Anda di halaman 1dari 78

Tujuh Manusia Harimau (7)

Pendekar Wanita Buta


Motinggo Busye - Novelis Malam Jahanam
Semuanya diluar dugaan orang banyak, Ki Putih Kelabu mengirimkan undangan
kepada beberapa orang yang disegani di Kumayan. Orang mengira, undangan itu
adalah pemberitahuan pertunangan Ki Pita Loka dengan Guru Gumara.
Nyatanya hanya sebuah undangan syukuran belaka. Guru Gumara juga diundang,
dan dia datang mengenakan kemeja putih, juga terjadi hal di luar dugaan,
karena Ki Putih Kelabu yang dikenal pendiam itu ternyata pandai berpidato.
"Saya dengan segala kerendahan hati ingm mengingatkan lagi kepada anda,
bahwa keluarga kami mewaris sifat pemaaf". Tidak berdendam dan tidak
menyukai permusuhan. Kami sudah berusaha meghindari segala pertikaian
dengan siapapun. Karena usaha itu, anak kami Pita Loka harus menelan
penderitaan kebutaan sebelah matanya yang tidak dapat dipersalahkan kepada
satu orang pun. Saya ulangi, kami tidak menyalahkan siapa - siapa. Karena
itu siapapun yang menganggap dirinya bersalah, harap lupakan seluruh
kejadian sebab tidak satupun peristiwa yang berdiri sendiri. Mari kita
belajar dari dalam semesta, di mana satu perpindahan bintang hanyalah
karena mengikuti aturan kemestian sejak awal kejadian. Gunung yang meletus
tidak berdaya menolak takdir, lalu lahar dingin seolah menganggu tanah
pertanian. Tapi ini semua menjadi modal kesuburan anak cucu di kemudian
hari, yang mewarisi kesuburan tanah.
Jadi, gunung yang meletus lahar yang mengalir, hanyalah tunduk dengan
aturan alam semesta. Yang senantiasa bandel itu, hanyalah kita manusia.
Tapi tentu ada manusia yang selamat karena ikut dalam aturan semesta. Maka,
barang siapa yang mencari dan mendapatkan Sufia,dialah yang selamat dan
kebal atas keruntuhan , . ."
Ki Putih Kelabu rupanya sudah mengakhiri pidatonya. Guru Gumara mencoba
memahami kalimat terakhir guru yang rendah hati itu.
Apa itu Sufia?
Setiba di rumah, Gumara membongkar kembali Kitab Tujuh. Dia membaca semua
huruf gundul di Kitab itu. Namun dia tidak menemukan perkataan Sufia.
Gumara yakin itu sejenis ilmu. Bukan kitab. Dicobanya merenungi kembali
ucapan Guru Putih Kelabu diakhir pidatonya: "Maka, barang siapa yang
mencari dan mendapatkan Sufia, dialah yang selamat dan kebal atas
keruntuhan".
Jika Gumara membongkarnya dalam lembaran Kitab Tujuh, maka Pita Loka
menanyakan hal itu kepada sang Ayah.
"Apa itu Sufia, ayah?" tanyanya.

"Aku pun tidak tahu. Ucapan itu Kami warisi dari Guru, dan Guru mewarisinya
dari gurunya pula,"
"Saya menganggapnya begitu penting. Tiap soal yang menarik perhatian
manusia, lalu mendapatkan jawabannya, lantas hal itu tidak penting lagi.
Ketika Thomas Alva Edison menemukan listrik, orang mempertanyakan cahaya
pijar itu. Tetapi sekarang listrik bukan barang mewah lagi. Tapi jika ada
satu soal seperti Sufia dipertanyakan, tapi tidak dapat jawaban, itu
pertanda masalah itu penting dan bermutu tinggi,"
Pita Loka kecewa karena ayahnya hanya berdiam diri. Pagi harinya, ketika
Pita Loka mau berangkat ke sekolah, ada tamu. Tamu itu Ki Lading Ganda yang
bartanya, "Bisakah bicara sejenak dengan Ki Guru?"
Ki Putih Kelabu muncul dan mempersilahkan anggota Harimau Kumayan itu duduk
di tikar permadani.
Pita Loka kembali ke kamar, dengan maksud mendengar percakapan antara
ayahnya dan sahabatnya itu.
"Diantara kita tidak perlu ada rahasia. Coba terangkan padaku, apa itu
Sufia?"
"Jangan berkecil hati, Guru Lading Ganda. Saya tidak mengetahuinya", jawab
Ki Putih Kelabu.
"Darimana kau perdapat kata ajaib itu?"
"Dari Guru. Aku pernah mempertanyakannya seperti kau mempertanyakannya
sekarang ini, padaku. Tapi Guru hanya menyatakan, itu beliau dengar dari
Gurunya." ujar Ki Lading Anda pergi mencegat Ki Gumara yang akan berangkat
mengajar di SMA.
"Tentu anda mengetahui apa itu Sufia, Guru!" ujar Ki Lading Ganda.
"Maaf. Sama sekali tidak".
"Tampaknya itu wasiat penting. Ki Putih Kelabu tidak suka bicara, tapi kali
ini dia bicara. Kau yang ahli takwil, coba terangkan padaku apa takwil ini
semua?"
"Jika itu yang Guru tanyakah pada saya, saya sekedar dapat memahami. Kirakira sebentar lagi akan muncul huru-hara di Kumayan ini. Biasanya, hanya
orang berilmu yang selamat atas huru - hara, karena orang berilmu pandai
membaca keadaan. Itulah tugas kita; Membaca keadaan. Suasana".
KI Lading Ganda bertanya lagi; "Huru-hara itu tentulah ada penyebabnya.
Besar kemungkinan kekacauan ini mungkin datangnya dari pihak yang
berbicara."

"Maksud tuan Guru, Ki Putih Kelabu akan membalas padanya?"


"Semua orang bilang, Guru Gumara yang membuat puterinya buta," kata Ki
Lading Ganda.
"Ah, itu perasaan Tuan Guru saja," ujar Guru Gumara.

"Menurut renungan saya semalam, dia lontarkan perkataan Sufia itu sebagai
isyarat, itulah ilmu yang dia miliki."
"Kami sudah saling bermaafan, Sebaiknya jangan kita perbesar lagi satu soal
yang sudah diselesaikan, Tuan Guru.
Maafkan, saya musti mengajar, dan hari ini saya akan mengajar Sejarah. Saya
tidak boleh terlambat, karena kita ingin anak-anak muda itu mengenal
disiplin," kata Gumara.
"Tampaknya Anda melecehkan hal penting ini, Guru Gumara."
"Begitulah penafsiran Tuan. Buat saya semua soal adalah penting!" lalu dia
salami Ki Lading Ganda dengan sikap hormat. Ki Lading Ganda tidak segera
berlalu dari pekarangan rumah Guru Gumara.
Dia hanya menatap kepergian guru SMA itu hingga hilang dari pandangan
matanya. Kemudian dia mengetuk pintu rumah dan keluarlah Alif.
"Oh, Tuan Guru. Tadi Anda bicara dengan Guru Gumara, bukan?"
"Ya. Sekarang saya akan bicara dengan Alif."
"Apa maksud tuan?" tanya Alif.
Ki Lading Ganda menatap Alif. Mata guru itu begitu tajam, sehingga
menakutkan Alif. Alif mulanya bengong. Tapi kemudian dia merasa pusing. Dia
tak mampu menahan pancaran sinar mata Guru Lading Ganda yang seakan-akan
berubah jadi mata harimau. Dan ketika Lading Ganda menyeringai, tampak oleh
Alif taring-taring mengerikan. Lalu dia tidak sadarkan diri lagi, dalam
keadaan duduk.
Ki Lading Ganda memasuki kamar Guru Gumara, Apa yang dia cari, dia
ketemukan seketika. Yaitu Kitab Tujuh, yang masih terhampar di atas sebuah
meja yang terbuat dari bekas kotak sabun. Sebagai murid yang tekun dari
zaman silam, Ki Lading Ganda tidak mendapatkan kesulitan membaca semua
huruf gundul dalam kitab itu. Dia telah menamatkan bacaan di Kitab Pertama.
Tapi ketika membaca Kitab Kedua, susunan kalimatnya tidak ada hubungannya
dengan Kitab Pertama. Hal inilah yang membuatnya bingung. Kunci membaca

urutan Kitab itulah yang tidak diketahuinya. Sebab dalam kunci kitab yang
tujuh itu, justru seorang yang membacanya harus dimulai dari Kitab Tujuh.
Baru kemudian Kitab Pertama. Kemudian urutan ketiga adalah membaca Kitab
Enam. Selanjutnya baru membaca Kitab Dua. Setelah itu baru membaca Kitab
Lima. Berikutnya membaca Kitab Tiga, Sedangkan Kitab Empat adalah mata
pelajaran terakhir.

Biarpun bingung, Ki Lading Ganda sudah cukup puas sudah menamatkan membaca
Kitab Pertama buku itu. Seluruh isi Kitab Pertama pun sudah diketahui
kuncinya oleh Ki Lading Ganda. Karena ada kalimat di pertengahan buku itu,
yang tidak ada hubungan dengan kalimat sebelum maupun kalimat sesudahnya.
"Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram," bunyi kalimat itu, Sebagai
bekas murid dari guru yang tekun, Ki Lading Ganda mengetahui, bahwa kalimat
itulah kuncinya, suatu perintah untuk pergi ke Lembah Suliram.
Segera Ki Lading Ganda keluar. Dia duduk kembali menghadapi Alif. Disapunya
wajah Alif dengan telapak tangannya dengan sapuan lembut. Lalu Alif
sadarkan diri, tak menyadari bahwa dia sudah dalam keadaan tak sadar selama
satu jam,
"Oh, Guru Lading Ganda," Ujar Alif, "Tadi saya lihat Tuan Guru bicara
diluar dengan Guru Gumara. Kini tuan ingin sesuatu?"
"Saya haus. Tolong segelas air kendi," ujar Ki Lading Ganda.
Setelah minum air kendi, Ki Lading Ganda minta ijin pada Alif. Alif tidak
curiga sedikit pun dengan kepergian Tuan Guru itu. Tapi Guru Gumara mandi
keringat di depan kelas pada mata pelajaran satu jam, bertepatan ketika
tadi Ki Lading Ganda membaca Kitab Pertama dengan cara mencuri itu. Gumara
punya firasat. Bahkan dia tidak mengetahui, Pita Loka memperhatikan
keanehan yang dialami gurunya di depan kelas. Dia sebenarnya sudah buta
sebelah matanya olah salah sebuah kuku Guru Gumara ketika memperebutkan
Kitab Tujuh tempo hari. Namun karena Pita Loka menganggap kejadian itu
hanyalah peristiwa suratan nasib, dia tak dendam.
Malahan dia kasihan melihat Sang Guru mengalami kesulitan mengajar Sejarah.
Keringat guru mengocor terus. Hal itu menghibakan hati Pita Loka. Maka Pita
Loka berkata; "Pak Guru, sepertinya bapak sakit, ya?"
Gumara menoleh pada murid yang barusan berkata. Dia terkejut. Karena hal
inilah yang dikehendakinya agar dia tidak jadi olokan murid dan menderita
malu di hadapan murid muridnya.
GURU Gumara terharu atas sikap Pita Loka. Dia merasa berhutang budi. Lalu
semangat mengajarnya bangkit. Dan berkata: "Anak-anak, sementara kita
tinggalkan mata pelajaran Sejarah Kebangkitan Afrika Merdeka. Kita memasuki
mata pelajaran Geografi."

Tetapi konsentrasi Guru Gumara mengajar bukan seperti sebagaimana biasa.


Ada firasat buruk yang mengganggu perasaannya, yang belum dia pahami.
"Berhubung buku tuntunan mata pelajaran ini belum tiba di Kumayan, saya
mencoba untuk mengajar kalian mengenai keadaan Bumi kita sekarang ini. Bumi
yang kita diami sekarang ini, yang kita kenal dengan bentuknya seperti
pemetaan yang terlihat pada bola dunia ini," ujar sang Guru sembari
memperlihatkan bola dunia di atas mejanya, yang diangkatnya.

Geografi bukan sekedar ilmu mengenai pemetaan, tetapi kumpulan dari


berbagai masalah yang terjadi dalam bola dunia ini. Baik yang di darat,
maupun yang di laut maupun yang di udara kita yang disebut atmosfir. Tentu
ada diantara kalian yang mungkin lebih pandai dari saya, karena rajin
membaca, sehingga dia lebih mengetahui, lalu ditatapnya Pita Loka, tapi
Pita Loka tidak memperlihatkan reaksi karena dia malu sebab usianya
melebihi usia rata-rata murid SMA di kelas itu. Gumara hanya ingin
mengingatkan Pita Loka, bahwa dulu dia pernah mengajarkan hal itu ketika
Pita Loka masih muridnya di SMP.
Suhu bumi kita sekarang ini amat panas karena putarannya yang berabad-abad
sejak bumi kita diciptakan Tuhan. Pada awalnya, bumi kita ini adalah bola
dunia yang amat dingin berupa gumpalan-gumpalan es yang dikenal pada masa
itu sebagai Zaman Es.
Keringat Bapak, Pak! tegur Ardi pada sang Guru.
Ketika Gumara melihat pakaian yang melekat di tubuhnya sudah seluruhnya
basah, dia lalu sadar, bahwa dia tak layak jadi tontonan.
Saya mohon maaf. Mungkin saya kurang sehat, kata Gumara.
Sebaiknya bapak istirahat pulang saja, ujar Pita Loka. Gumara melihat
sekali lagi pada Pita Loka. Hatinya bahagia. Lalu dia pamit, kemudian
menemui Direktur dan minta ijin pulang sebab sakit.
Setiba di rumah, Alif memberitahu padanya: Guru, tadi setelah Guru pergi,
Ki Lading Ganda menemui saya, lalu meminta minum air kendi, Apa maksudnya?
Oh, begitu. Karena kau orang awam, sesuatu yang menjadi perhatianmu pasti
karena kejujuran dan tanpa prasangka. Apa kau sempat melihat Ki Lading
Ganda masuk ke kamar saya?
Tidak, Guru, sahut Alif.
Betul tidak?
Tidak.

Namun Gumara mempunyai firasat. Ketika dia memasuki kamarnya, dia melihat
keanehan pada meja papan sabun itu. Susunan Kitab berubah dari letak
semulanya.
Kitab Pertama terletak di atas. Sedangkan hal itu bukan semestinya. Gumara
lalu mendapati Alif.
Kau merasa terkena sihir? tanya Gumara pada Alif.
Saya hanya duduk, kata Alif.
Ketika kau duduk, apa kau tak merasa ada yang aneh? Alif mencoba
mengingat-ingat. Namun gagal.
Tidakkah Ki Lading Ganda menatap ke matamu? tanya Gumara.
Alif mencoba mengingat, kemudian baru dia ingat, dan berkata:
Ya.Guru!
Bagaimana keadaan bola mata beliau?
Biasa. Tapi kemudian saya ngeri.
Ada yang menakutkan Anda? tanya Gumara.
Ya. Hanya rasa ngeri.
Kau tidak melihat sesuatu selain perasaan ngeri?
Saya bertambah ngeri, setelah melihat sesuatu, Guru!
Wajahnya, kan ? Dia menyeringai, kan ? Lalu kau melihat saing taring
harimau diwajahnya?
Alif berdiam diri. Dia malah jadi ketakutan. Gumara cepat menghapus wajah
Alif dengan sapuan telapak tangannya. Alif terdongak, seperti barusan
terjaga dari mimpi. Gumara puas, lalu dia kembali ke kamar. Dibukanya
lembaran tengah buku Pertama dari Kitab Tujuh itu, dan dia membaca amanat
penting dari buku itu: Sesungguhnya, ada sesuatu di Lembah Suliram itu.
Pasti Ki Lading Ganda telah menuju ke sana . Terjebak oleh pancingan
amanat ini, kata Gumara pada dirinya sendiri. Lalu dipanggilnya Alif, Dan
berkata: Hari ini saya berpuasa. Saya akan pergi sebentar.
GUMARA melangkah tenang. Maksudnya ingin ke rumah Ki Lading Ganda untuk
sebuah kepastian. Tapi untuk menuju ke sana, mestilah melewati rumah Pita
Loka.

Ketika itu Pita Loka ada di rumah, sebab Direktur menyuruh seluruh kelas 1
B pulang karena tidak ada guru yang akan mengajar. Tapi ketika Gumara
lewat, Pita Loka cepat turun rumah untuk menyelidiki arah kepergian sang
Guru. Dan ketika dia tahu arahnya akan menuju rumah Ki Lading Ganda, Pita
Loka masuk ke kebun dan mengambil jalan pintas. Pita Loka menyelidiki. Dari
arah selatan dia kemudian membuktikan benarnya firasat. Tampak olehnya,
Guru Gumara Peto Alam memasuki pekarangan rumah Ki Lading Ganda. Hati
sanubarinya sebetulnya ingin mencegah, agar Guru Gumara tidak lagi terlibat
dalam dunia kependekaran.
Tapi dia kini ingin memastikan! Sebab dia yakin, akan terjadi lagi sebuah
huru hara besar menimpa desa Kumayan. Ini hanya dugaan dan ramalannya
saja. Dan ini ditafsirkannya dari kalimat terakhir pidato ayahnya, seorang
pendekar sejati, yang intinya mengandung makna besar tentang Sufia itu.
Maka, ketika Gumara selesai dari rumah Ki Lading Ganda, Pita Loka
mencegatnya.
Dari mana, Guru? tanyanya. Gumara terkejut mendapatkan muridnya barusan
meloncat dari semak.
Saya juga akan bertanya. Mengapa kamu mendadak ada di sini? kata Gumara.
Karena saya yakin, ada hal penting Pak Guru ke rumah Ki Lading Ganda. Ada
sesuatu yang sedang merisaukan anda? tanya Pita Loka.
Sesungguhnya sulit bagiku untuk merahasiakannya. Tetapi apa pula gunanya
kuterangkan padamu, Pita Loka?
Saya pun tidak ingin mengetahui lebih jauh, jika itu Pak Gumara anggap
suatu rahasia. Hati anda sedang bercabang sekarang ini, Guru!
Gumara menoleh. Dia berusaha tersenyum: Kau terlalu banyak tahu, Tapi
janganlah risaukan saya.
Itu sudah jelas, sahut Pita Loka, Misalnya Tuan Guru luka atau buta mata
dalam pertempuran disini dengan Guru Lading Ganda, buat saya tak menjadi
masalah. Tapi, misalkan karena pertempuran itu Tuan Guru mati, itu menjadi
masalah.
Siapa yang dirugikan jika saya mati? tanya Gumara girang.

Seluruh murid SMA Kumayan, sahut Pita Loka. Gumara mendadak kecewa. Dia
mengira Pita Loka akan menjawab dirinyalah yang rugi jika Gumara mati. Tautaunya bukan! Sialan!
Keduanya menyusuri jalan setapak sampai akhirnya berhenti di depan rumah
Pita Loka. Ki Putih Kelabu yang hampir membuang daun sirihnya ke jendela
lalu mundur. Dia menampak puterinya berjalan beriring dengan Gumara.

Hatinya puas sekali, kendati tak mendengar percakapan itu.


Maukah tuan berjanji tidak perlu mengusik tingkah laku Ki Lading Ganda?
Kenapa? Apa kau menduga, meramal, bahwa Ki Lading Ganda sedang melakukan
sesuatu? tanya Gumara.
Saya menduga demikian. Saya menduga, antara Tuan dan dia sedang
memperebutkan sesuatu. Setidaknya akan memperebutkan sesuatu, ucap Pita
Loka.
Saya akan pulang ke rumah jika demikian, kata Gumara,
Dan beristirahat. Sebab Tuan kurang sehat, ujar Pita Loka,
Yah, begitulahl
Jika tuan usik Ki Lading Ganda, anda akan celaka, Gurul
Yah, saya berjanji.
Gumara memberi salam, lalu berlalu meninggalkan Pita Loka. Pita Loka lalu
masuk ke rumah. Kemudian didapatinya ayahnya sedang menusuk-nusuk selembar
daun sirih dengan jarum pentul.
Ayah percaya mataku yang buta masih bisa diobati dengan itu! tanya Pita
Loka.
Kebutaan matamu bukan suatu takdir, Tapi hanya sebuah musibah kecil. Usaha
mengobatinya akan terus kulakukan, ujar Ki Putih Kelabu. Maka, ketika
magrib tiba,setelah mandi, Pita Loka mematuhi panggilan ayahnya.
Mata yang tak dapat melihat itu diperintahkan Ki Putih Kelabu supaya
ditutup. Lalu dilapisi dengan selembar daun sirih yang sudah ditusuk tusuk
jarum pentul. Dan dilapis lagi dengan perban plester.

Ketika dilihatnya puterinya termenung dikala malam tiba, Ki Putih Kelabu


bertanya: Apa yang sedang kau pikirkan, nak?
Sebuah renungan yang berbunyi. Jika seorang awam mati, maka dia tidak
meninggalkan suatu apa. Tapi jika seorang yang berguna bagi masyarakat
mati, maka kematiannya menimbulkan kerugian.
ILMU Ki Putih Kelabu ibarat air dalam kendi. Putih bersih, dan dingin. Dia
segera memahami renungan puterinya itu.
Dia berdiam diri tak banyak bicara. Belum pernah dia mendengar tutur kisah
sepasang manusia saling mencintai melebihi dahsyatnya cinta puterinya pada

Gumara. Begitupun sebaliknya.


Hal itu sulit untuk diurai kecuali apabila keduanya telah mendapatkan titik
temu, kemudian kesepakatan, untuk dikawinkan!
Jiwanya menggebu di tengah malam buta. Serasa dia ingin terlibat dalam
derita puterinya. Yaitu berangkat malam ini juga, mencegah pertempuran
antara Gumara dan Ki Lading Ganda.
Malam begitu gelap, ketika dibukanya jendela samping. Mau rasanya dia
meloncat bagai seekor harimau pohon menembus kegelapan malam. Tapi itu akan
diketahui sang anak, lalu akan dicegahnya. Tapi segalanya seperti terjadi
bersamaan! Pita Loka pun membuka daun jendela kamarnya, bertepatan ayahnya
barusan menutupnya. Pita Loka turun dari jendela, berlambat-lambat memasuki
kebun. Dan Ki Putih Kelabu pun membuka kembali daun jendelanya, cuma
sekedar bisa mengintip. Dia tercengang sewaktu dilihatnya bagai segumpal
asap mirip asap knalpot motor menyelusupi semak belukar. Yah, didapatinya
anaknya masih memiliki ilmu menerobos semak yang sangat hebat.
Benarlah itu semua! Bagai kilat Pita Loka membelah semak belukar dengan
kemampuan Ilmu Api yang diperolehnya dari Ki Surya Pinanti dahulu. Dia tiba
di sisi lembah sebelah barat bagai segumpal asap terakhir, menyatu dengan
kabut yang merayap.
Pita Loka melihat satu sosok, kendati dengan sebelah matanya saja, namun
sosok itu amat jelas. Itulah Guru Gumara, yang sedang mengintai ulah Ki
Lading Ganda.
Ki Lading Ganda ketika itu mencoba memanjat satu tebing curam, dalam usaha
separuh berhasil untuk sampai ke guha di tengah tebing itu. Tapi begitu
tangan si tua itu memegang satu susunan batu besar, batu-batu itu bergeser
dari tempatnya, lalu runtuhlah semua susunannya, menimpa kapala Lading
Ganda, dan beliau ikut terseret, merosot dan menggapai kian kemari mencari
pegangan. Untunglah ada akar pohon kinantu unluk menyambut gapaiannya. Si
tua itu berpegang erat, Terdengarlah hembusan nafasnya yang bergema ke
dalam lembah Suliram yang tabu itu.
Lembah Suliram sudah lama menjadi dongeng para pendekar sebagai sebuah
lembah yang tabu. Kecuali bagi mereka yang sudah setaraf suhu dengan satu
ilmu Cahaya yang sulit didapati kecuali tingkatan wali-wali.

Gumara juga mengikuti ulah Ki Lading Ganda yang masih juga kembali berusaha
memanjati tebing itu. Kemampuan itu tidak sulit untuk siapa pun yang
menguasai amalan ilmu cicak yang merambati dinding. Tapi si tua itu jelas
tidak memiliki. Dia hanya memiliki kaberanian, kekuatan, dan kekerasan hati
belaka.
Gumara memperhatikan lagi dengan berdebar. Ki Lading Ganda memanjati lagi

tujuannya semula, dalam posisi di tengah tebing menjelang guha. Tangannya


menggapai-gapai mencari pegangan. Sementara itu fajar sudah menyingsing.
Hal itu menggembirakannya, karena tebing yang dirayapi itu menghadap ke
timur.
Mata tua itu berhati-hati meneliti tiap celah yang dapat menjadikan jarijarinya untuk menyelusup bagi pertahanan agar tak jatuh. Tapi dia teramat
malang ketika digapainya susunan batu-batu besar di mulut guha itu, lagilagi batu itu bergeser dan runtuh menimpa kepalanya, dan bagai terbang
bersama batu-batuan itu kebawah, Ki Lading Ganda menggapai-gapai, kali ini
gagal berpegang pada akar pohon kinantu, tapi toh dia berhasil menyergap
dahan pohon sari dulur lalu bergayutan pada salah sebuah dahannya.
Hembusan nafas dahsyat bergema lagi di lembah Surilam, menggemakan perasaan
puas karena tak jadi hancur bila membentur permukaan dibawah itu.
Orang tua keras hati .,,..., ucap Gumara seorang diri.
Memang, sahut Pita Loka, yang mendadak ada di sampingnya, yang membuat
Gumara kaget.
Gumara menatap Pita Loka. Dia malu karena tidak menepati janji. Dan dia
lebih malu lagi karena Pita Loka berkata: Sejak fajar menyingsing sekarang
ini, saya akan membenci tuan. Tuan tidak menepati janji!
Suara itu terjaga perlahan. Gumara pun mengejarnya dengan menjaga suara
berisik agar tak diketahui si pencari sesuatu, yang masih bergelayutan di
dahan pohon saridulur.
Gumara terus berlari menuruti jejak Pita Loka yang kembali menuju Kumayan.
Tetapi sekelebatan langkah Pita Loka menggebubu menciptakan asap menerjang
semua semak padat daunan. Itu mencengangkannya.
Sekiranya Gumara harus memilih sebuah gunting emas ataukah kemarahan Pita
Loka, jurtru Gumara akan memilih kemarahan gadis ini. Kemarahannya ini
membuktikan cintanya. Kendati Pita Loka menolak untuk dikawini, justru hal
ini bukan soal penting. Penolakan perkawinan tentu berdasar satu alasan
yang tidak akan menggoyahkan prinsip cinta. Gumara tiba dirumahnya dengan
perasaan plong.

