Anda di halaman 1dari 17

USAHATANI TEBU PADA LAHAN SAWAH DAN TEGALAN DI

YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH

Oleh: Sri Nuryanti -- Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor

Abstrak
Penelitian ini merupakan suatu usaha untuk mengkaji aspek finansial, yaitu biaya dan
pendapatan usahatani tebu dengan variasi jenis lahan, luas garapan, dan pola tanam.
Analisa komparatif dilakukan terhadap biaya dan pendapatan usahatani tebu antara
sawah dan tegalan, luas garapan kurang dari satu dan lebih dari satu hektar, serta pola
tanam tanam awal dan keprasan. Sampel ditentukan secara sengaja menurut lokasi
jenis lahan (Bantul untuk sawah dan Klaten untuk tegalan). Disimpulkan bahwa
usahatani tebu di lahan sawah lebih lebih menguntungkan diusahakan pada luasan
lebih dari satu hektar dengan pola tanam awal. Sebaliknya di tegalan lebih
menguntungkan pada lahan kurang dari satu hektar dengan pola keprasan.
Implikasinya, acceleration program akan berhasil apabila diterapkan secara luas
dengan pola tanam awal pada lahan sawah.
Kata kunci: Tebu, sawah, tegalan, biaya, pendapatan.

Abstract
This study was an investigation on financial aspect (cost and benefit) of sugar cane
farming within land type using, holding size, and cultivation method variations.
Comparative analysis was conducted on cost and benefit between wet and dry field,
less and more than a hectare area, and plant cane and ratoon cultivation method.
Purposive sampling was performed regarding to field type site (wet field at Bantul
and dry field at Klaten). It was concluded that, sugar cane farming in wet field was
more feasible done extensively by plant cane method. On the other hand, it was more
feasible done on leass than a hectare area by ratoon method. The result implied that

acceleration program supposed to be done on large wet field area by plant cane
method.
Key words: Sugar cane, wet field, dry field, benefit, cost.

PENDAHULUAN
Kemerosotan produktivitas tanaman tebu/gula yang dialami sejak pemberlakuan
Inpres nomor 9/1975 tentang program Tebu Rakyat Intensifikasi masih terasa
dampaknya sampai saat ini. Tidak terpenuhinya kebutuhan bahan baku dan berujung
pada ditutupnya sepuluh pabrik gula (PG) di Jawa merupakan salah satu bukti nyata
bahwa penurunan produktivitas masih tersebut terus berlangsung. Kebijakan baru di
sektor usahatani tebu di lahan kering belum sepenuhnya menunjukkan keberhasilan
meningkatkan produktivitas tebu/gula.
Pencanangan program akselerasi peningkatan produktivitas industri dula nasional
dengan rencana kenaikan gula dari 1.8 juta ton tahun 2002 menjadi 3 juta ton pada
tahun 2007, kenaikan areal tebu dari 346 000 hektar menjadi 380 000 hektar, dan
kenaikan produktivitas gula dari 5 ton menjadi 8 ton tentunya memerlukan angkaangka akurat disertai skenario pencapaian yang layak (Mubyarto, 2003). Berbagai
penelitian terhadap komoditas tebu maupun gula sudah banyak dilakukan, mengingat
gula merupakan komoditas strategis dan sangat penting peranannya bagi
perekonomian Indonesia . Dikatakan demikian karena setiap intervensi pemerintah
dalam rangka mengembangkan industri gula perlu diikuti oleh campur tangan
pemerintah pada pengembangan usahatani tebu dengan mengikutsertakan lebih
banyak petani kecil dalam pengembangan usahatani tersebut. Harapannya pendapatan
petani dan kesempatan kerja yang diciptakan dengan adanya pengembangan industri
gula lebih merata dinikmati oleh petani (Simatupang, 1999).
Kajian usahatani tebu yang telah dilakukan antara lain oleh Rahmat (1992) yang
mendeskripsikan profil tebu rakyat di Jawa Timur secara umum bahwa tebu telah
diterima petani sebagai komoditas yang memberi harapan sumber pendapatan rumah
tangga. Usahatani tebu rakyat cenderung ekstensif dan petani cenderung untuk

