Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

LEUKEMIA MIELOID KRONIS (LMK)


FASE KRONIS

Disusun sebagai tugas stase di Bagian Interna

Oleh :
Yekti Hediningsih
Moderator:
dr. Herniah Asti Wulanjani SpPK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2007

Daftar Isi
Halaman judul
Daftar isi

Tinjauan pustaka

Laporan kasus

14

Tabulasi hasil laboratorium

19

Catatan perjalanan penyakit

22

Pembahasan

31

Kesimpulan dan saran

34

Daftar pustaka

34

TINJAUAN PUSTAKA
CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)/ LEUKEMIA GRANULOSITIK
KRONIK (LGK)/ LEUKEMIA MIELOID KRONIK (LMK)

PENDAHULUAN
Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit mieloproliferatif menahun
dengan kelainan klonal akibat perubahan genetik pada pluripoten sel stem. Kelainan
tersebut mengenai lineage mieloid, monosit, eritroid, megakariosit, limfosit B dan T.
Perubahan patologik yang terjadi berupa gangguan adhesi sel imatur di sumsum
tulang, aktivasi mitosis sel stem dan penghambatan apoptosis yang mengakibatkan
terjadinya proliferasi sel mieloid imatur di sumsum tulang, darah tepi dan terjadi
hematopoiesis ekstramedular.1
Penyakit ini ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan
diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas),
metamielosit, mielosit sampai granulosit.2,3 ,4
INSIDENSI DAN PERJALANAN PENYAKIT
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada
dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Umumnya menyerang
usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih
progresif.2,1 Angka kejadian pada pria : wanita adalah 3 : 2, secara umum didapatkan 1
- 1,5/100.000 penduduk di seluruh negara.1
Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan
Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom Chemobil meledak. Beberapa
melaporan penyebab CML selain akibat paparan radiasi, bom atom adalah ankylosing
spondilitis pasca penyinaran.2,1
Terjadinya CML secara kronologi adalah tampak perubahan hematologi yang
pertama kali berupa basofilia dan trombositosis; diikuti dengan rendahnya aktivitas
neutrophil alkaline phosphatase (NAP); dijumpai granulosit imatur di dalam darah
tepi serta peningkatan kadar vitamin B12 serum. Setelah itu terjadi splenomegali yang
diikuti gejala subyektif. Paparan dengan zat karsinogen selama 2 - 7 tahun (15-20
tahun) dapat terjadi CML fase kronik. Tiga sampai lima tahun kemudian CML dapat
mengalami perkembangan progresif menjadi bentuk agresif walaupun dalam
pengobatan. Pada keadaan agresif tersebut dapat terjadi 2 keadaan yaitu fase
akselerasi atau fase blastik (transformasi blastik = krisis blastik) menjadi AML/ALL/
leukemia bilineage serta kemungkinan terjadi perubahan menjadi mielofibrosis.1
4

Berikut ini adalah urutan kronologis perjalanan CML berdasarkan jumlah


lekosit dan perubahan hematologi serta tanda lain yang menyertainya yang terangkum
dalam tabel 1.1
Tabel 1. Urutan kronologis perjalanan CML
Jumlah leukosit
- 10 x 109 / L
- 20 x 109 / L
- 30 x 109 /
- 40 x 109 / L
- 50 x 109 / L

Perubahan hematologis/ tanda lain


Kromosom Ph
Basofilia, Trombositosis
Aktivitas NAP rendah
Granulosit imatur
Peningkatan kadar vitamin B12 serum
Splenomegali
Gejala subyektif

TANDA DAN GEJALA KLINIK


Dalam perjalanan penyakitnya, CML dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase
kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.1,2,6,7
Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase
kronis, bahkan sering kali diagnosa CML ditemukan secara kebetulan, misalnya saat
persiapan pra operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-gejala
infeksi.2
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa
cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti
diremas di perut kanan atas akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya; rasa
cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam.
Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan
tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. 2,6
Pada fase akselerasi dan fase blastik, dijumpai tambahan kelainan pada
pemeriksaan sitogenetik maupun molekular. 1
Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka
seperti terlihat pada tabel 2. 2
Tabel 2. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi 2
Keluhan

Frekuensi (%)

Splenomegali

95

Lemah badan

80

Penurunan berat badan

60

Hepatomegali

50

Keringat malam

45

Cepat kenyang

40

Perdarahan/purpura

35

Nyeri perut (infark limpa)