Tapi Pita Loka tiba di rumahnya dalam keadaan ditunggu sang Ayah. Ki Putih
Kelabu menyergahnya dengan pertanyaan; Jika kamu mencintai Gumara Peto
Alam, apa salahnya kalian berdua kawin saja?
Kawin? tanya Pita Loka.
Ya. Sekiranya kalian berdua kawin, banyak kenikmatan hidup yang akan
kalian dapati. Cinta yang diwujudkan melalui perkawinan, tidak akan pernah

runtuh karena goncangan alam. Selain itu, jika perkawinan membuahkan


keturunan, maka keturunan kalian merupakan paduan dari dua bibit unggul
terpuji. Sebab kalian akan mendapatkan anak - anak yang memiliki hati yang
tulus, otak yang cemerlang dan jiwa kependekaran yang menghancurkan tiap
kebatilan di muka bumi.
Pita Loka menoleh pada ayahnya, lalu; Memang itu konsep hidup yang indah.
Tidak saya dengar di sini, seorang ayah memiliki konsep seperti ini. Tapi
tahukah ayahanda, Guru Gumara itu memiliki dua muka apabila dia berhadapan
dengan saya, dan Harwati
Pita Loka meneruskan: Harwati itu bagi Guru Gumara adalah titipan khusus
almarhum Ki Karat. Sedangkan Gumara bagi Harwati merupakan sebuah monumen
agung dari cintanya yang berkobar tanpa memperdulikan aturan alam maupun
moral.
Dia tidak dapat dipersalahkan, karena dia lebih dulu mencintai Gumara
ketimbang pengetahuannya yang dia terima kemudian, bahwa Gumara itu satu
ayah dengan dia.
Jadi adanya Harwati inikah yang menjadi ganjal penolakan perkawinan?
Ya, Ayah,
Dia bisa dipanggil, lalu diyakinkan, bahwa pendiriannya ngawur!
Dia mau mati untuk ini. Dia sudah bergabung dengan Ki Rotan, pemilik ilmu
Iblis yang hebat pula. Kalau dipikir secara dangkal, memang cuma kematian
Harwati yang akan melicinkan perkawinan saya dengan Guru Gumara.
Dan kau takkan mau menempuh cara ini, kata Ki Putih Kelabu.
Itu sudah pasti, Tidak layak untuk membunuh Harwati. Tidak sehat untuk
menaklukkannya, lalu memaksanya tunduk.
Harwati bukan pantas untuk ditebas dengan pedang, juga dipaksa takluk
dengan senjata, maupun bujukan kata-kata fasih seorang bijak. Tidak.
Kecuali apabila dari dirinya sendiri memancar cahaya kebenaran hidup. Tapi
apa yang tarakhir ini mungkin? Rasanya tidak. Saya tidak akan bicara lagi
soal ini. Dan saya harap, ayah pun jangan bicara lagi soal ini, ujar Pita
Loka, yang langsung mencopot plester dan daun sirih dari matanya.
Lalu berkata manis, Ayah, tolong buatkan lagi sirih obat mataku. Ki Putih
Kelabu mengambil selambar daun sirih yang direndamnya di gelas. Dengan
jarum pentul ditusuk-tusukknya permukaan daun sirih itu. Lalu dia
menempelkan lembaran itu ke mata Pita Loka yang buta. Dan merekatnya dengan
plester.
Mengobati kebutaanmu ini lebih utama dari soal apa pun sekarang ini, ujar
Ki Putih Kelabu. Ketika Pita Loka hari itu berada dalam kelas, dia dengar

di kelas sebelah Guru Gumara sedang mengajar ilmu Fisika.

Suara Gumara sangat dikenalnya. Dan dia merasa puas, sebab kedengarannya
Guru Gumara sehat-sehat. Maka ketika jam istirahat dilihatnya pula sang
Guru berwajah segar, kepuasannya bertambah. Pada gilirannya Gumara Gumara
mengajar di kelas Pita Loka, gadis buta ini
Lebih puas lagi sebab tak tampak ada ganguan batin. Mengajarnya lancar.
Sesekali dia melirik pada Pita Loka. Dan Pita Loka sekejap membalas lirikan
itu tapi kemudian menundukkan kepala dengan tersipu.
Pita Loka yakin, Gumara sudah memaklumi arti benci yang diucapkan di waktu
fajar di tepi tebing Lembah Suliram. Cuma, pada malam harinya sehabis
belajar di kamar menjelang tengah malam, goncangan batin membuat Pita Loka
curiga. Kecurigaan itu dia taklukkan dengan membaringkan tubuh.Rupanya
perasaan was-was ini terbukti. Guru Gumara tepat tengah malam menghambur
dari rumah menerobos hutan semak belukar menuju tebing Lembah Suliram. Dia
malah menuruni lembah itu setelah melihat usaha Ki Lading Ganda begitu
hebatnya untuk memanjat dan memanjat lagi agar mencapai lubang pintu guha
itu.
Setiba di bawah lembah berbatu miring terjal itu, Guru Gumara melihat Ki
Lading Ganda siap untuk naik memasuki Guha. Gumara berseru:
Tuan Guru!
MALANG tak dapat dihindari. Begitu mendengar seruan Gumara dibawah, si tua
keras hati ini menoleh. Dia gamang melihat keadaan dibawah, dan untuk
menjaga keseimbangan dia meraih tepian batu. Dan batu itu bergeser,
mengikuti berat tubuh Ki Lading Ganda. Batu besar itu bersama tubuh Ki
Lading Ganda meluncur ke bawah. Detik itu Gumara menghambur meloncat. Dia
manyambar tubuh pendekar tua itu, lalu dalam keadaan menggendongnya sebuah
acuan membuat dua tubuh itu terlempar ke pohon mugira yang bercabang
banyak.
Ki Lading Ganda sempat menyergap dahan pohon itu. Juga Gumara menyergap
dahan pohon yang lain. Sehingga kedua-duanya sudah terpisahkan dari
kesatuannya,
Anak celaka! gerutu Ki Lading Ganda menatap Gumara.
Justru tuan akan menemukan celaka jika tidak saya samber segera, jawab
Gumara.
Kenapa tidak kau biarkan aku mati dicoblos batuan runcing di bawah?
Itu semua karena saya menghargai setiap kelebihan. Tuan Guru memiliki satu
kelebihan. Kelebihan Anda itu cuma anda yang tahu. Itulah sebabnya saya
menyergap Anda sebelum mati konyol, ujarGumara.

Tapi Ki Gumara tidak menyukai bantuan begini. Dia berkata; Aku tidak ingin
berhutang budi padamu.
Tanpa diduga dia menghambur ke arah Gumara dengan tendangan tumit yang
menghantam pelipis mata Gumara. Gumara terpelanting bagai melayang menuju
batu-batuan runcing di bawah sana itu, tetapi dengan cekatan dia justru
dalam keadaan seperti penari yang telapak kakinya menyentuh tiap batu
runcing sekedar sentuhan, sampai dia akhirnya melompat ke dataran rumput di
tepi tebing yang lain.
Begitu dia menghembuskan napas kelegaan dua kali, seketika sudah muncul
dihadapannya Ki Lading Ganda dalam keadaan memegang Golok Kembar. Golok itu
dipermainkannya dalam posisi siap memancing pertempuran. Gumara cukup tabah
manghadapi pengkhianatan budi ini. Dia tegak perkasa sembari mengatur
pernapasan. Seakan dia akan membiarkan tubuhnya ditebas lawan.
Tapi begitu kilatan golok itu menghunjam mau menebas lehernya, Gumara
berkelebat sedikit menggeser tubuh, sehingga mata golok yang licin itu
tidak masuk ke daging lengannya yang menangkis melainkan kepelesetlah mata
golok itu oleh keringat.
Sebagai imbalannya Gumara memutar badan dan menendang kebelakang, sehingga
telapak kakinya menggedor dada Ki Lading Ganda. Gedoran itu membuat si tua
itu muntah darah! Mujur baginya tidak terlempar ke kiri, sebab andaikata
itu terjadi sudah pasti tubuhnya akan dinanti batu-batuan runcing yang
mirip tombak di Lembah Suliram itu.
Muntah darah itu justru terjadi karena si tua bertahan berdiri menyediakan
dadanya terkena gedoran telapak kaki!
Gumara siap untuk membantai si tua itu dengan satu tendangan lagi ke arah
nyali. Tapi itu dia lakukan juga, cuma tidak sampai mengenai. Dia cukup
puas melihat Ki Lading Ganda ketakutan. Ketika dia ulangi sampai tiga kali
tendangan untuk menggedor dada si tua, namun tak mengenai, dia lagi-lagi
puas melihat kerdipan mata mengernyit dahi pada wajah tua itu, pancaran
kecut hati dan ngeri.
Untung aku bukan dikendalikan setan iblis, ujar Gumara.
Kenapa kamu tak membunuhku? Padahal sekarang ini pun kamu bisa. Dibawahku
jurang. Tinggal kamu tendang. Di bawah jurang ini ada batu-batu runcing.
Kenapa, Gumara?

Karena tidak ada turunan harimau yang makan harimau, ujar Gumara.
Jika itu dilakukannya, dia mati.

Nah, Tuan Gumara sudah tahu ancamannya. Tapi masih ada satu rahasia lagi
mengapa saya tidak layak membunuh tuan, ujar Gumara kemudian.
Kelengahan Gumara dimanfaatkan oleh Ki Lading Ganda yang menetak kening
Gumara, tepat pada tengah jidat, yang membuat Gumara terjungkal tapi
mujurlah tidak tertusuk batu runcing. Dia jatuh tepat diantara dua batuan
runcing bagai tombak, dan justru ujung dua batu runcing itu menjadi tempat
pegangannya.
Gumara tahu keningnya luka oleh tetakan golok Ki Lading Ganda. Darah
mengucur membasahi kemeja putihnya. Namun dia bertahan terus memegang kedua
ujung batu runcing itu. Dia merasa akan pingsan. Tapi dia musti menunggu
sampai darah itu berhenti mengalir, barulah menyerahkan diri pada nasib.
Sementara itu Ki Lading Ganda sudah memanjati lagi tebing Lembah Suliram
dengan tujuan mantap akan memasuki guha itu. Gumara pun menghentikan
seluruh perjalanan darahnya, satu ilmu yang sukar sebab hal ini berarti
menghentikan gerak klep jantung.
Ilmu mati-suri ini sulit. Tapi pendekar yang cekatan, selalu menaruhkan
sedikit gula di liang telinganya. Dan itu sudah dipersiapkan Gumara sebelum
menuju sini.
Gumara berjuang untuk mengendalikan waktu. Yang penting luka di jidatnya
tak mengucurkan darah lagi. Ketika darah yang semula mengucur dari kening
itu kemudian berhenti, Gumara membiarkan dirinya dalam keadaan lemas, lemas
dan makin lemas. Lalu dia ambruk ke bawah. Dia telah mati suri. Benarlah,
ketika dia satu jam lebih menjalani kematian suri itu, beberapa ekor semut
mengrubungi telinganya. Telinga yang berisi gula itu menjadi rebutan semut.
Beberapa diantaranya,mencari cara mudah dengan menggigit kulit Gumara.
Inilah yang menggerakkan kembali aliran darah yang terhenti. Rasa geli di
liang telinga, membangunkan Gumara dari mati-surinya!
Matahari sudah akan terbit. Gumara tergesa-gesa meninggalkan sela bebatuan
itu. Ketika dia melihat ke dinding guha tebing Suliram, dia tak melihat
lagi Ki Lading Ganda memanjat.
Jika dia berhasil masuk, dia akan ditelan bencana, Biarlah, ucap Gumara
dalam hati, lalu meninggalkan Lembah Suliram. Dia harus cepat tiba kembali
di Kumayan, di rumahnya. Dan setiba di rumah. dia berkaca. Goresan luka
sedikit pada kening dia urut pelahan dengan daun sirih yang dihancurkan.
Bekas ada, namun sedikit. Setelah dilihatnya Alif menyediakan sarapan pagi.
Gumara kembali memberitahukannya bahwa dia berpuasa.
Begitu habis cuci muka dan menyiram tubuhnya dengan sari bunga mawar,
Gumara siap untuk pergi mengajar. Ketika itulah pintu diketuk. dan begitu
dilihatnya, ternyata tamu itu Pita Loka.
Nyenyak tidur Pak Guru semalam, Pak?

Nyenyak, sahut Gumara.

Saya mampir ke sini untuk menyampaikan amanat ayah, kata Pita loka.
Tetapi sekalian menyelidiki, apakah bapak tadi malam pergi lagi mencegah
Ki Lading Ganda. Pak Guru semalam tak keluar rumah kan?
Tanyakan saja pada Alif, ujar Gumara menoleh pada Alif.
Alif nenjelaskan: Beliau tidur nyenyak dan ngorok semalam suntuk.
Kamu puas, Pita Loka? tanya Gumara.
Puas, Guru!
Coba saya ingin dengar amanat ayahmu, ujar Gumara.
Karena ada Alif, Pita Loka hanya menuliskannya saja di halaman buku
tulisnya: Bapak tadi malam mendengar wisik, yaitu bisikan angin, dimana
dia mendengar kalimat ini. Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah
Suliram ........, setelah menulis itu Pita loka melanjutkan dengan kata:
Apa makna kalimat itu?
Itu adalah kalimat inti kedua dari susunan Kitab Tujuh, ujar Gumara..
Gumara mengajak Pita Loka untuk melihat Kitab Tujuh itu, tapi Pita Loka
menolak: Bukan hak siapa pun untuk memiliki dan membacanya, kecuali Anda,
Guru!
Rupanya kamu mengetahui sumpah tabu kitab itu, ujar Gumara.
Bukan! Bukan! Saya manusia biasa. Tak ada yang tabu di muka bumi ini
kecuali 10 perkara besar. Tapi apa yang ayah tanyakan pada Guru, belum Anda
jawab, Guru!
Baik. ini jawabannya, dan ikhlas menjawabnya: Itu adalah kalimat yang
tertera dalam Kitab Kesatu dari tujuh kitab itu. Sepertinya kalimat itu
pemberitahuan. Tapi sebetulnya larangan halus. Maka selama ini Lembah
Suliram tabu kecuali bagi pendekar yang sudah memiliki ilmu Cahaya, itu
sebabnya saya mengejar Ki Lading Ganda. Tapi dia bandel. Terserah padanya
untuk mengalami kasulitan dahsyat!
Pita Loka lalu melihat lengan Guru Gumara bekas lecet, kemudian pada
keningnya. Dia lalu curiga dan langsung bertanya:
Mestikah Guru merahasiakan, lalu berdusta pada saya bahwa tadi malam tuan
ke sana , dan mengalami sedikit perkelahian dengan beliau Ki Lading Ganda?

Saya tahu kau baru melihat bekas pada keningku, ujar Gumara.
Saya makin benci pada tuan, ujar Pita Loka, lalu berpamitan. Ketika tiba
di rumah dia dalam keadaan berwajah suram. Ki Putih Kelabu bertanya:
Kalian baru cekcok, Pita Loka?
Tidak. Saya hanya benci padanya, ayah. Mengenai wisik yang ayah dengar
itu. menurut Guru Gumara Peto Alam, adalah isyarat larangan ke Lembah
Suliram. Itu tertera di Kitab Kesatu dari tujuh kitab sakti itu. Jadi wisik
itu anggap saja godaan iblis.
Sampaikan terima kasihku pada Gumara. Hampir saja ayah ke sana , ujar Ki
Putih Kelabu.
Tapi, justru aneh, di dalam kelas, ketika giliran Guru Gumara mengajar,
Pita Loka batal melaksanakan rencananya untuk bermuka-masam pada Guru
Gumara. Dia malahan memperlihatkan wajah kekaguman sembari mendengarkan
kisah perjuangan rakyat Afrika melawan orang kulit putih. Sebuah keterangan
mengesankan adalah ucapan sang Guru: Sebuah tahayul kadangkala berguna
bagi gerakan kemerdekaan Afrika. Misalnya tahayul bahwa orang kulit putih
yang sudah hampir mati, namun bisa ditolong, harus dibunuh.
Ki Lading Ganda seperti orang kebingungan. Dia mundar-mandir dalam guha
itu. Kalau dia melangkah ke arah selatan, dia terbentur menemui dinding
buta. Kalau dia melangkah ke utara, dia terbentur dinding buta. Dan jika
dia melangkah ke barat, dia lagi-lagi terbentur dinding buta. Sewaktu dia
melangkah ke arah timur, dia juga menghadap dinding buta. Padahal itu pintu
guha itu, yang terbuka lebar. Saking bingungnya, Ki Lading Ganda menjerit
lantang. Suaranya tentu saja keluar menerobos pintu guha itu, mengalir ke
Lembah Suliram. Tengah hari bolong waktu itu!
Ki Lading Ganda sudah untuk ke sekian kalinya mundar-mandir menghadapi
empat dinding buta sejak masuk ke guha itu, kecewa tidak menemukan sesuatu.
Dia lantas menjerit lagi: Bajingaaaaaaann!
Suara itu kedengaran sampai ke bawah, ke dasar Lembah Suliram.
Padahal ketika itu. dua manusia di dasar lembah sedang kehilangan arah peta
serta tujuan. Yang satu wanita. Yangsatu pria.
Dua-duanya buntung, Yang pria memegang tongkat, menoleh lagi ke pintu guha
setelah mendengar lagi: Bajingaaaaaaaaaannnnnl
Ki Harwati, kita berhenti dulu di sini, ujar pria tua bertongkat dan satu
tangannya buntung.
Jangan layani, Ki Rotan, ucap Harwati.
Mungkin dalam guha itu ada penuntut ilmu, Kita berangkat kesana, lalu
mendapatkan ilmunya, kemudian dia kita bunuh, ujar Ki Rotan.

Supaya tuan Guru tahu, kita mungkin tersesat ke Lembah Keramat. Yah,
mungkin inilah yang Lembah Suliram. juga disebut ayahku Lambah Tabu bagi
para penuntut ilmu, ujar Ki Harwati.
Terdengar lagi gema seruan: Bajingaaaaaannnnnn!
Ki Rotan menoleh ke arah sana. Dia berkata tegas: Jika kamu tidak ikut aku
ke sana, kita bubarkan persekutuan kita hingga disini,
Tapi anda akan celaka sebagaimana layaknya saya. Lihatlah batu-batuan
runcing sekitar sini, bagaikan tombak-tombak yang memperingatkan.
Sebetulnya kita sudah mujur mendengar teriak orang kebingungan di dalam
guha itu. Kita tadi sudah kehilangan peta. Jika betul ini Lembah Suliram,
kita tinggal mencari celah sempit lembah ini, memasang garis lurus ke utara
sana dan celah sempit, akan sampai ke desaku Kumayan!
Kumayan lagi! Kumayan lagi! gerutu Ki Rotan, Tujuan kita ilmu! Bukan
pulang ke desa semata-mata.
Aku bertujuan pulang ke desa. Aku rindu desaku. Aku rindu berziarah ke
kuburan ayahku. Aku rindu bertemu muka dengan pria yang aku cintai, Guru
Gumara. Pendeknya, sejak kita berguru pada Guru Kembar itu, kerinduan dan
cintaku berkobar lagi, Ki Rotan!
Mereka berdua menipumu dengan menyatakan bahwa Guru Gumara itu bukan anak
dan air mani Ki Karat. Mereka menipumu bahwa Gumara itu anak angkat Ki
Karat! Aku lebih tahu semua silsilahnya. Bahwa memang benar Ki Gumara itu
anak haram Ki Karat. Sudah ditetapkan dalam Buku Resi, bahwa ilmu yang
didapatkan Ki Karat setelah dia menyetubuhi wanita itu dan lahirnya Gumara
hanya bertahan seumur 33 tahun saja. Jika suatu hari Ki Karat didatangi
Peto Alam, tepat ketika anak itu berusia 33 tahun, Ki Karat akan hidup
sekarat. Kemudian mati.
Ki Karat satu-satunya harimau Kumayan yang mengalami hidup dua kali saja,
kemudian dia mati. Ki Harwati tercengang beberapa saat. Dia masih meyakini
keterangan Guru Kembar, bahwa Ki Karat bukan ayah kandung Guru Gumara,
melainkan ayah angkat.
Kita berpisah di sini kalau begitu, Ki Rotan, ujar Ki Harwati.
Ki Rotan jadi berang, lalu menyabet tubuh Ki Harwati, namun tidak mengenai,
sebab Ki Harwati secepat kilat meloncat ke udara dan membuat jarak berdiri
jadi menjauh.
Pembunuh! seru Ki Hawati.
Untuk memiliki kekuatan yang lebih unggul, pembunuhan wajar dalam dunia
persilatan. kata Ki Karat.

Tapi anda membunuh dua manusia kembar yang mengajarkan inti Kitab Tujuh
pada anda. Maka kita sampai di sini!. Dan kini tuan mau belajar lagi pada
orang dalam guha itu, dengan rencana membunuh. Alangkah busuk hati tuan!
Karena ilmuku ilmu Seratus, Supaya kamu tahu. Aku musti membunuh seratus
pendekar, baru ilmuku sempurna, kata Ki Karat.
Terdengar lagi seruan dari mulut guha di tengah tebing lembah itu:
Bajingaaaaaaaaan! Kitab Tujuh Bajingannnn!.
Suara itu jelas. Baik oleh telinga Ki Harwati, maupun telinga Ki Karat.
Ucapan tarakhirnya itu membuat Ki Harwati menoleh pada Ki Karat.
Kau dengar sendiri, kata Ki Karat, Dia dalam uji coba Kitab Tujuh
itu . . . dan mungkin saja dialah Gumara.
Mungkin saja Gumara, ulang Ki Rotan pada Harwati. Hal ini menggoyahkan
batin Harwati. Lalu dii dengarnya lagi teriakan dari mulut guha itu;
Bajiingannnn! KitabTujuh bajiingannnn!
Ki Rotan menatap mata Harwati. Dia berkata; Kita tidak boleh menunggu
sampai Ki Gumara jadi gila. Kita harus ke sana segera, membantu dia!
Semangat Harwati sudah makin menggebu.
Tapi, apakah itu pasti suara teriakan Gumara, Ki Rotan? tanyanya.
Siapa lagi yang memiliki Kitab Tujuh selain dia. Dia itu sekarang dalam
kesetanan atau kebingungan, Kata Ki Rotan.
Baik kalau begitu. Asalkan tuan berjanji, jika ilmu ini sudah kita
dapatkan darinya, jangan jadikan dia korban yang tuan bunuh, kata Harwati.
Dia tentu harus dibedakan dengan Ki Kembar itu, ujar Ki Rotan.
Harwati lalu mendekat guru tua ilmu Seratus itu, dan mengikuti jejak
langkahnya. Memang menemui sedikit kesukaran setelah batu-batu runcing yang
berbahaya itu mulai menjadi penghalang.
Ki Rotan menoleh kebelakang melihat Ki Harwati jauh tertinggal. Lalu dia
berkata: Masih ingatkah kamu silat Belalang?
Itu silat anak kecil. Ketika kecil ayah mengajarkan padaku!
Namun itu bila kau gunakan sekarang. ilmu yang kecil biasanya diperlukan
untuk mendapatkan ilmu yang besar, ujar Ki Rotan,
Ki Harwati mulai melakukan konsentrasi untuk loncatan demi loncatan. Dan
dia pun akhirnya meloncat dengan telapak kaki menginjak sedetik demi

sedetik pada tiap ujung batu tombak di lembah itu.


Barulah menjelang sore Ki Rotan dan Ki Harwati tiba pada tempat yang tepat
untuk memanjati dinding tebing ke arah mulut guha di atas. Dari situ masih
terdengar teriak yang makin parau: Buku Bajingannn!
Sudah tak perlu diragukan lagi, itu teriakan Gumara, ujar Ki Rotan.
Kini saya tambah yakin, Guru!, tambah Harwati.
Dan bagaikan cicak merambat, perlahan dan pasti, kedua pendekar memanjati
dinding Lembah Surilam. Matahari menyinari tubuh yang memanjat itu. Dan
matahari yang sama itu pula menyinari wajah Pita Loka, yang berseri-seri
senja itu, menyambut kedatangan Guru Gumara.
Guru itu membawa seperangkat buku-buku. Dia minta bertemu sejenak dengan Ki
Putih Kelabu. Gumara berkata pada orangtua itu: Saya menemui tuan untuk
minta ijin merunding satu soal dengan Pita Loka. Ki Putih Kelabu memanggil
Pita Loka dan memberitahukan hasrat tamunya.
Saya mungkin besok berhalangan mengajar, Maukah kamu menyalin pelajaran
dari catatan saya ini di papan tulis? ujar sang Guru.
Saya bersedia karena saya murid Pak Guru, jawab Pita Loka.
Kamu cek lebih dulu di kantor dewan guru, di kelas-kelas mana dan pada jam
mana saya mengajar. Lalu pinjamkan catatan ini pada Ketua Kelas masingmasing.
Baik, Guru.
Tentu kamu tahu saya mau kemana, Pita Loka, ujar Gumara.
Tuan Guru rupanya begitu terganggu dengan ulah Ki Lading Ganda
Isterinya sendiri merisaukan kepergiannya. Saya hanya ingin mencegah
usahanya yang hanya akan sia - sia saja, kata Gumara.
Oh ya. Guru adalah ahli takwil mimpi. Saya tadi malam bermimpi, ada dua
semut atau lalat . . . yah katakanlah lalat, sebesar raksasa, yang memanjat
ke mulut guha itu, kata Pita Loka.
Mendengar berita mimpi itu, Gumara diam sejenak. Mendadak semangatnya
berkobar, karena dia justru menerima wisik bahwa Ki Rotan dan seorang
pengikutnya dengan memanjat dinding tebing.
Semangat di wajah Gumara itu merisaukan Pita Loka yang lantas menerka
dengan rasa cemburu: Apakah tuan Guru bersemangat sampai meninggalkan
tugas mengajar karena didorong oleh membela seseorang yang dekat dengan
hati anda?

Maksud kamu?

