KORONER AKUT
(BIOCHEMICAL MARKERS OF THE ACUTE CORONARY SINDROMES)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2008
I. Pendahuluan
Penanda biokimia pada trauma miokard berperan penting dalam
penilaian secara global dan terapi pada pasien dengan spektrum sindroma
koroner akut, suatu masa yang mencakup suatu rangkaian iskemia miokard
akut sejak angina melalui rniokard infark (MI) gelombang Q (Q-wave). Sebagai
indikasi
pada
gambar
1,
suatu
rangkaian
sindroma
koroner
akut
walau
bagaimanapun
kedepannya,
ukuran
protein,
beberapa
diagnostik,
penanda
biokimia
memiliki
peranan
yang
terbatas
dalam
"Total CK" mengenai aktivitas kumulatif pada isoenzim MM, MD, dan BB pada
sampel pasien.
Saat ini, CK-MB harus dianggap penanda biokimia yang unggul pada
trauma miokard, sebagai contoh telah menjadi dasar perbandingan penanda
lainnya. Meskipun CK-MB memiliki nilai diagnostik yang spesifik untuk trauma
miokard, otot skeletal memiliki keduanya yaitu aktivitas total CK yang tinggi per
gramnya dan mungkin memiliki lebih dari 3 % CK-MB. Potensial yang non
spesifik ini, terjadi pada sebagian pasien dengan trauma otot skeletal dan otot
miokard secara bersamaan. Untuk memberikan spesifitas jantung yang terbaik
pada pengukuran CK-MB, Indeks relative CK-MB sering dihitung berdasarkan
persamaan di bawah ini :
CK-MB Index = 100% (CK-MB/Total CK)
Beberapa memberi kesan bahwa Nilai Index CK-MB melebihi 2,5% yang
dihubungkan
dengan
sumber
di
miokard
pada
isoenzim
MB.
Walau
berbeda, memiliki clot dengan proporsi kecil pada agregasi platelet dan banyak
benang fibrin yang sedikit resisten untuk hancur. Pada beberapa kasus,
presentasi prodiomal merupakan klinis yang penting karena pasien yang
memiliki gejala ini melepaskan sedikit penanda biokimia dan oleh karena itu
sedikit trauma jaringan, menjadi petunjuk hasil yang lebih baik bila dibandingkan
dengan pasien dengan oklusi yang kasar. Penyuluhan umum untuk mengenal
gejala prodromal dan mencari terapi sebelum periode yang panjang oklusi dapat
menjadi sangat penting untuk menurunkan mortalitas sindrom koroner akut.
IV. Rangkaian Sindroma Koroner Akut
Banyak peramu laboratorium secara tradisional berhubungan dengan tes
penanda biokimia untuk mendiagnosa MI akut, penilaian infark ulangan atau
infark luas, dan perkiraaan kuantitas jaringan yang mengalami infark (ukuran
infark). Secara logis, peranan-peranan ini memiliki korelasi yang jelas dengan
kriteria WHO untuk diagnosis MI. Peranan ke depan laboratorium akan menjadi
hubungan yang dekat pada rangkaian sindroma koroner akut melalui stratifikasi
resiko dan monitoring terapi pada terapi trombolitik, strategi platelet inhibisi, dan
mungkin intervensi lainnya seperti angioplasty keroner.
Gambaran iskemia cardiac sebagai pasangan dari kriteria WHO untuk MI
mungkin digambarkan sebagai sebuah anakhronisme, karena sebagai ilustrasi
pada gambar sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian
fenomena. Pada banyak level dasar, rangkaian iskemia miokard juga
menggambarkan spektrum trauma sel iskemik, yang bermula dari trauma yang
masih reversible hingga nekrosis yang luas. Peristiwa ini digambarkan pada
Gambar 1 juga menggambarkan suatu spektrum resiko untuk sebuah hasil yang
merugikan. Pasien dengan angina stabil, sebagai contoh : iskemia reversible
persiapan miokardial sangat jelas resiko rendah untuk peristiwa merugikan pada
keduanya masa pendek dan masa panjang lalu pasien infark dengan Q-wave
yang memiliki area infark yang luas pada jantung mereka. Identifikasi dimana
individu pasien dalam rangkaian sindroma koroner akut memiliki implikasiimplikasi biologis berkenaan dengan reversibilitas pada trauma dan kuantitas
trauma sel iskemik, sama baiknya resiko relative pasien untuk hasil yang
merugikan.