melakukan pengeprasan secara berulang. Seiring program akselerasi, kelayakan


usahatani tebu masih harus terus dikahi guna meyakinkan petani bahwa usahatani
tebu masih dapat diharapkan sebagai sumber pendapatan keluarga.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat kelayakan finansial usahatani dengan cara
membandingkan variasi usahatani tebu. Variasi tersebut antara lain lahan beririgasi
(sawah) dan bukan irigasi (tegalan), luas garapan sempit (kurang dari satu hektar) dan
luas (lebih dari satu hektar), serta pola tanam (tanam awal dan keprasan).

METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Responden
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan perbedaan
karakteristik jenis lahan, yaitu lahan beririgasi (sawah) terletak di Kabupaten Bantul
DI Yogyakarta dan lahan tidak beririgasi (tegalan) terletak di Kabupaten Klaten Jawa
Tengah. Berdasarkan jenis lahan, sampel dibedakan menurut pola tanam, yaitu tanam
awal dan keprasan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data biaya
dan pendapatan usahatani dikumpulkan melalui wawancara dengan acuan daftar
pertanyaan yang telah disiapkan (kuesioner).
B. Metode Analisa
Data usahatani tebu yang diperoleh dikelompokkan menurut jenis lahan asal
responden. Berdasarkan jenis lahan, dibedakan menurut pola tanamnya. Selain
perbedaan pola tanam secara agregat dibandingkan skala usahatani tebu menurut luas
garapan. Analisa usahatani dilakukan untuk melihat tingkat pendapatan petani, dan
pengeluaran biaya produksi, sehingga dapat dihitung rasio pendapatan terhadap biaya
(B/C ratio) untuk menentukan kelayakan usahatani tebu yang secara matematis
dirumuskan:

dan B/C =

dengan

: keuntungan, X: jumlah input produksi, Y: jumlah produksi, Px: harga

input produksi, dan Py: harga produksi. Usahatani dikatakan layak apabila nilai B/C
ratio lebih besar dari satu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sawah vs Tegalan
Menurut jenis lahan yang diusahakan untuk tebu secara agregat dihitung biaya dan
pendapatan petani di kedua wilayah penelitian (Tabel 1). Petani yang mengusahakan
tebu di lahan sawah mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Biaya saprodi usahatani
tebu di lahan sawah rata-rata mencapai Rp 2 juta/ha (23.1% dari total biaya),
sementara untuk tegalan rata-rata mencapai Rp 1.3 juta/ha (24.4% dari total biaya).
Biaya saprodi meliputi pembelian bibit, pupuk, dan pestisida. Pengeluaran biaya
tenaga kerja untuk lahan sawah juga relatif lebih tinggi daripada untuk tegalan, yaitu
Rp 5.5 juta/ha (63.5% dari total biaya) dibandingkan Rp 3.2 juta/ha (58.5% dari total
biaya).
Alokasi terbesar pada biaya saprodi untuk tegalan adalah biaya pembelian pupuk urea.
Petani menggunakan urea agar tanaman menjadi subur, sehingga menambah berat
tebu. Sementara untuk biaya tenaga kerja pada lahan sawah yang memerlukan alokasi
lebih besar daripada tegalan antara lain untuk biaya irigasi. Petani umumnya mengairi
tanaman tebu di lahan sawah sedikitnya dua kali. Tegalan menunjukkan alokasi biaya
biaya lain-lain 17.2% dari total biaya. Sebanyak 16.6% dari total biaya merupakan
proporsi biaya sewa lahan.
Tabel 1. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu di Lahan Sawah (DI
Yogyakarta) dan Tegalan (Jawa Tengah), 2003
Uraian