Saya menduga salah seorang dari tamsil dua ekor lalat besar itu adalah
Harwati, kata Pita Loka.
Gumara langsung terperangah. Tuduhan itu didorong oleh motivasi, dan dia
menyadari hal ini.
Taruhlah dia Harwati, bukankah saya wajib mencegahnya karena aku dan dia
satu titisan darah? ujar Gumara.
Pita Loka hanya berdiam. Dia merasa lidahnya kelu. Padahal dia ingin
mengumbar kejengkelannya mendengar pengakuan tak langsung ini! Setelah
Gumara berpamitan pada Ki Putih Kelabu, Pita Loka lalu menyatakan dengan
manja pada ayahnya: Tempelkan lagi daun sirih tanya itu, ke mataku, ayah.
Tak layak bila seorang gadis cantik disertai kebutaan.
Ketika sang ayah menempelkan sirih ke mata yang buta itu, di mata yang buta
tampak airmata bercucuran, Beliau bertanya: Kenapa kau menangis?
Pertanyaan ayahnya itu malahan membuat Pita Loka semakin tersedu-sedu.
Ki Putih Kelabu adalah ayah yang bijaksana, lalu berkata: Maafkan jika
pertanyaan ayah melukaimu, nak.
Apakah ayah yakin kebutaanku akan sembuh? tanya Pita Loka.
Yang penting usaha. Jika yang kau tanya, apakah air akan bisa naik ke
hulu? Itu akan kujawab tidak. Tapi soal penyakit, semua penyakit ada
obatnya. Bahkan penyakit jika tergigit bisa ular, atau tergores kuku jari
seseorang yang kukunya itu mengandung bisa.
Kuku Gumara memang berbisa, ayah. Kukunya inilah penyebab kebutaan
mataku, kata Pita Loka.
Mungkin juga, jika benar dalam kuku Gumara ada bisa, kebutaanmu akan
sembuh jika kalian berdua kawin, ujar Ki Putih Kelabu.
Kawin? Dengan Gumara? Cis, lebih baik aku terus dalam kebutaan daripada
merelakan kawin dengan dia hanya berharap butaku sembuh. Ayah musti tahu,
batin Gumara adalah batin manusia retak jiwa. Dalam jiwanya ada kembaran
perasaan terhadap dua wanita: aku, dan Harwati. Itu ayah pun sudah tahu.
Orang semacam ini jika menjadi suami, hanya akan mencelakakan hari depanku.
Setamat SMA ini, dengan modal keberanian, aku akan ke kota . Dari kota aku
akan menuju Jakarta . Desa terlalu kecil bagiku, sehingga telingaku
mendengar orang-orang bergunjing mengenai kebutaanku. Sayang sakali,
penduduk desa Kumayan ini masih kagum pada pendekar-pendekar sakti. Padahal

apalah arti kependekaran di abad ini dibandingkan dengan seorang Thomas


Alva Edison yang menemukan listrik. Atau apalah artinya pendekar abad
duapuluh ini dibandingkan dengan Wagner, Einstein ahli fisika itu?
Katakanlah aku cemburu Pak Guru besok bolos karena dia mau menyelamatkan
Harwati! Tapi mungkin juga karena saya tidak suka dia memasuki lagi ilmu
zaman silam itu yang tak ada kepentingannya dengan zaman sekarang ini. Pita
Loka menatap ayahnya agar ayahnya sakit hati.

Untuk sementara, kau benar. Jika listrik sekedar untuk alat penerangan,
dulu, kami, di abad silam, tetap juga terang tanpa listrik. Itu hanya alat,
anakku! Jika peluru dipakai untuk membunuh, di kawasan Cina sana, menurut
guruku, orang punya pisau yang kecepatannya melebihi peluru. Lebih hebat
lagi apabila peperangan itu dengan Ilmu Cahaya!
Itu dulu! Kini pun orang merencanakan perang dengan cahaya!
Tapi perang yang sekarang ini, dengan cahaya pemusnah itu, ikut pula
membunuh manusia-manusia tak berdosa. Tapi dulu ilmu Cahaya hanya membunuh
lawan-lawan tertentu. Yang binasa mungkin sepuluh orang saja dengan para
ketuanya. Tapi kini, jika terjadi Perang Cahaya, jutaan orang bisa musnah,
bukan?
Yah, ayah benar, kata Pita Loka.
Manusia membutuhkan pimpinan. Dunia, pelbagai negeri, membutuhkan
pimpinan. Negeri ibarat sebuah sekolah. Seperti sekolah membutuhkan Guru,
juga sebuah negeri membutuhkan Guru. Guru mendasarkan diri pada ilmu,
Begitupun negeri, selain butuh Guru butuh pula ilmu. Kau pernah
menceritakan kekagumanmu pada ilmu tahayul bangsa Afrika dalam melawan
bangsa kulit putih. Pendeknya, kata ceritamu, tahayul itu dimanfaatkan
guru-guru Afrika itu malawan kezaliman bangsa kulit putih. Jika bertemu
bangsa kulit putih, bunuhlah dia sampai mampus, dan mampuskan sekalian dia
sekalipun dalam keadaan masih bisa hidup ketika itu. Tapi menurut hematku,
itu cara yang salah untuk melawan kekejaman orang kulit putih, Tahayul
memang menjadi ilmu. Tapi yang lebih utama dari membunuh orang kulit putih
adalah tugas ilmu dan para guru, mengajarkan bangsa kulit putih itu supaya
merubah caranya berfikir agar tidak berlaku kejam pada orang kulit hitam.
Katakan pada gurumu Gumara Peto Alam, agar dia tidak terlalu kagum pada
orang Afrika yang bersemboyan bunuh mati si kulit putih. Dia seorang
guru. Seorang guru harus mengajarkan yang betul, bukannya yang mudah, nak!
Terima kasih, ayah. Ayah telah mengisi dalam jiwaku kebencian pada pribadi
Gumara, guruku. Ha! apapun yang jelek-jelek dari dirinya saya butuhkan
sekarang agar saya tidak mencintainya lagi, kata Pita Loka.
Wah, itu kau salah tafsir. Gumara itu lebih banyak kebaikannya dari
kejelekannya. Suatu ketika nanti, mungkin waktu itu aku sudah mati . . .
kau akan berkata : Memang Gumara Peto Alam layak menjadi suamiku!.

Ayah! Jangan hidupkan kambali api cinta itu ! Aku buta! Aku bukan gadis
cantik lagi! Aku butuh bahan kebencian, bukan api cinta! lalu Pita Loka
melarikan diri masuk kamar. Mulanya malam itu dia tidak akan tidur. Tetapi
ketika dia sedang tidur, dia bermimpi. Harwati masuk ka dalam kamarnya.
Tangannya buntung. Dia berkata: Pita Loka, kita sama - sama cacat. Tapi
kamu lebih berhak memiliki Gumara daripada diriku.

Dalam mimpi itu Pita Loka sangat bahagia. Tapi ketika dia terbangun segera
dia jengkel! Dia langsung membuka jendela. Dan meloncat membelah semaksemak di malam buta itu . . ..
Rupanya Ki Putih Kelabu mendengar ketika Pita Loka melompat jendela. Dan
serta merta orangtua ini menghambur masuk kebun dengan lompatan yang lebih
beringas disertai auman harimau.
Tapi Pita Loka bukannya langsung ke Lembah Suliram. Dia ke rumah Gumara
terlebih dahulu. Begitu Alif memberitahu Gumara tidur, dia tidak percaya.
Dengarlah suara ngoroknya itu, ujar Alif menunjuk kamar Gumara.
Memang kedengaran suara orang ngorok. Tapi Pita Loka malahan yakin, yang
mengorok itu adalah raga halus Gumara. Raga kasar Gumara pasti pergi. Pita
Loka meloncati tangga rumah panggung itu, menyelusup cepat disela-sela
pohonan jeruk dan bagaikan bola asap dia membelah hutan belantara. Tapi
langkahnya terhenti karena dia kena sergah auman harimau. Harimau itu amat
besar, menggeram dengan sikap mau menerkam, Pita Loka menghambur ke kanan,
tapi harimau itu sudah terlebih dahulu menerjang pohon yang roboh seketika,
lalu menghalangi Pita Loka.
Jangan halangi saya! seru Pita Loka menghambur ke kiri, tetapi tubuhnya
merasakan lecutan ekor harimau itu sehingga dia jatuh jungkir balik. Tibatiba Pita Loka menyadari, Dia berkata pada harimau itu: Baiklah, ayah.
Saya akan pulang.
Pita Loka melangkah lesu, lalu harimau itu berlalu menghilang dibalik semak
belukar, Pita Loka melangkah terpincang pincang memasuki pekarangan
rumahnya. Dia mengetuk pintu untuk menguji dugaannya. Tapi dia juga jadi
keheranan ketika yang dilihatnya membuka pintu adalah ayahnya, dalam
pakaian kemeja Cina dan celana batik,
Telapak tangan ayah kotor, kata Pita Loka menyindir,
Apakah tadi ayahanda tidur atau barusan menggali tanah? Kaki ayah pun ada
bekas sisa rumputan
Marilah kita berterus terang, ujar Ki Putih Kelabu.

Tak usah dijelaskan lagi. Saya tahu siapa yang menghalangi saya ketika
menuju Lembah Suliram. Pohon itu rubuh. Lalu ada ekor binatang menyabet
pahaku ini hingga aku jatuh jungkir balik.
Mari ayah urut pahamu yang keseleo itu, ujar Ki Putih Kelabu. Warna itu
sebesar lengan membekas pada dua paha Pita Loka.

Dengan ujung jempol jari dimasukkan ke langit-langit mulut, itulah cara


mengurut yang terbaik.
Terlalu keras pukulan ekor harimau itu, ujar Pita Loka mencoba
melangkahkan kaki yang masih sedikit pincang,
Mungkin dia bermaksud baik menghalangi perjalananku!,
Memang betul. Andaikata harimau tadi itu seorang ayah, lalu aku ini anak
harimau, maka harimau tadi akan menggendong saya dengan cara yang khas.
Menggigit tengkukku, lalu demikianlah keadaanku sampai ke rumah, ibarat
induk kucing memindahkan sarang bagi anaknya. Bukan begitu. ayah?
Marilah ayah berterus terang, ujar Ki Putih Kelabu.
Tak usah nyatakan segala yang sudah diketahui dua belah pihak. Itu harinya
akan melukai salah satu fihak. Saya akan tidur dan tidak akan meloncat lagi
dari jendela. Percuma itu saya lakukan lagi, karena nanti toh saya akan
dicegat oleh harimau tua itu. Dan dengan cintanya yang agung dia sabet
pahaku ini dengan ekornya, dengan tersenyum Pita Loka memasuki kamarnya.
Ki Putih Kelabu hanya bisa terperangah. Dia duduk berayun-ayun di kursi
goyang. Sampai pagi tiba dia ketiduran di kursi goyang itu. Dan ketika akan
berangkat ke sekolah, muncullah seorang tamu tak dikenal.
Saya ingin berjumpa dengan Ki Putih Kelabu, ujar tamu itu.
Anda siapa?
Saya Dasa Laksana, ujar tamu itu.
Dasa Laksana ? Pita Loka tercengang, mencoba mengingat dan mencocokkan
dengan wajah tamu itu.
Saya Dasa Laksana, tegas tamu itu.
Apa itu bukan nama samaran?, tanya Pita Loka.
Bukan. Itulah nama asli saya, kata Dasa Laksana.
Tapi apa anda ingat, bahwa anda pernah mengembara ke Guha Lebah dalam

hidup anda?
Guha Lebah? Saya tak tahu itu! ujar Dasa Laksana.
Lelaki itu gagah, memakai baju dan kemeja orang kota , bersepatu berkilat,
kemudian diberi ijin masuk oleh Pita Loka. Pita Loka meninggalkan rumah
menuju ke saholah, sementara tamu itu menyatakan maksudnya: Saya ingin
bertemu dengan dik Pita Loka, Pak.

Lho itu yang tadi tuan temui pertama, itu Pita Loka, ujar Ki Putih Kelabu
keheranan.
Ki Putih Kelabu adalah seorang pendekar tua yang amat santun. Kedatangan
tamu yang tidak dikenal itu dilayaninya dengan ramah. Dia tidak pernah
mengenal nama Dasa Laksana sebelum ini. Juga dia tidak pernah melihat
seumur hidupnya seorang lelaki ganteng selain dari Gumara. Yang dilihatnya
sekarang ini justru lelaki yang lebih ganteng lagi dari Gumara.
Tamu ini pun seorang lelaki yang rendah hati. Dia mengeluh;
Rupanya di Kumayan ini tidak ada penginapan.
Penginapan ada, nak Dasa Laksana. Tapi mungkin anak tidak tahu, ujar Ki
Dasa Laksana.
Tapi saya tidak melihatnya, ujar pemuda ganteng itu.
Mungkin karena tidak memakai papan merek.
Seseorang memberitahu pada saya, bahwa Bapak adalah seorang guru.
Oh, itu berlebihan. Saya cuma petani biasa. Saya tak punya ilmu apa-apa.
Apakah karena itu saya salah alamat?. Atau orang itu menipu saya?
Siapa orang yang anak muda maksudkan? Maksud saya yang memberitahu bahwa
saya ini seorang Guru?
Dia tidak memberitahukan namanya. Tapi disebuah warung di tepi jalan dia
memberitahukan pada saya; Jika tuan ingin ke desa Lembah Gading, harus
melewati Kumayan lebih dahulu.
Temuilah Guru Putih Kelabu. Tadi pun seorang bocah yang menunjukkan rumah
Guru ini, memberitahu pada saya bahwa Tuan adalah seorang Guru.
Ki Putih Kelabu mencoba membatin. Untuk mengetahui niat tamunya ini. Apa
dia punya niat busuk atau baik. Ternyata batinnya tak memberi getaran suatu
apa. Jadi orang ini masih merupakan tamu misterius.

Kalau begitu nyatakan maksud anda, kata Ki Putih Kelabu,


Saya ingin belajar pada Guru.
Ki Putih Kelabu membatin lagi. Juga tak ada getaran batin. Hal ini menambah
kebingungan pendekar tua itu.
Sebaiknya anak muda meneruskan perjalanan ke Lembah Gading itu. Mungkin di
sanalah anak muda akan menemukan Guru yang dimaksud.
Tidak, ucap Dasa Laksana mantap, Hanya pada anda saya ingin belajar.
Batin Ki Putih Kelabu bergetar kencang. Dia ingin diyakini batinnya, bahwa
tamu ini bermaksud baik. Perasaan lega di hati luputnya rasa bingung
membuat Ki Putih Kelabu berada dalam kemantapan.
Jika kamu sungguh-sungguh, syaratnya harus meninggalkan hidup mewah dan
semua yang berbau kemewahan. Mungkin hal itu berat bagi anda, nak!
Tidak kata Dasa Laksana, dengan serta merta mencopot jaketnya, sehingga
dia mengenakan pakaian kaos oblong saja. Dia ditertawakan oleh sang Guru.
Juga sepatu mahal itu anda copot? tanya Ki Putih Kelabu.
Apa boleh buat. Memang ini sepatu mewah. Biarpun saperti sepatu basket
saja, sepatu ini mungkin lambang kemewahan. Saya akan mematuhi seluruh
persyaratan.
Pernah berpuasa?
Tentu, tuan Guru.
Tapi ini semacam puasa tirakatan. Siang malam tidak makan minum dan tidak
tidur. Lagi pula, tempatnya tidak di sini. Kita harus jalan kaki menuju
Pancuran Putih dan Ngarai Kelabu. Untuk pergi ke sana , akan anda jumpai
berbagai rintangan. Tapi karena bersama saya, maka saya sedia membantu.
Saya tidak bisa menurunkan ilmu saya pada anak perempuan saya. Juga kepada
seseorang yang saya sukai. Saya baru berhak menurunkan ilmu saya kepada
orang yang menyukai saya. Apakah anda menyukai saya?
Tentu, tuan Guru, Begitu saya melihat wajah anda, saya langsung menyukai
tuan!
Baik, tinggalkan koper anda di kamar tamu sana itu. Anda cuma akan
mengenakan kain sarung dan tanpa alas kaki. Saya bahagia menemukan seorang
yang patuh seperti anak muda, ujar Ki Putih Kelabu.
Dasa Laksana membawa kopernya masuk ke sebuah kamar depan. Lalu dia
mengikuti langkah Ki Putih Kelabu yang mengambil jalan setapak di belakang
rumah. Seketika keduanya sudah memasuki semak belukar yang pantang dilalui
orang lain selain Ki Putih Kelabu dan pewaris ilmunya.

Pita Loka sejak kecil sudah dididik memantangi jalan setapak yang banyak
liku rahasianya ini. Apalagi ada lorong rahasia di bawah tanah yang begitu
rupa, sehingga mata biasa sukar untuk mengetahui jalan masuknya.
Inilah Ngarai Kelabu itu. Dan itulah Pancuran Putih. Kata Ki Putih Kelabu
setelah tiba di tempat itu siang hari. Yang anehnya, tak ada rintangan
dalam perjalanan bawah tanah itu, di mana seharusnya akan menemui segala
binatang tanah yang akan teruji keberaniannya sebagai calon pewaris, Ki
Putih Kelabu memanjat sebatang pohon kelapa kuning,
Dua buah kelapa ranum dipetiknya, lalu berkata: Ini modal untuk puasa
tirakatan. nak.
Harwati dengan seregap berdiri, dan dahan kenyal membuat dia terjungkal.
Tapi dengan seregap pula dia manfaatkan kekenyalan dahan pohon tembiru itu
sebagai alat pendorong untuk meloncat ke atas. Dia meloncat, tetapi Gumara
sudah keburu menyambar ujung kakinya. Hingga jatuh membal lagi gadis itu,
dan dicekal terus oleh Gumara.
Lepaskan cekalanmu itu, babi! maki Harwati.
Namun Gumara tidak melepasnya. Harwati tetap meronta menggeliat, lalu dia
menggunakan kesempatan baik untuk menghantam kepala Gumara pula dengan
pukulan sisi telapak tangan. Pukulan itu cukup telak.
Gumara puyeng seketika itu juga! Lembah itu bagai bergoyang dalam
pandangannya. Sementara itu dilihatnya Harwati sudah hinggap disatu akar
besar di dinding tebing.
Keseimbangan Gumara hancur karena konsentrasinya cuma tertuju pada
keselamatan Harwati. Dia jatuh dalam keadaan melayang separuh tak sadar,
tapi sempat mencari keseimbangan ketika dilihatnya batu-batu berbentuk
tombak. Dia membalik, dan menyerahkan punggungnya saja untuk kena tancap
batu runcing.
Tubuh Gumara terlentang, menancap. Punggungnya bagai menancap dipaku. Ia
tak sempat menggeliat lagi. Darah bercucuran membasahi ujung tombak alam
itu . . .
Harwati terus memanjat dengan semangat dua kali lipat.
Dia sempat tersenyum menyeringai melihat Gumara dalam keadaan sudah
selayaknya mati itu. Harwati terus memanjat lagi, memanjat sekuat tenaga
bagaikan cicak memanjat dinding, Dengan suara geram, kadang menggigit bibir
agar mendapatkan kekuatan,
Harwati terus berupaya tanpa keraguan. Usahanya tampaknya akan berhasil,
ketika dia sudah sempat menemukan retakan batu dasar mulut guha. Jarinya

mencengkeram retakan itu, dorongan tubuhnya sepenuh tenaga membuat


pantatnya menungging. Dengan itulah dia membuat pantatnya menunging ke
dalam guha. Dan. . , selamat sampai di dalam.

Harwati lalu berdiri tegak. Dia mulai mencari apa yang dia ingin cari. Dia
menuju dinding kanan. Tak ada apa-apa. Tak ada aksara apa-apa. Dia menuju
dinding kiri. Semuanya berdinding.
Dia mondar-mandir. Kadang bertabrakan dengan Ki Rotan yang mundar-mandir.
Kadang bertabrakan dengan Ki Lading Ganda yang tidak ia kenal. Masingmasing orang bertiga itu saling tak mengenal satu sama lain.
Pita Loka akhirnya sampai juga ke Lembah Suliram ini. Dari atas tebing
utara dia menuju ke tebing timur agar dapat melihat lurus ke pintu guha.
Dan dia tidak melihat sesuatu kecuali sepi.
Beberapa ekor kelelawar senja mulai tampak. Burung burung menyanyikan
kemerduan nada pada senja itu. Tapi tiba-tiba Pita Loka ternganga, di bawah
sana tampak sosok tubuh menggeletak celentang.
Firasat Pita Loka yang gelisah sejak pagi kini dia saksikan sendiri. Dan
bagaikan bola meluncur, Pita Loka menuruni tebing-tebing curam itu ke
bawah. Dan dengan kekuatan ilmu yang pernah dia petik, bagaikan belalang
dia melompati ujung-ujung tombak alam itu, telapak yang sekedar nemplok
sejenak di atas keruncingan batu-batu itu
Tibalah dia ditempat sosok tubuh yang menggeletak itu.
Guru! teriaknya meyakini guru yang dicintainya itu. Pita Loka mencoba
mengangkat tubuh Gumara. Tapi rupanya hunjaman tombak batu alam itu sudah
merekat ke tubuh sang guru. Namun Pita Loka tetap mencoba mengangkat tubuh
itu, agar lepas dari rekatannya di ujung batuan runcing. Lalu Gumara
menggeliat tanda dia sadarkan diri.Keningnya mengernyit menahan sakit. Bila
kesadarannya makin mengada, Gumara tidak merasa sakit lagi. Memang dengan
batuan Pita Loka tubuhnya terlepas dari cengkereman tombak batuan itu.
Guru tidak sakit?
Periksalah punggungku, ujar Gumara.
Pita Loka memeriksa. Baju robek, bekas cucuran darah.Tapi luka itu sendiri?
Sudah kering begitu saja.
Siapa menyuruhmu ke sini tanya Gumara.
Jadi, Guru marah karena saya ke sini? tanya Pita Loka.
Saya tidak marah. Tapi saya tidak menyuruhmu ke sini, kata Gumara.

Pita Loka menjadi jijik mendengar ucapan tak tegas itu,

Kalau anda marah, bilang marah. Jangan menyembunyikan kejengkelan dan


kebencian dalam bahasa berselimut, ujar Pita Loka dengan kejengkelan yang
sempurna, didukung oleh tindak sempurna, meloncat dia bagai belalang dari
satu ujung mata tombak batu lain ke ujung lainnya sampai dia sudah tiba di
tepi tebing utara, tanpa menoleh, terus memanjat tebing bagai cecak yang
tak tampak karena malam menjelang tiba.
Dia terus! menerobos semak belukar. Sebagian daun terbakar kena geseran
tubuhnya yang lari menggebubu.
Siang itu, apabila Pita Loka pulang dari sekolah, kekesalan hati,
kecemburuan pada Gumara, bertambah lagi dengan kedongkolan setiba di rumah.
Rumah didapatinya dalam keadaan kosong. Sebuah koper, sepatu bagus, dengan
sepotong baju yang tergantung di lengan kursi, telah membenarkan
perkiraaannya. Yah, Kumayan bakal tertimpa huru-hara. Tentulah barangbarang ini semua adalah milik tamu tadi pagi, yang mengaku bernama Dasa
Laksana.
Tentu ayah sudah terkecoh, ujar Pita Loka sendirian, bernada menggerutu.
Di angkat koper tamu itu, dan dibantingnya!
Pita Loka sudah mengenal kusuk dan tipu ilmu persilatan melalui pengalaman.
Apalagi ilmu yang dikenal ilmu Hitam yang berlindung pada Iblis dan Setan.
Dia kini kaheranan sandiri, karena seperti tertiup lupa dengan tamu yang
jelas-jelas mengaku bernama Dasa Laksana! Bukankah ia pernah kenal Dasa
Laksana?. Pernah mengajarnya ilmu kependekaran di Guha Lebah? Dan pernah
tahu bahwa orang ini penghkhianat dan mata keranjang?
Bukan ayah yang terkecoh, tapi aku sendiri pun terkecoh!, ujar Pita Loka.
Sendirian menggerutu.
Guru Gumara sendiri pun, betapapun ilmunya yang tinggi, hari ini akan kena
kecoh lagi dengan dalih berjuang ke Lembah Suliram untuk menyelamatkan
Harwati, Bukankah Harwati pun berjiwa pengkhianat? Penipu?, Pita Loka
menggerutu lagi.
Kebutaanku juga karena terlibat dalam bujuk dengkinya ilmu silat, gerutu
Pita Loka lagi.
Sepintas lalu, apa yang dibayangkan oleh Pita Loka memang terbukti. Begitu
bersemangatnya Gumara Peto Alam menyeret kaki Harwati agar gagal memanjat
tebing Lembah Surilam yang menuju ke mulut guha sana itu.
Jangan teruskan memanjat, adikku! seru Gumara,

Lepaskan kakiku! bentak Hawati seraya menggerak-gerakkan kakinya yang


dipegang Gumara, yang kadang lepas lagi. Bila lepas, Harwati memanjat lagi
dengan penuh semangat, sebab bibir guha itu hanya tinggal berjarak tiga
depa saja.
Jika kau memang menghendaki Kitab Tujuh, aku akan memberikannya, kata
Gumara.
Kau pendusta! Penipu! Aku lebih tahu mengenai Kitab Tujuh dan Ki Kembar.
Aku tak sudi kitab itu itu pada Ki Rotan , kata Harwati.
Kitab Tujuh itu ada padaku, dik! seru Pita Loka.
Itu Kitab Tujuh yang palsu! balas Harwati, yang menekan kepala Gumara
dengan telapak kakinya agar Gumara terpeleset jatuh ke bawah sana .
Ki Rotan sudah ada di dalam guha sana , jangan banyak omong lagi! kata
Harwati lagi, yang menggapai, penuh semangat, dan lebih bersemangat lagi
setelah telapak tangannya menjamah bibir batu penahan. Batu itu bergeser.
Harwati tambah bersemangat! Dia kira dia akan dapat masuk dengan meraih
sekuat tenaga. Namun batu besar itu menggeser. Gumara melihat hal itu. Dia
dengan sekuat tenaga menjambak kaki Harwati. Akibat tarik-menarik itu
sebuah batu besar itu bergeser lalu batu itu bagai muntah dari mulut guha.
Harwati berteriak!
Sekaligus dengan teriakan itu, dia menyamping menghindari diri ketiban batu
besar. Dan serentak dengan itu tubuh itu terpeleset, jatuh ke bawah bagai
melayang Gumara sekelebatan itu pula melompat melayang, menyambar tubuh
Harwati, dan dalam keadaan melayang itu Gumara menyeretnya menuju pohon
tembitu.
Dahan pohon tembitu yang amat banyak itu menolong selamatnya Harwati dari
bencana. Dia jatuh dan membal lagi, lalu jatuh dan membal lagi karena
tekanan kenyal dahanan lebat pohon tembitu. Tapi Gumara sudah duduk tenang
diantara dedahanan yang kenyal itu, tersenyum melihat tubuh Harwati membalmembal sampai akhirnya duduk mantap dijalinan dahan.
Harwati bukannya berterimakasih. Tapi menatap Gumara dengan jijik,
Kenapa kau halangi aku masuk?! makinya.
Karena kau adikku! Karena aku kasihan padamul
Dusta! Kau mengaku aku adikku agar cintaku padamu musnah dan kau bisa
memperisteri Pita Loka!
Aku tidak dusta, itu ucapan ayah kandung kita sendiri! kata Gumara.
Ayah pun pendusta. Sudah kuketahui dari Ki Kembar, bahwa ayah pun
berdusta. Masuk akalkah kau tiba-tiba menjadi kakak mendadak? Soalnya

ayah menghindari aku supaya tidak menjadi isterimu. Karena dia lebih suka
ilmunya jatuh pada orang lain yang bukan padaku.