Banyak fokus penanda kimia yang meliputi penanda nekrosis, sebagai
contoh : CK-MB. Walau bagaimanapun juga, penanda dan substansi lainnya
yang ditunjukkan pada tabel 1 dilepaskan atau diaktifasi sebelum nekrosis dan
mungkin memiliki peranan penting dalam identifikasi resiko pada pasien
sindroma koroner akut. Peningkatan konsentrasi pada Acute Phase Proteins Creactive Protein (CRP) dan serum amyloid A bersifat non spesifik, tetapi
mungkin memiliki suatu peranan dalam identifikasi pasien memiliki plak
pembuluh darah jantung yang tidak stabil (unstable plaque). Penelitianpenelitian juga menyelidiki penggunaan CRP untuk prediksi hasil yang tidak baik
dan kerusakan fungsi ventrikel kiri sebagai hasil dari nekrosis cardiac akut atau
infark miokard sebelumnya. Peningkatan pada fase protein akut mungkin
mengindikasi adanya plaque disruption yang menyebabkan pelepasan sitokin
dari aktivasi monosit dan makrofag pada tempat terjadinya disrupsi. Diantara
efek sistemik lainnya, sitokin, meliputi interleukin-6, memicu sintesis acute
phase proteins hepar. Pada jalur ini, pasien dengan penyakit pembuluh darah
koroner tidak stabil yang mana mereka pada peningkatan resiko memiliki
sirkulasi konsentrasi yang awal pada acute phase proteins. Komponen yang
memungkinkan pada hubungan yang diamati antara acute phase proteins dan
peningkatan resiko yang mana protein-protein ini mungkin mencerminkan
penyakit infeksi pada pembuluh darah koroner. Pada beberapa kasus, aspirin
atau agen anti inflamasi non steroid mungkin mengurangi resiko pada pasien
penyakit pembuluh darah koroner, kiranya dengan menghambat proses
inflamasi.
Aktifasi platelet penting dalam mekanisme formasi thrombus dan
mekanisme sindroma koroner akut. Indikator aktifasi platelet seperti uji fungsi
(glycogen
phosphorilase-BB),
dan
penanda
nekrosis
dapat
Intracoronary
thrombosis
Biochemical
marker
CRP
Molecular Cardiospesific
mass
120.000
Na*
Serum
amyloid A
12.500
NA
Platelet
activation
NA
No
P-selectin
140.000
NA
Soluble fibrin
Myocardial
ischemia
Myocardial
necrosis
Type of assay
Latex
photometric
Sandwich type
enzyme
immunoassay
Functional
assays using
platelet agonists
Duration of
increase
48 72 h
Comments
CRP and serum
amyloid A are
acute phase
proteins; may
indicate plaque
disruption and be
prognostic in
unstable angina
patients.
48-72 h
Flow cytrometric
assay
ELISA
Glycogen
phosphorylase
-BB
Myoglobin
177.000
+++
Immunoenzymo
metric assay
8h
18.000
No
Immunoassay
12-24 h
CK-MB, mass
assays
cTnT
85.000
++
Immunoassay
24-36 h
37.000
++++
Immunoasay
cTnI
23.500
++++
Immunoasay
10-14
days
4-7 days
Must be
performed soon
after blood
collection
Marker of angry
platelets; may
indicate risk for
acute coronary
events
Marker of
procoagulant
fibrinolytic
activity; may
predict patients
at higher risk for
MI related
complications
Marker of cardiac
ischemia
Markers of
cardiac necrosis
Markers of
cardiac necrosis
perhatian
yang
dihasilkan
oleh
penelitian
dasar
yang
10
ini.
Sebagai
tambahan,
isu-isu
menekankan
kebutuhan
pelepasan dan menganggap cTnT dan cTnI sebagai protein yang berbeda
karena perbedaannya dalam fungsi biologi, berat molekul, mekanisme
pelepasan, dan karakteristik penting lainnya yang mungkin berdampak pada
penggunaan kllinis.
