Anda di halaman 1dari 19

Filsafat moral

OLEH

IRA MAHARTIKA : 1304220


NADYA RAHAYU QORY : 1304225

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Hj. LATISMA DJ, M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014

FILSAFAT MORAL
A. ONTOLOGI MORAL
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau
adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia,
kata mores masih dipakai dalam arti yang sama.
Kata Moral sering juga dipadankan dengan kata akhlak (bhs. Arab, berarti :
perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber
timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan
dan direncanakan sebelumnya.
Moral dapat dimaknai sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya,
perbuatan seseorang tidak bermoral. Hal itu dimaksudkan bahwa perbuatan orang tersebut
melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Tim Prima Pena) : Moral diartikan sebagai ajaran
tentang baik buruk yang di terima umum mengenaik akhlak-akhlak dan budi pekerti, kondisi
mental yang memperngaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin, dll.
Menurut Ensiklopedia Pendidikan : Moral merupakan suatu istilah untuk menentukan
batas-batas dari sifat-sifat, corak-corak,maksud-maksud, pertimbangan-pertimbangan, atau
perbuatan-perbuatanyang

layak

dapat

dinyatakan

baik/buruk,

benar/salah,Lawannya

amoral, Suatu istilah untuk menyatakan bahwa baik-benar itu lebih daripada yang
buruk/salah.
Menurut Kohlberg dalam Djahiri : Moral diartikan sebagai segala hal yang mengikat,
membatasi, dan menentukan serta harus dianut, diyakini, dilaksanakan atau diharapkan
dalam kehidupan dinamika kita berada.
Moral ada dalam kehidupan serta menuntut dianut, diyakini akan menjadi moralitas
sendiri. Djahiri mengatakan lebih lanjut, bahwa moral itu mengikat seseorang karena :
1. Dianut orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada.
2. Diyakini orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada
3. Dilaksanakan orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada.

4. Merupakan nilai yang diinginkan atau diharapkan atau dicita-citakan kelompok atau
masyarakat di dalam kehidupan kita.
Selanjutnya, Kama Abdul Hakam mengatakan bahwa berbicara soal moral berarti
berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa
yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidak patut dilakukan.
Dari beberapa pendapat di atas, dipahami bahwa moral adalah keseluruhan aturan,
kaidah atau hukum yang berbentuk perintah dan larangan yang mengatur perilaku
manusia dan masyarakat di mana manusia itu berada.
Dalam perkembangannya kemudian, kata mos, mores dan moral ini menjadi moralismoralitas. Moralitas dipergunakan untuk menyebut sebuah perbuatan yang memiliki makna
lebih abstrak. Apabila ditanyakan, apakah moralitas tersebut? Moralitas adalah segi moral
baik maupun buruknya suatu perbuatan. Moralitas menunjuk pada suatu konsep yang
keseluruhannya memaknai suatu perbuatan itu berkenaan dengan hakekat nilai, terkait
dengan kualitas perbuatan manusiawi. Dengan demikian pada dasarnya perbuatan moralitas
manusia hanyalah dirasakan relevan apabila dikaitkan dengan eksistensi manusia seutuhnya.
Kata moralitas, yang berasal dari kata sifat Latin moralis. Ini mempunyai arti yang mirip
sama dengan moral, hanya lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan,
artinya memandang baik buruknya perbuatan dari segi moral. Moralitas adalah sifat moral
atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Menurut Sumantri, istilah moral dan moralitas itu tidak sekedar menunjukkan tingkah
laku atau sikap semata, akan tetapi lebih kepada kompleks komponen yang menyangkut
keduanya. Dari asumsi ini, pernyataan moral dan moralitas tidak saja meliputi komponen
sikap, akan tetapi sekaligus tingkah lakunya. Ini berarti bahwa moral sangat erat kaitannya
dengan performasi dari tingkah laku tertentu. Lebih dari itu, ruang lingkup moral juga
meliputi tipe-tipe motivasi, disposisi, dan intensi tertentu yang merupakan pra-kondisi mutlak
bagi tingkah laku moral. Konsep Sumantri mengenai moral dan moralitas tidak semata
menyangkut tingkah laku dan sikap semata yang dapat diartikan secara terpisah, tetapi
keduanya merupakan satu kesatuan yang dapat terwujud melalui performasi dan komponen
kompleksitas antara tingkah laku dan sikap dalam bentuk motivasi, disposisi, dan intensi
tertentu.

Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:


1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu
pengejawantahan dari pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran berbagai ajaran filosofis, agama,
adat, yang menguasai pemutaran manusia.
Faktor penentu moralitas menurut Sumaryono (1995) mengemukakan tiga faktor
penentu moralitas perbuatan manusia yaitu :
1. Motivasi
2. Tujuan akhir
3. Lingkungan perbuatan.
Perbuatan manusia dikatakan baik apabila motivasi, tujuan akhir dan lingkungannya juga
baik. Apabila salah satu faktor penentu itu tidak baik, maka keseluruhan perbuatan manusia
menjadi tidak baik.
Motivasi adalah hal yang diinginkan para pelaku perbuatan dengan maksud untuk
mencapai sasaran yang hendak dituju. Jadi, motivasi itu dikehendaki secara sadar, sehingga
menentukan kadar moralitas perbuatan. Sebagai contoh ialah kasus pembunuhan dalam
keluarga :
-

Yang

diinginkan

pembunuh

adalah

matinya

pemilik

harta

yang

berstatus

sebagai pewaris.
-

Sasaran yang hendak dicapai adalah penguasa harta warisan.

Moralitas perbuatan adalah salah dan jahat


Tujuan akhir (sasaran) adalah diwujudkannya perbuatan yang dikehendakinya secara

bebas. Moralitas perbuatan ada dalam kehendak. Perbuatan itu menjadi objek perhatian
kehendak, artinya memang dikehendaki oleh pelakunya. Sebagai contoh, ialah kasus dalam
pembunuhan keluarga yang dikemukakan diatas :
-

Perbuatan yang dikehendaki dengan bebas (tanpa paksaan) adalah membunuh.

Diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu
matinya pemilik harta (pewaris).

Moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan perbuatan jahat dan salah.
Lingkungan perbuatan adalah segala sesuatu yang secara aksidental mengelilingi atau

mewarnai perbuatan. Termasuk dalam pengertian lingkungan perbuatan adalah :

Manusia yang terlihat

Kualitas dan kuantitas perbuatan

Cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan

Frekuensi perbuatan
Hal-hal ini dapat diperhitungkan sebelumnya atau dapat dikehendaki ada pada perbuatan

yang dilakukan secara sadar. Lingkungan ini menentukan kadar moralitas perbuatan yaitu
baik atau jahat, benar atau salah.

B. EPISTEMOLOGI MORAL
a. PERSPEKTIF OBJEKTIVISTISK VS RELATIVISTIK.
Perspektif objektivistik: baik dan buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah. Suatu
perilaku yang dianggap baik akan tetap baik, bukan kadang baik atau kadang tidak baik.
Baik dan buruk bersifat mutlak, sepenuhnya, dan tanpa syarat; pandangan universal
prinsip-prinsip moral. Perspektif relativistik: baik dan buruk suatu perilaku bersifat
relatif, tergantung kepada konteks, kultural, situasi, atau masing-masing individu.
Terbatas kepada dimensi ruang dan waktu.
b. MORALITAS OBJELTIVISTIK VS RELATIVISTIK : Perspektif historis (sejarah
perkembangan intelektual Barat)
1. Periode Abad Klasik: zaman Yunani Kuno (sekitar Abad ke-5 SM) Sokrates, Plato,
Aristoteles. Prinsip-prinsip moral bersifat objektivistik, naturalistik, dan rasional
objektivistik.
2. Periode Abad Pertengahan: sejak keruntuhan Imperium Romawi pada Abad ke-5
hingga Abad ke-15 disebut Abad Kepercayaan, pemikiran Barat dipengaruhi oleh
kepercayaan yang kokoh terhadap kebenaran wahyu Kristiani. Persoalan moralitas
bahkan realitas alam ditempatkan dalam kerangka pikir pada kepercayaan (iman)
dibanding penalaran spiritualistik objektivistik.
3. Periode Abad Modern: setelah berkembang Renaisans, Aufklarung (Bahasa Perancis
berarti: kelahiran kembali). Karakteristik : naturalistic, rasional-empiris dan
relativistik. Persoalan moral sebagai persoalan duniawi bersifat relativistic sekular.

c. ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT MORAL


1. Hedonisme
Pengertian etimologis dalam Bahasa Yunani berasal dari kata hdon, berarti
nikmat/kenikmatan. Pendirian hedonisme pada kodratnya manusia mengusahakan
kenikmatan. Aspek negatif aliran ini ialah bahwa manusia menghindari terhadap apa
yang menimbulkan rasa sakit. Manusia akan mengejar apa yang dapat mencapai rasa
nikmat. Para filosof moral aliran ini adalah Aristippus (pendiri Mazhab Cyrene, +
400 SM) dan Epicurus (341-271 SM). Berikutnya hedonisme mengalami transformasi
ke dalam faham utilisme John Stuart Mill. Ajaran pokok hedonisme (Epicurus dalam
De Vos, 1987) bahwa kebajikan tertinggi terletak pada kenikmatan. Kenikmatan tidak
selalu berbentuk atau bersifat jasmani/fisik.
Kritik:
-

Apakah segala perbuatan manusia hanyalah demi mencapai nikmat dan untuk
menghindari perasaan yang menyakitkan saja.

Jawaban Franz Magnis-Suseno : tidak mungkin mengembalikan semua dorongan


untuk mencapai kenikmatan dan penghindaran perasaan menyakitkan.

Manusia seakan-akan menjadikannya bersifat binatang yang hanya serakah, ingin


memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memperoleh kenikmatan sepuas-puasnya,
asalkan kebutuhan kodratinya terpenuhi.

2. Eudemonisme
Pengertian etimologis dalam Bahasa Yunani berasal dari kata eudaimonia
berarti roh pengawal (demon) yang baik, mujur dan beruntung. Kata Eudemonia
lebih dititikberatkan kepada pengertian batiniah yaitu bahagia, kebahagian (De
Vos, 1987). Pendiri eudemonisme menyatakan bahwa hakekat kodrat manusia adalah
mengusahakan kebahagiaan. Kesenangan adalah kebahagiaan. Sumber kebahagiaan
adalah kekayaan, status sosial, keutamaan intelektual (Aristoteles). Para filosof moral
aliran ini adalah Aristoteles (384-322 SM), dengan akal budi manusia dapat mencapai
tujuan terakhir melalui kegiatan yang mencerminkan keutamaan intelektual maupun
keutamaan moral.

Kritik terhadap eudemonisme Aristoteles:


-

Keutamaan Aristoteles bukan merupakan hasil pemikiran, tetapi mencerminkan


pandangan etis dari masyarakat Yunani ketika itu, tetapi lebih khusus
mencerminkan golongan atas di mana Aristoteles hidup.

Eudemonisme Aristoteles lebih bersifat elitis, bahkan membenarkan secara


rasional lembaga perbudakan, yang sesungguhnya merupakan bentuk pelanggaran
hak asasi manusia, sebagai sesuatu yang dianggap tidak bermoral di jaman
modern.

Etika Aristoteles dan khususunya ajaran tentang keutamaan tidak begitu berguna
untuk memecahkan dilema-dilema moral besar yang dihadapi sekarang (Bertens,
1993).

3. Utilitrisme
Pengertian etimologis utilitarisme, berarti berguna. Utilitarisme menyatakan
bahwa bertindaklah sedemikian rupa hingga sebanyak mungkin orang dapat bahagia.
Artinya kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebanyak
mungkin dan sedapat-dapatnya mengelakkan akibat-akibat buruk (Magnis-Suseno,
1987).
K. Bertens (1993) membagi utilitarisme ke dalam dua kelompok besar yaitu
UTILITARISME KLASIK dan UTILITARISME ATURAN.
Utilitarisme Klasik yang tumbuh dari tradisi pemikiran moral di Inggris oleh David
Hume (1711-1776) dan dimatangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Menurut
Bentham, utilitarisme sebagai dasar etis dimaksudkan untuk memperbaharui hukum
Inggris, terutama hukum pidana. Prinsip utilitasrisme klasik: the greatest happiness of
the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar. Eksponen utilitarisme
klasik lainnya adalah John Stuart Mill (1806-1873).
Utilitarisme Aturan (Stephen Toulmin, dkk) menurut mereka prinsip kegunaan tidak
harus diterapkan atas salah satu perbuatan melainkan atas aturan-aturan moral yang
mengatur perbuatan-perbuatan kita. Richard b. Brandt mengusulkan agar sistem
aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Utilitarisme ini sulit
ketika terjadi konflik antara dua aturan moral (Bertens, 1993).
Kritik terhadap Utilitarisme:

Tidak selamanya benar bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan
kebahagiaan terbesar. Ini disebabkan utilitarisme tidak pernah membenarkan
adanya paham hak. Padahal. Hak merupakan suatu kategori moral yang sangat
penting (Bertens, 1993).

4. Marxisme
Marxisme sebagai aliran filsafat moral bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Marxisme mendasarkan filsafat moralnya atas fakta, yaitu rasa lapar, artinya
kehendak untuk melestarikan diri atau kehendak untuk hidup. Karl Marx sebagai
orang yang namanya dipakai untuk aliran ini, sebenarnya tidak pernah menyusun
suatu etika/moralitas yang sudah lanjut perkembangannya (De Vos, 1987).
Satu-satunya kriteria moral dalam Marxisme ialah mencari kenikmatan yang
didasarkan atas kesempurnaan sarana-sarana produksi. Hal ini disadari karena
pandangan dunia Marxisme bersifat materialistik (Muthahari, 1995).
Moralitas Marxisme dibangun di atas kerangka konflik kelas melalui suatu
revolusi. Perbuatan buruk (nonetis) Setiap perbuatan yang menguntungkan kelas
yang lama yang bergantung kepada masyarakat lama. Kesempurnaan moralitas diukur
dengan kriteria revolusi. Mempercepat timbulnya revolusi tergolong baik dan
bermoral, sebaliknya jika menghambat revolusi, maka perbuatan itu tidak bermoral
(Muthahari, 1995).
Kejahatan dan kebaikan tidak seluruhnya dianggap tidak bertentangan dapat
melahirkan revolusi. Seandainya kebohongan dapat melahirkan revolusi, maka
kebohongan adalah tindakan bermoral. Demikian pula, jika kebenaran dapat
mempercepat revolusi, maka ia menjadi suatu kebajikan moral. Dengan demikian
antara amanat dan khianat tidak bisa dibedakan, tergantung perbuatan mana yang
duluan mempercepat timbulnya revolusi. Aliran Marxisme hanyalah mengakui satu
nilai, yaitu tidak mengenal benturan antar-nilai. Padahal masalah benturan nilai
atau dilema moral adalah masalah penting dalam perbincangan tindakan moral
(Muthahari, 1995).

Kritik terhadap pandangan moral Marxisme :


-

Tidak dapat diterima bahwa kesempurnaan masyarakat adalah satu-satunya


kriteria perbuatan moral (akhlak), lantaran perkara ini bersandar pada konsep
sosialisme dan mengabaikan individualisme.

Kesempurnaan sebagai satu-satunya kriteria moral bisa diterima, tetapi jalan


revolusi sebagai satu-satunya cara mencapai kesempurnaan adalah persoalan lain
(Muthahari, 1995).

5. Deontologi
Hedonisme, Eudemonisme, Utilitarisme, & Marxisme berorientasi kepada hasil
perbuatan dalam mencapai tujuan Teleologis (Bahasa Yunani, thelos), terarah
semata-mata kepada tujuan.
Pengertian deontologis berasal dari Bahasa Yunani yaitu deon yang berarti apa
yang harus dilakukan, kewajiban (Bertens, 1995).
Peletak etika kewajiban adalah Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant
(Magnis-Suseno, 1997), ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, baik pada dirinya
sendiri,

yaitu kehendak baik. Kehendak baik, apabila

mau

memenuhi

kewajibannya demi kewajiban.


Hakekat kebajikan menurut Kant adalah kesediaan melakukan apa yang menjadi
kewajibannya. Moralitas hidup berhubungan dengan kewajiban, terlepas apakah
membahagiakan ataukah tidak.
Suatu kehendak sesuai dengan kewajiban apabila berdasarkan pertimbanganpertimbangan (maksim) yang dapat diuniversalkan. Suatu maksim bersifat moral
apabila dapat diuniversalkan, dijadikan hukum umum, dan bersifat amoral atau jahat
apabila tidak dapat diuniversalkan (Magnis-Suseno, 1997). Moralitas Deontologis
menurut Kant diujudkan dalam bentuk perintah (imperatif). Kant membagi dua
perintah berkaitan dengan moralitas:
-

Imperatif hipotetis : perintah bersyarat, Jika mau X, kamu harus melakukan Y


ini disebut moralitas heteronom.

Imperatif kategoris : perintah yang menunjukkan suatu tindakan objektif mutlak


perlu pada dirinya sendiri terlepas dari kaitannya dengan tujuan lebih lanjut ini
disebut moralitas otonomi. (Tjahjadi, 1991).

Kritik terhadap deontologis Kant :


-

Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku (rigorisme)
karena seolah-olah ada kesan bahwa kita berkelakuan baik hanya jika
melakukannya karena kewajiban.

Dalam Moralitas Kant, konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas
perbuatan kita. Contoh, perbuatan berbohong untuk melindungi nyawa seseorang
agar tidak dicelakai atau dibunuh. Jika jujur tentu saja kewajiban untuk tidak
berbohong membawa konsekuensi seseorang itu terancam dicelakai/dibunuh.

C. AKSIOLOGI MORAL
a. MORALITAS SEBAGAI NORMA
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, moralitas adalah kualitas perbuatan
manusiawi, sehingga perbuatan dikatakan baik atau buruk, benar atau salah. Penentuan
baik atau buruk, benar atau salah tentunya berdasarkan norma sebagai ukuran.
Sumaryono (1995) mengklasifikasikan moralitas menjadi dua golongan, yaitu :
1. Moralitas objektif
Moralitas objektif adalah moralitas yang terlihat pada perbuatan sebagaimana
adanya, terlepas dari bentuk modifikasi kehendak bebas pelakunya. Moralitas ini
dinyatakan dari semua kondisi subjektif khusus pelakunya. Misalnya, kondisi
emosional yang mungkin menyebabkan pelakunya lepas kontrol.
Apakah perbuatan itu memang dikehendaki atau tidak. Moralitas objektif sebagai
norma yang berhubungan dengan semua perbuatan yang pada hakekatnya baik atau
jahat, benar atau salah. Misalnya :
-

Menolong sesama manusia adalah perbuatan baik

Mencuri, memperkosa, membunuh adalah perbuatan jahat. Tetapi pada situasi


khusus, mencuri atau membunuh adalah perbuatan yang dapat dibenarkan jika
untuk mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi moralitasnya terletak pada
upaya untuk mempertahankan hidup atau membela diri (hak untuk hidup adalah
hak asasi).

2. Moralitas subjektif
Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan dipengaruhi oleh
pengetahuah dan perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional, dan
perlakuan personal lainnya.
Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak dengan
suara hati nurani pelakunya. Moralitas subjektif sebagai norma berhubungan dengan
semua perbuatan yang diwarnai niat pelakunya, niat baik atau niat buruk. Dalam
musibah kebakaran misalnya, banyak orang membantu menyelamatkan harta benda
korban, ini adalah niat baik. Tetapi jika tujuan akhirnya adalah mencuri harta benda
karena tak ada yang melihat, maka perbuatan tersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya
terletak pada niat pelaku.
Moralitas dapat juga instrinsik atau ekstrinsik. Moralitas instrinsik menentukan
perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hukum
positif. Artinya, penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah
atau larangan hukum positif. Misalnya :
-

Gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal

Jangan menyusahkan orang lain

Berikanlah yang terbaik


Walaupun Undang-undang tidak mengatur perbuatan-perbuatan tersebut secara

instrinsik menurut hakekatnya adalah baik dan benar. Moralitas ekstrinsik


menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah
atau larangan dalam bentuk hukum positif. Misalnya:
-

Larangan menggugurkan kandungan

Wajib melaporkan mufakat jahat


Perbuatan-perbuatan itu diatur oleh Undang-undang (KUHP). Jika ada yang

menggugurkan kandungan atau ada mufakat jahat berarti itu perbuatan salah.
Pada zaman modern mulai muncul perbuatan yang berkenaan dengan moralitas, yang
tadinya dilarang sekarang malah dibenarkan. Contohnya:
-

Euthanasia untuk menghindarkan penderitaan berkepanjangan.

Aborsi untuk menyelamatkan ibu yang hamil.

Menyewa rahim wanita lain untuk membesarkan janin bayi tabung.

Persoalan moralitas hanya relevan apabila dikaitkan dengan manusia seutuhnya.


Menurut Driyarkara (1969), manusia seutuhnya adalah manusia yang memiliki nilai
pribadi, kesadaran diri dan dapat menentukan dirinya dilihat dari setiap aspek
kemanusiaan. Tidak semau perbuatan manusia dapat dikategorikan dalam perbuatan
moral. Perbuatan itu bernilai moral apabila di dalamnya terkandung kesadaran dan
kebebasan kehendak pelakunya. Kesadaran adalah suara hati dan kebebasan kehendak
berdasarkan kesadaran.
b. MORALITAS SEBAGAI SUATU KATEGORI REALITAS ALAM SEMESTA
Moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas-tanggungjawab. Moralitas
berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak memiliki moralitas
karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa dijelaskan dengan akal, karena
itu berasal dari kepribadian manusia. Manusia sebagai makhluk moral tidak dapat
dipahami kecuali terlebih dahulu mengenali realitas Bapa Semesta, Sumber dari
Kepribadian.
Moralitas manusia berasal dari kehidupan keluarga. Jadi keluarga yang baik akan
menghasilkan pribadi yang memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat
mendidik moralitas. Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga
yang berantakan nilai-nilainya.
Moralitas sosial itu evolusioner, berkembang menurut waktu. Moralitas meliputi
nilai-nilai moral alam semesta dan dapat dirasakan oleh pikiran manusia dalam bentuk
tiga dorongan dasar, tiga pilihan dasar :
1.

Dorongan tentang diri sendiri -- pilihan moral, personal morality berpengaruh pada
perkembangan spiritual dari manusia itu.

2.

Dorongan tentang masyarakat -- pilihan etik, berubah terus sesuai perubahan


kesadaran sosial.

3.

Dorongan tentang Tuhan -- pilihan relijius.

Moralitas Pribadi dan Moralitas Sosial


Jadi ada dua hal di sini :
1. Moralitas sosial akan terus berubah sesuai perubahan evolusi masyarakat dan
peradaban, Contoh : adat makan dan minum akan berubah sesuai perkembangan
masyarakat.

2. Moralitas pribadi itu primordial dan merupakan realitas alam semesta, melekat pada
kepribadian. Moralitas pribadi itu ada dari semula, pada semua pribadi, tidak
dihasilkan dari evolusi. Moralitas pribadi adalah salah satu ciri khas kepribadian yang
tulen dan dasar.
c. SIKAP-SIKAP KEPRIBADIAN MORAL YANG KUAT
1. Kejujuran
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran.
Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita
belum berani menjadi diri kita sendiri. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral
lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa
kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun. Hal yang sama berlaku bagi sikap
tenggang rasa dan mawas diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap
berhati-hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua : Pertama, sikap terbuka, kedua
bersikap fair. Terbuka berarti: orang boleh tahu, siapa kita ini. Dengan terbuka tidak
dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya,
atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita
berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul
sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak menyembunyikan
wajah kita yang sebenarnya. Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar
atau fair : ia memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya
dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu
akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi
untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati
atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan dan
kebohongan akan disobeknya.
Langkah awal untuk menerapkan sikap tersebut adalah dengan kita berhenti
membohongi diri kita sendiri. Kita harus berani melihat diri seadanya. Kita harus
berhenti main sandiwara, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan terhadap kita
sendiri.

Kita

perlu

melawan

kecondongan

untuk

berasionalisasi,

menghindari show dan pembawaan berlebih-lebihan. Orang jujur tidak perlu

mengkompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang


lain. Maka amatlah penting agar kita mulai menjadi jujur.
2. Nilai-nilai otentik
Di sini tempatnya untuk beberapa kata tentang sesuatu yang erat hubungannya
dengan hal kejujuran dan juga sangat penting kalau kita mau menjadi orang yang kuat
dan matang : Kita harus menjadi otentik. Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri.
Kita bukan orang jiplakan, orang tiruan, orang-orangan yang hanya bisa membeo
saja, yang tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri karena ia dalam segalagalanya mengikuti mode, atau pendapat umum dan arah angin.
Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang
yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila
tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ketinggalan zaman kalau kelihatan
tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang
kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang in di
kalangan orang berada masa kini dan bukan karena ia memang meminatinya. Di
bidang politik seorang mahasiswa yang kritis dan pemberontak karena itulah
gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat
yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.
Otentik berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan
menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadiannya yang
sebenarnya. Manusia yang tidak otentik adalah manusia yang dicetak dari luar, yang
dalam segala-galanya menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan; orang yang
seakan-akan tidak mempunyai kepribadian sendiri melainkan terbentuk oleh peranan
yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.
Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang
yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila
tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ketinggalan zaman kalau kelihatan
tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang
kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang in di
kalangan orang berada masa kini dan bukan karena ia memang meminatinya. Di
bidang politik seorang mahasiswa yang kritis dan pemberontak karena itulah

gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat


yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.
3. Kesediaan untuk bertanggung jawab
Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita
merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak
memberikan ruang pada pamrih kita. Kita akan melaksanakannya dengan sebaik
mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang
oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah di mana kita berusaha untuk
menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita
rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita emong, kita pelihara, kita
selesaikan dengan baik, bahkan andaikata tidak ada orang yang perduli. Merasa
bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak
merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.
Kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta, dan untuk
memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas
dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia
untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melemparkan tanggung jawab atas suatu
kesalahan yang diperbuatnya kepada bawahan. Sebaliknya, sebagai atasan ia, dengan
hubungan dengan pihak luar, bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atau suatu
keteledoran, meskipun yang sebenarnya bertanggung jawab adalah seorang bawahan.
Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang
sudah mantap.
4. Kemandirian moral
Keutamaan ke-empat yang perlu kita capai apabila kita ingin mencapai
kepribadian moral yang kuat adalah kemandirian moral. Kemandirian moral berarti
bahwa kita pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam
lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan
bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti
angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa. Kita tidak menyesuaikan
pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang berbahaya. Baik faktor-faktor
dari luar : lingkungan yang berpendapat lain, kita dipermalukan atau diancam,

maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi,
pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi
pendirian kita.
Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri
dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau
berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak
jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak
dapat beli oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi
kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.
5. Keberanian moral
Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat,
yang

memperlakukannya

menyesuaikan

dengan

tidak

adil.

Keberanian

moral

tidak

diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada kalau itu berarti

mengkrompomikan kebenaran dan keadilan.


Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap
kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan berani
dalam hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu
yang sering mengecewakan dia. Ia merasa lebih mandiri. Ia bagaikan batu karang di
tengah-tengah sungai yang tetap kokoh dan tidak ikut arus. Ia memberikan semangat
dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, yang menderita akibat kezaliman
pihak-pihak yang kuat dan berkuasa.
6. Kerendahan hati
Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan
kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan
juga kekuatannya. Tetapi ia tahu bahwa banyak hal yang dikagumi orang lain
padanya bersifat kebetulan saja. Ia sadar bahwa kekuatannya dan juga kebaikannya
terbatas. Tetapi ia telah menerima diri. Ia tidak gugup atau sedih karena ia bukan
seorang manusia super. Justru karena itu ia kuat. Ia tidak mengambil posisi berlebihan
yang sulit dipertahankan kalau ditekan. Ia tidak perlu takut bahwa kelemahannya
ketahuan. Ia sendiri sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya. Maka ia
adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya.

Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan


justru prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah
menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela
untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan tidak
berani untuk membuka diri dalam dialog kritis. Justru orang yang rendah hati sering
menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan
perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani
untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung
jawabnya.
7. Realistis dan kritis
Sikap realistis tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita
mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan
tuntutan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistis mesti berbarengan
dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus
memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia,
dan supaya orang-orang dapat lebih bahagia. Prinsip-prinsip moral dasar adalah
norma kritis yang kita letakkan pada keadaan.
Sikap kritis perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekuasaan dan
wewenang dalam masyarakat. Kita tidak tunduk begitu saja, kita tidak dapat dan tidak
boleh menyerahkan tanggung jawab kita kepada mereka. Penggunaan setiap
wewenang harus sesuai dengan keadilan dan bertujuan untuk menciptakan syaratsyarat agar semakin banyak orang dapat lebih bahagia. Tak pernah martabat manusia
boleh dikorbankan. Di luar tujuan itu wewenang mereka berhenti. Begitu pula segala
macam peraturan moral tradisional perlu disaring dengan kritis. Peraturan-peraturan
itu pernah bertujuan untuk menjamin keadilan dan mengarahkan hidup masyarakat
kepada kebahagiaan. Tetapi apakah sekarang masih berfungsi demikian ataukah telah
menjadi alat untuk mempertahankan keadaan yang justru tidak adil dan malahan
membawa penderitaan ?
Tanggung jawab moral yang nyata menuntut sikap realistis dan kritis.
Pedomannya ialah untuk menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan

masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar dari anggota-anggota untuk


membangun hidup yang lebih bebas dari penderitaan dan lebih bahagia.
Dalam kenyataannya sikap-sikap tersebut memang sangatlah sulit untuk
diterapkan namun dengan adanya tekad yang bulat dan keyakinan yang mantap. Dan
dengan cara kita senantiasa melatih diri untuk selalu mengamalkan dan memelihara
sikap-sikap tersebut. Maka dengan seiring berjalannya waktu sikap-sikap tersebut
akan mudah kita terapkan dengan sendirinya. Dan dengan demikian kita pasti akan
menjadi sosok pribadi yang memiliki etika dan moral yang mantap.
Semoga topic pembahasan makalah ini dapat membimbing kita untuk menjadi
sosok yang lebih baik dari sebelumnya. Bukan untuk menjadi yang terbaik karena
yang terbaik itu hanya ada pada sosok seorang Nabi. Dan kesempurnaan hanyalah
milik Tuhan semata. Walaupun langkah pertama untuk melakukan sebuah perubahan
adalah langkah yang teramat sulit namun jangan pernah menyerah untuk
melakukannya. Karena sejatinya manusia diciptakan untuk menjadi seorang
pemimpin. Dan seorang pemimpin itu harus bisa menjadi contoh untuk rekanrekannya. Mari kita lakukan perubahan positif ! ;)

DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis-Suseno. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta :
Kanisius
K. Bertens. 1993. Etika. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Lili S.P. Tjahjadi. 1991. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif
Kategoris. Yogyakarta : Kanisius
Muchson AR. 2003. Dasar-dasar Pendidikan Moral. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
William M. Kurtines dan Jacob L. Gerwitz (penyunting). 1992. Moralitas, Perilaku Moral dan
Perkembangan Moral. Jakarta : UI Press

Anda mungkin juga menyukai