Ayah dusta karena dia ingin ilmunya jatuh kepadamu, lalu kau mengawini Pita
Loka sebab ayah pernah berjanji pada Ki Putih Kelabu akan mempertalikan
darah dengan anak lelakinya. Padahal ayah tak punya anak lelaki. Begitu
bernafsunya ayah untuk melestarikan ilmunya demi kelanggengan ilmuitu lewat
kau. Alangkah tolol orang yang mempercayai cerita ayah yang terkenal
seorang pembohong terbesar diantara Tujuh Manusia Harimau di Kumayan.
Setelah puas memaki, Harwati meludahi Gumara: Ciih, kamu tak usah mengaku
putra Ki Karat, karena kau cuma manusia dari kasta rendahan!
Setiba di rumah. Pita Loka mengobrak-abrik kursi dan menggulingkan meja.
Dan ketika dia masuk kamar depan, mau mengobrak-abrik koper tamu . . .
tidak jadi.
Senyumnya terkembang. Dia ingat, tamu tadi begitu gantengnya.
Dia bertekad untuk berbaik-baik pada ayahnya. Dia susun meja dan kursi yang
berantakan. Dia berharap ayahnya akan pulang agak malam dan butuh
disediakan makan malam. Dia memasak, kemudian menyediakan hidangan di meja.
Benarlah dugaannya. Menjelang jam Romawi itu berdenting sebelas kali dari
pintu belakang terdengar suara ayahnya; Pita Loka, apa kau di rumah, nak?
Ya, ayah.
Pita Loka lalu membuka pintu, dengan harapan sang tamu gagah itu pun serta.
Ternyata tak tampak seorang lain pun kecuali ayah.
Ayah sendiri? tanya Pita Loka.
Ya.
Tadi ada tamu. Saya lihat ada koper. Kemana tamu itu?
Dia pergi. Dia menitipkan kopernya, kata Ki Putih Kelabu.
Pita Loka terhempas kecewa di kursi. Hal itu membuat Ki Putih Kelabu
gembira. Lebih gembira lagi dia, ketika didengarnya putrinya berkata
kecewa:
Padahal untuk makan malam sudah kusediakan untuk tiga orang, Termasuk
saya, kata Pita Loka.
Siapa tamu ayah itu, yah? tanya Pita Loka kemudian.
Namanya Dasa Laksana, bukan?

Betul. Dasa Laksana namanya. Kenapa?.


Tentuu tidak tiap nama watak manusianya sama. Ada nama Dasa Laksana yang
baik, ada nama Dasa Laksana yang busuk dan pengkhianat.
Tapi sepanjang firasatku, ini Dasa Laksana yang baik, ujar Ki Putih
Kelabu seraya mulai menikmati santapan malam.
Tampaknya ini hidangan istimewa, ujar lelaki tua itu.
Enak masakanku kali ini, yah?
Nikmat sekali.
Sekiranya tamu ayah itu juga menikmati hidangan, dia belum tentu akan
memuji seperti ayah, ujar Pita Loka.
Dia akan terkagum-kagum, memujinya dan akan bicara dalam hati: Inilah
gadis yang tepat menjadi ibu Rumah Tangga, ujar Ki Putih Kelabu.
Ayah memancing kegembiraanku! ujar Pita Loka.
Memang. Memang demikianlah tujuan pancinganku. Hidup ini merupakan sarana
harapan bagi setiap orang. Tapi sarana itu tidak layak ditumpukan pada diri
satu orang saja. Harapan tidak tunggal, tapi majemuk. Lelaki yang baik
bukan hanya seorang, tapi banyak.
Pita Loka gembira dengan bahasa perlambang yang diucapkan ayahnya itu, dia
yakin bahwa tujuan ayahnya begitu luhur dan baik.
Ketika Pita Loka asyik berbincang dengan ayahnya, waktu itu Gumara Peto
Alam sudah kembali ka rumahnya, dan membaca kembali Kitab Tujuh, yang
dimulainya pada Kitab Ketujuh.
Dia teliti intisari kitab itu, apa rahasia yang tersembunyi dari pengertian
kalimat demi kalimatnya. Tiba-tiba Gumara riang sewaktu dia yakin ada
sebuah kalimat yang berbunyi:
Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari.Sesungguhnya mencari
madu rahasia yang manis.
Jika kalimat ini disusun dengan kalimat sebelumnya, tidak punya arti. Juga
jika dikaitkan dengan kalimat berikutnya, lebih tak punya arti. Kalimat
berikut itu berbunyi;
Orang yang memakai terompah berkelahi
Tanda bukan pendekar pintar.
Maka, Gumara cepat membuka Kitab Pertama dan mengkaitkannya dengan kalimat

rahasia dan Kitab Ketujuh tadi.

Sesungguhnya ada sesuatu di lembah Suliram yang madunya asam berisi


kekuatan
Dan dibukanya pula Kitab Keenam untuk menemukan jalinan kalimat ini. Maka
ditemukannya kalimat yang berdiri sendiri, yang tak ada kaitan dengan
kalimat sebelum maupun sesudahnya. Kalimat di Buku Keenam itu berbunyi:
Kekuatan dari madu yang dijilati semut hitam
Membuka rahasia warisan Kerajaan Solaiman
Dan dengan tergesa penuh semangat dibukanya Buku Kedua dari Kitab Tujuh itu
untuk menemukan kalimat-kalimat rahasia. Dia menemukannya segera:
Selain kekayaan, orang gila pun dapat disembuhkan
Oleh semut yang mestinya dicari di guha itu.
Karena bersemangat, Gumara lantas membuka Kitab Kelima, yang dia temui lagi
kata-kata rahasia:
Kerajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan buta
Sungguh madu sama mujarabnya dengan sarang laba laba. . . .
Gumara lebih bersemangat lagi setelah menemukan Rahasia Kitab Kelima. Lalu
dibacanya dengan tekun pula Kitab Ketiga untuk mendapatkan rahasia. Memang
sedikit terdapat kesulitan. Tapi ketika dia menemukan kalimat : Tiga itu!
sebetulnya tiga rangkaian . . . . Gumara mencoba meneliti kembali berulang
kalinya kalimat itu semenjak awal pembacaan. Jadi,rahasianya, pikir Gumara,
dicari tiga rangkai kalimat. Itu ditemukannya pada susunan kalimat ditengah
kitab. Lalu dekat akhir kitab, lalu dipenghujung kalimat kitab tersebut.
Kalimat itu, jika dirangkaikan adalah:
Laba-laba yang membuat sarang melindungi isteri
isteri melindungi suami karena butuh keturunan
Keturunan menjamin kelangsungan dunia, periksa nama.
Kunci seluruh ilmu Kitab Tujuh, seperti diyakini Gumara adalah. Buku
Keempat. Begitu kalimat pertama dari kitab itu dia baca, dia sudah meyakini
diri arti nama dalam Kitab Ketiga dari kalimat rahasia itu. Sebab begitu
dia membacanya, dia sudah membaca sebuah nama
Yogandala bernyawa dari langit 12 sangga, lalu ditemukan pula kalimat:
Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia kisah ini, yang pasti bahwa Dwi Satya
itu sebuah nama pula.
Dan ditemuinya pula kalimat : Kekebalan otot Tri Abdalla,pagar perkasa

Dan ditemuinya kalimat; Seluruh pagar itu 17 baris terpujilah


yang ke 4, yaitu Nun, nama ikan.

Angka ini diperhatikan Gumara. Dia menghitung jumlah baris sejak dari Buku
Ketujuh, Kesatu, Keenam, Kedua, Kelima, Ketiga dan Keempat, kalimat rahasia
itu memang Tujuhbelas baris seluruhnya.
Untuk melaksanakan petunjuk tujuh buah kitab itu, agar Gumara merasa tertib
mengamalkannya, dia pun menyusun seluruh 17 baris kalimat rahasia itu. Agar
dapat ditafsirkan.
Maka diambilnya kertas, dimulainya urutan dari Kitab KeTujuh seluruh 17
baris kalimat rahasia itu:
Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari
Sesungguhnya mencari madu rahasia yang manis
Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram
Yang madunya asam berisi kekuatan
Kekuatan dari madu yang dijiati semut hitam
Membuka rahasia warisan kekayaan Kerajaan Solaiman
Selain kekayaan, orang g!!a pun dapal disembuhkan
Oleh semut yang mestinya dicari di guha itu
Kefajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan buta
Sungguh madu sama mujarabnya dengan sarang laba-laba
Laba-laba yang membuat sarang melindungi isterinya
Isteri melindungi suami karena butuh keturunan
Keturunan menjamin kelangsungan dunia, periksa nama
Yogandala bernyawa dari langit 12 sangga
Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia kisah ini
Kekebalan otot Tri Abdalla, pagar perkasa
Seluruh pagar itu 17 baris terpujilah yang ke-4, yaitu Nun,
nama ikan.
Kepala Gumara menggeletak di atas meja, menindih 17 baris yang ditulisnya
dalam keadaan capek dan mengantuk.
Paginya dia dibangunkan Alif yang menggedor pintu: Tuan Guru tidak
mengajar pagi hari ini?!
Mengajar! Mengajar! seru Gumara langsung bangun, menyusun seluruh kitab
dan mempersiapkan diri dengan bercuci muka, untuk pergi mengajar. Dan,
setiba di sekolah, dia didatangi oleh Pita Loka:
Apa yang Pak Guru pesankan pada saya, sudah saya laksanakan.
Baik, terimakasih, ujar Gumara.

Ayah mengundang anda untuk makan siang di rumah kami, Pak Guru, ujar Pita
Loka lagi.
Oh ya! Terimakasih.
Saya sendiri yang memasaknya tadi subuh.
Kalau begitu saya perlu datang, ujar Gumara.
Gumara asal ngomong. Sebab pikirannya tertuju pada keinginan untuk cepat
mengamalkan petunjuk Kitab Tujuh itu. Dia yang cerdas dan terang otak, dari
dulu ingin mengetahui pelbagai rahasia.
Ketika masuk kelas, dia ditanya oleh muridnya Ratna: Pak Guru kemarin
bolos karena mencari Harwati ya Pak?
Ditatapnya Ratna. Dia akan marah sebetulnya. Lalu dia ingat, berita ini
pasti diceritakan oleh Pita Loka akibat rasa cemburu dan bersaing. Dia
dengan tenang menulis di papan tulis:
FISIKA.
Hukum Brewster: Sudut polarisasi p, berhubungan index bias n seperti ini,
cos p = n
sinus p= n
ctg p = n
tg p =n
Setelah menulis itu, Gumara berkata: Salin yang baik di kitab rumus. Hidup
kalian pun akan becus apabila menyadari arti rumusan hidup, ini Fisika, yah
kehidupan Alam Semesta inipun diatur Tuhan dengan ilmu Fisika Ilahi,
mengerti kamu Ratna?
Ratna terdongak kaget, lantas malu tersipu.
Biarpun Ratna malu tersipu, dia memberi isyarat kepada Pita Loka. Pita Loka
lalu mengacungkan telunjuk:
Boleh bertanya, Pak Guru? Gumara menatap pada Pita Loka, lalu menjawab:
Tidak boleh.
Pak Guru kejam! kata Ratna,
Yang kejam itu kan fitnah. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kata
Gumara.
Jangan menyindir gitu, Pak Guru! balas Pita Loka.

Sudah, salin saja rumus itu, kata Guru Gumara.


Setelah itu, dia menerangkan pelajaran ilmu Fisika, dan beberapa contoh
mengenai rumus Brewster,
Sekarang, kita memasuki Bab baru, yaitu Medan Listrik, kata Gumara kepada
murid-murid itu.
Tentu mengenai Hukum Coulomb, kata Pita Loka.
Gumara kaget: Eh, darimana kamu tahu?
Masih di SMP saya sudah tahu.
Kalau begitu coba tuliskan rumus Hukum Coulomb, kata Gumara.
Pita Loka memperbaiki kacamata hitamnya, lalu meninggalkan bangkunya, lalu
menulis papan tulis. Dan dia pun menuliskan di papan tulis itu dengan
huruf-huruf jelas dan bagus:
Hukum Coulomb: F = K ql

q2

r kwadrat

Gumara menoleh: Betul, tapi kwadratnya jangan ditulis dengan huruf, tapi
angka, dan Pita Loka pun menghapus tulisan kwadrat menjadi angka 2 di atas
pojok huruf r.
Sebelum Pita Loka meninggalkan papan tulis, Gumara sempat bertanya perlahan
pada Pita Loka: Bagaimana keadaan matamu?
Buta, sahut Pita Loka dan kembali duduk di kursinya.
Dia tahu pertanyaan itu sekedar basa-basi belaka. Dan setelah tulisan Pita
Loka di papan tulis itu, Gumara menulis lagi dibawahnya beberapa sistim
mks, cgs, kuat medan listrik dan seterusnya beberapa rumus lagi.
Tapi ketika Gumara menuliskan itu semua, otaknya mengembara pada rumusrumus Kitab Tujuh, terutama Kitab Ketujuh yang kalimat rahasianya
berbunyi:Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari. . ., yang
dianggapnya adalah sebuah tempat.
Memang tak sulit bagi Gumara untuk memahami arti simbolis kata-kata itu.
Yang menjadi semut dalam tafsir kalimat itu adalah Gumara sendiri. Dia
harus mencari satu tempat, sebuah celah berbentuk lubang, tempat
terbenamnya matahari.

Celah itu tak lain dari dua ngarai yang bertemu ujungnya, disebelah barat
Kumayan ini, Dia harus ke sana . Celah itu bernama Ngarai Surya Mutih. agak
sedikit ke timur dari Lembah Gading.
Jika nanti sehabis makan siang di rumah Pita Loka aku terus berangkat ke
celah itu, aku bisa kembali malam ini juga dan besok tidak bolos, pikir
Gumara. Tetapi semua gerak tingkah Gumara mendapat perhatian khusus Pita
Loka. Dia ia tahu betul bahwa Guru Gumara bukan berada dalam kelas ketika
mengajar dan duduk menanti muridnya menyalin rumus. Tapi Guru Gumara sedang
mengembara dalam pikirannya ke satu tempat.
Pita Loka ingin sekali menanyakan apa hasil petualangannya semalam dan
kemarin. Tampaknya petualangan setelah ditinggalkan Pita Loka itu menemui
kegagalan. Gumara pasti tidak berhasil menaklukkan Harwati. Tapi di mana
Harwati, jika tak berhasil? Pita Loka tak mampu menjawab pertanyaan diri
sendiri ini!
Memang jam undangan itu sudah diperhitungkan Pita Loka, sebab antara jam 11
sampai jam 1 siang. Tak ada daftar pelajaran. Di sini kekurangan guru.
SMAnya pun masih dalam bentuk sekolah percobaan.
Tepat jam 11, Pita Loka mengingatkan lagi Guru Gumara:
Pak, jangan lupa sesudah jam 1 makan siang di rumah saya.
Saya tidak lupa, Pita Loka, katanya.
Dan memang Gumara tak lupa. Dengan bersepeda dia menuju rumah Pita Loka.
Tapi alangkah kagetnya dia, sewaktu dia melihat ada seorang tamu. Bukannya
karena tamu itu gagah. Bukannya karena tamu itu mengejutkan. Tapi karena
tamu itu membuat Gumara tercengang lalu menyalami, lalu berseru: Kamu ini
kan Yahya Laksana?
Ki Putih Kelabu, dan Pita Loka, tercengang.
Aku sekarang memakai nama Dasa Laksana, ujar Dasa Laksana.
Dia ini sepermainan bola dengan saya diwaktu SO di desa Tarab, kata
Gumara.
Sungguh merupakan pertemuan tak terduga. Kini beliau tamu saya, nak Gumara
Peto Alam, ujar Ki Putih Kelabu.
Kalau masih lama akan di sini, mampir ke rumah saya, Yahya, ujar Gumara
Saya cuma mampir untuk bertemu dengan Ki Putih Kelabu saja, Gumara,
Saya tahu, saya tahu, ujar Gumara.

Selesai bersantap siang, Gumara pamitan. Lalu pulang. Lalu pergi lagi...
Memang, segala sesuatunya kadangkala di luar dugaan manusia.
Gumara mengira bahwa pengembaraan untuk memulai kembali melaksanakan ujud
Kitab Tujuh amat mudah. Sebab kunci kuncinya sudah dia dapatkan! Padahal
tidak!.
Memang betul, dia tiba di bukit timur tatkala matahari hampir terbenam. Dia
duduk di rumput hijau bukit itu. Matanya menatap turunnya matahari menuju
celah yang bernama Ngarai Surya Mulih.
Dilihatnya dua ngarai itu puncaknya beradu. membentuk lingkaran bundar
sebagai celah. Lalu ketika matahari bulat merah, letak matahari itu tepat
pada lingkaran celah itu. Sehingga matahari itu tampak bundar.
Gumara gembira sangat! Gumara mendadak lupa untuk memperhitungkan jarak
antara bukit tempat duduknya sekarang dengan Ngarai Surya Mulih itu. Bukan
jarak yang bisa ditempuh sehari dua hari, Dan ia lupa bahwa besok dia harus
berada kembali di Kumayan demi tugas mengajar,
Dia mulai melaksanakan perjalanan itu. Karena penuh semangat, Gumara tak
sadar bahwa matahari baru telah muncul kembali. Hari telah jadi pagi!.
Barulah dia kini menyadari, bahwa perjalanan ini bukan sembarangan. Untuk
kembali? Tidak mungkin.
Pada hari pertama Gumara bolos mengajar, belum ada gunjingan. Juga pada
hari kedua, Tapi setelah hari ke lima Gumara tak hadir mengajar, gunjing
sudah merambat di SMA Kumayan. Bahkan seluruh desa Kumayan
mempergunjingkannya!
Dan Pita Loka terlibat untuk menjawab pertanyaan banyak orang dan guru guru.
Pita Loka dengan ringan menjawabi mereka: Kalian salah alamat. Aku tak ada
hubungan darah dengan Guru Gumara. Dia datang kesini, aku tak rugi. Dia
pergi dari sini, aku pun tak rugi.
Kini, Gumara telah seminggu dalam perjalanan. Tapi jarak yang ditujunya
dirasanya masih jauh lagi. Mungkin baru sepertiga perjalananlah yang baru
ditempuhnya. Dia mulai merasa lelah. Dia melihat ada beberapa pondok. Dia
ingin singgah di sini untuk beristirahat.
Melihat keadaannya, pondok-pondok itu cuma pondok darurat. Gumara melihat
beberapa lelaki saja ada di sana . Mereka berpakaian hitam. Begitu mereka
melihat Gumara, lelaki - lelaki itu mencurigainya. Mereka saling berbisik.
Gumara lalu membatalkan menginap di kawasan ini.
Lalu dia melanjutkan langkah. Mendadak saja, tanpa diduga, dia dicegat oleh

lelaki-lelaki berbusana hitam itu. Lagak mereka menantang. Mereka mengolokolok Gumara. Salah seorang dari mereka malahan menghalangi langkah Gumara,
dan menggertak:
Tuan berani lewat tanpa izin di kawasan ini, ya?
Baiklah. Saya minta izin melewati kawasan anda, jawab Gumara.
Wah, bukan begitu caranya, Tuan!
Jadi bagaimana yang baik? tanya Gumara.
Kami harus tahu tuan mau kemana?
Saya mau mengembara, ujar Gumara.
Sebutkan arah tujuan tuan!
Saya akan ke Ngarai Surya Mulih, ujar Gumara.
Kesana, mau menemui siapa?, tanya pembentak itu tambah ngotot.
Menemui siapa? tanya Gumara keheranan.
Sebutkan nama orang yang mau tuan temui, kata pembentak itu.
Kalian jangan bikin gara-gara. Lihatlah, saya bertangan kosong, tanpa
senjata, ujar Gumara yang mulai jadi geram.
Tanpa mau menyebutkan nama, tuan tentu bermaksud jahat kesana. Itu tidak
baik.
Lalu yang baik menurut kalian?
Yang baik menurut kami adalah melangkahi mayat kami dulu, baru tuan bisa
ke sana , ujar penantang itu.
Gumara menatap satu demi satu lelaki-lelaki itu. Tampaknya sudah komplit
semuanya, seluruhhya 23 orang termasuk yang baru muncul. Gumara
berpendapat, jika ditunggu mereka menyerang dan tambah kurangajar, ini akan
mengurangi kemampuan bertempur. Langsung saja satu tendangan menyuruk
menghantam rusuk penantang, diikuti sekelebatan berikutnya tendangan ke
samping dan kemudian ke muka dan kebelakang. Pada keadaan terdesak Gumara
terpaksa meloncat tinggi yang ketika turunnya menghantamkan tendangan belah
paha mengenai bahu dua musuhnya, Gumara mengambil acuan sejenak setelah
delapan orang menggeletak. Mereka tampak ketakutan.
Detik-detik ini musti dimanfaatkan. Seketika itu juga Gumara maju dua
langkah untuk melakukan tendangan lingkaran, tepat ketika segerombolan
mereka maju. Ujung kaki kanan Gumara yang melakukan tendangan putar itu

menampari satu demi satu kepala lawannya, sehingga sebelas orang mereka
jatuh menggeletak. Tinggal empat orang lagi. Mereka akan lari, tapi Gumara
cepat mencegatnya setelah dia lompat dari pohon ke pohon. Kini giliran
Gumara mencegat mereka.
Gumara menatap keempat orang itu tanpa bicara. Ketika keempat musuhnya itu
merasa ragu, ketika itulah Gumara menyapu dengan sambaran kaki kedua rusuk
lawan, dan menyergap dua orang lagi dengan membantinguya setelah berhasil
memegang kedua lengannya.
Seluruhnya, 23 lawan, dalam keadaan menggeletak, tak berkutik. Gumara
memang tidak membunuh mereka. Dia tidak keluarkan seluruh ilmu yang dia
punyai, kuatir kalau-kalau dibelakang mereka ada seorang Guru yang mungkin
memiliki ilmu yang lebih tangguh!
Di luar dugaan sama sekali, 23 lelaki berbusana hitam itu sudah muncul
menjelang malam tiba, sewaktu Gumara akan naik pohon untuk beristirahat
diantara dedahanan.
Kami belum jadi mayat, jadi tuan musti pulang, kata penantang berbaju
hitam, yang tadi juga.
Gumara mulai merasa geram. Dia tidak turun dengan begitu saja. Dia melompat
terjun, dan langsung berhadapan. Dia bagai dikurung oleh lingkaran
kehitaman. Kini Gumara yang menantang: Maju kalian, bangsat!
Pimpinan penantang itu,maju dengan langkah tegap. Lalu dia berdiri tegak.
Gumara menyikat dadanya dengan jurus pukulan Adam, menggedor dadanya.
Mestinya darah muntah dari mulut lawannya. Tapi ini tak terjadi. Bahkan
lawan itu tak bergerak seujung rambut pun. Gumara menyikat lagi dengan
pukulan sisi lengan disertai teriak. Lawannya tak berkutik. Lalu Gumara
menyikat dengan tendangan kaki dan hantaman deras menggedor dada lawannya.
Lawannya hanya tersenyum.
Gumara belum puas. Dia mengundurkan langkah, dan dia sapu silih berganti
seluruh lawan hitam yang melingkarinya bagai pagar hitam. Tak seorang pun
diantara mereka yang bergeser.
Tuan harus! menyerah. Kami semua kebal, kata yang maju pertama dan tak
mempan pukulan.
Saya tidak akan menyerah, ujar Gumara.
Gumara seketika diserbu mereka, dan ketika itulah Gumara membuang semua
nafas kecuali seperlunya bagi paru-paru. Pukulan dan tendangan mereka
seluruhnya membal, sehingga Gumara bangkit lagi dengan tetap tenang,
diserbu dan diterjang lagi oleh mereka, dan mereka membal bahkan
berbenturan tubuh satu dengan lainnya. Ketika itulah Gumara cepat melompat
ke pohon dikala lawannya tercengang keheranan. Gumara melompat dari dahan

ke dahan bagaikan seekor macan kumbang. Begitu cepatnya, sehingga mereka


tidak lagi melihatnya kecuali bekas-bekas asap.
Ketika Gumara tiba dipohon terakhir, dia disambut oleh terbitnya matahari
dari arah timur. Dari atas pohon itu Gumara menyaksikan sinar matahari
menimpa Ngarai Surya Mulih.
Masih jauh, ujarnya dalam hati. Dia tiba-tiba merasa heran, karena jarak
yang telah ditempuhnya selama delapan hari sepertinya tidak bertambah
dekat. Lalu kembali ingatannya pada 23 orang berbusana hitam.
Dia ingat, mereka menanyakan siapa yang akan ditemui!
Itu berarti ada seseorang di Ngarai Surya Mulih, katanya dalam hati. Dan
orang itu pasti seorang yang hebat. Jika demikian, mereka tadi itu adalah
pagar betis dari sang Guru.
Harusnya aku berbaik-baik pada mereka. Mereka ilmunya ilmu kebal, yang
mungkin dipakai mereka tanpa proses tapi sekedar tempelan, kata Gumara
lagi dalam hati. Tapi Gumara bukannya seorang yang semangatnya mudah padam.
Dia turun dari dahan dan melanjutkan perjalanan lagi.
Dan sore ini merupakan sore yang kesembilan dia menyaksikan bundaran
matahari senja bagaikan bola merah ketika berada tepat di Ngarai Surya
Mulih.
Dia melanjutkan perjalanan terus, sore, malam dan pagi serta siang. Dia
selalu diliputi rasa aneh, kenapa jarak ke Ngarai Surya Mulih itu tidak
berubah-ubah. Sepertinya masih dalam jarak pada hari yang pertama saja!
Di SMA Kumayan, sebulan setelah perginya Gumara, kelihatan Pita Loka berada
selalu dalam kelas jika jam istirahat tiba.
Dia belum melepaskan kacamata hitamnya. Tampaknya kebutaannya belum
berhasil disembuhkan ayahnya. Dua hari yang lalu ayahnya berpamitan
meninggalkan Kumayan. Biarpun Pita tidak diberitahu ayahnya ke mana, tapi
ia sudah yakin beliau mengajar ilmunya kepada Dasa Laksana.
Masih menjadi tanda tanya baginya hingga sekarang, siapa sebetulnya Dasa
Laksana? Apakah memang cuma kebetulan saja?. Karena ketika makan siang
terakhir bersama Guru Gumara, Guru Gumara menyebut orang itu dengan sebutan
Yahya Laksana.
Bukan Dasa Laksana. Untuk merasa curiga tak perlu. Perkenalan Pita Loka
pada tamu itu memberi kesan baik. Bahkan ayah tampaknya ingin menjodohkan
Dasa Laksana dengan saya, pikir Pita Loka.