Sawah (n = 26)

Tegalan (n = 22)

Nilai

Nilai

(Rp/Ha)

(Rp/Ha)

A Biaya
Saprodi

1.990.717

23,1

1.323.003 24,4

Tenaga Kerja

5.462.851

63,5

3.172.643 58,5

Lain-lain

1.148.013

13,3

931.348

TOTAL

8.601.581

100

5.426.992 100

B Pendapatan

15.431.515

C Keuntungan

6.829.934

B/C Ratio

17,2

10.829.137
79,4

1,794032

5.402.145 99,5
1,995422

Sumber: Data primer, 2003 (diolah).


Catatan: rendemen sawah 6,05 dan rendemen tegalan 6,1

Sementara pada lahan sawah biaya sewa lahan sebesar 12.7% dari total biaya.
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa tebu lebih banyak diusahakan petani
penyewa lahan. Sementara dengan melihat perbandingan alokasi biaya, tersirat bahwa
biaya sewa lahan sawah lebih mahal daripada tegalan, sehingga lebih sedikit proporsi
petani yang menyewa sawah daripada tegalan. Nilai B/C ratio usahatani tebu di
tegalan lebih besar (1,995422) dibandingkan di lahan sawah, yaitu sebesar 1,794032.
Artinya usahatani tebu di tegalan lebih menguntungkan dibandingkan di lahan sawah.
Tanam Awal vs Keprasan
Tebu yang diusahakan di Yogyakarta meliputi dua pola tanam, yaitu tanam awal dan
keprasan. Pola keprasan lebih banyak dilakukan di wilayah Yogyakarta . Karena
usahatani tebu di lahan sawah dengan pola tersebut masih lebih menguntungkan
dibandingkan dengan pola tanam awal (Tabel 2).
Selain alasan mahalnya biaya bibit untuk pola tanam awal, biaya yang harus
dikeluarkan untuk upah tenaga kerja selama budidaya tebu juga lebih besar. Biaya
saprodi pada pola tanam awal mencapai 28.5% dari total biaya, sementara untuk pola
keprasan hanya 22.4% dari total biaya. Perbedaan pengeluaran yang cukup besar
terjadi pada biaya upah tenaga kerja. Biaya tenaga kerja untuk pola tanam awal

mencapai 70.6% dari total biaya, sementara untuk pola keprasan hanya 56.3% dari
total biaya. Karena pada pola tanam awal diperlukan biaya penanaman untuk
budidaya, sementara pada pola keprasan cukup melakukan penggantian pada tanaman
yang mati (penyulaman). Tanaman yang baru tumbuh memerlukan pemeliharaan yang
lebih intensif, sehingga kegiatan penyiangan juga harus lebih intensif dilakukan pada
tanam awal. Karena pola keprasan lebih menguntungkan, maka pola ini lebih dipilih
petani di lahan sawah, meskipun lahan yang diusahakan diperoleh dengan cara
menyewa (pengeluaran sewa lahan 20.9% dari total biaya). Artinya, dengan cara sewa
pun usahatani tebu masih menguntungkan kalau dilakukan dengan pola keprasan.
Tabel 2. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di
Lahan Sawah (Bantul, DI Yogyakarta), 2003.
Uraian

Tanam Awal (n =Keprasan (n = 16)


10)
Nilai

Nilai

(Rp/Ha)

(Rp/Ha)

Saprodi

2.823.130 28,5

1.854.003

22,4

Tenaga Kerja

6.992.501 70,6

4.668.939

56,3

Lain-lain

87.119

0,9

1.772.069

21,3

TOTAL

9.902.750 100

8.295.011

100

B Pendapatan

16.399.524

14.862.098

C Keuntungan

6.496.774 65,6

6.567.087

1,656058

1,791691

A Biaya

B/C Ratio

79,2

Sumber: Data primer, 2003 (diolah).