Hingga saat ini terdapat penilaian satu kuantitatif dan satu kualitatif untuk
11
penjelasan cTnT oleh US Food and Drug Administration; kedua penilaian ini
menggunakan pasangan antibodi yang sama dan hasilnya berkorelasi baik.
Peningkatan cTnT didokumentasi pada pasien dengan penyakit ginjal stadium
akhir (end-stage renal disease); walau bagaimanapun juga, arti klinis dari
peningkatan ini masih belum jelas.
Saat ini terdapat sejumlah immunoassay secara kualitas dan kuantitas
yang potensial, baik dalam penggunaan klinis dalam mendiagnosis MI dan telah
dijelaskan oleh US Food and Drug Administration. CTnI mungkin memiliki
peranan penting dalam strategi waktu sesungguhnya untuk mengevaluasi
pasien dengan sindroma koroner akut, suatu area yang menjadi perhatian yang
serius, diskusi, dan penelitian tahunan. Data yang menunjang masih terbatas,
tapi indikasi bahwa cTnI merupakan penanda yang spesifik pada kasus yang
melibatkan luka otot skeletal dan gagal ginjal.
Beberapa waktu terakhir, sejumlah hasil penelitian dasar menunjukkan
pasien dengan iskemi cardiac akut yang mana CK-MB, cTnI, dan/atau cTnTnya
meningkat merupakan resiko yang meningkat untuk infark miokard atau henti
jantung. Data-data ini memunculkan pertanyaan penting saat ini mengenai
peningkatan biaya; uji mana atau uji yang seharusnya dijadikan alat untuk
stratifikasi resiko? Tinjauan dan meta analysis dari pertanyaan ini dikacaukan
oleh banyak metode pengukuran berbeda terhadap CK-MB dan cTnl.
Kenyataan bahwa perbedaan metode untuk penanda-penanda ini memiliki
sensitivitas, analisa, kelemahan untuk campur tangan, dan karakteristik
penampilan mungkin memiliki implikasi penting dimana uji menyediakan
informasi yang berguna.
Sebuah model penelitian untuk membandingkan kegunaan pengukuran
CK-MB oleh a state of the art mass assay, cTnT dan ECG untuk menilai resiko
dilakukan sebagai sub penelitian dari percobaan GUSTO Iia. Subpenelitian
GUSTO Iia ini melibatkan 854 pasien, seluruhnya memiliki gejala iskemia
jantung tidak lebih dari 12 jam dan ECG yang abnormal. GUSTO Iia
12
Variable
cTnT
ECG
CK-MB
Additional
variable
cTnT
X2
21.0
14.2
10.9
Additional X2
Multi variable
9.2
model
ECG + CK-MB
CK-MB
0.7
ECG + cTnT
The C index is equivalent to the area of ROC curve.
C index*
C index*
0.027
0.73
0.717
Penelitian terpisah oleh FRISC, pemeriksaan puncak cTnT lebih dari periode 24
jam setelah awal penampakan pada 976 pasien, keseluruhan memiliki penyakit
pembuluh darah koroner tidak stabil, dan berkorelasi dengan konsentrasi cTnT,
dengan hasil pengukuran yang melibatkan henti jantung dan MI lebih dari 150
hari selanjutnya. Penelitian FRISC menemukan sebuah kunci bahwa resiko
peningkatan hasil yang merugikan jantung sebagai peningkatan nilai cTnT,
sesuai dengan tabel 3. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengukuran cTnT
pada 24 jam pertama menyediakan informasi, prognosa yang berharga lebih
dari 5 bulan kemudian, yang mana bebas dari usia, hipertensi, sejumlah obat
13
Cardiac death
0%
2%
2%
7%
9%
Cardiac death or MI
4.3%
10.5%
16.0%
20.0%
17.0%
CTnI deteksi dalam sub penelitian pada TIMI IIIb untuk stratifikasi resiko pada
pasien sindroma koroner akut, menggunakan mortalitas point akhir 42 hari.