Ternyata Pita Loka mengalami tekanan batin. Yang dia minta dari hidup ini

bukan sekedar pakaian badan, tapi pakaian hati. Hatinya akhirnya berontak
pada sikap ayahnya!
Dia tahu, hatinya memang terlalu mencintai Gumara. Seluruh yang terjadi
sejak perginya Gumara selama ini, baik dari dia maupun dari ayah semuanya
itu hanya pakaian badan, gengsi, dusta-dusta dan basa basi. Pita Loka
berontak!
Dia menunggu ayahnya sampai pulang setelah pergi selama semingu. Dia tunggu
dengan berdebar. Begitu ayahnya masuk rumah bersama Dasa Laksana dengan
serta merta Pita Loka berkata:
Saya bukannya ingin melawan ayah. Tapi saya ingin berterus terang, bahwa
ayah mewarisi ilmu harimau kepada tamu ini tidak dengan setulus hati. Pasti
ayah berdendam kepada Guru Gumara, supaya orang ini memiliki kemampuan,
Nanti dulu, Pita Loka, potong ayahnya.
Saya belum menyatakan seluruhnya, kata Pita Loka.
Silahkan, anakku! ujar Ki Putih Kelabu dengan wajah hiba.
Pita Loka menatap pada Dasa Laksana: Anda seorang lelaki, yang ingin
menjiwai sifat ksatria lewat ayahku. Mulanya saya yakin maksud anda baik.
Bahkan saya sudah siap sekiranya ayahku menjodohkan anda pada saya, saya
akan bersedia, itupun jika anda sudi mengawini gadis buta! Tapi tiba-tiba
saya meragukan kejujuran anda datang ke sini, Anda datang ibarat sebuah
misteri. Dibelakang anda ada tabir asap. Orang itu sengaja menyuruh diri
anda ke sini, karena tahu anda pemuda ganteng. Orang itu ingin agar saya
jatuh cinta pada anda, lalu setelah kita kawin dia akan merebut ilmu dan
seluruh tempat rahasia ayah saya, untuk dirinya! Saya kagum karena anda
berani memakai nama Dasa Laksana. Nama anda Yahya Laksana, lalu siapa yang
merubah nama anda?. Bukankah pendekar buntung yang namanya Dasa Laksana
yang mengutus anda ke sini?
Wajah Pita Loka beringas. Keringatnya menetes. Tamu itu terkesima penuh
keheranan. Ini membuat Pita Loka bangkit jengkel, lalu menyergap ikat
pinggang lelaki itu dengan tangan kiri, dan dia banting seketika itu juga.
Pemuda itu meringis menahan sakit.
Aku sama sekali tidak mengenal ilmu silat, katanya bangkit meringis. Ki
Putih Kelabu segera menengahi: Kamu jangan terburu nafsu, Pita Loka!
Penengahan ayahnya ini membuat Pita Loka menjadi kalap, lalu menghajar dada
Dasa Laksana, tapi karena dia menangkis dengan gerak refleks tinju itu
meleset, dan inilah yang membuat Pita Loka mengamuk dengan sergapan pada
pinggang lawannya dan dia lemparkan tubuh itu sampai menabrak pintu. Ketika
Pita Loka akan melompat menerjang, Ki Putih Kelabu terpaksa menyergap
punggung puterinya, dan dia balikkan tubuh Pita Loka dengan cara pembalikan
yang luar biasa cepatnya.

Hal ini membuat Pita Loka memeluk ayahnya dengan menyesal. Dia menangis
terisak-isak: Aku benci orang itu menipu ayah!

Aku benci ayah tergoda pada kegantengannya, padahal dia utusan Ki Dasa
Laksana, penganut ilmu iblis!
Dengar dulu, anakku. Kesabaran adalah bagian dari kependekaran. Kau bukan
sembarang orang. Kau murid dari Guru Besar Ki Surya Pinanti. Untung ayah
isi tubuh tamuku ini dengan sinar getaran, sehingga dia luput dari pukulan
mautmu. Jika tidak . . tentu kau akan jadi perkara polisi. Nah, maukah kau
mendengarku?
Mau, ayah, suara Pita Loka merintih menyesal.
Dia sudah kuteliti sebelum kuajar. Soal ayah berniat menjadikan dia
menantu, itu karena aku ini seorang manusia biasa. Dalam hal ini jangan
lihat ayahmu ini sebagai pendekar atau Guru. Tapi lihatlah sebagai manusia,
sebagai ayah yang ingin punya menantu. Tapi sekiranya kau tidak suka
padanya, ini tak dapat dipaksakan. Tak ada pohonan yang pucuknya ke bumi,
kecuali pucuk itu menghadap langit. Nah, minta maaflah pada tamu ini. Dia
bukan murid Ki Dasa Laksana. Namanya sama, karena kebetulan. Dia merubah
nama Yahya dengan ganti Dasa, itupun karena dia putera kesepuluh
orangtuanya. Dari sepuluh, supaya kau tahu!
Kalau begitu, ijinkan aku pergi, kata Pita Loka.
Kemana lagi?
Aku ingin menyembuhkan mataku yang buta ini, kata Pita Loka. Ki Putih
Kelabu mencucurkan airmatanya.
Semua sungguh diluar dugaan, anakku! Hidup ini ibarat pohonan yang banyak
cabangnya. Bukan cuma hanya persoalan cinta. Banyak lagi urusan kehidupan
selain cinta. Tapi jika kau sudah keras hati untuk pergi, mengingat
pengalamanmu yang banyak, terserahlah. Tapi sebutkan dulu arah tujuanmu!
Tujuan itulah yang tidak mau disebutkan oleh Pita Loka. Hati yang
memberontak itu sebenarnya bukan semata-mata karena rindu dan cinta. Hati
yang keras bagai baja iu berani memberontak karena menafsirkan mimpi. Mimpi
itu jelas, bagai hidangan tersedia. Mimpi itu bahkan sudah direkam Pita
Loka, dituangkan dalam bentuk tulisan di selembar kertas. Dan kertas itu
pun sudah dia simpan dalam kantung celananya. Bahwa petunjuk itu harus
malam ini juga dilaksanakan, juga sudah memantapkan hati Pita Loka.
Tentu kau berniat pergi bukan semata-mata karena kekesalan hati, anakku,
ujar Ki Putih Kelabu dengan air mata bercucuran.

Ucapan itulah yang saya kehendaki dari ayah, ujar Pita Loka.

Kau selalu mengamalkan ilmu Nabi Yusuf yang pandai menafsirkan mimpi.
Pergilah. Tapi jangan pergi dengan hati kesal. Berangkatlah dengan hati
yang bersih, Yang terlebih penting, jangan curigai muridku ini apabila
mengenai dirinya tidak tercantum dalam mimpimu, kata Ki Putih Kelabu yang
masih mencucurkan airmata.
Pita Loka menghatur sembah berlutut dihadapan ayahnya. Lalu dia menoleh
sejenak pada Dasa Laksana. Tanpa berkata. Kemudian dia pun berlalu menembus
malam yang gelap.
Perjalanan Pita Loka seakan akan perjalanan sebuah bintang dilangit yang
bergerak menuruti aturan alam. Tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak lamban.
Ketika pagi harinya ia tiba pada sebuah tempat, lalu didatangi oleh 23
lelaki berpakaian hitam, Pita Loka pun tidak terheran-heran. Karena hal itu
sudah dia perdapat dalam mimpi secara jelas. Laki-laki itu menghampirinya.
Memberi salam padanya. Lalu berkata: Dengan pakaian hitam tuan, kami yakin
tuan adalah Ki Buta.
Betul, sahut PitaLoka.
Kami ditugaskan mengawal tuan, ujar lelaki tadi.
Terimakasih, sahut Pita Loka.
Pita Loka lalu mengikuti pengawal di depannya yang berjumlah tiga orang. Di
kanannya dia dikawal oleh lima orang. Di kirinya lima orang. Dan di
belakangnya sepuluh orang. Dan perjalanan itu menjadi ringan bagi Pita
Loka, sekalipun pengawal-pengawalnya tidak mengucapkan sepatah kata.
Sesungguhnya perjalanan itu dahsyat. Langkah manusia biasa baru bisa
melangsungkannya selama 3 bulan, tepatnya 100 hari. Tetapi dalam pengawalan
23 lelaki tegap berbaju hitam-hitam itu, Pita Loka merasa benarnya kunci
rahasia yang diceritakan oleh lelaki tua dalam mimpi itu.
Anda akan dikawal oleh semut-semut hitam, ujar lelaki tua di mimpinya
itu.
Tetapi setelah berjalan kaki selama tujuh hari, para pengawal itu berkata:
Kami hanya mengantar sampai di sini. Tugas kami hanya sampai gerbang Surya
Mulih saja.
Pita Loka berkata: Terimakasih. Memang sampai disinilah tugas kalian.
Kalian harus kembali.
Setelah para pengawal itu pergi, maka hujan pun turun sehingga Pita Loka
merasa seperti dimandikan oleh alam. Curahan hujan itu baginya bagai sebuah

hadiah, ibarat diguyur supaya segar bugar dan mendapatkan tenaga baru
kembali!.
Baru Pita Loka menyadari, bahwa dia sudah melaksanakan amalan mimpi itu
tahap pertama. Seperti kunci yang disebutkan pak tua dalam mimpi, yang
bunyinya. Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari, Kini,
seperti sudah dicatat
Pita Loka, dia mestilah memasuki kunci pada kalimat kedua: Sesungguhnya
mencari madu rahasia yang manis.

Seketika alam pun cerah. Dan telinga Pita Loka mendengar bunyi lebah dari
suatu arah. Lebah itu keluar dari samping kiri tempat dia berdiri. Hal ini
bukan pengalaman baru bagi Pita Loka. Baginya lebah itu pernah menjadi
kawan. Bahkan jadi anak buah!.
Tentu disitulah isyarat adanya madu, Pita Loka menuju ke sana . Ketika dia
melangkah melewati semak, dia menghentikan langkahnya mendadak. Dia melihat
adanya jalan setapak. Lalu dia melihat semut-semut hitam yang beriringaniringan. Persis seperti mimpi, Pita Loka mengikuti semut-semut yang
beriringan itu. Itu semua sesuai dengan petunjuk pak tua dalam mimpinya
itu; Ikutilah perjalanan semut itu. Jangan injak dia, karena kamu sedang
mengamalkan tingkah laku Nabi Solaiman yang pandai berbahasa semut.
Lalu perjalanan semut itu ternyata sampai di mulut guha. Dua orang
berpakaian hitam menyongsongnya, persis seperti dalam mimpi,
Jika tuan adalah Ki Buta, maka tuan diperbolehkan masuk, ujar orang itu,
Kami akan mengawal tuan, Pita Loka menoleh, melihat semut-semut hitam
itu, memasuki guha itu.
Ketika Pita Loka memasuki guha itu, seketika itu juga perasaannya tenteram.
Seluruhnya sesuai seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Bila ada seorang
lelaki tua, berpakaian hitam, dikawal oleh dua orang kate, tahulah Pita
Loka, bahwa inilah orang yang dalam mimpi itu. Janggutnya yang panjang
hingga ke perut, kumisnya dan alis matanya yang putih itu, lalu kepalanya
yang diikat oleh selembar ikat putih . . . semuanya mirip mimpi.
Selamat datang di padepokanku, anak! ujar si tua itu.
Lalu beliau bertanya lagi: Apakah dalam perjalanan ke sini anda merasa
haus?
Tidak. Tuan Guru.
Memang itulah yang kuharapkan sebagai jawaban. Sebab jika kau menjawab
haus, maka itu berarti kau ingin minum. Kau akan kuberi madu. Tapi kau
tidak mendapatkan ilmu. Kau ke sini ingin mendapatkan ilmu, sekaligus

mendapatkan madu. Marilah aku tunjukkan padamu tujuh buah Kitab, kata sang
Guru.
Pita Loka bertanya-tanya kitab apakah itu. Ketika Kitab-kitab itu
diperlihatkan sang Guru, beliau bertanya:
Sudahkah kau melihat kitab semacam ini?
Rasanya pernah, kata Pita Loka.

Memang kitab semacam ini seluruhnya ada tujuh buah. Yang memilikinya
adalah harimau-harimau persilatan. Tetapi tentu ada salah seorang
pengkhianat yang melakukan petualangan untuk memalsukannya. Tapi kitab yang
pernah kamu lihat itu tentulah tidak palsu. Di mana kitab itu sekarang?
Pada seseorang, Tuan Guru. Tuan lebih dahulu mengetahuinya daripada saya,
karena saya tak usah menyebutkannya.
Memang di Kumayan kitab itu cuma satu. Karena itulah di sana bermukim
pemalsu kitab-kitab harimau itu. Salah seorang daripadanya adalah Ki Lading
Ganda. Kekacauan pernah terjadi tujuh puluh tahun yang lalu di sana ,
sampai-sampai orang mengira di Kumayan ada tujuh manusia harimau. Itu tak
benar. Tujuh puluh tahun lamanya orang-orang di sana terbuai oleh kitab
palsu, sehingga Ki Lebai Karat dan ayahmu Ki Putih Kelabu lantas turut
tertipu. Ini kesalahan orang tua mereka sendiri, ilmu yang benar bisa
berubah menjadi ilmu sesat, ananda!
Jadi, siapakah sebenarnya tujuh manusia harimau itu? tanya Pita Loka,
Keterangan itu baru dapat aku nyatakan empatpuluh hari yang akan datang.
Sekarang ini belum waktunya. Waktu sekarang ini hanya dipergunakan untuk
menyatakan kegembiraanku atas kedatanganmu. Selain itu saya ingin
memaparkan kisah yang tidak pernah diungkapkan oleh ayahmu, begitu pun Ki
Lebai Karat maupun Ki Lading Ganda dan beberapa orang mengaku Ki yang
semuanya palsu karena kekacauan akibat kitab-kitab tujuh yang palsu, Memang
ada beberapa orang yang pantas menyebut dirinya Guru. Tapi diakhirnya
menjadi Guru yang kencing berdiri. Akibatnya, muridnya kencing berlari. Itu
sudah jelas dalam pepatah.
Biarpun pada mulanya Ki-ki atau Guru-guru itu semuanya ada juga yang becus,
tapi karena dikacaukan oleh persaingan dan munculnya kitab palsu, maka
munculah murid - murid yang sesat. Dari telapak kakimu aku tahu, bahwa
telapak tebal itu merupakan bukti kau bekas pengembara. Kau pun telah
memetik berbagai ilmu yang baik-baik, tapi juga ada kau alami ilmu yang
sesat. Karena kamu ini ibaratnya emas dan bukan loyang, sekali waktu
keemasanmu akan muncul kembali. Seperti ketika kau datang ke sini, karena
menyadari kelebihanmu yang dahulunya dipunyai beberapa Nabi termasuk Nabi
Yusuf. Yaitu kelebihan menafsirkan mimpi.

Beliau menatap Pita Loka dan berkata; Jangan mungkir, kini kau mulai
haus,
Betul, tuan Guru!, ujar Pita Loka.
Sebuah kendi diambil orangtua itu, yang masih belum menyebut namanya. Dua
mangkok batok kelapa yang amat bersih ditaruhnya didepan dengkulnya dan
didepan dengkul Pita Loka.
Keduanya duduk bersila berhadapan. Lalu dari kendi itu dituangkan zat
kental ke mangkok. Lalu diambilnya kendi lain. Kendi itu dituangkannya ke
mangkok, dan cairan wangi masuk ke mangkok. Guru itu berkata; Inilah madu
rahasia, yang cuma ada di sini, untuk ikut menikmatinya. Kejadian ini
tersurat pada Kitab Ketujuh, di mana ada kalimat rahasianya berbunyi;
Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari. Sesungguhnya mencari
madu rahasia yang manis! Nah, silahkan anda meminum rahasia madu itu
hingga habis. Beberapa guru sudah kau temui, beberapa ilmu sudah kau
pelajari dan dapati, tentu kau lelah. Inilah hiburan bagimu, . . ayoh,
silahkan minum!

Belum pernah Pita Loka menemukan lelaki tua yang suaranya begitu meresap
seperti beliau. Orang banyak berbicara biasanya mudah menjemukan. Orang
yang banyak berbicara biasanya ilmunya sedikit. Tapi inilah orang tua yang
banyak bicara yang membuat pendengarnya terlena. Dan mungkin ilmunya
tersembunyi dibalik lidahnya.
Biasanya seorang guru langsung memberikan pelajaran bila dia berkenan pada
calon murid. Tetapi sudah seminggu lamanya Pita Loka di padepokan ini, tak
ada satu pun latihan atau ujian, kecuali hanya menjadi pendengar ucapanucapan sang Guru. Ceritanya sudah panjang, mengenai tujuh generasi guruguru pendekar sebelum generasi beliau. Tapi beliau belum menceritakan siapa
diri beliau.
Bolehkah saya menyela sedikit cerita Tuan Guru? Karena saya ingin sekali
mengetahui siapa Tuan Guru! kata Pita Loka hari itu.
Sudah kujanjikan, pada hari ke- 40 nanti, kuberitahu siapa saya, kata
sang orangtua, lalu dilanjutkan: Apakah kau sudah bosan mendengar sejarah
para pendekar?
Tentu saja tidak. Malahan saya sepertinya tercekam sehingga saya tidak
sabar lagi untuk mendengarkan kisah mengenai diri tuan guru sendiri, kata
Pita Loka.
Kalau kini kau sudah tujuh hari mendengar sejarah para pendekar, itu
berarti 33 hari lagi kau akan kujamu mendengarkan cerita. Di sini semua
makanan manis, semua cerita mengenai hal - hal yang indah dalam dunia
kependekaran. Ceritaku yang terakhir sebelum engkau menyela dengan

pertanyaan adalah mengenai riwayat moyang-moyangmu dahulu dari pihak


ayahmu, Ki Putih Kelabu. Cerita yang hebat, bukan? tanya sang guru.
Hebat sekali, kata Pita Loka.
Kehebatan itu puncaknya pada riwayat Ki Giri, yang berwasiat pada
puteranya si Pesut: Hai Pesut, lestarikanlah ilmumu ini pada turunamu itu.
Sampai dia sempurna mendapatkannya dari kau. Setelah itu barulah kau mati
dengan puas. Tapi aku menduga, si Pesut justru tidak mewariskan ilmunya
pada turunannya, karena dia takut mati. Maka anaknya mengembara kian
kemari, haus ilmu, dan berpuluh guru sudah dijajakinya. Begitu pun nasib si
Lele. Ki Loya sudah memesankan pada puteranya, si Lele itu;
Lestarikanlah ilmu yang kuwarisi padamu, kepada turunamu kelak!
Siapa si Pesut dan si Lele ini, tuan? sela Pita Loka.
Tunggulah. Bersabarlah, masih banyak lagi hari untuk mengungkapkan ini
semuanya, ujar sang Guru yang begitu simpatik jika menjawab.
Lalu beliau melanjutkan: Marilah kulanjutkan nasib si Lele tadi, yang
kuatir mati jika ilmunya dia wariskan pada turunannya, secara menyeluruh,
karena takut mati.
Memang dia berbakat untuk menjadi Guru Besar. Tapi karena takutnya pada
mati, maka dia akhirnya mati dua kali. Saat saya bercerita ini, orang itu,
si Lele itu, sudah sampai beritanya ke sini bahwa dia sudah mati. Namun si
Pesut belum. Dia sibuk mewariskan ilmunya pada turunannya yang lain, dari
perkawinannya diam-diam pada seorang wanita lain.
Pita Loka mendengarkan terus dengan tekun melalui hari-hari yang indah,
manis, dengan suguhan minuman madu yang membangkitkan kekuatan pada
tubuhnya.
Memasuki hari ke-39 di padepokan orangtua tak dikenal itu, Pita Loka
bertanya: Jadi, setalah tuan berkisah tentang si Talam Pendekar Pedang,
yang mewariskan pada puteranya dua buah golok kembar, Tapi puteranya itu
selalu keburu nafsu sampai mendapatkan Kitab Tujuh yang palsu itu, saya
mengerti bahwa orang inilah Ki Lading Ganda. Saya juga menduga, ilmu
harimau yang beliau punyai itu adalah bagian yang sesat. Saya pasti
sekarang, memang betul dia bukan salah seorang dari Tujuh Manusia Harimau
yang selama ini mengelabui masyarakat Kumayan. Juga saya sedikit mengenal
siapa si Pesut maupun si Lele. Bukankah si Lele yang tuan maksud itu adalah
Ki Lebai Karat?
Lele, Pesut ataupun Kampret, semua itu nama panggilan mereka ketika
kecil, kata orangtua itu.
Ketika anda kecil, Tuan Guru, nama panggilan anda siapa?

Lalu dalam keadaan sudah memegang padepokan ini, tentu anda punya nama
tersendiri. Bolehkah saya tahu? tanya Pita Loka.
Sejenak lagi matahari terbenam, akhir hari ke-39 aku menceritakan sejarah
dunia kependekaran padamu. Tak sabarkah ananda menunggu sekali lagi
matahari terbenam? tanya sang Guru ramah.
Barulah setelah matahari terbenam, tanda masuk ke dalam hari ke-40 tanpa
diminta, sang Guru berkata, Akulah Ki Tunggal!.
Pita Loka tercengang. Bukankah sudah ada pula Ki Tunggal di Bukit Tunggal?
Ki Tunggal memahami keterkejutan Pita Loka. Lalu beliau berkata: Aku tahu
mengapa ananda terkejut. Karena Ki Tunggal yang pernah kaudengar adalah
yang menghuni Bukit Tunggal, yang pernah tergoda oleh wanita bernama Senik
Permatasari, yang hanyut di sungai lalu ditolongnya, Ia lupa pada
sumpahnya, bahwa ia tak berhak memakai nama itu, lalu dia lupa juga pada
sumpahnya agar tak tergoda oleh sex. Dua kesalahan besar dia sudah perbuat.
Memakai nama yang bukan jadi miliknya. Memakai wanita yang bukan harus
miliknya. Dua- duanya adalah kesalahan utama, anda!
Bagaimana dengan Si Pesut? tanya Pita Loka,
Kelebihanmu adalah dalam hal Rasa. Aku balik bertanya: Apa peraaanmu,
nak?
Perasaanku, Si Pesut adalah ayahandaku, ujar Pita Loka.
Memang inilah penutup pengembaraanmu, Kau hanya dapat madu, ini zatnya,
kemanisannya, dan ceritanya,
Tuan tidak berkeberatan menyebut siapa - siapa Tujuh Manusia Harimau itu?
Aku bukan berkeberatan. Tapi yang boleh engkau ketahui adalah, bahwa aku
Ki Tunggal, pemilik salah satu Kitab serta kuncinya, dari tujuh kitab itu.
Aku pemilik Kitab Ketujuh. Aku adalah yang tertua dari Harimau Yang Tujuh.
Nah, ilmu sudah kamu dapatkan sepertujuh dari ilmu yang kau cari.
Selanjutnya carilah sendiri olehmu enam ilmu yang lain melalui kelebihanmu
dalam rasa. Malam ini kau masih diperkenankan menginap di sini. Tapi aku
bukan mengusik atau ingin mengusirmu. Jika masih betah, tetaplah di sini.
Jika hati terpanggil oleh katajaman rasa, silahkan mengikuti panggilan Rasa
itu.
Terima kasih atas segala madu dan kisah madu yang manis dari tuan selama
saya berguru 40 hari.
Kalau ototmu tak bergerak selama di padepokanku, itu sebagai masa
istirahat otot itu.Barangkali kau mahfum, bahwa kalau otot yang sudah
diliburkan, pasti akan mengalami tugas berat.

Tugas berat? Jadi sekeluar dari padepokan Surya Mulih ini saya akan
berjuang dengan otot?.
Pertanyaan anda adalah jawabannya, kata Ki Tunggal bernada damai. Memang
hati Pita Loka sedikit damai karena nada yang damai itu.
Lalu dia mohon diri untuk tidur ketempat yang sudah disediakan. Malam itu
dia tidur dengan penuh tanda tanya sebelum matanya terpejam. Namun dia
bermimpi juga setelah perjalanan tidurnya benar-benar dalam ketenangan,
Dalam mimpi itu dia diberitahu oleh seorang lelaki tua dengan ikat kepala
putih, yang muncul dengan meneteskan air mata . Jangan ananda heran, jika
esok matahari kelam karena terjadinya berita duka dikawasan Surya Mulih.
Itu isyarat, bahwa tuan harus melanjutkan perjalanan menuju Lembah Suliram
menemui saya. Perhatikan selalu semut-semut hitam sebagai petunjuk tempat
saya, dimana di sini akan saya jamu dengan madu asam. Saya pesankan, jangan
hiraukan orang yang menegur anda. Baik orang yang anda kenal, atau belum
anda kenal. Kalau hal ini anda langgar, lenyaplah kesempatan anda untuk
mendapatkan Kitab Kedua, sampai jumpa di Lembah Suliram.
Lantas Pita Loka terjaga dari mimpi itu. Pesan orangtua dalam mimpi itu
diingat-ingatnya. Ketika itu Pita Loka mendadak merasa jantungnya
bergoncang hebat, seperti akan mati. Tak lama kemudian dia mendengar suara
orang menjerit, diikuti oleh suara tangisan banyak orang. Akhirnya
padepokan dalam guha itu diliputi tangis yang riuh rendah. Apa yang telah
terjadi?.
Pita Loka lalu menyingkapkan tirai yang membatasi kamarnya. Dan dalam
samar-samar dia melihat satu tubuh di tengah ruangan, dikelilingi oleh
banyak orang. Lalu ada wanita tua bermata sembab mendatangi Pita Loka.
Beliau berkata: Aku Nyi Tunggal, isteri beliau yang barusan wafat. Kami
harap anda jangan pergi dan ikutilah peristiwa penguburan beliau. Maukah
tuan menginap 40 hari lagi sampai kawasan ini lenyap dari hari
berdukacita?
Pita Loka tajam rasa. Dia ingat pesan mimpi itu. Dia tidak boleh meladeni
orang bicara dengan sepatah katapun. Dia hanya diam. Nyi Tunggal heran dan
bertanya: Kenapa anda diam, tuan?
Pita Loka tidak menjawab sepatah kata pun. Dia hanya menyingkir
meninggalkan orang yang semakin banyak berkumpul melihat jenazah Ki Tunggal
yang berada ditengah-tengah ruangan. Lalu dia melangkah di pagi buta itu
meninggalkan gerbang Ngarai Surya Mulih. Benarlah, seharian perjalanan itu
dia tidak melihat munculnya cahaya matahari, karena alam sekeliling
diliputi mendung. Pita Loka melangkah terus dalam tujuan yang mantap ke
arah timur, tempat terbitnya matahari. Mendadak muncul lalaki-letaki
berpakaian hitam. Mereka menegur Pita Loka, tapi Pita Loka terpaksa diam,
meneruskan perjalanan.
Dua puluh tiga lelaki berpakaian hitam itu lalu memaki-maki Pita Loka: Uh,
sombongnya kamu! Orang buta tidak membalas guna!