Catatan: Rendemen tanam awal = 6,0 dan keprasan = 6,1
Alokasi biaya untuk saprodi dan tenaga kerja pada pola tanam awal mencapai 99.1
persen. Sementara biaya di luar itu (sewa, iuran, dan pajak) bahkan kurang dari satu%
dari total biaya. Hal ini menunjukkan pola tanam awal di lahan sawah umumnya
dilakukan oleh petani pemilik penggarap, sehingga keseluruhan biaya tercurah pada
budidaya tanaman. Sementara pada pola tanam keprasan biaya saprodi dan tenaga

kerja hanya sebesar 78.6% dari total biaya, sisanya (21.4%) dialokasikan untuk biaya
sewa, pajak, dan iuran. Fenomena ini menunjukkan bahwa usahatani tebu dengan pola
keprasan dilakukan para petani bermodal yang mengusahakannya secara luas (skala
besar) dengan menyewa lahan petani lain karena dianggap menguntungkan.
Pendapatan usahatani tebu pola tanam awal rata-rata sebesar Rp 16.4 juta per hektar,
sementara pada pola keprasan pendapatannya sebesar Rp 14.9 juta/ha. Besarnya
pendapatannya ini sangat terkait dengan tingkat rendemen tebu yang dihasilkan.
Produktivitas tebu yang ditanam sejak awal rata-rata sebesar 954 ku tebu/ha,
sementara tebu yang dikepras sebesar 917 ku tebu/ha. Namun dalam perhitungan
keuntungan, rata-rata keuntungan pola tanam awal lebih rendah, yaitu sebesar Rp 6.5
juta/ha (65.6% dari biaya), sementara untuk pola keprasan sebesar Rp 6.6 juta/ha
(79.2% dari biaya). Artinya, pola keprasan lebih menguntungkan untuk dilakukan di
lahan sawah. Terdapat penghematan biaya bibit dan tenaga kerja.
Berdasarkan analisa cost benefit dari kedua pola tanam tebu di lahan sawah, tampak
bahwa biaya usahatani tebu pola keprasan di Yogyakarta rata-rata sebesar Rp 9.9 juta
per hektar, sementara dengan sistem keprasan hanya Rp 8.3 juta/ha. Biaya pembelian
bibit mencapai 16% biaya dari total biaya. Apabila diasumsikan petani menggunakan
dosis yang sama untuk pupuk dan pestisida pada pola tanam awal dan keprasan, maka
petani hanya membutuhkan sembialan% dari total biaya untuk mengganti tanaman
yang mati apabila mempraktekkan pola keprasan. Nilai B/C ratio usahatani tebu di
lahan sawah dengan pola tanam awal lebih kecil (1,656058) daripada keprasan, yaitu
sebesar 1,791691. Artinya usahatani tebu di lahan sawah lebih menguntungkan
diusahakan secara keprasan.
Secara finansial terdapat kecenderungan yang sama pada usahatani tebu di tegalan di
daerah Klaten (Tabel 3). Biaya usahatani tebu di tegalan yang diusahakan dengan pola
tanam awal, 21.2% dari total biayanya digunakan untuk penyediaan saprodi. Alokasi
biaya tersebut, 9.5% digunakan untuk membeli bibit. Biaya penyediaan saprodi untuk
pola keprasan justru mencapai 24.9% dari total biaya. Persentase sebesar itu, 5.3%
dialokasikan petani untuk membeli pupuk urea. Petani berpendapat, karena tegalan
tidak subur, maka diperlukan urea agar tanaman tebu tumbuh subur, sehingga
beratnya bertambah.