14
Pada penelitian ini cTnI dibandingkan dengan massa CK-MB pada pasien
angina unstable atau non Q-wave infark. Konsentrasi cTnT 0,1 g /L
berhubungan dengan tingginya mortalitas yang signifikan yaitu 42 hari, diantara
konsentrasi rendah pasien angina unstable atau infark non Q-wave dan
merupakan prediktor yang independen pada mortalitas jangka pendek setelah
penyesuaian usia 65 tahun dan adanya depresi segmen-ST. cTnT 0,4 g /L
merupakan indikasi jelas peningkatan resiko mortalitas (risk ratio 3,1) pada
pasien yang pengukuran CK-MB peningkatannya tidak abnormal. Penelitian
menyimpulkan bahwa cTnI untuk identifikasi awal pasien dengan peningkatan
resiko kematian dengan pengukuran cTnI retrospektif.
Pertanyaan logis dalam konteks stratifikasi resiko adalah : Apakah kita
memerlukan untuk mengukur cTnT dan cTnI ? Untuk membandingkan secara
langsung cTnT dan cTnI, GUSTO Iia melakukan penelitian pada 755 pasien.
Meskipun 90% hasil disamakan menggunakan cut off positif/negatif dari paket
masing-masing uji respektif, suatu jumlah yang besar signifikan pada pasien
dengan cTnT positif tapi cTnI negatif lalu mereka yang cTnT negatif tapi cTnI
positif (P<0,001). Pengukuran cTnT pada spesimen lebih berguna daripada cTnI
untuk prediksi mortalitas 30 hari.
Karena cut off cTnT dan cTnI digunakan dalam pemeriksaan data ini,
membatasi perbedaan hasil untuk prediksi mortalitas 30 hari. Untuk alasan ini,
kurva ROC ditempatkan cTnT dan cTnI karena strategI ini mengevaluasi
performans/pelaksanaan relatif pada cut off uji independen. Penggunaan
mortalitas 30 hari sebagai hasil, area kurva ROC untuk cTnT besarnya
signifikan sekitar 0,68 dibandingkan untuk cTnI 0,64 (P=0,002). Data-data ini
mengindikasi bahwa cTnT merupakan tes yang lebih berguna untuk
memprediksikan mortalitas 30 hari pada populasi GUSTO Iia.
Tabel 4. Nilai relatif dari cTnT, cTnI dan EKG untuk prediksi kematian 30 hari
(Cristensen RC, Clinical Chemitry, 44; 8 (B), 1998).
15
Model
Unvariate
Unvariate
Unvariate
Multivariable model
cTnI + ECG
cTnT + cTnI
cTnT + ECG
Variable
cTnT
ECG
cTnI
Added variable
cTnT
ECG
cTnI
X2
21.0
14.2
12.3
Additional X2
8.03
9.96
0.84
P
<0.001
0.003
0.002
P
0.045
0.019
0.675
ditambahkan
variabel ke model cTnT dan ECG, ternyata tidak ada peningkatan yang
signifikan dalam kemampuan prediksi mortalitas 30 hari (tabeI 4). Meskipun
cTnT menyediakan banyak informasi berkenaan dengan prediksi mortalitas 30
hari, karakteristik masing-masing hasil cTnT atau cTnI mungkin metode
dependen, sepertii CK-MB. Lalu, peerbedaan penggunaan atau sensitif uji cTnT
atau CTnI mungkin mengindikasi perbedaan hasil. Meskipun populasi GUSTO
lia melibatkan jumlah besar, hanya + 10% (n=74) pasien menunjukkan hasil
cTnT dan cTnI bertentangan.
Penjelasan secara alami tentang pelepasan dan metabolisme cTnI
merupakan area yang aktif diteliti. Immunoassay lain untuk masing-masing cTnT
atau cTnI mungkin menunjukkan perbedaan,
minimum terdeteksi dari uji cTnI yang digunakan dan apakah uji mendeteksi
pelepasan cTnI atau cTnI dalam bentuk bebas atau kompleks, oksidasi atau
reduksi. Phosphorilasi atau tidak, dan faktor lain yang mungkin mempengaruhi
target epitope, milik antibodi, dan/atau kondisi uji lainnya.
Hamm et al. meneliti penggunaan cTnI dan cTnT pada pasien nyeri dada
yang memiliki nondiagnostik ECG, menggunakan uji kualitatif untuk penanda ini.
16
Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa uji kualitatif ini digunakan untuk
memprediksikan resiko pada non diagnostik ECG, populasi seperti CPEC.