Pita Loka mendengar maki-makian itu. Tetapi dia tidak menoleh, apalagi
menyahuti. Sekiranya dia berkata sepatah kata saja, seluruh tujuan
pencaharian ilmunya menjadi batal.
Hari demi hari Pita Loka melangsungkan perjalanan menuju Lembah Suliram,
Tetapi hari demi hari Gumara juga dengan tekun selalu mau menuju ke arah
Ngarai Surya Mutih. Tapi selalu saja dia merasa perjalanannya tidak menemui
kemajuan. Bahkan dia tidak berjumpa dengan satu manusia pun.
Dan hari ini, dalam penderitaan yang tak dirasuki putus asa pula, Gumara
melihat satu noktah hitam diantara kehijauan padang rumput. Dia melihat
titik hitam itu nenuju ke arahnya. Gumara bukan kepalang gembiranya, ketika
matanya melihat dengan yakin bahwa itu manusia.
Gumara tidak cuma menunggu. Tapi dia menyongsong, Bahkan kecepatan
langkahnya maju itu bagaikan setengah berlari. Makin dekat noktah hitam
itu, semakin yakinlah Gumara bahwa manusia yang menuju bersongsongan
dengannya itu adalah seorang wanita.
Tapi kemudian dia tercengang, karena setelah dilihatnya, ternyata itu tak
lain adalah Pita Loka.
Pita Loka! seru Gumara gembira.
Pita Loka agak tercengang juga beberapa detik. Dia tahu itu Gumara.
Pita Loka! Darimana kau? Gumara girang menyongsong. Tetapi Pita Loka
tetap meneruskan langkah tanpa menoleh sedikit pun.
Hai, Pita Loka, kenapa kau begini angkuh? Apakah kau bukan Pita Loka?
Pita Loka tetap meneruskan perjalanan. Dan Gumara tetap menguntitnya dari
belakang. Pita Loka mendengar lagi suara Gumara dibelakangnya:
Mungkin kau bukan Pita Loka! Mungkin kau semacam iblis penggoda! Dan
Gumara berlari, tidak lagi menguntit. Kini dia mencegat. Dia kelihatan
menjadi marah!
Berhentilah, Pita Loka! Kau memang Pita Loka! ujar Gumara.
Dan melihat sikap tutup mulut Pita Loka, Gumara lalu jadi geram. Dia ingin
tahu darimana Pita Loka!
Tolonglah aku, Pita Loka! geram Gumara berkata sembari menghadang,
Hadangan Gumara itu membuat langkah Pita Loka terhenti sejenak. Hampir saja
dia marah karena dihadang itu! Dan itu bisa saja membuat dia berkata-kata.
Untung dia segera ingat, bahwa cobaan menyongsongnya dalam perjalanan ke
Lembah Suliram ini, Pita Loka mengatur pernafasan, dan dia meloncat
melampaui kepala Gumara, tetapi ujung kakinya dengan cekatan disambar oleh

Gumara. Pergumulan melepaskan diri terjadi. Dengan menggeliat sembari


menahan diri agar tak keluar sepatah kata maupun teriak, Pita Loka
berjungkiran dan Gumara pun ikut berjungkiran karena tidak hendak
melepaskan pegangannya. Untaian dua tubuh yang berjungkiran dengan tenaga
maksimum itu sempat membuat burung-burung bangau yang sedang membuat sarang
beterbangan. Saking sama keras hati dan sama kuat tenaganya, untaian dua
manusia itu berketerusan berjungkiran, sampai menabrak sebuah pohon wuni
yang seketika itu juga roboh dengan akarnya mencuat ke arah langit. Namun
Gumara terus mencekal pegangan-nya, dan Pita Loka terus membuat dirinya
jumpalitan, membuat diri Gumara pun ikut berjumpalitan.
Tetapi ketika tubuh Pita Loka sempat menabrak pohon jambu mede, dengan
cekatan dia pegang dahannya,dan dia membuat gerak balik jumpalitannya,
sehingga Gumara lepas pegangan, malahan dia terlempar jauh ibarat batu
ketapel lepas dari sarangnya.
Tubuh Gumara menabrak satu bukit kapur yang rendah, dan terciptalah kepulan
debu putih. Gumara berusaha melepaskan dirinya yang terperosok pada dinding
bukit kapur itu, sekuat tenaga sampai lepas. Dia berusaha mengejar Pita
Loka yang sudah melakukan langkah seribu. Gumara memegang beberapa pohon
sehingga menciptakan kumparan asap, tetapi bila Pita Loka dalam lari seribu
itu menabrak pohon, maka terciptalah api yang membakar dan menghanguskan!
Sungguh tidak akan terduga peristiwa ini akan terjadi. Terbakarnya beberapa
pohon yang dilintasi Pita Loka itu pulalah yang menjadi petunjuk jalan bagi
Gumara untuk terus mengejar Pita Loka.
Saking digebu oleh semangat limbubu, Pita Loka tidak menyadari dia
menghadapi tebing didepannya. Tubuhnya melayang bagai bola api, lalu jatuh
di sebuah lembah, namun Pita Loka sudah sempat melakukan gerak pijakan
bangau yang tidak begitu mencecah bumi lembah . .
Padepokan Saba Langit terpana beberapa detik menyaksikan Pita Loka yang
muncul dengan sikap siap tempur. Ki Saba cepat meneriakkan komando: Serbu
orang sok pendekar itu!
Pita Loka membalik tubuh. Dia hadapi para penantang itu. Dalam sekelebatan
terjadi pertarungan dahsyat. Tetapi Pita Loka seketika itu juga mengetahui,
bahwa ilmu para penyerang itu barulah sebatas ilmu Angin.
Ternyata mereka semua kebal! Tendengan demi tendengan kaki Pita Loka tidak
membuat dada yang terkena gedoran telapak kaki Pita Loka itu membuat muntah
darah. Cuma baju meraka terbakar dan hangus. Bahkan satu tendengan pusar
api yang dilimbubukan kaki Pita Loka, hanya membuat lawannya berteriak
karena seketika bajunya terbakar semuanya.
Ki Saba naik pitam gara - gara melihat muridnya terbakar, kendati cuma
bajunya saja. Pita Loka musti menghindari diri dari pantangan sampai
melihat kemaluan lelaki telanjang itu, dan akibat kelengahan inilah dia
kena sergap tendangan patok kobra, bertepatan sasaran kaki Ki Saba itu

mengenai matanya yang buta.


Pita Loka menghindari diri dengan bergerak lari ke samping mengingat dia
merasa matanya seakan bengkak. Ki Saba merasa dirinya menang. Dia sudah
bertekad untuk menghabisi nyawa lawannya. Dia meloncat dengan tujuan
geprakan dua pahanya menghanyut leher Pita Loka, tetapi malahan Ki Saba
mendadak jatuh tersungkur sebelum kedua kakinya menggeprak leher Pita Loka.

Pita Loka tidak sempat memperdulikan hal itu, sehingga dia tidak tahu bahwa
serangan Ki Saba tadi dijagal oleh Gumara. Barulah dia tahu sehabis matanya
yang perih dia gosok-gosok dengan lendir langit-langit mulutnya.
Hampir saja dia emosi untuk menjerit melihat Gumara yang ditendang habishabisan sampai tunggang langgang oleh Ki Saba. Kejadian inilah yang membuat
Pita Loka harus melakukan pilihan. Melihat kaadaan Gumara yang parah itulah
muncul sikap kependekarannya. Dia sapu habis dengan tendangan dan pukulan
yang menerbitkan api seluruh murid Ki Saba, sampai seluruhnya
bergelimpangan. Lalu kini giliran Ki Saba dia hunjam dengan pukulan yang
menerbitkan api hingga rambutnya terbakar. Ki Saba berteriak melolong, tapi
Pita Loka menyapu tendengan api yang sekaligus membuat bajunya bernyalanyala.
Ki Saba melolong berlari kian kemari. Kemudian karena kalap, Ki Saba
melompat ke kali. Dia hanyut dalam keadaan masih terbakar.
Pita Loka melanjutkan perjalanan memanjati tebing dan kemudian
menghilanglah dia tanpa bisa diikuti lagi jejaknya. Gumara dengan susah
payah mengikuti arah Pita Loka. Tetapi dia tak bisa mengejar waktu! Pita
Loka tidak tampak olehnya lagi.
Namun Gumara tidak merasa putus asa. Setidaknya bau daun hangus itulah
pedomannya mengikuti jejak Pita Loka. Dia tanpa ragu meneruskan perjalanan
yang semula terhuyung tapi kemudian stabil kembali, lincah kembali.
Pedomannya selalu bau daun hangus kesitulah langkahnya menuju.
Memang ini pengejaran teramat sulit Dan hampir membuat Gumara putus asa
karena tak megenali hutan rimba belantara yang dilewatinya.
Mendadak langkahnya terhenti karena dia mendengar dentingan bunyi pedang
baradu. Dan sewaktu dia melihat itu pedang berekor nyala api membersut ke
udara, tahulah dia bahwa Pita Loka sedang menghadapi musuh baru lagi.
Jiwanya penuh kobaran untuk membela Pita Loka andaikata pertarungan itu
memang sengit.
Memanglah sengit!
Senjata cakra berdesing menuju sasaran Pita Loka yang tegak berdiri dengan
kedua tangan menolak luncuran bola berduri yang diarahkan padanya. Tiap

bola duri itu menerjang telapak tangannya, suara berdenting kedengaran.


Bola duri itu kembali membawa ekor api menyala! Gumara melihat tiga
pendekar yang jadi lawan Pita Loka. Ketika dia melihat sebuah pedang
terbakar sedang tersangkut didahan pohon, Gumara langsung meloncat
menyambar pedang berapi itu. Dan dengan senjata itulah dia maju menyerbu
tiga pendekar itu, bagai membabi buta dia tebaskan senjata itu yang membuat
leher mereka putus satu demi satu. Tiga kepala bergelindingan. Dan sebuah
kepala terbakar terkena sejata cakra bola berduri itu, yang menggelinding
di tanah dan beradu dengan kepala itu.

Tapi Gumara tercengang, masih ada tujuh pendekar lagi yang semuanya sudah
mati, dalam keadaan tubuhnya tercucuk dahan pohon satu demi satu . . .
Rupanya mereka korban serangan Pita Loka!
Ketika Gumara menoleh ke arah tempat tadi Pita Loka berdiri, dia tak
melihat lagi apa-apa disana, kecuali beberapa semak terbakar. Yah, tentu ke
sana pula Gumara harus menuju!
Sialnya, hujan lebat pun turun. Dan malam pun tiba!. Yang dikejar dan yang
mengejar sudah berlawanan arah. Pita Loka sudah berbelok ke timur, dan
Gumara sudah menjurus ke barat. Hujan yang lebat semalam suntuk itu pun
masih saja berupa gerimis ketika matahari terbit di pagi hari.
Barulah jelas kini, bahwa Pita Loka telah mengamalkan mimpinya dengan
tekun, menyusuri padang yang amat luasnya. Sehingga matahari pagi itu
diantara hujan gerimis itu tercipta bagaikan sebuah bola yang kuning.
Kesendirian pendekar buta itu begitu jelas. Dia laksana semut hitam yang
merangkak di atas permadani hijau kekuningan yang basah, laksana semut
hitam berjalan di atas sebuah kaca. Suara telapak kakinya yang berbunyi
menggerus-gerus di atas beceknya rumput memecah keheningan pagi tanpa suara
margasatwa.
Langkah Pita Loka terhenti ketika dia berpapasan dengan seseorang. Orang
itu lelaki tua yang mirip seperti tampak dalam mimpi. Lelaki tua itu
menegurnya: engkaukah pendekar wanita buta itu?
Hampir saja Pita Loka menjawab dengan sepatah kataYa, tapi untunglah dia
ingat.
Aku Ki Liram, yang tahu bahwa anda buta sebelah mata. Aku bertugas
menyongsong kedatangan anda sebelum anda sampai ke Lembah Suliram. Tugasku
memoleskan madu asam untuk menyembuhkan kebutaan anda!.
Pita Loka tardongak. Dia yang buta, dan ingin menyembuhkan kebutaannya,
menatap ke mata si tua itu, Hampir dia menyemburkan ucapan gembira karena
gandrung disembuhkan, sekiranya dia tidak melihat seringai senyum lelaki
tua itu. Seringainya itu menampakkan taring yang mengerikan, yang seketika

itu juga membuat Pita Loka dalam sekejap mata sudah mengeluarkan tendangan
mengenai dada si tua itu, yang sekaligus menciptakan asap akibat hangusnya
baju orang itu. Biarpun tendangan itu keras dan menimbulkan kehangusan,
orangtua itu tetap berdiri tegap sedangkan Pita Loka terjungkir jatuh.
Ketika Pita Loka bangkit lagi, orangtua yang wajahnya sangat mirip dengan
mimpinya itu berkata lagi; Akulah Ki Liram, yang mendapat kehormatan
manyembuhkan matamu. Lihat apa ditanganku ini. Sekendi madu. Hanya ini yang
aku bawa; madu asam penyembuhan kebutaanmul
Pita Loka tardiam beberapa detik

Dia teringat petuah Ki Tunggal di padepokan Surya Mulih, bahwa kelebihan


dirinya adalah Rasa. Ketika itu kebetulan gerimis berhenti. Melalui ajang
rasa dalam batinnya, tampaklah tua itu bermata licik, penipu.
Dan .... ketika si tua itu menunjukkan kendi yang katanya berisi madu obat
buta itu ..., mau memperlihatkannya pada Pita Loka ... kendi itu langsung
ditendang olah Pita Loka, Kendi itu pecah!. Dari dalamnya meloncat ular
tanah belang kuning. Bukannya madu!
Kasempatan ini digunakan Pita Loka dengan menganjut pukulan sisi lengannya
yang dahsyat bagai liuk-liuk ombak dahsyat disapu angin taufan. Dengan
serta merta diteruskan dengan sapuan tendangan angin limbubu yang membuat
si tua penipu itu jungkir balik. Lalu jatuh mencium bumi, yang kepalanya
ikut masuk terbenam hingga leher. Pita loka yakin si tua itu sudah mampus.
Tapi dia lupa, gelembung - gelembung udara yang muncul dari sisi air hujan
adalah bukti bahwa dia belum mati. Dan masih bernapas!. Salahnya, Pita Loka
sudah melanjutkan perjalanannya di pagi yang permai itu.
Maka sampailah Pita Loka pada suatu perkampungan. Ia tak kenal dengan
perkampungan itu. Ada pasar. Ada orang berlalu lalang. Ada orang yang
sedang berteriak menawarkan sapi. Dan Pita Loka melewati pasar itu dengan
kepala menunduk. Sapi itu mengoak. Di sini Pita Loka mulai syak wasangka!
Jangan-jangan ini bukan pasar. Jangan-jangan ini semuanya pandangan palsu
yang disulap oleh jin-jin.
Pita Loka melanghah hati-hati. Penduduk perkampungan ini semuanya tampak
ramah. Dia mendengar tawaran orang di warung-warung yang berseru; Mampir,
mampir sarapan pagi di warung kami, Ki Butal
Langkah Pita Loka terhenti. Dengan sebelah mata Pita Loka memandang
sekeliling, sekaligus dia melepaskan dirinya dari seluruh pemandangan yang
dilihatnya. Dia seakan-akan jadi ringan bagai balon yang meninggalkan bumi.
Lalu dia menghempaskan kaki ke bawah. Gedebug! Setiba kaki di bumi seluruh
perkampungan tadi lenyap!

Yang ada lelaki tua yang ramah, menyongsongnya, membawa sebuah mangkok
seraya berkata, Inilah madu obat buta matamu, nak! Kau tadi telah ditipu
oleh seorang yang mengaku Ki Liram, bukan? Ah, dia orang jahat yang akan
menyerap ilmumu yang tinggi!
Orang tua yang menyongsongnya itu mengacungkan mangkok berisi madu yang
menyebarkan bau madu yang wangi
Tanpa tunggu lagi, sekalipun dimulai dengan senyum yang manis ..., Pita
Loka menyambut mangkok madu itu seperti akan meminumnya. Tapi malahan
disiramkannya mangkok madu yang harum itu ke muka si tua itu! Muka itu
hancur bagai gumpalan daging busuk terkena air raksa. Pita Loka melihat
orang itu melolong jungkir balik menahan rasa sakit. Pita Loka hanya
tersenyum setelah membuang mangkok. Warna kemerahan air raksa itu masih
berupa sisa yang mirip air di atas daun keladi, Pita Loka tentu tak
mengucapkan sepatah kata.
Tapi senyumnya itu adalah sikap puasnya. Dia yang menguasai ilmu Fisika
tahu betul bau air raksa, sekalipun dipoles oleh madu.
Rupanya, inilah kemenangan puncak bagi Pita Loka. Ketika orang tua penipu
itu melarikan diri dalam keadaan jungkir balik menahan rasa sakit, dia
diikuti oleh beberapa ekor ular tanah belang hitam kuning. Dia tahulah
kini, bahwa orang tua itu adalah yang tadi pertama menipunya.
Bagai tirai yang dibuka dalam layar sandiwara, atau dihadapan Pita Loka
menyongsongnya kini. Alam lembah yang indah. Bukannya lembah yang
mengerikan seperti selama ini dia kenal dengan nama Lembah Suliram.
Padahal terbukti, bahwa lembah ini teramat indah.
Baru Pita Loka ingat cerita Ki Tunggal, bahwa ada sebuah lembah yang indah
sekali mirip lembah di surga, dihiasi tanaman dan bunga-bungaan warnawarni.
Tapi Pita Loka tak sudi termakan oleh tipuan pandangan mata. Dia tidak
melihat ke atas, tapi merunduk. Begitu dia merunduk, dia melihat banyaknya
semut-semut hitam bagai barisan tentara berbaju hitam, Yah, inilah takwil
mimpi mengenai semut-semut itu.
Pita Loka lalu mengikuti arah perjalanan semut itu, dengan langkah yang
sabar dan hati-hati.
Karena asyik melihat ke bawah, mengikuti rombongan semut hitam, Pita Loka
hampir saja tidak mengetahui ada serombongan orang berbaju merah saga yang
menantinya,
Ki Buta, kami utusan Ki Madu ... anda dipersilahkan masuk ke guha
padepokan Ki Madu dengan pengawalan kami. Ujar orang-orang itu, Pita Loka
cuma mengikuti kini. Dia yakin ini bukan tipuan. Sebab orang-orang berbaju
merah saga itu pun melangkah sejajar dengan barisan semut hitam itu, yang

merambat memasuki tinggi guha.


Begitu memasuki guha, tampak obor-obor nyala yang bukan merupakan api kayu
karet biasa.
Begitu Pita Loka duduk bersila di hadapan Ki Madu, orangtua itu sembari
membelai janggutnya yang panjang mamperkenalkan diri;
Saya Ki Madu Prakasa. Jadi Ki Tunggal telah meninggal, bukan?
Betul, Tuan Guru.
Saya menyatakan selamat pada anda, yang mampu mengatasi rintangan dalam
perjalanan ke padepokan kami. Pernahkah ananda melihat Kitab-kitab semacam
ini sebelum ini?, Ki Madu Prakasa memperlihatkan tujuh buah kitab. Lalu
menjawab; Pernah satu kali di Kumayan. Satu kali lagi di padepokan
almarhum Ki Tunggal, Dan ini yang ketiga kalinya,..., yang ini.
Sembari memperlihatkan Kitab Kesatu, beliau berkata: Ananda kini sedang
memasuki babakan kedua menyerap limu. Lihatlah! kunci rahasia kitab ini,
nak! lalu Ki Madu Prakesa membuka lembaran tengah kitab itu, dan membaca
tulisan gundul:
Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram, Yang madunya asam berisi
kekuatan.
Lalu Ki Madu Prakasa mengambil sebuah kendi dan dua mangkuk batok kelapa
yang berukir indah, Setelah madu itu dituangkan, Ki Madu berkata: Silahkan
minum, nak!
Upacara minum itu amat khusyu. Rasa manis madu yang diseling rasa asam
tuak, seakan-akan dengan cepat menciptakan aliran darah yang bergolak di
tubuh Pita Loka. Setelah habis semangkuk itu, Pita Loka merasa diliputi
gairah wanita yang bersangatan.
Dia begitu cepet seakan-akan menyaksikan Ki Madu di hadapan berubah jadi
pria ganteng segagah Bima, dan ketika dilihat pria itu seakan-akan mau
menanggalkan busana, Pita Loka cepat membuang muka karena malu dan segan.
Kau lulus, ujar Ki Madu Prakasa setelah melihat Pita Loka membuang muka
itu.
Lalu, apa yang saya lakukan berikutnya?, tanya Pita Loka.
Mengembara,
Ha?Tidak mukim disini?
Tidak, ujar Ki Madu Prakasa, Silahkan berangkat sekarang, Kamu sudah
penuh ilmu yang kamu tuntut dan berbagai macam guru, Tetapi ilmu yang syah
kamu perdapat adalah dari Tujuh Pendekar Harimau.

Siapa Tujuh Pendekar Harimau yang sebenarnya itu, Ki Guru?


Yang paling rumit yang sudah kau perdapat adalah bernama Ilmu Empat Asal
dari Ki Surya Pinanti, ujar orang tua itu.
Mungkin ananda sudah diberi keterangan oleh almarhum Ki Tunggal, bahwa
Tujuh Manusia Harimau yang jadi dongeng di Kumayan itu sesungguhnya ada di
antaranya yang terkecoh oleh Kitab Tujuh yang palsu, Tapi harap diketahui.
Harimau Pertama adalah Ki Surya Pinanti. Orang yang ilmunya tinggi, sudah
tidak membutuhkan perkelahian,
Lalu, Harimau Kedua siapa, tuan Guru?
Harimau Ketujuh adalah gurumu, Ki Tunggal yang menguasai kawasan Lembah
Surya Mulih, pelajaran yang diberinya cumalah tambo hikayat raja-raja
pendekar.
Itu akan kamu ketahui sendiri di kemudian hari, ujar Ki Madu.
Bukan anda?
Saya dalam urutan adalah Harimau Keenam. Tapi apa pentingnya ini semua?
Saya ingin mengenal satu demi satu Tujuh Manusia Harimau itu, Ki Guru!.
Terutama mengenai diri ayahku, Ki Putih Kelabu, yang sudah jadi cerita
orang sebagai salah seorang Harimau Kumayan.
Itu memang betul. Tapi pernahkah ayahmu menurunkan ilmunya untuk kamu? Dia
si Pesut yang bertopeng pendiam, agar disegani, tapi dia tamak, dia ingin
ilmunya untuk dirinya sendiri, bukan untuk diturunkannya pada pewaris syah.
Ini karena ada wasiat guru kami dahulu, bahwa, ada diantara pewaris ilmu
Harimau, yang jika telah mewariskannya, akan menemui ajal. Misalnya, Ki
Tunggal yang barusan saja mewariskan ilmunya kepadamu karena dia tak punya
keturunan. Anak-anaknya semuanya anak angkat, itulah. Ki Lebai Karat, yang
terpaksa menjalani mati suri beberapa lama, bahkan di kubur, untunglah
kemudian dia menyadari bahwa ilmunya harus dia wariskan kepada putranya.
Apakah Gumara itu pewaris ilmu beliau? tanya Pita Loka.
Yah. Tapi tidak semudah memetik buah nangka di pohon. Tiap pewaris akan
mengalami berbagai petualangan bahkan sampai dia melahirkan anak cucu. Batu
yang bermutu harus diuji sinarnya agar diketahui apakah batu itu mempunyai
ster berapa.
Kini barulah Pita Loka menyadari, apa yang dilakukan Guru Gumara adalah
pelaksanaan pewarisan ilmu itu .......
Nah! selamat mengembara, ujar Ki Madu Prakasa mengulurkan tangan
menyalami Pita Loka.