Tabel 3. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di
Tegalan (Klaten, Jawa Tengah), 2003
Uraian

Tanam Awal (n = 2) Keprasan (n = 20)


Nilai

Nilai

(Rp/Ha)

(Rp/Ha)

Saprodi

1.851.375 21,2

1.270.165

24,9

Tenaga Kerja

4.870.000 55,8

3.002.906

58,9

Lain-lain

2.000.000 23,0

824.482

16,2

TOTAL

8.721.375 100

5.097.553

100

B Pendapatan

11.874.316

10.724.619

C Keuntungan

3.152.941 36,2

5.627.066

1,361519

2,103876

A Biaya

B/C Ratio

110,4

Sumber: Data primer, 2003 (diolah).


Catatan: Rendemen tanam awal = 6,0 dan keprasan = 6,1

Perbedaan alokasi biaya untuk tenaga kerja pada kedua pola tanam di tegalan tidak
cukup signifikan. Pola tanam awal memerlukan 55.8% dari total biya, sementara
untuk pola keprasan memerlukan 58.9% dari total biaya. Perbedaan alokasi biaya
yang cukup besar terjadi pada kegiatan pengolahan tanah. Pola tanam awal, umumnya
dilakukan dengan mempersiapkan got, guludan, dan bedengan sebagai sarana drainase
dan media tanam.
Berbeda dengan petani di lahan sawah, petani lahan kering umumnya adalah petani
penyewa penggarap. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya alokasi biaya sebesar sewa
sebesar 22.9% dari total biaya pada pola tanam awal dan 15.6% dari total biaya pada
pola keprasan. Artinya, sifat usahatani tebu yang intensif memerlukan biaya yang
besar, sehingga hanya petani yang mempunyai cukup modal yang tertarik untuk
mengusahakannya, meskipun dengan cara menyewa lahan.

Secara umum, usahatani tebu dengan pola tanam awal pada tegalan di wilayah
Kabupaten Klaten rata-rata memerlukan biaya sebesar Rp 8.7 juta per hektar,
sementara untuk pola keprasan rata-rata mencapai Rp 5.1 juta/ha. Perbedaan biaya
yang cukup besar tersebut merupakan faktor pendorong petani untuk lebih sering
melakukan

keprasan,

meskipun

sudah

melampaui

batas

intensitas

yang

direkomendasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagian besar petani bahkan


melakukan keprasan lebih dari tiga kali karena masih menguntungkan.
Tingkat produktivitas tebu harus diperhatikan. Baik pada lahan sawah maupun
tegalan, pola tanam awal mempunyai produktivitas yang relatif lebih tinggi.
Produktivitas tanam awa pada tegalan rata-rata sebesar 713 ku tebu/ha, sementara
keprasan rata-rata sebesar 646 ku tebu/ha. Hal ini berpengaruh pada pendapatan pola
tanam awal menjadi lebih tinggi daripada pola keprasan, yaitu Rp 11.9 juta/ha
dibandingkan Rp 10.7 juta/ha. Namun karena biaya pola tanam juga lebih tinggi,
maka berimplikasi pada nilai keuntungan pola tanam awal justru lebih rendah, yaitu
sebesar Rp 3.2 juta/ha (36.2% dari biaya) sementara pada pola keprasan keuntungan
rata-rata mencapai Rp 5.6 juta/ha (110.4% dari biaya). Nilai B/C ratio usahatani tebu
di tegalan dengan pola tanam awal jauh lebih kecil (1,361519) dibandingkan pola
keprasan, yaitu sebesar 2,103876. Seperti halnya di lahan sawah, usahatani tebu di
tegalan jauh lebih menguntungkan diusahakan dengan keprasan.
Berdasarkan Tabel 2 dan 3 diketahui bahwa komponen biaya usahatani tebu baik di
lahan sawah maupun tegalan dengan pola tanam awal maupun keprasan alokasi biaya
tenaga kerja mencapai lebih dari 50% dari total biaya. Tingginya komponen biaya
tersebut merupakan petunjuk bahwa efisiensi penggunaan tenaga kerja merupakan
faktor penting dalam usaha peningkatan keuntungan usahatani tebu (Irawan dan
Budiman, 1991).
Berdasarkan pola tanam (awal dan keprasan) diketahui bahwa produktivitas tanaman
awal baik yang diusahakan di lahan sawah maupun lahan kering rata-rata lebih tinggi
daripada tanaman keprasan ke-1 sampai dengan ke-3, dan keprasan lebih dari tiga kali
(Tabel 4). Terdapat kecenderungan semakin sering dikepras maka produktivitasnya
akan semakin turun. Seperti disebutkan di muka, bahwa penurunan produktivitas tiap
kali kepras mencapai 20% dari produktivitas tanaman sebelumnya (P 3GI, 2002).