Ketika interpretasi hasil penelitian menggunakan alat berkualitas, satu hal
yang harus diketahui pada konsentrasi cut off pada alat, contoh, konsentrasi
terendah marker yang menghasilkan hasil positif. Ketepatan yang terbaik untuk
mengevaluasi cut off alat-alat ini adalah dengan memberikan konsentrasi
kuantitatif yang sesuai pada penanda untuk diagnosis MI oleh kriteria WHO,
diambil dari analisa ROC. Mengingat bahwa satu dari kriteria WHO melibatkan
pencatatan kenaikan sementara pada marker jantung, contoh: protein-protein
(cTnT atau cTnl), atau pengukuran enzim oleh aktivitas fungsional lainnya atau
bebagai sebuah protein (CK-MB). Pada penelitian yang dilakukan oleh Hamm et
al. Cut off untuk alat cTnT 2 kali lebih tinggi daripada rekomendasi cut off untuk
diagnosis MI. Faktanya, perlengkapan cTnT digunakan oleh Hamm et al dalam
penelitian tidak lama tersedia tapi tidak digantikan oleh perlengkapan dengan
cut off rendah.
VI. Penelitian Reperfusi Setelah Terapi Thrombolitik
Disamping stratifikasi resiko pada sindroma koroner akut, penanda
biokimia juga akan memiliki suatu peranan dalam monitoring keberhasilan terapi
trombolitik. Peranan ini dibuktikan dari hipotesis pembuluh darah tetap terbuka
dengan meningkat hasilnya dan meningkatnya fungsi ventrikel kiri sebagai hasil
patensi pada pembuluh darah yang mengalami infark setelah MI. Menurut
konvensi, patensi pembuluh darah yang mengalami infark yang bertingkat
berdasarkan angiografi pada kriteria "Thrombolysis in myocardial Infarction
(TIMI), yang mana TIMI 0 tanpa perfusi setelah oklusi; TIMI 1 telah terjadi
penetrasi setelah oklusi tanpa perfusi; TIMI 2 terjadi parsial perfusi setelah
oklusi; dan TIMI 3 sudah terjadi perfusi komplit. Penilaian obyektif yang non
invasif pada reperfusi merupakan identifikasi cepat pada 20-25% pasien dimana
yang mengalami oklusi yang masih berlangsung (TIMI 0 atau 1) pada 90-120
17
menit selama terapi trombolitik. Metode lainnya untuk menilai patensi yang
melibatkan angiografi koroner; meskipun dianggap gold standar, metode ini
berhubungan dengan tingginya biaya, kemampuan terbatas, dan peningkatan
morbiditas ketika kondisi akut. Indikator klinik seperti deteksi dari reperfusi
aritmia dan penghentian nyeri merupakan indikator yang tidak dapat dipercaya
untuk patensi. Suatu strategi yang meliputi penanda biokimia untuk memonitor
fenomena wash out jika patensi dipertahankan pada pembuluh darah yang
mengalami infark dapat menjadi kontribusi yang berharga.
Penggunaan penanda biokimia yang bervariasi, termasuk CK,MB subtipe
MM dan MB, troponin T, dan troponin I diteliti untuk penilaian reperfusi non
invasif; walau bagaimanapun juga tidak ada satupun dari penanda ini dimiliki
low molecular weight atau karakteristik pelepasan dini mioglobin, yang keluar
setelah reperfusi koroner. Karena karakteristik pelepasan dini, mioglobin
diperiksa untuk penilaian non invasif pada perfusi miokardial setelah terapi
trombolitik. Variabel klinik lainnya
keberhasilan reperfusi tetapi tidak dapat dipercaya, oleh karena itu, suatu model
yang mengkombinasikan variabel klinis dan strategi CK-MB dan pengukuran
myoglobin dapat sebagai alat klinisi untuk menilai bagaimana keberhasilan
reperfusi yang terjadi pada individu pasien.