30

Demam

10

Setelah 2-3. tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau


mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis.
maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5

tahun. Ciri khas fase

akselerasi adalah: lekositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obat mielosupresif,


mieloblas di perifer mencapai 15- 30 %, promielosit >30 dan trombosit <
100.000/mm3 . Secara klinis fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya sudah
mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat. timbul
ptekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.2
KLASIFIKASI 8
Leukemia mieloid kronik mencakup enam tipe leukemia yang berbeda yaitu
Leukemia mieloid kronik Ph positif (CML, Ph +/ Leukemia Granulositik
Kronik; CGL)
Leukemia mieloid kronik Ph negatif (CML, Ph -)
Leukemia mieloid kronik juvenilis
Leukemia netrofilik kronik
Leukemia eosinofilik
Leukemia mielomonositik kronik (CMML)
PATOGENESIS
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan
sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasiya
berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen

BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme diatas adalah


terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem

hematopoiesis

lainnya.2
Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya
peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi
terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat
molekular. 2
Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini
masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki,
diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi , sebagian ahli berpendapat akibat mutasi
spontan. Translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid

BCR-ABL pada

kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.2


Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak
pada tabel 3. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau
kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena
patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11 akan tetapi dapat juga di daerah q l2
atau q l3 dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya. 2
Tabel 3. Variasi kelainan sitogenetik pada CML2
Kariotipik
t(9 ; 22)(q34;q12)
t(9 ; 22)(q34;q13)
t(9 ; 22)(q34;q11)
t(8 ; 22)(p11;q11)
t(4 ; 22)(q12;q11)
t(9 ; 12)(q34;p13)
Del(4)(q12)
Gen BCR-ABL pada

Gen-gen yang terlibat


BCR JAK
BCR - PDGFRB
BCR FGFR1
BCR - FGFR1
BCR - PDGFRA
ABL TEL
FIPIL 1- PDGFRA
kromosom Ph (22q-) selalu

Istilah Klinik
CML atipik
CML atipik
CML BCR - ABL negatif
CML BCR - ABL negatif
CML atipik
CML atipik
CML hipereosinofilia
terdapat pada semua pasien

CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. Dalam
perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph + lebih rawan terhadap adanya kelainan
kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase
krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang
kromosom 17i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen

lain yang berperan dalam patofisiologi CML atau terjadi abnormalitas dari gen
supresor tumor, seperti gen p53, p 16 dan gen Rb. 2
Biologi molekular pada Patogenesis CML
Pada kebanyakan pasien CML, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah
5,8-kb atau di daerah el 3-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break region
(M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesa protein dengan berat molekul
210 kD, selanjutnya ditulis p210BCR-ABL . Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb
atau el yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan
mensintesa pl90(Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun 1990 menemukan satu lagi
variasi patahan ini pada 3` gen BCR antara el9-e20 yang selanjutnya akan terbentuk
p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai mikro bcr (-bcr) (Melo, 1996).
Melo (1997) menemukan bahwa 3` variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu
mayor (M-hcr), minor (m-bcr), dan mikro (-bcr) temyata berhubungan dengan
gambaran klinik penyakitnya. Pasien CML yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr
berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan
monositosis yang prominen, sedang patahan di -bcr berhubungan dengan netrofilia
dan/ atau trombosis. p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara
sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai
kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam
sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi
dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum
tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan
berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah
transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini menyebabkan aktivasi dan juga
represi dari proses transkripsi pada RNA sehingga terjadi kekacauan pada proses
proliferasi sel dan juga proses apoptosis, 2
DIAGNOSA
Berikut ini adalah kriteria diagnostik penyakit CML berdasarkan pada
pemeriksaan fisik, darah tepi dan sumsum tulang sesuai dengan perjalanan
penyakitnya.

Fase kronik bila dijumpai kriteria berikut ini: 1


Gambaran darah tepi dan sumsum tulang yang klasik dengan dominasi
mielosit dan neutrofil.
Darah tepi didapatkan anemia normositik normokrom,
Jumlah leukosit 20.000 - > 500.000/uL,
Aktivitas NAP menurun, tampak terutama mielosit dan neutrofil. Kadangkadang didapatkan neutrofil yang warnanya terdiri dari campuran antara
granula basofil dan eosinofil, dapat disertai monositosis atau relatif
monositopenia.
Jumlah trombosit dapat > 1.000.000/uL dengan morfologi abnormal.
Trombosit dengan ukuran besar tanpa ada granula dan dijumpai megakariosit
pada 25% kasus CML
Fase akselerasi bila dijumpai salah satu dan kriteria di bawah ini: 1
Blas 10-19% di darah tepi / sumsum tulang
basofilia 20%
Trombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak disebabkan oleh
pengobatan atau trombositosis persisten (> 1000x 109/L) yang tidak responsif
terhadap pengobatan
Ukuran limpa makin membesar dengan jumlah leukosit meningkat, tidak ada
respons terhadap pengobatan
Fase blastik didapatkan bila memenuhi salah satu kriteria di bawah ini: 1
Blas 20% di darah tepi atau sumsum tulang
Proliferasi blas ekstramedular
Ditemukan kelompok / cluster sel bias pada biopsi sumsum tulang.
Pada fase akselerasi dan blastik, didapatkan kelainan sitogenetik minor, mayor
dan kelainan molekular. 1
Pemeriksaan sitogenetik yang dilakukan selama fase akselerasi mungkin
memperlihatkan banyak kelainan sitogenetik, termasuk kromosom Philadelphia ganda
atau tripel. Gambaran lain adalah pewarnaan sitokimia pada blas, yang pada sekitar
25%