Tabel 4. Perbandingan Biaya Usahatani Tebu Tanam Awal dan Keprasan di


Yogyakarta (Sawah) dan Jawa Tengah (Tegalan), 2003

Sistem Tanam

Biaya

Pendptan Keuntungan Produktvtas(Ku/Ha)B/C

(Rp/Ha) (Rp/Ha)

(Rp/Ha)

Ratio

Lahan sawah

Tanam awal 9.902.750 16.399.524 6.496.774

954

1,66

Keprasan

8.295.011 14.862.098 6.567.087

917

1,79

7.876.571 14.739.073 6.862.502

912

1,87

7.869.366 14.806.017 6.936.650

886

1,88

8.601.581 15.431.515 6.829.934

935

1,79

Tanam awal 8.721.375 11.874.316 3.152.941

713

1,36

Keprasan

5.097.553 10.724.619 5.627.066

463

2,10

5.298.825 11.874.316 4.782.342

609

2,24

4.446.899 10.081.167 5.253.567

489

2,27

6.909.464 11.299.468 4.390.004

588

1,64

Kepras 1-3
Kepras > 3
Rata-rata sawah
Tegalan

Kepras 1-3
Kepras > 3
Rata-rata tegalan

Sumber: Data primer, 2003 (diolah).


Produktivitas tebu di lahan sawah untuk tanam awal, kepras ke-1 sampai dengan ke-3,
dan kepras lebih dari tiga masing-masing 954, 912, dan 886 ku tebu/ha. Rata-rata
produktivitas tebu lahan sawah secara agregat adalah 935 ku tebu/ha. Sementara
produktivitas tebu di tegalan untuk tanaman awal, kepras ke-1 sampai dengan ke-3,
dan kepras lebih dari tiga masing-masing 713, 609, dan 489 ku tebu/ha.

Produktivitas tebu tanam awal dan kepras di lahan sawah relatif sama. Namun
produktivitas tebu di tegalan jauh lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan tebu
lahan sawah. Apabila proporsi tebu lahan kering semakin besar, maka secara agregat
akan menurunkan produktivitas tebu (Soentoro, et al. 1999). Meskipun di lahan sawah
tebu tanam awal mempunyai produktivitas lebih tinggi daripada tebu keprasan,
apabila proporsi tebu keprasan semakin besar, maka produktivitas rata-rata tebu
sawah menjadi rendah (Soentoro, et al. 1999).
Berdasarkan nilai B/C ratio, lahan sawah menunjukkan kelayakan usahatani terbesar
pada pola keprasan lebih dari tiga jkali, yaitu sebesar 1,88. Seperti halnya pada lahan
sawah, kelayakan usahatani terbesar diperoleh pada keprasan lebih dari tiga kali, yaitu
sebesar 2,27. Namun, secara agregat, kelayakan usahatani tebu lahan sawah (1,79)
lebih besar daripada tegalan (1,64).
Menurut Soentoro et al. (1999), apabila usahatani tebu tanam awal pada satu jenis
lahan diteruskan dengan tebu kepras maka akan semakin kompetitif terhadap tanaman
alternatifnya, karena dapat menghemat biaya bibit, pengolahan tanah dan waktu, dan
meningkatkan kelayakan usahatani tebu dibanding tanaman non tebu. Keuntungan
yang lebih tinggi pada tebu keprasan merupakan salah satu faktor yang mendorong
petani tegalan untuk mengepras tebunya berulang kali.
Sempit (< 1 Ha) vs Luas (>1 Ha)
Luas lahan yang diusahakan (garapan) untuk tanaman tebu menunjukkan skala usaha
yang dikuasasi petani. Luas garapan sangat menentukan pendapatan petani dalam
mengusahakan tebu (Irawan dan Budiman, 1991). Selain itu luas garapan juga
menentukan tingkat efisiensi penggunaan saprodi, tenaga kerja, dan transportasi.
Secara teoritis penggunaan input yang sama dengan variasi yang proporsional
terhadap luas lahan akan mengarahkan pada suatu keadaan yang memenuhi
persyaratan fungsi produksi yang merupakan fungsi homogen berderajat satu
(constant return to scale, CRT). Usahatani tebu yang mempunyai skala usaha yang
berkarakteristik demikian masih akan memberi pertambahan hasil yang semakin
meningkat (Debertin, 1986). Biaya, nilai produksi, dan pendapatan petani menurut
luas garapan di lahan sawah dan tegalan di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah
dirangkum dalam Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan nilai B/C ratio usahatani tebu di lahan sawah dengan luas
garapan lebih dari satu hektar lebih tinggi (1,97) daripada luas garapan kurang dari
satu hektar (1,74). Apabila petani mengusahakan lahan kurang dari menjadi lebih dari
satu hektar, maka akan menghemat biaya sebesar 20,8%, mengalami penurunan
pendapatan sebesar 10,6%, dan akhirnya masih memperoleh tambahan keuntungan
sebesar 3,3%. Artinya, kelayakan perluasan skala usaha tersebut secara agregat
meningkat sebesar 51%. Sementara, untuk meningkatkan luas garapan tebu dari
kurang menjadi lebih dari satu hektar diperlukan tambahan biaya sebesar 44,4%, yang
akan meningkatkan pendapatan sebesar 23,1% dan keuntungan sebesar 5,1%. Secara
agregat kelayakan usaha penambahan skala usahatani tebu tegalan meningkat sebesar
52%.
Tabel 5. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Menurut Luas Garapan DI
Yogyakarta (Sawah) dan Jawa Tengah (Tegalan), 2003

Jenis lahan Biaya

Pendapatan

Keuntungan B/C Ratio

(Rp/Ha)

(Rp/Ha)

(Rp/Ha)

< 1 Ha

9.403.705

16.363.170

6.959.464.

1,74

> 1 Ha

7.443.828

14.629.854

7.186.025

1,97

Perubahan

-20,8

-10,6

3,3

0,51

< 1 Ha

4.349.183

9.516.344

5.167.161

2,19

> 1 Ha

6.281.625

11.711.261

5.429.636

1,86

Perubahan

44,4

23,1

5,1

0,52

Lahan
Sawah

(%)*
Tegalan

(%)*
Sumber: Data primer, 2003 (diolah).
* : Perubahan dari skala usaha kurang dari menjadi lebih dari satu hektar