Begitu Pita Loka bangkit berdiri, dalam keadaan duduk bagai gasing itu
sapuan kaki membuat Pita Loka terjungkir. Dia marah karena terkena jagal Ki
Madu, lalu melakukan pembalasan dengan jalan manjatuhkan pantat di lantai
sembari menggasing tendangan lingkar menghantam kedua kaki Ki Madu. Ki Madu
Prakasa pun jatuh tersungkur, disusul oleh sapuan pukulan sisi tangan yang
menerbitkan api muncrat dari punggung pendekar tua itu.
Pita Loka menyerang lagi dengan pukulan dahsyat tapi pada kening Ki Madu
Prakasa. Pukulan itu menerbitkan pancaran api! Pancaran api itu menyilaukan
mata. Ketika itulah Ki Madu Prakasa menjelma menjadi seekor harimau tua.
Pita Loka sadar bahwa ini ujian baginya. Dia sapu kepala harimau itu, yang
hampir menggigit tetapi dengan jungkir balik Pita Loka barhasil melepaskan
dirinya. Proses yang dialami Pita Loka ini, mirip sekali seperti yang
dialami Gumara ketika Gumara bertempur dengan Ki Lebai Karat di pekuburan
keramat.
Pita Loka terkena cakaran pada punggungnya. Darah mengalir, tapi persilatan
balum berakhir. Pita Loka dengan sekuat tenaga melakukan perlawanan. Dengan
gerak harimau yang tanpa disadarinya, Pita Loka mencakarkan kuku ke dada
harimau tua yang terlentang jatuh itu .... ketika itulah Pita Loka
menyaksikan kuku-kuku jarinya begitu runcing mirip kuku harimau.
Aku menyerah, nak, ujar Ki Madu yang menjelma jadi manusia kembali
setelah sorotan cahaya menyilaukan merupakan proses perubahan bentuk, Pita
Loka sudah gembira karena merasa dirinya telah memiiliki ilmu harimau. Tapi
ketika dia melihat kukunya menjadi biasa kembali, Ki Madu Prakasa melihat
kekecewaan di wajah Pita Loka.
Hari ini aku telah memberikan warisan kuku kepadamu. Itulah ciri bahwa kau
suatu ketika akan menyandang gelar Ki. Selamat mengembara, nak. Jangan
mengherani sesuatu, karena segalanya ada di dalam alam. Alam ini akhirnya
membukakan berbagai rahasia kepadamu, ujar Ki Madu Prakasa seraya
menuangkan madu asam ke mangkok Pita Loka dan mempersilakan minum. Lalu
berwasiat; Hancurkan kejahatan. Bela si lemah. Lestarikan yang benar!
Selamat jalan!
Tidak ada pesan. Tidak ada petunjuk, sehingga perjalanan kali ini harus
dicari sendiri, dan ditemukan sendiri. Dari tujuh kitab, barulah dua kitab
yang dia dapatkan. Dan zat madu asam itu rupanya telah merubah Pita Loka
menjadi lincah sekeluarnya dari guha Ki madu Prakasa. Mengembara baginya
bukan lagi sebuah pelarian, tapi menjadi sebuah suka cita.
Ketika dalam perjalanan itu dia menemukan seorang tua yang sedang termenung
dibawah pohon lelayin. Orangtua itu sepertinya dalam dukacita, bertentangan
dengan perasaan Pita Loka yang saat itu bersukacita.
Pohon lelayin adalah sebuah pohon yang berasal dari negeri Cina, yang
daunnya memiliki janggut - janggut putih yang halus-halus panjang mirip

janggut manusia. Pohon itu daunnya rimbun.


Tempat untuk orang berteduh dalam pengembaraan jauh.
Pak tua, sapa Ki Pita Loka. Pak tua itu menoleh. Pita Loka berjongkok
dengan sikap yang santun. Lalu bertanya : Anda menanti seseorang disini?
Ya. Menanti seseorang, sahutnya,
Kenapa wajah tuan berdukacita?
Karena kuatir dia tidak datang.
Berapa lama tuan sudah menantinya?
Seribu dua ratus hari, sahut Pak Tua itu.
Alangkah lamanya! Bolehkah saya tahu siapa nama anda? tanya Pita Loka.
Namaku Ki Jengger. Rumahku di sana itu, tapi siang malam aku berada di
sini menanti kedatangan orang yang dinanti. Aku tak boleh pulang karena
harus menepati janji.
Janji? Berjanji dengan siapa? tanya Pita Loka.
Aku berjanji dengan sahabatku Ki Surya Pinanti..... ucapan ini
menggetarkan perasaan Pita Loka,
. . . Ki Surya Pinanti yang bermukim di Bukit Api, tuan? tanya Pita Loka,
Betul, Ujar si tua itu, yang seketika itu juga menatap pada Pita Loka,
memperhatikan mata Pita Loka.
Apakah mata anda itu buta sebelah? tanya Ki Jengger.
Betul!,ujar Pita Loka keheranan.
Kalau begitu engkaulah Ki Pita Loka, pewaris ilmu Ki Tunggal, yang buta
sebelah matamu itu?.Dengan melongo sejenak, Pita Loka cuma bisa
mengangguk.
Oh, anakku! Kenapa kamu baru tiba sekarang? kata Ki Jengger seraya
berdiri dengan sukacita, lalu berkata ; Mari ikut aku, nak! Ki Jengger
melangkah lebih dahulu, dibuntuti oleh Pita Loka. Setiba di sebuah pondok
yang amat melarat, Ki Jengger berkata : Inilah rumahku. Sungguh engkau
murid Ki Surya Pinanti yang ulet menghadapi cobaan, Dan pandai menahan diri
atas segala siksaan, tidak mudah silau dan tergoda oleh kecantikan dan
kekayaan, . , .
Pita Loka tak terkesan oleh pujian itu. Dia terkesan pada segerombolan

semut hitam yang berada dilantai itu. Semut-semut itu menuju ke sudut
pondok. Tampak olehnya gembok yang berwarna kuning dengan kuncinya yang
keemasan.
Engkau melihat sesuatu, nak? tanya Ki Jengger.
Ya. Semut-semut hitam itu. Agaknya dibawah pondok ini ada lubang. Semutsemut hitam itu agaknya mencari madu dibawah itu, ujar Pita Loka.
Yah, kau benar, Kau kali ini tidak menemui sesuatu lewat mimpi. Ini sebuah
kenyataan. Tapi minumlah ini dulu, ujar Ki Jengger seraya menyodorkan
sebuah mangkok batok berukir, cairan kental yang dituang dari kendi. Dan
kendi itu, maupun mangkok itu, betul-betui sama bentuk serta warnanya
dengan kendi dan mengkok batok di padepokan Ki Tunggal dan padepokanKi Madu
Prakasa.
Setelah minum seteguk, Pita Loka bertanya :

Sebelum saya menanyakan yang lain, saya terkesan dengan madu kehormatan
ini. Lalu saya berkeyakinan, tentulah Ki Jengger adalah salah seorang dari
Tujuh Manusia Harimau!. Betul, Ki Guru? tanya itu disertai tatapan mata
tajam. Ki Jengger silau oleh sorot mata tajam Pita Loka.
Aku merahasiakannya selama tujuh puluh tahun, nak. Kini engkau yang
membuka tabir rahasiaku. Apa boleh buat Aku mengaku. Marilah kita ke
bawah.
Kebawah? tanya Pita Loka.
Ya, melalui pintu itu, ujar Ki Jengger.
Diajaknya Pita Loka ke sudut pondok melarat ini. Dia membuka gembok. Lalu
seperti ada dorongan dari bawah, lantai disudut itu seakan-akan naik. Dan
ternyata lantai itu merupakan pintu rahasia.
Ada tangga ke bawah. Herannya, tak ada lampu. Namun ruangan di bawah tanah
itu,terang. Alangkah mengejutkan Pita Loka! terang itu rupanya dari sinar
radium yang dipancarkan oleh beberapa untai intan-intan yang bergantungan.
Dalam intan itu ada cairan alami, yaitu cairan radium.
Lihat kursi tahta itu, nak! ujar Ki Jengger.
Itu tahta raja?
Ya, itu milik turunan Nabi Solaiman. Ini seluruhnya menjadi milikmu, nak
Pita Loka!
Inikah dongeng yang pernah diceritakan ayahku?

Ya. Hal ini cuma diketahui oleh tujuh manusia. Termasuk Ki Putih Kelabu,
ujar Ki Jengger.
Jadi, selain anda dan Ki Tunggal dan Ki Madu Prakasa dan Ki Surya Pinanti,
ayahku pun terbilang salah satu dari Tujuh Harimau Sakti itu?
Benar. Kita bertujuh terikat pada suatu perjanjian batin. Kecuali apabila
diantara kami ada yang menyeleweng. Ayahmu Ki Putih Kelabu hanya mendengar
kisah kerajaan Solaiman dibawah tanah ini. Hanya mendengar, seperti kau
menyebutkan tadi, hanya mendongengkan padamu. Tapi tak melihatnya. Barulah
kamu yang melihatnya!
Siapa lagi diantara Harimau yang Tujuh itu, Ki Guru?
Satu lagi, Ki Ca Hya.

Diantara tujuh manusia harimau itu, yang manakah yang sudah mati?
Yang sudah mati?. Sepengetahuan dari berita angin yang sampai padaku
adalah Ki Karat, lalu Ki Tunggal. Ki Ca Hya belum mati. Dia termasuk yang
pernah melihat kekayaan warisan Solaiman ini.
Nah, coba sebutkan harimau - harimau yang tujuh itu, baik yang hidup
maupun yang sudah mati, pinta Pita Loka.
Dengan nada berwibawa, Ki Jengger menyebutkannya ;
Pertama : Ki Tunggal. Kedua : Ki Madu Prakasa. Ketiga : Ki Jengger.
Keempat : Ki Putih Kelabu. Kelima : Ki Karat. Keenam Ki Surya Pinanti. Dan
Ketujuh : Ki Ca Hya.
Pita Loka memejamkan matanya. Dia amat terkesan, karena ayahnya disebutkan
sebagai salah seorang dari Tujuh Manusia Harimau itu. Hatinya bangga dan
bersyukur.
Ini, istana bawah tanah ini, seluruhnya, milikmu. Milikmu setelah kau
bersuami dan berketurunan.
Jadi saya suatu ketika akan punya suami? tanya Pita Loka.
Tentu. Hanya beberapa ekor harimau saja yang tidak berketurunan, lalu dia
wajib memberikannya kepada seseorang. Tapi orang itu harus memiliki darah
bangsawan, darah yang suci dari garis keturunan diatasnya. Puaskah kau
dengan kekayaan yang diamanahkan lewat saya untukmu ini?
Pita Loka berdiam diri. Wajahnya masgul. Kemasgulan yang membuat Ki Jengger
bertanya Kenapa anda malah bermuram durja?

Yah, akhirnya saya toh seorang manusia biasa. Saya membutuhkan


pertolongan, bukannya kekayaan. kata Pita Loka.
Itukah pendirianmu? tanya Ki Jengger.
Ya. Itulah pendirianku!
Ki Jengger berlutut pada Pita Loka : Jika demikian, engkau sudah merupakan
seorang Guru! Aku menyebut namamu harus dengan sebutan Ki Pita Loka. Sesuai
dengan berita dari Ki Surya Pinanti, engkaulah pewaris ilmu Ki Tunggal.
Selain kekayaan, orang gila pun dapat engkau sembuhkan.
Menyembuhkan orang gila? tanya Pita Loka.
Ya, dengan benda ini, ujar Ki Jengger menyamber sebuah kalung emas dengan
sebuah permata tujuh buah ster, yaitu permata akik Solaiman yang berwarna
hijau. Lalu kalung itu dikalungkan Ki Jengger ke leher Pita Loka.
Ki Pita Loka, aku puas telah menemui salah seorang dari rangkaian tujuh
manusia harimau. Yaitu anda, Ki Pita Loka!.
Lalu, jika saya dapat menyembuhkan orang gila, siapakah yang dapat
menyembuhkan penyakit buta mataku ini? tanya Ki Pita Loka.
Salah seorang dari yang tujuh diantara kita, sahut Ki Jengger.
Apakah beliau kira-kira Ki Ca Hya? tanya Pita Loka menerka-nerka.
Itu tak bisa diterka-terka, itu harus ditemukan! ujar Ki Jengger dengan
nada pasti.
Yang terang bukan kau sendiri yang menyembuhkan matamu yang buta sebelah
itu!
Jadi anda tidak dapat meramalkan dua hal. Calon suamiku. Dan si penyembuh
mataku yang buta, ya Ki Jengger?, tanya Ki Pita Loka.
Itulah kesimpulan yang betul, Ki Pita Loka, ujar Ki Jengger. Lalu Ki Pita
Loka bertanya: Apakah babak pertemuan antara saya dan anda sudah selesai?
Karena kalung amanah yang saya jalinkan pada Ki Surya Pinanti sudah
menggantung di lehermu, aku sudah menyelesaikan tugasku, kata Ki Jengger.
Setelah Pita Loka meninggalkan gubuk melarat Ki jengger, belum lagi seratus
langkah perjalanan, di suah dicegat oleh beberapa orang pendekar. Mereka
semuanya lelaki. Dan sikap mereka mendekati Pita Loka mulai kurang ajar.
Ini makananku, kata yang seorang.

Jangan ganggu saya, Pita Loka memperingatkan.


Aduh kalungmu itu, sangat cantik ya dik? kata salah seorang. Yang pertama
tadi langsung mau memegang buah dada. Pita Loka. Tangan itu cepat dipegang
oleh Pita Loka dan dengan serta merta tubuh orang itu diayun-ayunkannya
dalam putaran, sehingga kaki musuhnya itulah yang menubruk satu demi satu
pendekar-pendekar muda itu. Ketika satu demi satu mereka sudah jatuh
bergelimpangan terkena sabetan kaki temannya sendiri, Pita Loka langsung
meneruskan putaran tubuh orang itu, dan ketika dia lepaskan pegangan pada
tubuh yang dia putar itu . . . melayanglah tubuh pendekar muda yang iseng
itu. Lantas kepalanya membentur sebatang pohon pucung.
Begitu tiba dibumi, orang itu bangun lagi dan berteriak teriak dengan
kata-kata yang jorok.
Ia gila! seru teman-temannya.
Pita Loka terus melangkah mau melanjutkan perjalanan,
Pendekar putri! Pendekar sakti! Tolonglah kami! Teman kami kau buat gila!
ujar anak-anak muda itu menghampiri Pita Loka.
Pita Loka membalik. Kedua lengan dia lipat pada dada.Dia lalu memberi
nasehat : Jangan sembarang mengganggu orang. Wanita - wanita harus kamu
anggap ibumu sendiri. Jangan karena ilmu yang sedikit, tujuanmu mau
menggagahi orang lain. Bawa kesini temanmu yang gila itu.
Mereka menggotong temannya yang gila itu. Si gila masih meronta dan
mengeluarkan perkataan jorok. Alat kelamin wanita adalah ucapannya yang
berulang kali.
Pegang kedua lengannya dan kedua kakinya, perintah Pita Loka. Mereka
dengan tekun beramai-ramai memegangi lengan dan kaki temannya.
Mata si gila itu terbeliak-beliak. Pita Loka memegang permata hijau
Solaiman yang dilehernya. Setelah dibelainya permata itu dengan jari
telunjuk dan ibu jarinya, lalu kedua jari itu digosokkannya ke jidat si
gila. Berulangkali. Sampai teriak joroknya berhenti. Sampai si gila
menangis merintih-rintih. Dan sampai dia kemudian seperti sadar, mirip
orang terbangun mendadak dari mimpi.
Teman kalian sudah sembuh, ujar Pita Loka berlalu. Langkah Pita Loka yang
tegap perkasa, membuat pendekar-pendekar muda yang masih baru belajar itu
terpelongo semuanya.
Dia pasti pendekar sakti, ujar mereka masih tercengang.
Ternyata, perjalanan Pita Loka yang cuma berdasarkan Rasa itu, melalui
bagian sebaliknya dari Lembah Suliram. Pita Loka kenal betul dengan watak
lembah ini, yaitu tombak-tombak batu alam yang runcing-runcing. Ketika tiba

disini, Pita Loka agak keheranan. Dia melihat seorang berpakaian putih
sedang tidur menelungkup diatas permukaan batu-batuan runcing itu. Makin
dekat, makin jelaslah oleh Pita Loka, bahwa orang itu tak lain Guru Gumara.
Makin dekat, makin jelas, bahwa Guru Gumara sedang tidur ngorok. Agaknya
dia dalam keletihan. Tapi jelas, bukan baru berkelahi. Begitu Pita Loka
semakin dekat, mendadak Gumara terbangun.
Pita Loka! seru Gumara dengan nada heran dan kangen.
Mengapa Guru berada disini? tanya Pita Loka.
Aku mendapati dua orang gua dalam guha diatas itu, ujar Gumara.
Diguha itu? tanya Pita Loka.
Ya. Satu diantara tiga orang gila itu sudah mati terbunuh olehku. Yang dua
lagi masih mundar mandir kayak setan, kata Guru Gumara.
Siapa yang sudah mati itu? tanya Pita Loka
Ki Rotan. Dia begitu buas, tidak sebuas yang dua lagi. Dan yang dua itu,
keadaannya menyedihkan kata Guru Gumara.
Kalau begitu, Guru sudah masuk ke guha itu, ujar Pita Loka.
Sudah. Aku memasukinya berdasarkan pesan Ki Tunggal menjelang wafatnya
beliau, ujar Gumara.
Ki Tunggal? Anda telah sampai ke Ngarai Surya Mulih?tanya Pita Loka
tercengang.
Ya, sekalipun dengan cobaan yang amat gawat, Aku kesana itu, berdasarkan
Kitab Tujuh yang memberikan petunjuk padaku untuk ke sana . Hanya satu soal
yang tidak tertera dalam syarat Kitab Tujuh itu. Yaitu aku baru akan tiba
disana apabila Ki Tunggal telah mewarisi ilmunya, madu manis, kepada
seseorang ahli warisnya, lalu beliau mati. Aku hanya menerima pesan
beliau.
Pita Loka lalu ingin tahu; Anda hadir di waktu pemakaman Ki Tunggal?
Saya tak sempat menemuinya, juga ketika pemakamannya. Pesan Ki Tunggal
hanya saya terima dari Nyi Tunggal. Sungguh, aku mengalami begitu banyak
cobaan. Diantaranya, dalam perjalanan melelahkan itu aku ketemu dengan
seseorang yang mirip kau, PitaLoka!
Itu bukan orang lain, kata Pita Loka.
Jadi orang itu memang kau?

Memang aku, ujar Pita Loka,


Jadi. . . orang itu memang Kau?
Memang saya sendiri, Guru.
Tapi, kita bertemu disini, Pita Loka!
Itu Nasib. Apa Guru masih akan terus disini?
Yah, terpaksa begitulah. Aku sedang mencari sesuatu, mungkin saja wangsit
dalam pertapaan yang khusyu. Itulah sebabnya aku akan berada disini terus
sampai ilham itu tiba padaku, ujar Gumara.
Boleh saya mengetahui, siapa dua orang yang masih diatas itu? tanya Pita
Loka.
Asal kau jangan mencurigaiku. Dia adalah adikku Harwati dan Ki Lading
Ganda, ujar Gumara. Mendengar nama Harwati, rasa cemburu Pita Loka
membakar sampai ke wajahnya yang berubah jadi merah pedam.
Betah betul tuan Guru menunggu Harwati disini, ujar Pita Loka.
Sudah kukatakan, jangan mencurigaiku. Aku kebingungan setelah membunuh Ki
Rotan ujarGumara.
Tapi Guru tidak membunuh yang dua lagi? tanya Pita Loka.
Bukan pilih kasih, Ki Rotan sudah sangat buas, beringas, dan tindakannya
tak dapat saya tolerir lagi.
Jadi anda mencari ilmu sampai ke Ngarai Surya Mulih, hanya supaya bisa
memanjat ke guha sana itu, untuk bertemu dengan Harwati? tanya Pita Loka
dengan nada cemburu lagi.
Bukan karena Harwati, bantah Gumara.
Kalau bukan karena Harwati, apa bisa sebuah kebetulan belaka anda masuk ke
guha itu?
Aku masuk ke guha itu berdasarkan petunjuk Nyi Tunggal,
Lalu bertemu Harwati!
Bukan bertemu Harwati saja aku di sana . Juga bertemu Ki Rotan dan Ki
Lading Ganda.
Apakah ada perintah almarhum Ki Tunggal supaya Guru membunuh Ki Rotan!
Perintah itu tidak ada, kata Gumara.

Kenapa dia dibunuh?


Karena dia ingin merebut ini, ujar Gumara seraya memperlihatkan sebuah
kalung emas dangan permata hitam.
Barang itu memang tersimpan di guha itu? tanya Pita Loka
Yah, begitulah, sesuai dengan pesan Ki Tunggal. Benda ini kurasa memiliki
kesaktian, yang belum kuketahui khasiatnya. Tapi barang ini hanya untukku.
Jadi kupertahankan nyawaku sendiri untuk mempertahankannya dari rebutan Ki
Rotan, sampai aku terpaksa membunuhnya. Aku bukan turunan pembunuh. Aku
membunuh karena terpaksa. Jangan kau persalahkan lagi aku, dan mengira aku
membunuh Ki Rotan dengan sengaja,
Baiklahlah saya puas mendengar cerita Guru, ujarPita Loka.
Mau kemana kau? tanya Gumara cemas.
Aku mau melanjutkan perjalanan, ujar Pita Loka.
Temani aku disini!
Menemani kau yang menanti Harwati? Ah, itu pekerjaan buang-buang waktu dan
menyakitkan hati!ujar Pita Loka.
Aku berada disini menanti ilham! Bukan menanti Harwati! ujar Gumara
membela diri lagi.
Lalu dia berseru : Pita Loka!
Tetapi Pita Loka tetap saja berlalu meninggalkannya dengan hati yang sangat
mendongkol. Guru Gumara terperangah. Dia kembali menghempas diatas batubatu runcing itu dalam keadaan tertelungkup. Dia sebenarnya belum akan
pergi meninggalkan Lembah Suliram ini sebelum mendapat keterangan yang
jelas mengenai batu hitam peninggalan Ki Tunggal almarhum.
Malam itu Gumara bermimpi. Dia seakan-akan mengembara, entah kemana, lalu
sampai ke sebuah Gubug yang amat melarat keadaannya, Dia dalam mimpi itu
bertemu pada seorang lelaki tua, panghuni gubug melarat itu. Ketika lelaki
tua itu membuka destar penutup kepala, tampaklah kepala orang tua itu ada
jengger, mirip jengger ayam jago.
Gumara terbangun dan mimpi itu habis begitu saja. Sebelum dia sempat
menanyakan alamat dan nama orangtua itu. Tapi, seraya melihat bintang
gemintang dilangit benderang malam itu. Gumara merasa mimpi itu sebuah
petunjuk. Dia harus mencari seorang guru, orangtua yang kepalanya
berjengger itu, siapa tahu beliau dapat memberikan petunjuk.
Gumara mencoba mengingat bentuk pepohonan, tumbuhan yang dia lihat di dalam

mimpi itu, sebelum memasuki pondok melaratnya. Yah, dia ingat pagi ini!.
Pagi ini dia bisa mengingat salah sebuah pohon dalam mimpi itu, yaitu pohon
lelayin. Pohon ini bukan asli Indonesia , mungkin dibawa oleh salah seorang
raja Cina kesini, berabad-abad yang silam.
Gumara mengucapkan selamat tinggal pada Lembah Suliram. Dia ingin menempuh
jalan setapak yang biasa ditempuh oleh orang utas. Dia berharap menemukan
sebuah kampung untuk menanyakan dimana biasanya terdapat pohon lelayin.
Dia mulai melangkah melewati jalanan setapak tanpa memperhitungkan kemana
tujuan. Yang penting ketemu orang.Atau ketemu sebuah kampung. Kebetulan
saja dia bertemu dengan dua orang utas, suami isteri, sedang menjunjung
kayu bakar.
Pak, saya pengembara tersesat. Bapak tahu dimana ada pohon lelayin, Pak?
tanya Gumara dengan santun,
Itu disana, tunjuk orang utas itu.
Saya dari sana . Itu Lembah Surilam, kata Gumara.
Disana, kata orang utas itu menegaskan.
Orang utas adalah orang jujur. Mereka menolak jual beli, Kebudayaan mereka
warisan purba, yaitu tukar menukar.
Terimakasih,pak, ujar Gumara seraya menyerahkan sebuah cincin pada orang
utas itu. Namun suami-isteri itu menolak.
Gumara terus mengingat arah telunjuk orang utas tadi, Memang tampaknya ke
Lembah Suliram. Tapi bisa juga ke arah sebaliknya. Sebalik bukit lembah
itu.
Kini dia coba memanjati tebing lembah itu, agar tiba di bukit yang sebelah
lagi. Mungkin karena dia terlalu bersemangat, dia tergelincir dan jatuh
meluncur ibarat meluncurnya air terjun.
Begitu dia sadarkan diri dan pingsan, dia merasa tubuhnya seperti dirubungi
semut. Ternyata memang semutlah yang merubunginya. Dan semut itu adalah
semut hitam. Lalu Gumara duduk. Dia perhatikan semut-semut hitam itu. Dia
lalu ingat, semut hitam itu pulalah yang jadi petunjuknya ketika tiba di
dalam guha Surilam dan bertemu dengan tiga manusia gila disana.
Semut hitam itu pulalah yang menjadi petunjuknya sehinga dia gedor dinding
guha itu, lalu mendapatkan satu kotak kecil berisi kalung yang di pakainya
sekarang.
Gumara tambah tidak mengerti. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa dia mesti
dengan sabar mengikuti perjalanan semut itu. Jika ada yang melihat tingkah
lakunya sekarang ini, pasti dia pun disangka gila. Dia bukan melangkah

mengikuti perjalanan semut itu, melainkan merangkak. Dia terus merangkak,


merangkak, sampai seharian suntuk. Ketika dia melihat sebatang pohon
lelayin, barulah dia sadari bahwa dia sudah sampai ke tujuan. Dia berdiri
tanpa memperhatikan semut-semut hitam itu lagi. Sembari melihat sekeliling,
dia mengingat kembali mimpinya! Bagaimana dia melangkah dalam mimpi itu,
barulah diamalkannya sekarang, dalam kenyataan. Yah, dia akhirnya melihat
sebuah pondok melarat. Pondok itu mirip dalam mimpinya.
Tapi pondok itu sunyi!
Sampai malam tiba, penghuninya belum juga kembali!. Lalu Gumara marebahkan
diri pada sebuah balai-balai bambu yang buruk. Dia amat lelah. Dan
ketiduran. Dalam tidur itulah dia bermimpi lagi dengan lelaki tua yang
dikepalanya ada jengger itu.
Orangtua itu berkata ; Apa yang tuan cari.
adalah Ki Jengger, ialah seorang dari Tujuh
ditakdirkan belum kesampaian bertemu dengan
tiga orang. Anda belum boleh bertemu dengan
diwafatkan.

sudah tuan ketemukan. Aku


Manusia Harimau. Cuma anda
harimau-harimau itu kecuali
Ki Tunggal sebab dia sudah

Anda belum sempat ketemu dengan Ki Surya Pinanti, karena perjalanan ke situ
amat berat. Anda belum sempat ketemu dengan Ki Madu Prakasa, tapi dari dia
saya sudah diberi berita angin bahwa anda telah mandapatkan barang
simpanannya, berupa akik hitam Solaiman yang memang harus anda dapatkan
sendiri tanpa perantara dia langsung. Dan untuk itu anda harus membunuh
penganut ilmu lblis, yakni Ki Rotan. Kini, ditakdirkan anda tak bertemu
muka dengan Ki Jengger, juga Ki Ca Hya.
Jadi kalungku ini akik Solaiman yang sakti, tuan Guru?
Betul!. Itulah intan hitam yang di muka bumi ini pemiliknya cuma tujuh
orang sakti yang bertebaran di muka bumi, ujar Ki Jengger.
Apa khasiatnya saya belum tahu, kata Gumara.
Tanyalah kepada dua harimau asal Kumayan yang masih hidup, kata Ki
Jengger. Lalu Gumara terbangun dari tidurnya. . .
Gumara mencoba menafsirkan mimpi itu lagi. Siapa dua harimau Kumayan yang
masih hidup? Bukankah kecuali ayahku Ki Karat, semuanya masih hidup? Dan
salah seorang diantaranya, Ki Lading Ganda, malahan sekarang ini dalam
keadaan gila.
Namun, sesuai dengan takwil dalam mimpi itu, Gumara tak perlu lama-lama
lagi di pondok Ki Jengger. Di tengah malam buta itu juga Gumara keluar dari
sana . Kepergiannya diketahui oleh Ki Jengger dari dahan sebuah pohon
lelayin yang berdaun rimbun.
Ki Jengger lalu kembali ke pondoknya dan merebahkan diri diatas ambin
bambunya.