Seperti kombinasi model yang sedang berkembang menggunakan data
yang terkumpul dari 96 pasien yang mendaftar pada penelitian "Thrombolysis
and Myocardial Infarction-7. Seluruh pasien penelitian Thrombolysis and
Myocardial Infarction-7 mendapatkan terapi trombolitik kemudian angiografi
koroner sekitar 2 jam setelah aliran darah koroner: patensi pembuluh darah
koroner meningkat berdasarkan klasifikasi TIMI. Pada penelitian ini, dlua
klasifikasi pada aliran TIMI dianggap reperfusi yang berhasil. Yang pertama
meliputi klasifikasi original pada TIMI 2 atau 3 untuk keberhasilan reperfusi,
dengan grade TIMI 0 atau 1 dianggap kegagalan trombolisis. Klasifikasi kedua
berdasarkan data dasar dan menganggap TIMI sebagai reperfusi berhasil,
18
dengan grade TIMI 0, 1 dan 2 sebagai reperfusi yang tidak berhasil, lalu 30, 90,
dan 180 menit setelah terapi trombolitik. Seluruh 96 pasien memiliki spesimen
near-catheterization yang terkumpul selama 10 menit penelitian angiografi.
Myoglobin diukur pada seluruh sampel, menggunakan metode two-site
immunoassay yang tersedia pada stratus II (Dade diagnostic), pengukuran
CK-MB dilakukan dengan the ICON CKMB kit (Hybritech Inc). Model regresi
logistik digunakan untuk kombinasi penanda biokimia dan variabel klinik. Hasil
model regresi logistik selalu bernilai antara nol dan satuan.
Model pendahuluan berkembang yang meliputi variasi myoglobin strategi
tersendiri, seleksi variabel klinis, dan myoglobin dan kombinasi variabel klinis,
variasi model CK-MB dianalisis sebelumnya. Model optimum melibatkan
myoglobin tunggal yang diukur pada kateterisasi, landainya pelepasan CK-MB,
waktu dari nyeri dada hingga memulai terapi trombolitik, dan gradasi nyeri dada
(dari 0-10; dengan 0 taripa nyeri) selama kateterisasi jantung. Myoglobin
menambah signifikansi kemampuan model untuk memprediksi TIMI 0-1, aliran
koroner, contoh: reperfusi gagal vs reperfusi berhasil gradasi TIMI 2-3
(P<0,044). Gambar 2 (left panel) menunjukkan sebuah plot untuk kemampuan
modeI untuk memisahkan TIMI grade 0 - 1 dari TIMI 2; Gambar 2 (right panel)
menunjukkan hubungan kurva ROC untuk model dengan menunjukkan tiga poin
sebagai contoh: area kurva ROC ini sebesar 0,88. Untuk perkiraan TIMI grade 3
vs grade 0 - 2, model tetap signifikan tinggi (P<0,0043) dan menunjukkan suatu
area kurva ROC sebesar 0,74.
19
Gambar 2. Distribusi data hasil dari kurva ROC (Cristensen RC. Clinical
Chemsitry, 44; 8 (B), 1998).
Meskipun kombinasi near catheterization myoglobin, landaian CK-MB,
dan menghasilkan variabel klinis area ROC tinggi, strategi akan tidak akurat
memperkirakan status reperfusi pada seluruh pasien. Hal ini mungkin tidak
dapat terhindarkan paling tidak tiga alasan biologis dasar. Pertama, strategi
menggunakan penanda biokimia berdasarkan perbedaan pada fenomena wash
out yang terjadi setelah patensi yang telah dihidupkan. Model wash out
sering
menunjukkan
digunakan
janji
untuk
untuk
menilai
mengkarakteristik
patensi
penanda
adalah
biokimia
angioplasty
akut.
Bagaimanapun juga, model ini mungkin bukan simulasi yang tepat untuk
fenomena wash out yang terjdi setelah terapi trombolitik, karena angioplasty
mengembalikan patensi secara mendadak, menghasilkan peningkatan pada
penanda biokimia. Kontras, pembekuan patensi setelah terapi trombolitik
merupakan suatu proses yang lebih dinamis yang mana banyak pasien memiliki
pembukaan dan penutupan berulang pada pembuluh darah yang mengalami
infark
Patensi
intermitten
merupakan
kemungkinan
penyebab
oleh
keseimbangan faktor koagulasi, fungsi platelet, atau faktor potensiasi lain yang
mempengaruhi aktivitas pro koagulan dan kontraktilitas otot pembuluh darah
koroner, yang dapat menimbulkan wash out penanda biokimia. Kedua, variabel
individu pasien seperti infark yang luas, aliran kolateral pada area infark,
jaringan ikat, dan/atau hibernasi sedikit tekanan darah, mungkin mempengaruhi
strategi non invasif untuk menilai patensi. Isu ketiga melibatkan penggunaan
angiography untuk memutuskan patensi. Meskipun ini merupakan gold standar
untuk mengevaluasi patensi koroner, angiografi menggambarkan suatu
snapshot patensi koroner; teknik ini bukan rnerupakan indikator sebenarnya
karena ini tidak dapat mengukur berapa lama pencatatan status perfusi ada
pada pembuluh darah yang mengalami infark sebelum dan sesudah pencitraan,
20
21
22
al.