kasus

memperlihatkan

penanda-penanda

limfoblastik.

Ini

mungkin

mencerminkan suatu dediferensiasi atau mengisyaratkan bahwa penyakit primer


adalah penyakit sel bakal imatur dengan kemampuan memperlihatkan ciri-ciri mieloid
dan limfoid. Penanda limfoblas, yaitu termincil deoxynucleotidyl transfernse (TdT)
mungkin ditemukan pada sel-sel bias ini. Sekitar 60 sampai 70% pasien akan
mengalami transformasi mieloblastik. 7
Pemeriksaan genetik pada CML dilakukan dengan metode sitogenetik
konvensional, FISH, maupun RT-PCR. 9
Pemeriksaan sitogenetik konvensional dapat mendeteksi adanya kromosom
Philadelphia pada 95% pasien CML. Bila hasil pemeriksaan sitogenetik tidak
memperlihatkan adanya kromosom Philadelphia ( 10%) perlu dilakukan deteksi
bcr/abl menggunakan FISH atau RT-PCR.

7,8,9

. Kelompok pasien negatif-Ph ini

umumnya berusia lebih tua dan memperlihatkan hitung trombosit dan sel darah putih
inisial yang lebih rendah. Kelangsungan hidup rata-rata pasien hanyalah 8 bulan,
dibandingkan dengan 40 bulan pada LMK positif-Ph. 7
Pemeriksaan molekuler untuk deteksi t(9:22)(q34;q11) tidak memerlukan
pembiakan sel dan dapat menggunakan sampel baik darah tepi maupun sumsum
tulang. Tapi bila ada kelainan kromosom lainnya maka tidak akan terdeteksi dengan
cara ini. Untuk itu yang sering dideteksi pada CML antara lain trisomi 8, kromosom
Philadelphia ekstra, isokromosom 17q11, yang mempunyai makna dalam prognosis.
Karena itu pada CML pemeriksaan sitogenetik konvensional tetap diperlukan, juga
sebagai baseline untuk monitor terapi. 9
Pemeriksaan FISH pada awal diagnosis juga bermanfaat sebagai baseline
untuk monitor MRD. Karena itu pada awal diagnosis sebaiknya dilakukan
pemeriksaan FISH disamping sitogenetik konvensional. 9
DIAGNOSA BANDING
-CML fase kronik: leukemia mielomonositik kronik, trombositosis esensial, leukemia
netrofilik kronik2
-CML fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasia2
PENGOBATAN
Tujuan terapi pada CML adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi

10

hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi


hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. 2
Tahapan terapi 4
Tahapan terapi pada CML dibedakan atas beberapa tahap yaitu umum, fase
kronis, fase krisis blas dan cangkok sumsum tulang. Berikut ini adalah penjelasan
tahap-tahap tersebut.
1. Umum
Profilaksis peninggian asam urat
Profilaksis tromboemboli bila trombosit > 750.000/mm3
2. Fase kronis :
Hidroksi urea (Hydrea, oap @ 500 mg), dosis disesuaikan dengan jumlah
lekosit:
20.000-150.000/mm3 : 50 mg/kg BB/hari/hari/p.o dalam dua dosis
sampai lekosit 20.000/ mm3
> 150.000/ mm3

: perlu lekoferesis dulu, kemudian 20 mg/kg


BB/hari (15-25 mg/BB) sampai lekosit 5.00015.000
Selanjutnya dosis pemeliharaan sehingga lekosit
tidak kurang dari 5000/ mm3 dan trombosit
tidak kurang dari 75.000/ mm3.

