fibrosis hepar,

pencegahan HCC dan perbaikan klinis lain. Alanin Aminotransferase


(ALT)

sebagai

indikator

biokimia

hepatitis mempunyai beberapa

kelemahan antara lain:


1. Penggunaan ALT untuk menggambarkan suatu respon (ETR atau SR)
mempunyai angka kesalahan 15%
2.

Penggunaan ALT untuk menggambarkan tidak respon mempunyai

angka kesalahan 10-50% tergantung pada adanya sirosis, penggunaan


regimen interferon yang lebih kuat atau produk interferon seperti pegylated
(PEG)-IFN

MANFAAT PENGOBATAN ANTIVIRAL PADA HEPATITIS


KRONIS C

1. Regresi fibrosis
2. Mengurangi angka terjadinya HCC
3. Mengurangi laju terjadinya komplikasi lain seperti gagal hepar dan
angka kematian oleh karena penyebab hepar.

19

3. Hepatitis D Kronik
Penatalaksanaan belum diketahui pasti. Glukokortikoid tidak efektif
dan tidak digunakan. Pasien HBV-HDV terinfeksi kurang berespon
terhadap interferon dibanding dengan HBV saja. Penelitian terbaru
Lamivudine cukup baik untuk terapi HBV-HDV koinfeksi.
Pada pasien penyakit hepar stadium akhir akibat hepatitis D kronik,
transplantasi hepar diketahui berhasil baik. Bila hepatitis D kambuh kembali
pada hepar yang baru tanpa ekspresi hepatitis B ( suatu profil serologi yang
jarang dijumpai pada individu dengan kemampuan mengembangkan
tanggap imun, tetapi lazim ditemukan pada pasien penerima transplantasi),
cedera hepar akan terbatas. Pada kenyataan, hasil akhir transplantasi untuk
hepatitis D kronik lebih baik daripada hasil pada hepatitis B kronik.

20

4. Hepatitis Autoimun
Simtomatik

Asimtomatik

Prednison 30-40 mg/hari

Observasi tanpa terapi

Azatriopin 50-100 mg/hari


Sampai SGPT <2 x normal

Prednison diturunkan 5 mg/2 minggu


Azatriopin dipertahankan jika SGPT kecil 2x normal

Setelah prednison 15 mg/hari


Diturunkan 2,5 mg/bulan dengan azatripon

Prednison dihentikan, azatriopin 2


tahun
Biopsi hepar

SGPT normal, hentikan pengobatan


5. Hepatitis defisiensi -1 anti tripsin
Terapi penggantian dengan -1 antitripsin sintetik atau berasal dari
plasma telah digunakan untuk mengobati penyakit paru. Transplantasi
hepar telah berhasil dilakukan. Fenotip resipien cepat berubah ke fenotip
donor.

6. Hepatitis Penyakit Wilson


Terapi dimulai dengan 1,2g d-penisilamin hidroklorida oral dalam
empat dosis yang diminum sebelum makan. Penisilamin mengchelate
tembaga dan meningkatkan eksresi urin sebanyak 1000-3000 ug/hari.
21

Jika tidak ada perbaikan ditingkatkan 1,5-2 gr/hari. Perbaikan dengan


memudarnya cincin Kayser-Fleisher dan berkurangnya gejala neurologi.
Diet rendah tembaga sedikit bermanfaat, tetapi makanan yang
mengandung tinggi tembaga seperti: coklat, kacang, jamur, hepar, kerang
harus dihindari.

22

BAB III
KESIMPULAN

Hepatitis kronik dewasa ini masih merupakan masalah kesehatan yang


besar dinegara berkembang. Hepatitis virus yaitu infeksi hepatitis B, D dan C
merupakan penyebab terjadinya hepatitis kronik, serta ditambah hepatitis karena
autoimun, hepaititis karena obat dan hepatitis karena penyakit Wilson.
Hepatitis karena virus lebih banyak menjadi hepatitis kronik. Penularan
virus hepatitis B, D dan C sangat tinggi, bisa melalui darah, hubungan seksual, dll,
sehingga perlu informasi kepada masyarakat agar tidak terjadi tingkat penularan
yang tinggi.
Penatalaksanaan hepatitis kronik sesuai dengan faktor penyebabnya,
dimana tujuan pengobatan infeksi hepatitis kronik adalah mengurangi risiko
terjadinya komplikasi seperti progresi menjadi sirhosis hepar dan kegagalan
hepar.

23

DAFTAR PUSTAKA

1.

Abdurarachman SA. Hepatitis virus kronik. Dalam: Waspadji (edt). Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. Hal
266-270.

2.

Akbar N. Diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis autoimun. Pertemuan Ilmiah


Tahunan 2001. Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Penyakit Dalam
FKUI. Hal 27-29.

3.

Akbar N. Hepatitis infection in general population. Departement of Internal


Medicine University of Indonesia School of Medicine. In: Journal of Internal
Medicine 1997;3:181-6.

4.

Davis GL. Hepatitis C. In: Shiff ER (eds). Shiffs Diseases of the liver.
8th ed. Philadeplhia: Lippincott; 1919.p.757-91.

5.

Dhawan

VK.

Hepatitis

C.

Available

from:

http://www.emedicine.com/med/topic999.htm
6.

Farrell GC. Management of Hepatitis C. Draft working party reports from


the Asia Pacific consensus on prevention and management of chronic
hepatitis B and C 1999. Kyoto. Japan.

7.

Isselbacher KJ, Dienstag JL. Chronic Hepatitis. In: Fauci (eds). Harrisons
Principles of Internal Medicine. 14th ed. New York : Mc Graw Hill;
1998.p.1697-1704.

8.

Malik AH, Lee WM. Vhronic hepatitis B virus infection: treatment strategies for
the next milenium. Annals of Internal Medicine 2000;9:723-9.

9.

Manns MP. Autoimun hepatitis. In: Shiff ER (eds). Shiffs diseases of the
liver. 8th ed. Philadephia: Lippincott; 1919.p.919-35.

10.

Pyrsopoulus

NT.

Hepatitis

B.

Available

from:

http://www.emedicine.com/med/topic992.htm
11.

Sherlock S, Dooley J. Chronic Hepatitis. In: Diseases of the Liver and Billiary
System. 9th ed. London : Blackwell; 1993. P.293-321.

24

12.

Sherlock S, Dooley J. Drugs and the liver. In: Diseases of the liver and billiary
system. 9th ed. London: Blackwell; 1993.p.322-356.

13.

Sherlock S, Dooley J. Wilsons disease. In: Disease of the Liver and Billiary
System. 9th ed. London: Blackwell;1993.p.400-7.

14.

Sherlock S, Dooley J. 1 antitrypsin deficiency. In: Diseases of the liver and


billiary system. 9th ed. London : Blackwell;1993.p.425-7.

15.

Tarigan P. Kuliah penatalaksanaan hepatitis virus C kronik FK USU.

16.

Wolf

CD.

Hepatitis,

Viral.

Available

from:

http://www.emedicine.com/med/topic3180.htm
17.

Yu HK, Guan R. Hepatitis B current strategies for prevention and


management. Medical progress 1997;2:21-8.

25

Anda mungkin juga menyukai