23
Cragwall JS, Kramer MF, Fifer MA. Lorell BH, Shemln R, Grossman VW, Allen
PD. The creatine kinase system in normal and diseased human
myocardial. N Engl J Med 1985;313:1050-4.
Gibler WB, Runyon JP, Levy RC Sayre MR, Kacich R, Hattemer CR, et al. A
rapid diagnostic and treatment center for patients with chest pain in the
emergency department. Ann Emerg Med :1995;25:1-8.
Gibler WB, Young GP, Hedges JR, Lewis LM, Smith MS, Carleton SC, et al.
Acute myocardial lnfarction in chest pain patients with non diagnostic
ECGs: serial CK-MB sampling in the emergency department. Ann
Emerg Med 1992;21:1304-12.
Gowaz M, Reininger A. Neumann FJ. Platelet function and platelet leukocyte
adhesion in symptomatic coronary heart disease. Effects of intravenous
magnesium. Thromb Res 1996;83:341-9.
Ingram DA, Fulton RA, Portal RV, PAber C. Vomiting as a diagnostic aid in
acute ischemic cardiac pain. Br Med J 1980;281:636-7.
Ishihara M, Sato H, Tatelshi H, Kawagoe T, Shimatani Y, Kurisu S, et al.
Implications of prodrmal angina pectoris in anterior wall myocardial
infarction: acute angiographic findings and long-term prognosis. J Am
Coll CardioI 1991;30:910-5.
Jaffe AS. More rapid biochemical diagnosis of myccardial infarction: necessary?
prudent? cost-effective? Clin Chem 1993;39:1567-9.
Katrukha AG, Bereznikova AV, Esakova TV, Pattersson K, Lovgren T. Severina
ME, et al. Troponin I released in bloodstream of patients with acute
myocardial infarction not in ree form but as complex. Clin, Chem
1997:43:1379-85.
Katrukha AG, Bereznikova AV, Esakova TV, Pattersson K, Lovgren T. Severina
ME, et al. Troponin I released in bloodstream of patients with acute
myocardial infarction not in free form but as complex. Clin, Chem
1997:43:1379-85.
Katus HA, Remppis A, Neumann FJ, Scheffold T. Diederich KW, Vinar G, et al.
Diagnostic efficiency of troponin T measurements in acute myocardial
infarction. Circulation 1991;83:902-12.
24
Kloner RA, Shook T. Przyklenk K, Davis VG, Junlo L, Matthews RV,et al.
Previous angina alters in-hospital outcome in TIMI 4: a clinical correlate
to preconditioning? Circulation 1995;91:31-45.
Leavis PC, Gergely J. Thin filament proteins and thin filament linked regulation
of vertebrate muscle contraction. CRC Crit Rev Biochem 1994;16:235305.
Lee TH, Royan GW, Weisberg MG, Brand DA, Cook EF, Acampora D, Goldman
L. Sensitivity of routine clinical criteria for diagnosing myocardial
infarction within 24 h of hospitalization. Ann Intern Med 1987;106:181-6.
Leo HP, Cook JL, Wuisbang M, Wilson C, Coldeman I. Acute chest pain in the
emergency room identification and examination of low risk patients.
Arch Intern Med, 1985;145:65-9.
Leo L, Ewald GA. McKenzle CR, Elsonberg PR. The relationship of soluble fibrin
and cross- linked fibrin degradation products to the clinical course of
myocardial infarction. Arteroscler Thromb Vasc Biol 1997;17:628-33.
Liuzzo G, Biasucci LM, Gallimore ;R, Grillo RL, Tebuzzi AG, Pepys MB, Maseri
A. The prognostic value of C-reactive protein and serum amyloid A
protein in severe unstable angina. N Engl J Med 1994:331:417-24.
