Kasus demonstrasi buruh menyeruak karena upah yang ada dianggap tidak layak dan
adanya diskriminasi upah antar perusahaan (dalam negeri dan Penanaman Modal Asing
PMA), antar sektor juga diskriminasi antar pekerja itu sendiri. Kasus demonstrasi besar yang
berakhir dengan kerusuhan dan perusakan terjadi dari Sabang sampai Merauke seperti di
Bekasi (pengusaha menggugat kenaikan upah), Batam (diskriminasi pekerja dan upah antar
sektor), dan Papua (Freeport, tambang emas: diskriminasi upah dalam PT Freeport di dalam
dan luar negeri).
Persoalan pada perusahaan PMA sebenarnya bukan pada kemampuannya dalam
membayar upah minimum (UM) sesuai standard Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tapi lebih
kepada perbedaaan (diskriminasi) antara pekerja lokal dan Tenaga Kerja Asing (TKA); juga
perbedaan pada besarnya (kenaikan) upah dan tunjangan.
Terlepas dari status PMA atau perusahaan lokal, kenaikan upah (baik yang dituntut
oleh pekerja/buruh) maupun yang dituntut oleh konstitusi (kenaikan UM tiap tahun) lebih
dianggap sebagai beban tambahan bagi perusahaan; tidak dilihat sebagai cara untuk
meningkatkan produktivitas, etos kerja dan loyalitas pekerja kepada perusahaan. Dengan
meningkatnya kompetisi di pasar, perusahaan dituntut untuk bisa menurunkan biaya tenaga
kerja (total). Perusahaan biasanya berusaha menahan laju kenaikan upah (tidak memenuhi
tuntutan buruh), merubah kontrak kerja (kontrak atau outsourcing), karena perusahaan tidak
harus memberikan fasilitas kesehatan, kelangsungan kerja, pension dan tunjangan lain.
PMA
memang
mampu
menumbuhkan
kegiatan
perekonomian
dibandingkan dengan tingkat pendidikan terendah, juga nampak bahwa TKA dengan ijazah
SMA menerima antara Rp 10 25 juta (jumlahnya lebih dari 30%). Kesenjangan upah TKA
ini tidak hanya pada perusahaan PMA tapi juga non-PMA, yang berarti kesenjangan itu
menjada sedemikian nyata dan di banyak tempat.
Keengganan PMA untuk meningkatkan upah buruh lokal dikarenakan para pengusaha
berkeyakinan bahwa kewajiban mereka adalah sebatas memenuhi standar upah minimum
yang ditetapkan oleh pemerintah (daerah) sesuai dengan peraturan yang ada. Kenyataan di
lapangan memang demikian, pekerja lokal memperoleh upah paling tidak sama dengan upah
minimum sesuai dengan KHL. Disamping itu keengganan mereka menaikkan upah adalah
karena adanya kekhawatiran (seperti diungkap oleh Wakil Ketua Asosiasi Pertambangan
Indonesia) bahwa tingginya kenaikan upah yang diberikan oleh satu/beberapa perusahaan di
sektor tertentu bisa memicu pekerja di sektor lain untuk menuntut hal yang sama. Kasus
alotnya proses negosiasi buruh di Freeport dan juga di Bekasi adalah bukti nyata keengganan
mereka untuk memenuhi tuntutan buruh.