Interferon 5MU seminggu 3 x / s.c, sampai terjadi krisis blas/ progresivitas,


tidak diberi bila terjadi efek samping berat atau jumlah lekosit kurang dari
2.000/ mm3.
Terapi lain :
- Busulfan (Myleran) 0,1 mg/kg BB/p.o
Bila lekosit berkurang 50% dosis dikurangi separuhnya
Bila lekosit 20.000/ mm3 obat dihentikan, hanya dilakukan observasi
- Radioterapi, terutama bila splenomegali sangat besar dan tidak mengecil
dengan kemoterapi
3. Leukemi granulositik kronik dalam krisis blas
3.1. Krisis non limfoblastik :

11

Hidroksiurea 15-25 mg/kg BB/ p.o


6-MP (Purinethol tab @ 50 mg) 1,5-2,5 mg/kg BB/p.o
Prednison 60 mg/ m2 /p.o
Bila tidak ada respons dalam 2 minggu dosis menjadi 2 x lipat (kecuali
prednison), bila ada respon dosis menjadi separuhnya, lalu kembali ke
pengobatan fase kronis.
Dosis 6-MP dan hidroksiurea harus disesuaikan dengan jumlah lekosit dan
trombosit.
Lekosit
> 5.000
3.000-5.000
20.000-3.000
< 2.000

Trombosit
> 150.000
100.000-150.000
75.000-100.000
< 75.000

Dosis (%)
100
50
25
0

3.2. Krisis limfoblastik : sesuai pengobatan Leukemia Limfositik Akut


4. Cangkok sumsum tulang alogenik. 4
Merupakan terapi definitif untuk CML. Cangkok sumsum tulang (CST) dapat
memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik. Tidak
dilakukan pada CML dengan kromosom Ph negatif atau Bcr-Abl negatif. 2
Indikasi cangkok sumsum tulang: 2
1. Usia tidak lebih dari 60 tahun,
2. Ada donor yang cocok,
3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.
Monitoring Terapi 9
Untuk memonitor hasil terapi dengan imatinib maupun interferon ,
pemeriksaan sitogenetik sumsum tulang merupakan metode pilihan. Prediksi untuk
disease-free dan survival pada kedua terapi tersebut paling baik dilakukan dengan
melihat pola respons sitogenetik. Hasil terapi dapat berupa remisi sitogenetik mayor
(MCR, major cytogenetic remission) atau remisi sitogenetik komplit (CCR, complete
cytogenetic remission).
Dikatakan MCR bila terapi berhasil menekan jumlah metafase dengan
kromosom Philadelphia positif kurang dan 35% sedangkan CCR bila tidak ditemukan

12

metafase dengan kromosom Philadelphia positif. Dikatakan respons sitogenetik minor


bila ditemukan metafase dengan kromosom Philadelphia positif sebanyak 35-66% .
Pada CP-CML fase awal yang diterapi dengan interferon bila tercapai CCR,
diprediksi bahwa 10-year survival rate sebesar hampir 80%. Likelihood untuk tetap
hidup dan tetap dalam fase kronik, pada CCR adalah 74%, pada MCR hanya 55% dan
pada respons sitogenetik minor hanya 32%.
Pada terapi interferon respons sitogenetik pertama terlihat dalam tahun
pertama dan terbaik pada tahun kedua. Karena itu dianjurkan untuk melakukan
monitor sitogenetik tiap 6 bulan sampai tercapai CCR. Setelah itu monitor dan deteksi
MRD dapat dilakukan dengan FISH atau RT-PCR dari darah tepi.
Respons terapi imatinib lebih cepat dari pada interferon . Jadi untuk imatinib
dianjurkan pemeriksaan sitogenetik dengan interval 3-6 bulan sampai tercapai CCR,
selanjutnya dengan FISH atau RT-PCR darah tepi.
Pada pemeriksaan sitogenetik untuk memonitor terapi CML, selain untuk
melihat supresi kromosom Philadelphia selama terapi, juga akan dapat mendeteksi
adanya kelainan sitogenetik baru. Dianjurkan untuk paling sedikit setahun sekali
memeriksa sitogenetik sumsum tulang.
Selain pengobatan dangan interferon atau imatinib, CML dapat juga diterapi
dengan transplantasi stem cell alogenik. Pasien dengan complete clinical remission
jarang memperlihatkan kromosom Philadelphia positif yang persisten. Relaps
sitogenetik setelah transplantasi stem cell umumnya disertai relaps hematologik.
Namun demikian. pada relaps hematologik, sering ditemukan tambahan kelainan
kromosom yang mungkin mempengaruhi strategi terapi selanjutnya. Karena itu relaps
hematologik setelah transplantasi stem cell pada pasien CML merupakan indikasi
untuk pemeriksaan sitogenetik konvensional.

