BANDUNG, (PR).Jumlah penduduk Indonesia yang masih buta huruf ternyata cukup besar, mencapai 5,39 juta orang. Jumlah itu terdiri dari 2,80 juta orang usia 10-44 tahun dan 2,59 juta orang usia 44 tahun ke atas. Di Jawa Barat terdapat 216.758 orang yang buta huruf, sehingga Jawa Barat menempati peringkat kelima dalam jumlah warga belajar Paket A setara SD. Hal itu diungkapkan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof. Dr. Enceng Mulyana dalam diskusi "Mencari Model Pendidikan bagi Rakyat Miskin Agar Membentuk Kemandirian " di aula redaksi "PR", Kamis (28/4). Selain Enceng Mulyana, pembicara lainnya adalah Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata (UPI Bandung) dan Dr. Ikka Kartika Fauzi (Uninus). Diskusi yang berlangsung atas kerja sama antara HU Pikiran Rakyat dengan UPI Bandung dalam menyambut Hari Pendidikan Nasional tersebut, dihadiri Disdik Jabar, Dewan Pendidikan Jabar, Guru Besar dan Dosen UPI Bandung, Forum Aspirasi Guru Indonesia (FAGI), Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia (MP2I), dan kalangan pendidikan lainnya. Enceng Mulyana membeberkan data tersebut di atas yang diambil dari data Balitbang Diknas tahun 2004 tentang jumlah penduduk yang buta huruf pada tahun 2003. Namun, diperkirakan pada tahun ini masih tidak banyak perubahan. Lebih jauh Enceng Mulyana mengatakan, pada tahun 2003 jumlah penduduk usia 10-44 tahun yang buta huruf, diperkirakan mencapai 3,62% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. "Diproyeksikan sampai akhir tahun 2010 masih terdapat 1,6% dari jumlah penduduk Indonesia yang buta huruf sehingga pemberantasan buta huruf butuh waktu lama," katanya. Keprihatinan lain berkaitan dengan angka putus SD/MI atau drop out (DO) yang juga masih tinggi mencapai 702.066 orang dengan perkiraan tahun 2010 masih 547.773 orang. "Artinya, selama kurun waktu tujuh tahun dari tahun 2003 sampai tahun 2010 program paket A setara SD baru mampu menekan angka DO sebanyak 154.203 orang atau 23%," ungkapnya. Sedangkan Paket B setara SMP yang diperuntukkan warga yang putus sekolah SMP/MTs, menurut Enceng Mulyana, diperkirakan baru berhasil mengurangi jumlah anak putus SMP/MTs sampai 50%. Nana Syaodih mengatakan, dengan alasan ekonomi yang sulit membuat banyak siswa putus sekolah bukan hanya dari keluarga miskin, tapi termasuk keluarga relatif mampu. "Terbatas atau tertutupnya kesempatan kerja menjadikan banyak keluarga tidak menyekolahkan anaknya setelah lulus SD. Mereka lebih mengharapkan anak-anaknya bekerja membantu keluarga daripada sekolah," katanya.
Sedangkan Ikka Kartika menambahkan, kemampuan dana pemerintah amat terbatas
sehingga untuk melakukan akselerasi wajib belajar 9 tahun masih sulit. "Namun, ada beberapa peluang dengan mengembangkan strategi pendanaan lain dan model pembelajaran yang beda dengan sekolah formal. Jangan hanya diartikan sekolah, tapi dalam arti luas yakni perubahan, sikap, dan perilaku atau keterampilan," ujarnya. Jangan eksklusif Pembantu Rektor I UPI Bandung Prof. Dr. H. Hamid Hasan menandaskan, pendidikan bagi orang miskin tidak boleh bersifat eksklusif atau sekolah khusus bagi orang miskin. "Yang perlu diperhatikan lagi adalah dalam penerapan sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP) yang tidak boleh sama atau seragam melainkan disesuaikan dengan kemampuan orangtua siswa," katanya. Ketua MP21, Eko Purwono mengatakan, untuk mengakomodasi kepentingan orang miskin bukan sekadar melalui program informal seperti Kejar Paket A, Kejar Paket B, atau yang lainnya. "Tetapi, yang lebih penting kebijakan pemerintah mengenai pendidikan itu sendiri yang selama ini kerapkali menghambat hak-hak orang miskin," katanya. Menurut Eko, kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah selama ini tidak berpihak kepada orang miskin. (A-133/A-71/A-148)***