Liuzzo G, Biasucci LM, Gallimore ;R, Grillo RL, Tebuzzi AG, Pepys MB, Maseri
A. The prognostic value of C-reactive protein and serum amyloid A
protein in severe unstable angina. N Engl J Med 1994:331:417-24.
Lott JA, Shang JM. Differential diagnosis of patients with abnormal serum
creatine kinase esoenzymes. Clin Lab Med 1989;9:627-42.
McCarthy BD, Wong JO, Selker HP. Detecting acute cardiac ischemia in the
emergency department review of the literature. J Gen Intern Med
1990;5;365-73.
Mounsey P. Prodromal symptomatis in myocardial Infarction. Br. Heart J
1980;281:636-7.
Newby KN. Gibler WB, Ohman EM, Chimenson RH. Biochemical markers in
suspected acute myocardiaI infarction: the need for early assessment.
Clin Chem 1995;41:1263-5.
Niominen MS, Mattila K, Valtonen V. Infection and Inflammation as risk factors
for myocardial infarction. Eur Heart. J 1993;14(Suppl K):12-6.
25
Ohman EM, Amstrong PW. Christenson RH, Granger CB, Katus H, Hamm CW,
et al. Risk stratification with admission cardiac troponin T levels In acute
myocardial ischemia. N Engl J Med 1996;385:1333-41.
Rabitzsch, Mair J, Lechteitner P, Noll F, Hofmann U, Krause E, et al.
Immunoenzymometric assay of human glycogen phosphorylase
isoenzyme BB in diagnosis of ischemic myocardial injury. Clin Chem
1995;41:966-78.
Reffer JH. Myocardial markers of injury evolution and Insights. Am J Clin Pathol
1996;105:305-20.
Ridker PM, Cushman M, Stampfer MJ, Tracy RP, Hennekens CH.Inflammation,
aspirin, and the risk of cardiovascular disease in apparently healthy
men. N Engl J Med 1997;336:973-9.
Rude RE, Poole WK, Muller JE. Turl Z, Rutherford J, Parker C. et al.
Electrocardiographic and clinical criteria for the recognition of acute
myocardial infarction. Am J. Cardiol 1983;52:936-42.
Rude RE, Poole WK, Muller JE. Turl Z, Rutherford J, Parker C. et al.
Electrocardiographic and clinical criteria for the recognition of acute
myocardial infarction. Am J. Cardiol 1983;52:936-42.
Ryan TJ, Anderson JL. Antman EM, Braniff BA. Brooks NH. Califf RM. et al.
ACC/AHA guidelines for tne management of patients with acute
myocardial Infarction: executive summary, Circulation 1996;94:2341-5.
Shesser R, Smith M. The chest pain emergency department and the outpatient
chest pain evaluation center : evolition of evolution? Ann Emerg Med
1994;23:331-41.
Tsung SH. Creatine kinase isoenzyme patterns in human tissue obtained at
surgery. Clin Chem 1976;22:173-5
Turney WM, Fitzgerald J, McHenry R, Roth BJ, Psaty B, Stump DL, Anderson
FK. Physicians estimates of the probability of myocardial infarction, in
emergency roorn patient with chest pain. Med Decis Making
19136;6:12-7.
Uretsky BF, Farquhar DS, Berozin AF, Hood WB Jr. Symptomatic myocardial
infarction without chest pain: prevalence and clinical course. Am J
Cardiol 1977;40:498-503.
26
Wu AHB, Clive JM. Impact of CK-MB testing policies on hospital length of stay
and laboratory costs for patients with myocardial infarction or chest
pain. Clin Chem 1997;43:326-12.
Wu AHB, Feng YJ, Contois JH, Acar R, Waters D. Prognostic value of cardiac
troponin I in patients with chest pain. Clin Chem 1996:42:651-2.
Wu AHB, Lane PL. Meta-analysis in clinical chemistry: validation of cardiac
troponin T as a marker for ischemic heart diseases. Clin Chem 1995;411228-33.
Zot AS, Potter JD. Structural aspects of tropenin-tropomyosin regulation of
skeletal muscle contraction. Annu Rev Biophys Biophys Chem
1987;16:533-9.
27