Deteksi MRD 9
Minimal Residual Disease didefinisikan sebagai keadaan penyakit (CML)
setelah terapi, dimana gejala klinis hilang dan tidak ditemukan sel leukemik secara
pemeriksaan morfologi sel sumsum tulang, tetapi ternyata pada keadaan tersebut
masih ada sel leukemik residual. Karena itu diperlukan tes yang lebih sensitif dari

13

pada pemeriksaan morfologi. Tes ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan sitogenetik
konvensional, sitogenetik molekuler (FISH, fluorescence in situ hybridisation),
immunophenotyping menggunakan flowcytometry, kuantitasi DNA atau RNA spesifik
dengan PCR.
Pada CML tes untuk MRD dilakukan pada saat-saat tertentu setelah terapi dan
dapat memprediksi kemungkinan terjadinya relaps. Pada tes bcr/abl dengan FISH,
dapat dideteksi adanya delesi pada derivat kromosom 9 yang tidak terdeteksi dengan
sitogenetik konvensional; prognosis pada keadaan ini lebih buruk. Karena itu
sangatlah beralasan untuk melakukan pemeriksaan FISH di samping sitogenetik
konvensional pada awal diagnosis untuk digunakan sebagai baseline untuk
perbandingan hasil pemeriksaan FISH terhadap MRD pasca terapi.
PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah
diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa

obat baru, maka

median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Kombinasi


hidrea dan interferon memberi hasil median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun.
Imatinib mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan
hidup belum dapat ditentukan. 2
Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien CML, antara lain: 2
1. Pasien: usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan berat badan, demam, keringat malam.
2. Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia
eosinofilia, kromosom Ph negatif, Bcr-Abl negatif
3. Terapi: memerlukan waktu lama (> 3 bulan) untuk mencapai remisi,
memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. J
14

Umur

: 35 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Panusupan RT 3/8 Pangkah Tegal

Tanggal masuk

: 31 Maret 2007

ANAMNESIS
Keluhan utama: perut sebelah kiri bengkak dan sakit
Riwayat Penyakit Sekarang:
6 bulan yang lalu, penderita mengeluh perut sebelah kiri bengkak, badan sering
lemas, capek terutama untuk berjalan jauh.
1 bulan badan panas terus menerus. Panas mereda setelah minum obat pereda panas.
3 hari perut kiri terasa sakit, terutama untuk bergerak dan bernafas, sakit tidak
menjalar, sakit tidak berkurang dengan tiduran, sakit terasa seperti ditusuk-tusuk.
Batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), pembesaran
nn. ll. (-), BAB dan BAK tidak ada kelainan.
Dirawat di RS Slawi pulang tanggal 15 Maret 2007 dikatakan sakit liver dan limfa,
ditransfusi 2 kantong, kemudian kontrol ke RS Slawi dan dirujuk ke RSDK.
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat rawat inap (+)
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat sakit tumor disangkal
Riwayat sakit malaria/ bepergian ke daerah endemik disangkal
Riwayat terpapar pestisida disangkal
Riwayat paparan asap kendaraan (+)/ pekerjaan sopir
Riwayat merokok (+): 1 bungkus sehari sejak 20 tahun yang lalu
Riwayat keluarga sakit seperti ini disangkal
Lingkungan rumah sekitar pabrik disangkal
Riwayat hematuri disangkal
Riwayat kejang disangkal
Penderita pernah bekerja di taman safari Bogor selama 5 tahun dan pernah
digigit binatang (tangan kiri)

15

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat keluarga hipertensi (-)
Riwayat keluarga terkena stroke (-)
Riwayat sosial ekonomi:
Penderita seorang kepala keluarga dengan 1 istri dan 1 anak yang belum
mandiri, bekerja sebagai sopir.
Biaya ditanggung askin
Kesan sosial ekonomi: kurang
Riwayat status gizi:
Sebelum sakit, sehari-hari penderita makan 3 x sehari, nasi satu piring kadang tidak
habis, lauk pauk berupa tahu, tempe, sayur,kadang-kadang telur.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: composmentis, tampak lemah.
Tanda vital :
-

Tensi

: 100/65 mmHg

Nadi

: 90 x/mnt reguler, isi dan tegangan cukup.

Pernafasan

: 32 x/mnt

Suhu

: 38 o C

Kulit

: turgor kembali cepat, petechie (-)

- Kepala

: Bentuk mesosefal, rambut hitam dengan uban putih, tidak mudah

rontok
- Mata
- Telinga

: Konjunctiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterus (-/-)


: Pendengaran kesan baik, bentuk telinga normal, discharge (-), nyeri
ketok tulang mastoid (-)

- Hidung

: Bentuk normal, nafas cuping hidung (-)

- Tenggorok

: Tonsil T 0-0, tidak hiperemis, pharing tidak hiperemis

- Mulut

: Mukosa bibir intak, tidak tampak ulkus, tidak sianosis, lidah tidak
kotor,
tepi tidak hiperemis, tidak tremor, papil lidah tidak atrofi ,hipertrofi
ginggiva (-), gusi berdarah (-)