Tujuan Gumara tak lain ke Kumayan. Dia tentu tak berani mempertanyakan
khasiat akik Solaiman hitamnya itu kepada Ki Lading Ganda. Dia harus
menemui salah seorang pendekar Harimau yang disegani: Ki Putih Kelabu.
Tetapi setelah siang barulah dia ketahui bahwa dia tersesat ke satu kampung
yang belum pernah dijejakinya. Dan di kampung itu sedang terjadi huru hara
yang dahsyat. Tampaknya sedang terjadi pengeroyokan luar biasa.
Dia pada mulanya hanya menonton belaka. Tetapi alangkah terkejutnya dia,
ketika seorang yang sedang dikeroyok itu berhasil lolos dengan melejitkan
tubuhnya ke udara, lalu turun dengan sapuan bangau ngamuk menjelang tiba di
bumi. Sapuan kakinya sempat merobohkan tiga pendekar desa itu. Puluhan
pendekar lainnya yang tadi mengeroyok, mundur teratur.
Gumara berusaha mendekat Dia tercengang karena ternyata Pita Lokalah orang
yang dikeroyok puluhan manusia itu. Lalu ia berseru! Pita Loka, ayoh cepat
melarikan diri.
Yang tadi roboh, tiga-tiganya bangkit mereka serentak menoleh pada Gumara.
Salah seorang diantaranya, yang bersenjata tulang kaki manusia,
memperingatkan Gumara ; Hai Laknat,jangan ikut campur.
Saya hanya pendamai, Saya tidak ikut campur!
Tapi raja pendekar itu menuding kearah Gumara dengan senjata tulang
kakinya, isyarat untuk mengeroyok.
Gumara siap menanti. Dan kini pertempuran terbagi dua. Segerombolan
pendekar mengeroyok Pita Loka kembali. Pecahan lainnya menyerbu Gumara,
Begitu menghantam lawannya dengan tungkai, tahulah Gumara, mereka ini
penganut perguruan Iblis.
Dimata Gumara, setiap yang sudah terkena sentuhan pukulan dan tendangan
Gumara, lantas berubah bentuk menjadi macan hitam. Gumara serta merta
melayani mereka dengan silat harimau, mirip seperti ketika ia berkelahi
dengan ayahnya di pekuburan keramat Kumayan.
Satu demi satu mereka mendapat cakaran Gumara. Tiap terkena cakaran, sang
korban mengaum lalu menggelepar. Tiba - tiba tampil sang raja diantara
mereka, yang belum terkena cakaran Gumara. Masih dalam bentuk manusia, raja
ilmu Iblis itu mengaum meloncati Gumara bagai harimau kumbang, Gumara
menyergap dadanya dengan kukunya yang tajam. Dan mengaumlah korban itu
dengan dahsyat, menjelma menjadi seekor harimau hitam, Gumara
membantingnya. Dan dia pun menjadi kalap ketika puluhan pengeroyok Pita
Loka menjadi macan-macan hitam yang seluruhnya mengaum dahsyat. Gumara
cepat menyerbu dan menerkam tengkuk mereka satu demi satu dan membantingnya
satu demi satu pula.
Tetapi dia amat kaget setelah dilihatnya Pita Loka sendiri pun sudah
menjelma menjadi harimau yang sangat besar yang dengan beringas menyergap

lawannya satu demi satu pula. Setiap yang terkena sergap dadanya seketika
itu juga mengaum dan dibanting Pita Loka.
Kemudian, sepilah kampung itu. Puluhan bangkai harimau menggeletak. Pita
Loka menjelma kembali menjadi gadis yang jelita di mata Gumara.
Kampung ini kampung iblis. Rupanya inilah yang pernah didongengkan oleh
ayahku. Mereka menculik gadis utas yang mencari kayu, lalu memperkosa, Kini
mereka telah binasa. Kata Pita Loka.
Oleh kita berdua, tambah Gumara
Tapi kenapa Guru bisa ketemu lagi dengan saya disini?tanya Pita Loka.
Mungkin kamulah yang saya cari, kata Gumara.
Saya?
Betul. Kau. Diam-diam kau menjelma menjadi harimau. Kau telah mewarisi
ilmu itu agaknya. Sebaiknya berterusterang, ujar Gumara.
Tadi saya kau lihat menjelma menjadi harimau? tanya Pita Loka.
Ya. Kau tak menyadarinya? Kau terkam mereka satu demi satu. Kukumu
mencengkeram dada meraka, meraka mengaum, lalu kau banting!. Tak kau sadari
bahwa kau menjelma jadi harimau?
Aku yakin sekarang, kau mewarisi ilmu harimau bukan melewati ayahmu!
Darimana Guru yakin bahwa aku mewarisi ilmu harimau tanpa dari ayahku
sendiri?
Dari analisa logis otakku, ujar Gumara.
Coba buktikan oleh Guru, ucap Pita Loka.
Tiap orang. mewarisi ilmu setelah teruji. Makin teruji berkali-kali,
semakin tinggi ilmunya. Kau telah sampai kederajat ilmu yang tinggi, sebab
ilmumu sudah teruji berkali-kali. Itu argumentasi pertama. Yang kedua : Kau
mengenakan kalung pertama hijau dilehermu, itu aku tahu bukan kau perdapat
dari Ki Putih Kelabu, yakni ayahmu sendiri. Itu berarti kau perdapat dan
seorang Ki Guru.
Dimana Ki Guru itu? Dia adalah Ki Tungga!. Menurut Nyi Tunggal, ada seorang
pendekar selama 40 hari berguru pada suaminya, sampai suaminya mendapatkan
ilham kematian dari pendekar yang belajar itu. Karena Ki Tunggal tak punya
turunan, warisan ilmunya diberikannya kepada pendekar tersebut sebelum
Pendekar Besar itu wafat Nah, disebutnya pula nama samaran pendekar itu,
yang kata Nyi Tunggal akan bergelar : Pendekar Permata Hijau. Sekarang
sudah ditakdirkan aku datang menghadap kau!

Untuk kepentingan apa, Guru? tanya Pita Loka.


Untuk menanyakan apa kesaktian permata hitamku ini, Gumara lalu
menunjukkan kalungnya.
Aku? tanya Pita Loka keheranan.
Tolonglah aku! Mestinya kau mengetahuinya, Pita Lokal
Sungguh mati aku tak mengetahuinya, Guru! Gumara bemuram durja.

Sungguh berat ujian yang kuperdapat. Jika makna dari khasiat batu permata
hitam ini sudah kuketahui, mungkin aku dapat membalas budi kepadamu. Dulu,
sehabis pertempuran sengit memperebutkan Kitab Tujuh di Bukit Kumayan,
engkau membelaku. Kau mengusir Ki Rotan, tapi kau menolak ketika tujuh buah
kitab itu kuhadiahkan padamu.
Sebetulnya saya yang berhutang budi pada Guru. Dalam pertarungan dengan
gerombolan ilmu iblis, tuan Guru muncul. Lalu berdua kita musnahkan musuh.
Pernah, sepulang dari padepokan Ki Tunggal, saya dikeroyok lagi oleh
pendekar-pendekar setan disebuah lembah, sehingga mataku ini hampir coplok.
Anda muncul membela saya sehingga saya bebas. Jadi dua kali anda membelaku,
dua kali Pita Lokalah yang berhutang budi pada Guru!
Mendengar pengakuan itu. Gumara terpana beberapa saat.
Lalu ia berkata : Kini aku mohon pertolongan. Tapi jangan diartikan untuk
menagih budi padamu.
Baiklah, aku akan menolong Ki Guru. Tapi Jangan tanyakan kepadaku khasiat
permata hitam dilehermu itu, Guru, ujar Ki Pita Loka.
Berdasarkan keterangan di Kitab Tujuh, disitu tercantum satu kalimat
mengenai penyembuhan orang gila. Bisakah kau menyembuhkan orang gila dengan
ilmu yang kau perdapat?tanya Gumara.
Bisa. Dalam hal bisa, aku bisa, kata Pita Loka jujur.
Kalau begitu tolonglah aku, ujar Gumara.
Siapa orang gilanya yang perlu aku sembuhkan? tanya Pita Loka.
Harwati. . . . adikku. . turunan Ki Karat, ujar Gumara.
Mendengar nama itu, Ki Pita Loka berkata : Alangkah cintanya Guru
padanya!. Baiklah kita berpisah hingga disini.

Pita Loka merentak melangkah dan berlalu meninggalkan Desa iblis itu.
Gumara mengejarnya, mengejarnya dengan berseru :
Ki Pita Loka! Janganlah penuh prasangka!
Pita Loka terus melangkah dengan merentak. Karena dikejar terus, ia
berhenti. Gumara maju beberapa langkah lagi: Kuharap hapuskanlah cemburumu
itu. Itu cemburu buta.
Jangan sindir aku. Memang aku buta. Tapi kau penyebab kebutaanku Ini.
Jangan sebut perkataan cemburu buta lagi sampai aku jadi marah! ujar Pita
Loka dengan nada sebal.
Jadi kau tak sedia mengobati orang gila? tanya Gumara,
Bila aku mengobatinya, itu sama saja menyembuhkan anak kambing yang sakit
untuk dipersembahkan pada harimau. Aku tidak sudi! Bukannya aku tidak mau,
tapi aku tak sudi!. Jelas oleh tuan?
Baiklah, aku akan menuju Kumayan. Mungkin ayahmu yang terhormat dapat
memberi petunjuk untuk penyembuhan kegilaan Harwati.. . ., ujar Guru
Gumara dengan nada kecewa.
Percuma Guru menemui Ki Putih Kelabu. Hanya aku yang diwarisi kemampuan
menyembuhkan orang gila. Ilmu ini aku perdapat bukannya dengan mudah. Tapi
melalui proses perjuangan pahit getir, lahir dan batin. Aku satu-satunya
pemilik ilmu penyembuhan penyakit gila itu. Tapi ilmuku tidak akan
kuabdikan untuk menyembuhkan Harwati. Tidak!
Ucapan itu menambah rasa putus asa Gumara. Gumara tak meminta lagi. Tapi
memohon sesuatu; Bolehkah aku mengawal tuan, wahai Ki Pita Loka?
Pita Loka tidak bersedia melarang. Tapi juga tidak bersedia menyetujui. Dia
biarkan saja Guru Gumara membuntutinya. Namun dalam perjalanan itu, Pita
Loka hanya berpedoman pada ketajaman Rasa. Kalau tiba saatnya harus
bermalam, Pita Loka membuat jaringan di atas pohon. Dan Gumara justru tidur
dibawah pohon itu.
Lama kelamaan, Pita Loka menaruh kasihan juga. Dia bertanya ; Apa tujuan
Guru membuntuti saya selalu?
Saya sendiri akhirnya tiada memahami, sahut Gumara.
Dan apa tujuan Tuan Guru memohon pada saya agar saya menyembuhkan sakit
gila Harwati?
Hanya karena kasihan. Hanya harena saya sudah mengetahui dari ayahku, Ki
Lebai Karat, bahwa Harwati adalah adikku lain ibu. Hanya karena diberi
amanah oleh ayahku sebelum beliau meninggal, supaya menjaganya.

Hanya kerana faktor itu? tanya Pita Loka.


Hanya karena alasan yang sudah kusebutkan diatas.
Tidak dikarenakan cinta? tanya Pita Loka.
Tidak. Adalah gila apabila sorang lelaki mencintai adik kandungnya
sendiri. Aku bukan dari jenis keturunan Adam yang jahat, kataGumara.
Keturunan Adam yang jahat? Adakah putera puteri Adam dan Hawa yang jahat?
Ada. Yaitu Kabil saudara Habil. Kabil menginginkan tunangan adiknya
sehingga Kabil membunuh Habil. Tapi aku tidak. Sekali aku mencintai
seseorang,cinta itu abadi.
Kepada siapakah Guru pernah mencintai? tanya Pita Loka. Semur hidupku
tak mengenal cinta, Kecuali satu kali, yaitu kepadamu, Pita Loka. Ketika
kau minggat, kucari kau sampai ke Guha Lebah. Kuminta supaya kau kembali ke
Kumayan. Dan kau baru bersedia kembali kesana ketika penduduk Kumayan,
mengirim utusannya, meminta bantuanmu. Jadi kau kembali bukan karena
permintaanku. Sungguh menyedihkan!
Mendengar pengakuan itu, Pita Loka terharu sejenak. Lalu dia membela diri.
Tapi kau menyuruhku pulang, sekaligus menjemput Harwati. Jadi tujuanmu
bukan saya, tetapi saya dan Harwati. Tujuanmu ganda, Ki Guru!
Taruhlah tujuanku ganda. Tapi dua hal yang berbeda. Kucari Harwati karena
amanah ayahku. Kucari kau, karena perintah hatiku. Perintah dari hati yang
mencintai.
Mari kita lanjutkan perjalanan, ucap Pita Loka.
Nanti dulu. Aku ingin tahu kemana tujuan perjalanan ini!
Aku hanya mengikuti ketajaman Rasa, ujar Pita Loka
Kita akan kehabisan tenaga dan waktu. Aku akan menyampaikan permohonanku
yang terakhir, Ki Pita Loka! ujar Gumara,
Menyembuhkan Harwati dari penyakit gila?tanya Pita Loka.
Ya, kabulkanlah!
Tidak, ucap Pita Loka tegas. Lalu dengan tegas Pita Loka berkata pada
Guru Gumara : Kuharap selesai sampai disini tuan membuntuti perjalanan
saya. Dan jangan ikut saya lagi.
Pita Loka memang berbakat untuk menyatakan sikap tegas. Wibawanya muncul
membuat semangat Gumara berguguran. Dan dia meninggalkan Gumara dengan
langkah yang berwibawa pula, Gumara hanya terpana melihat Ki Pita Loka

meninggalkannya.
Dan Pita Loka pun mewujudkan ketajaman Rasa dengan langkah yang pasti.
Ketika dia mengetahui adanya bau menyan dihadapannya, tahulah dia, bahwa
dia telah tiba di Bukit Kumayan, kampung halamannya.
Pita Loka langsung ke rumah. Dia mendapati ayahnya malam itu dalam keadaan
bingung.
Kenapa ayah terlalu mengutamakan murid ayah Dasa Laksana itu? tanya Pita
Loka, Bukankah lebih penting berhadapan dengan Ki Teluh?
Aku kuatir kau kalah jika berhadapan dengan Ki Teluh. Lebih baik kau
sembuhkan kegilaan Dasa Laksana. Jika dia telah sembuh, dia berhutang budi
padamu. Dan tujuanku mengajarkan ilmuku padanya tercapai. Tak lain
harapanku adalah agar kau dan Dasa Laksana dapat melanjutkan keturunan
bibit unggul
Jangan harapkan hal itu, ayah. Aku tidak akan disebut isteri jika tidak
menjadi isteri Gumara, ujar Pita Loka.
Sembuhkan dulu muridku yang gila, anakku! Kapan lagi aku minta bantuan
padamu jika tidak sekarang ini? Ki Putih Kelabu merengek-rengek.
Rupanya beginilah keadaan ayah. Begitu pula nasib Ki Karat. Ayah dan Ki
Karat adalah dua orang yang syah menjadi Manusia Harimau untuk wilayah ini.
Lalu ayah dikacaukan oleh Kitab Tujuh yang palsu. Kepalsuan kitab tujuh
itulah melahirkan kekacauan berantai, sampai di Kumayan ini seperti
memiliki Tujuh Manusia Harimau. Padahal tidak, ayah. Cuma ayah dan Ki Karat
saja harimau-harimau yang syah. Ki Lading Ganda dan yang lainnya itu tidak
syah karena berpedoman pada Kitab Tujuh yang palsu.
Dari mana kau ketahui hal ini? tanya Ki Putih Kelabu heran.
Dari guruku, Ki Tunggal. Bahkan nama Ki Tunggal pun dipalsukan orang yang
tinggal di Bukit Tunggal, akibat kitab tujuh palsu itu. Padahal Ki Tunggal
yang betul adalah Ki Tunggal Surya Mulih. Aku muridnya. Aku memang mampu
mengobati orang gila, ujar Pita Loka.
Sembuhkan muridku, nak! ujar Ki Putih Kelabu lagi,
Baik,ujar Pita Loka.
Melalui lorong di bawah tanah, tembuslah ayah dan anak itu ke Lembah Putih
Kelabu. Pita Loka mendapati Dasa Laksana dalam keadaan terikat. Lalu dia
menatap Dasa Laksana sejenak, yang memaki-maki dengan kata-kata jorok.
Bahkan meludahi Pita Loka. Namun Pita Loka tenang. Dia usap dua jarinya
setelah dua jarinya itu memegang permata Solaiman hijau. Diusapnya lagi
jarinya ke kening Dasa Laksana. Kemudian, Dasa Laksana terkesima. Dia
bagaikan seorang terjaga dari tidur dan mimpi.

Dia sudah sembuh. kata Pita Loka,


Pita Loka lalu pergi ke rumah Lurah. Lurah itu diobati lagi. Dan dia pergi
lagi ke rumah Kepala Polisi. Keadaan Kepala Polisi ini lebih mengkuatirkan
lagi. Sudah berak kencing di lantai, bahkan makan beraknya sendiri. Pita
Loka mengobati Kepala Polisi itu dikucilkan oleh banyak orang. Lalu sembuh
pula orang itu. Begitu pun dua orang dokter yang menjadi gila.
Seluruh yang gila di Kumayan sudah kusembuhkan. Kini yang perlu dicari
yaitu orang yang meneluh mereka. Yah, kita temukan Ki Teluh, kata Pita
Loka kepada ayahnya. Ayahnya mengiringinya bersama Dasa Laksana.
Ketika itulah dia dicegat Gumara. Gumara berkata; Kudengar kau telah
menyembuhkan Lurah dan Kepala Polisi di sini!
Tidak sediakah kau menyembuhkan adikku?
Aku terlalu sibuk untuk mencari Ki Teluh, kata Pita Loka.
Tadi orang bilang dia ada di warung tuak, kata Gumara.
Aku tak butuh bantuan Tuan Guru, kata Pita Loka.
Pita Loka langsung menuju warung tuak. Ternyata sopir dan dua peminum tuak
bukan mabuk. Mereka sudah gila. Bu Rukaya dan suaminya pun sudah gila.
Hanya satu orang yang tidak gila, yang duduk di warung itu. Pita Loka
langsung menyergap bahu orang itu; Hai, Ki Teluhl
Orang itu berbalik, tapi dalam sekelebatan dia sudah menjelma menjadi
seekor harimau yang menyeringai. Ki Putih Kelabu segera mengisi dirinya
dengan pernapasan penuh, dan dirinya pun menjelma menjadi harimau. Ketika
Pita Loka menoleh ke belakang untuk menyiapkan tempat mundur, dia merasa
melihat dua ekor harimau pula di belakangnya.
Mendadak saja Pita Loka berhadapan dengan tiga ekor harimau. Kini tak jelas
baginya lagi siapa kawan dan lawan. Semua harimau itu mengundurkan diri.
Pita Loka jadi geram dan saking jengkel dia tinju meja warung. Bu Rukaya
akhirnya diobatinya, begitu pun suaminya dan orang-orang mabuk yang menjadi
gila.
Sungguh kejengkelannya terhibur karena disembuhkannya lagi lima orang gila
karena ulah Ki Teluh. Dalam keadaan lelah, Pita Loka menaruhkan kepala di
atas meja. Lalu muncullah seorang lelaki tua dengan destar di kepalanya. Bu
Rukaya membangunkan Pita Loka: Nak,dia datang lagi!
Jangan cemas. Kali ini saya datang bukan untuk melakukan teluh. Aku mau
menjumpai orang ini, ujar pak tua itu.
Pita Loka mengusap mata keheranan, Lalu dia berseru pada orang itu: Ki

Jengger! Mengapa anda tiba-tiba ada di sini?


Dia Ki Teluh! ujar Bu Rukaya berani, pada Pita Loka.
Memang kusengaja membuat mereka jadi gila. Supaya aku menyaksikan kau
menyembuhkan mereka. Tapi dalam tugasmu, kurasa kau berpilih kasih, ujar
Ki Jengger
Mendengar saran Ki Jengger, Pita Loka merasa tersinggung, Dia bertanya:
Darimana tuan Guru datang barusan?
Sebelum menemuimu sekarang ini, tadi aku berbincang sejenak dengan Ki
Gumara Peto Alam, jawab Ki Jengger.
Apa yang dikatakan Gumara?
Dia mengeluh kau tak mau menyembuhkan Harwati yang sedang gila.
O, begitu dia mengadu? Persetan sama dia! ujar Pita Loka.
Baiklah. Tapi andaikata aku yang memberi saran, agar kau sudi mengobati
Harwati? Apakah kau akan mempersetankan saya?
Pita Loka terdiam sejenak, terbelenggu oleh rasa hormat pada Ki Jengger,
tapi dia pun tersinggung. Dia buka kalung Permata Hijau Solaiman dari
lehernya, dan disodorkannya pada Ki Jengger; Ini hadiah tuan untuk saya,
guna menyembuhkan orang gila. Jika dulu tuan tidak ikhlas memberikan pada
saya, silakan tuan ambil kembali.
Kenapa kau mendadak marah?
Maaf, tuan Guru. Saya bukan saja marah, tetapi saya merasa terhina.
Apa aku menghinamu? tanya Ki Jengger.
Jika Permata keramat ini sudah diberikan ikhlas buatku, ini sudah menjadi
milikku. Kurasa aku bebas untuk menentukan untuk keperluan apa barang
keramat ini. Maaf, tuan Guru, mungkin saya satu-satunya orang di sini yang
tidak sudi diperbudak anda, meski benda keramat sekalipun. Bahkan saya
tidak sudi diperbudak oleh diri saya sendiri.
Sejenak Ki Jengger terpana.
Kini akulah yang kau buat malu dan hina. Memang permata itu sudah milikmu.
Kau bebas untuk sudi mengobati Harwati atau tak sudi. Tapi silsilah Tujuh
Manusia Harimau, antara lain, rahasianya di benda ini, anakku! Apakah kau
ingin buta sepanjang masa?
Saya siap untuk buta sebelah mata saya sepanjang masa. Asal saya bebas
memilih apa yang saya kehendaki, kata Pita Loka mantap.

Kebutaamu itu bisa sembuh apabila kau bisa menyembuhkan sakit gila
Harwati.
Ha? Pita Loka tercengang.
Kalau kau menyembuhkan sakit gila Harwati, silsilah akan terangkai, karena
Permata Hitam Solaiman yang dimiliki Gumara mampu menyembuhkan kebutaanmu.
Ini semua ada dalam silsilah sejarah. Kini kamu tinggal memilih, mau
selamanya buta dengan menolak menyembuhkan gila Harwati, atau mengalah.
Ki Putih Kelabu yang rupanya mendengarkan perdebatan itu lantas berkata
menengahi; Bolah aku bicara sekedar mencari titik temu perdebatan ini?
Silakan Ki Putih Kelabu, ujar Ki Jengger.
Aku bicara bukan sebagai ayah, tapi sebagai satu diri. Begini, Pita Loka.
Saya cuma ingin melihat agar dua biji matamu itu kembali seperti sediakala.
Aku menghargai kekerasan hatimu. Itu martabat seorang pendekar. Tapi
pernahkah kau dengar seorang pendekar akan selalu menang berkelahi? Tentu
dia pernah kalah. Mau mengalah.
Pita Loka menatap ke wajah ayahnya. Dia lalu merangkul,tepat ketika
munculnya Gumara. Padahal Gumara sudah mendengar seluruh soal jawab tadi
dari balik lapau.
O, Ayah! Dari dulu, sejak kecil saya menggemari segala sesuatu dengan
perjuangan. Mulanya memang saya risau oleh kebutaan sebelah mataku ini.
Tapi justru dengan sebelah mata inilah, saya menemukan kemantapan batin.
Bagiku, hidup yang penuh keraguan, prasangka, dan kecemburuan, hanyalah
akan menyiksa diri. Segala itu sudah aku atasi. Jangan rubah lagi
pendirianku. O, ayah! Aku rela menerima kebutaan, dan seharusnya Harwati
pun rela menerima nasib gila.
Jadi kau menolak saran Ki Jengger maupun ayahmu sendiri? tanya Ki Putih
Kelabu.
Bagitu dia melihat Gumara, rasa bencinya semakin menyala.
Jika pendirianmu menjadi sikap seluruh penduduk bumi, maka dunia ini tidak
akan aman, ujar Gumara.
Pita Loka lebih bertambah benci lagi. Dia renggut kalung Permata Hijau itu,
lalu dilontarkannya ke udara. Di udara kalung itu bagaikan melesat seperti
anak panah yang tidak akan kembali lagi.
Biarlah aku buta. Biarlah dia gila. Aku akan berangkat sekarang untuk
mencari Guru yang tidak memperbudakku. Aku takkan diperbudak oleh bendabenda itu. Juga aku tak sudi diobati olehmu, wahai lelaki bermata dua.
Mataku satu sebagai lambang cintaku satu. Matamu dua sebagai bukti cintamu

dua. Jangan ajak aku bicara 1agi.


Maafkan ananda, wahai ayah, karena Pita Loka akan mengembara dengan sebelah
mata.
Aneh! Pita Loka menghilang secara ghaib. Ki Jenggar, Ki Putih Kelabu,
Gumara Peto Alam terheran-heran oleh keajaiban itu.
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai