Anda di halaman 1dari 3

Perusahaan PMA dan Diskriminasi Upah

Kasus demonstrasi buruh menyeruak karena upah yang ada dianggap tidak layak dan
adanya diskriminasi upah antar perusahaan (dalam negeri dan Penanaman Modal Asing
PMA), antar sektor juga diskriminasi antar pekerja itu sendiri. Kasus demonstrasi besar yang
berakhir dengan kerusuhan dan perusakan terjadi dari Sabang sampai Merauke seperti di
Bekasi (pengusaha menggugat kenaikan upah), Batam (diskriminasi pekerja dan upah antar
sektor), dan Papua (Freeport, tambang emas: diskriminasi upah dalam PT Freeport di dalam
dan luar negeri).
Persoalan pada perusahaan PMA sebenarnya bukan pada kemampuannya dalam
membayar upah minimum (UM) sesuai standard Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tapi lebih
kepada perbedaaan (diskriminasi) antara pekerja lokal dan Tenaga Kerja Asing (TKA); juga
perbedaan pada besarnya (kenaikan) upah dan tunjangan.
Terlepas dari status PMA atau perusahaan lokal, kenaikan upah (baik yang dituntut
oleh pekerja/buruh) maupun yang dituntut oleh konstitusi (kenaikan UM tiap tahun) lebih
dianggap sebagai beban tambahan bagi perusahaan; tidak dilihat sebagai cara untuk
meningkatkan produktivitas, etos kerja dan loyalitas pekerja kepada perusahaan. Dengan
meningkatnya kompetisi di pasar, perusahaan dituntut untuk bisa menurunkan biaya tenaga
kerja (total). Perusahaan biasanya berusaha menahan laju kenaikan upah (tidak memenuhi
tuntutan buruh), merubah kontrak kerja (kontrak atau outsourcing), karena perusahaan tidak
harus memberikan fasilitas kesehatan, kelangsungan kerja, pension dan tunjangan lain.

Diskriminasi Upah antar Perusahaan/Industri


Kehadiran

PMA

memang

mampu

menumbuhkan

kegiatan

perekonomian

dearh/nasional; juga turut meningkatkan tingkat upah di daerah/kawasan tertentu. Namun di


sisi lain, PMA bisa menimbulkan diskriminasi upah antar perusahaan sekaligus juga mampu
menimbulkan gesekan buruh untuk menuntut kenaikan upah yang sama. Studi yang
dilakukan oleh Raymond Robertson, et al. (2009, World Bank), menunjukkan bahwa
keberadaan PMA mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan perbedaan tingkat
upah (inter-industry wage differentials). Upah pekerja di perusahaan PMA cenderung lebih
tinggi. Hal ini karena, secara umum, pekerja di perusahaan PMA mempunyai produktivitas
yang lebih besar (dengan adanya training yang lebih intensif dan baik) daripada pekerja di
perusahaan swasta dalam negeri dan perusahaan pemerintah yang rasionya bisa mencapai 2
kali lipat; sehingga upah pekerja PMA cenderung (dituntut) lebih tinggi.

Diskriminasi Upah antar Pekerja


Perbedaan upah yang tinggi tidak hanya sebatas antar perusahaan (PMA dan lokal)
tapi juga antar pekerja di dalam perusahaan asing tersebut. Tingginya perbedaan upah antar
pekerja dalam perusahaan PMA disebabkan, diantaranya, oleh adanya permakaian struktur
upah yang diadopsi dari negara asal PMA tersebut. Perbedaan struktur upah berimplikasi
pada perbedaan pengupahan yang cenderung berpihak kepada mereka yang memunyai
keahlian tinggi (high skilled workers).
Perbedaan upah ini menimbulkan kecemburuan sosial (dalam perusahaan maupun
masyarakat). Asosiasi pekerja dan buruh di Indonesia juga mengeluhkan besarnya jurang
perbedaan antara tenaga kerja lokal dan asing, meskipun mereka mempunyai skill dan berada
di level yang sama. Adanya stigma bahwa pekerja lokal kurang trampil dan berpendidikan
lebih rendah turut menentukan diskriminasi upah yang ada, sehingga upah buruh lokal lebih
rendah dan cenderung susah untuk naik.
Sebagian besar dari pekerja lokal yang ada di perusahaan PMA adalah mereka yang
masuk bagian produksi/operator dan status kontrak atau outsourcing yang cenderung tidak
memperoleh training extra untuk meningkatkan produktivitasnya. Jadi mereka akan
mengalami kesulitan dalam memperoleh kanaikan upah sebagai reward terhadap kenaikan
produktivitas mereka.
Kecemburuan itu juga dipicu oleh adanya kenyataan bahwa tenaga ahli (asing)
cenderung dipakai terus meski masa kontraknya sudah habis. Pelanggaran ini tetap terjadi
meskipun UU No. 13 tahun 2003 telah menggariskan penggantian TKA dengan tenaga lokal,
bila masa kontrak TKA habis. Pasal ini menjadi sumber kecemburuan karena tidak
adanya law enforcement dari pemerintah dan cenderung dibiarkan. Memang pemodal asing
yang masuk diberi kebebasan untuk membawa tenaga ahli (jabatan tertentu) sesuai UU No.
25/2007 tentang Penanaman Modal, namun dalam kenyatannya mereka cenderung membawa
tenaga kerja yang seharusnya bisa disi oleh pekerja lokal.
Survey yang dilakukan Bank Indonesia (2009) bisa memberikan gambaran bagaimana
diskriminasi di perusahaan PMA dalam memberikan gaji kepada TKA. Sebagian besar TKA
yang ada di Indonesia bekerja sebagai profesional (35%), teknisi (24%) dan manajer (18%).
Diskriminasi upah antara pekerja lokal dan TKA bisa dilihat untuk kelas teknisi (jabatan
terendah dari TKA), sebagian besar mereka memperoleh gaji antara Rp 25 50 jt per bulan,
ditambah tunjangan lain minimal Rp 10 juta.
Kesenjangan upah tentu sangat lebar, terutama bila kita bandingkan dengan gaji
teknisi pekerja lokal yang tidak jauh dari UM yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Bila

dibandingkan dengan tingkat pendidikan terendah, juga nampak bahwa TKA dengan ijazah
SMA menerima antara Rp 10 25 juta (jumlahnya lebih dari 30%). Kesenjangan upah TKA
ini tidak hanya pada perusahaan PMA tapi juga non-PMA, yang berarti kesenjangan itu
menjada sedemikian nyata dan di banyak tempat.
Keengganan PMA untuk meningkatkan upah buruh lokal dikarenakan para pengusaha
berkeyakinan bahwa kewajiban mereka adalah sebatas memenuhi standar upah minimum
yang ditetapkan oleh pemerintah (daerah) sesuai dengan peraturan yang ada. Kenyataan di
lapangan memang demikian, pekerja lokal memperoleh upah paling tidak sama dengan upah
minimum sesuai dengan KHL. Disamping itu keengganan mereka menaikkan upah adalah
karena adanya kekhawatiran (seperti diungkap oleh Wakil Ketua Asosiasi Pertambangan
Indonesia) bahwa tingginya kenaikan upah yang diberikan oleh satu/beberapa perusahaan di
sektor tertentu bisa memicu pekerja di sektor lain untuk menuntut hal yang sama. Kasus
alotnya proses negosiasi buruh di Freeport dan juga di Bekasi adalah bukti nyata keengganan
mereka untuk memenuhi tuntutan buruh.

Anda mungkin juga menyukai