- Leher

: JVP: 0, tidak ada pembesaran kelenjar limfonodi, kaku kuduk (-),


trachea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-)

- Dada

: Simetris, statis dinamis, bentuk normal, nyeri tekan sternal (-)


16

- Jantung

:
I : Iktus kordis tampak di sela iga V 2 cm medial Linea midclvicularis
sinestra
Pa: Iktus kordis teraba disela iga V 2 cm Linea midclavicularis sinistra,
kuat angkat
Pe: Batas atas spasium interkostal II linea parasternalis kiri
Batas kiri sesuai iktus kordis
Batas kanan linea sternalis kanan
Pinggang jantung mendatar
A: Suara jantung I&II murni bising (-) gallop (-). HR: 90 x/ mnt,
reguler.

- Paru- paru

: Simetris statis dan dinamis

Pa : Stem fremitus paru kanan > kiri


Pe : redup kedua basal paru
A : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (+) ronki basah kasar (+)
- Abdomen

: I : Cembung, venektasi (+)


A : Bising usus (+) normal
Pe: Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (-)
Pa : Supel, hepar tak teraba,
Lien teraba 7 cm dibawah arcus aorta , permukaan rata

-Genetalia
Laki-laki, dalam batas normal
- Ektremitas
- Jari tabuh
- Edema
- Purpura
- Hematom
- Akral dingin
- Eritema palmaris
- Tonus
- Reflek fisiologis

superior ka/ki
-/-/-/-/-/-/N/N
N/N

inferior ka/ki
-/-/-/-/-/N/N
N/N

17

- Reflek patologis

-/-

-/-

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (Tanggal 30 Maret 2007)


Hematologi
Hb

= 10,50 g/dL

Ht

= 24,0 %

RBC

= 2,73 juta/mmk

MCH = 38,50 pg
MCV = 88,00 fL
MCHC= 43,80 g/dL
WBC = 355.000/ mm
PLT

= 968.000 /mm

Kimia Klinik
GDS

= 75 mg/dL

Ureum

= 34 mg/dL

Kreatinin

= 1,16 mg/dL

Natrium = 142 mmol/L


Kalium

= 3,1 mmol/L

Klorida

= 107 mmol/L

Kalsium

= 2,53 mmol/L

DIAGNOSA:
- Leukemia berat
Differential Diagnosis
-

CML

AML

Splenomegali

Trombositosis

Hipokalemi

TERAPI:

18

Rawat di ruang isolasi


Inf RL 20 tetes/menit
O2 2 liter/menit
Inj. Cefotaxim 3x1 gr
Paracetamol 3 x 500 mg
B compleks 3 x 1 tab
Aspilet 1 x 80 mg tab
PROGRAM:
1. USG Abdomen
2. PTT/ Fibrinogen/ Bilirubin total
3. Differential count, SADT
4. Kultur darah, D-dimer, Retikulosit
5. BMP / BMB

PEMBAHASAN

19

Seorang laki-laki 35 tahun, dengan keluhan perut sebelah kiri bengkak dan
sakit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan splenomegali . Pada pemeriksaan
laboratorium pada saat masuk rumah sakit didapatkan anemia, leukositosis,
trombositosis, dengan hitung jenis yang didominasi mielosit dan neutrofil . Penderita
didiagnosa sementara leukemia berat dengan diagnosa banding CML dan AML.
Selama perawatan di RS, didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut:

Anemi normokromik normositik dengan retikulosit normal yang disebabkan


oleh respon sumsum tulang tidak ada atau tidak cukup terhadap anemia.
Sumsum tulang tertekan oleh faktor-faktor eksterna seperti pada anemia
simptomatik (sekunder) atau karena adanya gagal sumsum tulang primer.13

Leukositosis dengan dominasi mielosit dan neutrofil disebabkan oleh adanya


gen BCR-ABL pada kromosom Ph yang menyebabkan proliferasi berlebih sel
induk pluripoten pada sistem hematopoiesis dan juga bersifat anti apoptosis
sehingga klon-klon ini bisa hidup lebih lama dibanding sel normal.2
Pertumbuhan, proliferasi dan diferensiasi tanpa kendali prekursor-prekursor
mieloid tersebut committed ke arah perkembangan granulosit. Akibatnya
semua tahap perkembangan granulosit meningkat secara mencolok.7

Dengan ditemukannya seri imatur granulosit merupakan indikator kecurigaan adanya


penyakit keganasan hematologi, sehingga perlu kiranya konfirmasi lebih lanjut
dengan pemeriksaan aspirasi dan biopsi sumsum tulang.

Pada pasien ini hasil BMP menunjukkan sumsum tulang hiperseluler dan ditemukan
peningkatan seri mieloid dan netrofil sehingga mendukung diagnosa Chronic
Myelositik Leukemia (CML) stadium kronis. Pada pemeriksaan BMB menunjukkan
kesan Acut Myelositik Leukemia (AML). Secara klinis, pasien sesuai dengan
diagnosa CML, dimana ditemukan splenomegali dan gambaran hipermetabolisme,
yang merupakan dua keluhan utama pada hampir semua pasien dengan CML.
Leukositosis yang nyata dan trombositosis juga mendukung diagnosa ini.

2, 7

Pewarnaan Sitokimia dengan Tes Neutrophil Alkaline Phosphatase (NAP)


dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa. NAP adalah enzim yang terdapat
dalam granula dan sitoplasma sel seri granulosit, terutama pada neutrofil
segmen dan sedikit pada neutrofil batang. Enzim ini dapat dideteksi dengan
menggunakan substrat naftol AS fosfat dalam suasana alkali. Pewarnaan ini
terutama penting untuk membedakan leukositosis karena LMK dengan

20

leukositosis karena sebab lain. Pada LMK, aktivitas NAP rendah, sekitar 95%
pasien, bahkan mungkin turun sampai nol, dan ini berguna untuk
menyingkirkan neutrofilia yang reaktif. Sedangkan pada pasien LMK yang
sedang hamil, mengalami infeksi sistemik atau setelah splenektomi, atau
progresi ke blast crisis, aktivitas NAP-nya normal atau meningkat.14

Analisa sitogenetik juga dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa dengan


pemeriksaan kromosom Philadelphia (Ph). Adanya kromosom Ph memastikan
diagnosa CML dan menunjukkan prognosa yang lebih baik. Bila hasil
pemeriksaan sitogenetik tidak memperlihatkan adanya kromosom Philadelphia
perlu dilakukan deteksi bcr/abl menggunakan FISH atau RT-PCR. 7,8,9 Adanya
aberasi kromosom seperti +8, +9,+19,+21 dan i(17) juga sering ditemukan pada
pasien dengan CML.2

Deteksi t (9;22) untuk memantau penyakit residual sekaligus mengevaluasi


efektivitas pengobatan

Trombositosis diduga disebabkan oleh adanya patahan pada gen BCR-ABL di


daerah micro bcr (-bcr). Menurut Melo variasi letak patahan berhubungan
dengan gambaran klinik penyakitnya. 2

Splenomegali terjadi karena adanya hematopoiesis extramedular sebagai


kompensasi lien akibat tidak efektifnya hematopoiesis di sumsum tulang.15

Kadar kalium serum sering tinggi dan kadar glukosa rendah

tetapi ini

merupakan temuan artefaktual akibat kontak berkepanjangan serum dengan


sejumlah besar sel darah putih dan trombosit yang aktif bermetabolisasi.
Apabila serum segera dipisahkan, kadar kalium dan glukosa normal pada
keadaan yang secara klinis stabil. 7

Pemanjangan PPT, aPTT dan kadar fibrinogen pada pasien ini kemungkinan
disebabkan karena defisiensi faktor-faktor di jalur bersama yaitu defisiensi faktor XIII,
dimana faktor ini sintesanya dilakukan di hati dan megakariosit, dan lebih dari
separuhnya terdapat di trombosit, sedangkan sisanya beredar dalam ikatan dengan
fibrinogen.

16

Pada CML, kelainannya ditemukan pada sel-sel dari jalur myeloid yaitu

granulositik, eritroid dan megakariositik, sehingga besar kemungkinan pemanjangan


faktor koagulasi ini disebabkan adanya kelainan tersebut.

Akibat peningkatan perusakan dan pembentukan sel darah dan pemberian


terapi yang sitotoksik menyebabkan kadar asam urat serum dan urin
21

meningkat Peningkatan produksi asam urat tersebut dapat menyebabkan


artritis gout, batu asam urat dan nefropati. Oleh karena itu pemantauan kadar
asam urat serum dan urin juga diperlukan.

Kadar vitamin B12 serum dan protein pengikat vitamin B12 meningkat karena
peningkatan pembentukan transkobalamin I oleh sel granulosit. Pemeriksaan
kadar vitamin B12 serum dan protein pengikat vitamin B12 juga akan
membantu menegakkan diagnosa.

Pada hampir semua keadaan penyakit yang mengalami kerusakan dan


destruksi sel aktivitas LDH meningkat Isoenzim LD2,3 dan 4 sering
meningkat pada pasien dengan keganasan dan beban tumor yang besar karena
metabolisme dan pertukaran sel tumor. Peningkatan LDH pada pemeriksaan
penyaring, mengarahkan pada kemungkinan keganasan tersamar. Pemeriksaan
Laktat Dehidrogenase (LDH) serum akan membantu menegakkan diagnosa,
memantau terapi dan follow up terapi.

KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium disimpulkan
penderita menderita leukemia mielositik kronik (CML) fase kronik. Adanya

22

perbedaan hasil BMP dan BMB perlu dievaluasi lebih lanjut dengan pemeriksaan
kromosom Philadelphia. Bila hasil pemeriksaan sitogenetik tidak memperlihatkan
adanya kromosom Philadelphia perlu dilakukan deteksi bcr/abl.
SARAN
Pemeriksaan kromosom Philadelphia.
Pemantauan kadar asam urat serum dan urin
Pemeriksaan kadar vitamin B12 serum dan protein pengikat vitamin B12
Pemeriksaan Laktat Dehidrogenase (LDH) serum.
Pemantauan Hb, Lekosit, Trombosit, SADT untuk keperluan terapi dan follow
up terapi.
Deteksi t (9;22)

DAFTAR PUSTAKA
1. Wirawan R. Patogenesis dan Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia. Dalam:
Oesman F, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007.
23

Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Jakarta. 2007: 49-61
2. Fadjari H.Leukemia granulositik kronis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006: 698-701
3. Djamil LS. Pembacaan preparat darah tepi leukemia. Dalam: Budiwiyono I,
Adhipireno P, editors. Workshop hematologi 1995. Bagian Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Undip/ RS Dr Kariadi. Semarang. 1995: 38-46.
4. Budiwiyono I.Diagnosis keganasan darah menggunakan preparat darah tepi.
Dalam: Suromo LB, Hertanto BR, editors.

Simposium akreditasi

Laboratorium, Limbah laboratorium dan analisis dampak lingkungan,


pemeriksaan keganasan hematologi, seminar industri serta MUSWIL ILKI
Jateng 2004. Pengurus ILKI Jawa Tengah. 2004: 13-23.
5. B. Lwenberg, J.J. Cornelissen, P. Sonneveld. Leukemia akut dan kronik.
Dalam: Arjono, alih bahasa. Onkologi. Edisi V. Panitia Kanker RSUP Dr
Sardjito. Yogyakarta. 1999: 641-60.
6. Supandiman I, Anggraeni E, Sumantri R. Lekemi granulositik kronik. Dalam:
Supandiman I, Anggraeni E, Sumantri R, editors. Pedoman terapi hematologi
onkologi. PT Alumni . Bandung Edisi I.1997: 28-30
7. Sacher R.A., McPherson R.A.. Penyakit sel darah putih. Dalam: Hartanto H, editor.
Pendit B.U., Wulandari D, alih bahasa. Tinjauan klinis hasil

pemeriksaan

laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004: 109-52.

8. Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. Leukemia mieloid kronik dan mielodisplasia.
Dalam: Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4 th edition. Jakarta:
EGC; 2005: 167-76.

9. Harahap AR. Penanda genetik chronic myeloid leukemia: Deteksi kromosom


Philadelphia, bcr/abl fusion gene dan protein 210. Dalam: Oesman F, editor.
Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2007. Departemen Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 62-73
10. Pradana AP. Keganasan hematologik. Dalam: Budiwiyono I, Adhipireno P,
editors. Workshop hematologi 1995. Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Undip/ RS Dr Kariadi. Semarang. 1995: 27-36

24

11. Kosasih

AS.

Immunophenotyping

pada

leukemia.

Dalam:

Marzuki

Suryaatmadja, editor. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2004.


Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2004:178-193.
12. Hoffbrand A.V, Pettit J. E, Moss P.A.H. Genetika keganasan hematologik. Dalam:
Mahanani Dewi Asih, editor. Kapita Selekta Hematologi, 4 th edition. Jakarta: EGC;
2005: 134-49

13. Isbister PJ, Pittiglio DH. Anemia. Dalam: Kartini A, Hartawan B, Mandera LI,
editors. Ronardy DH, alih bahasa. Hemtologi Klinik Pendekatan Berorientasi
Masalah. Edisi 1. Jakarta. Hipokrates: 1999: 38-98.
14. Mansyur Arif. Aspek Molekular Leukemia Mielositik Kronik. Forum
Diagnosticum . Prodia. Bandung: 2007 (1): 1-11)
15. Anonymous.

Chronic_myelogenous_leukemia.

Availabble

from

URL:

http://en.wikipedia.org/wiki/Chronic_myelogenous_leukemia
16. Sacher R.A., McPherson R.A.. Hemostasis dan Uji Fungsi Hemostatik . Dalam:
Hartanto H, editor. Pendit B.U., Wulandari D, alih bahasa. Tinjauan klinis hasil
pemeriksaan laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC; 2004: 153-83

25

Anda mungkin juga menyukai