Menurut Irawan dan Budiman (1991), kondisi ekonomi skala usaha pada dasarnya
terjadi karena perbedaan produktivitas masukan usahatani yang dapat disebabkan oleh
pengaruh ketersediaan irigasi atau kualitas bibit yang digunakan. Usahatani tebu yang
memiliki produktivitas masukan lebih tinggi, ekonomi skala usaha yang masih
menguntungkan akan terjadi pada ukuran usahatani yang lebih luas. Sejalan dengan
hasil penelitian Irawan dan Budiman (1991), tampak jelas apabila dibandingkan
antara tanaman tebu tanam awal di lahan sawah dan tanaman tebu keprasan di tegalan.
Tanaman tebu tanam awal di lahan sawah yang berproduktivitas lebih tinggi daripada
tebu keprasan di tegalan, meningkat produktivitasnya karena ketersediaan irigasi yang
lebih terjamin maupun kualitas bibit yang lebih baik. Luas garapan lebih dari satu
hektar dengan pola tanam awal masih dapat memperlihatkan ekonomi skala usaha
yang meningkat. Sementara pada tebu keprasan di tegalan, luas garapan lebih dari
satu hektar akan menunjukkan ekonomi skala usaha menurun.
Usahatani tebu tanam awal pada lahan sawah memiliki ekonomi skala usaha yang
lebih baik daripada usahatani tebu keprasan, meskipun dilakukan pada ukuran
usahatani (luas garapan) yang lebih luas. Artinya, usaha mengelompokkan lahan para
petani menjadi satu blok tanaman tertentu yang merupakan basis kegiatan usahatani
tebu dapat diraih manfaat ekonomi skala usaha secara optimal. Luas blok tebu tanam
awal di lahan sawah hendaknya berukuran lebih luas daripada di tegalan.
Berdasarkan produktivitas lahan, lahan sawah dapat menghasilkan 930 ku tebu/ha,
sementara tegalan hanya 650 ku tebu/ha. Hal ini berpengaruh terhadap pendapatan
dan keuntungan. Usahatani tebu lahan sawah rata-rata keuntungannya sebesar Rp 6.8
juta per hektar, sementara tegalan rata-rata Rp 5.4 juta/ha. Namun, karena total biaya
usahatani tebu di lahan sawah lebih tinggi daripada di tegalan, maka keuntungan di
tegalan justru lebih tinggi. Berdasarkan nilai keuntungan tampak bahwa keuntungan
usahatani tebu tegalan lebih tinggi (99.5% dari biaya) dibandingkan lahan sawah
(79.4% dari biaya). Artinya, usahatani tebu di lahan sawah lebih intensif dan padat
modal dibandingkan usahatani tebu di tegalan.
Secara umum, baik di Yogyakarta maupun di Klaten, terdapat beberapa hal yang
menyebabkan produktivitas tebu menjadi rendah. Pertama, masih rendahnya
penggunaan bibit baru oleh petani. Sebagian besar petani mengusahakan tebu dengan
pola keprasan. Secara teoritis sistem kepras yang direkomendasikan hanya sampai

dengan tanaman kepras ketiga atau keempat. Penurunan produktivitas tiap keprasan
mencapai 20% dari produktivitas tanaman awal (P 3GI, 2002). Intensitas keprasan
yang melebihi batas rekomendasi disertai penggunaan pucuk tebu untuk penyulaman
akan menambah ketidakmurnian sifat bibit asli, sehingga kualitas tebu yang
dihasilkan juga tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk mengatasi penurunan
kualitas

dan

kuantitas

yang

berdampak

pada

produktivitas

tebu

yang

dihasilkan.Namun petani melakukan keprasan lebih dari empat kali bahkan sampai
sepuluh kali. Selain itu, dalam kegiatan penyulaman, petani hanya menggunakan
pucuk tebu dan jarang menggunakan bibit baru dengan alasan lebih murah.
Penyebab kedua adalah kegiatan pemupukan yang dilakukan petani untuk tebu di
lokasi penelitian sangat rendah dibandingkan dosis pupuk yang dianjurkan. Dosis
pemupukan tebu yang dilakukan petani di lokasi penelitian masih 2045% di bawah
dosis anjuran, sehingga berakibat pada penurunan produktivitas. Petani di Yogyakarta
rata-rata memupuk tanaman tebu di lahan sawah dengan dosis urea sebesar 586 kg/ha,
ZA sebesar 702 kg/ha (87.8%), KCl sebesar 126 kg/ha (63%), dan SP-36 127 kg/ha
(63.5%). Berdasarkan kumulatif dosis yang dianjurkan petani tebu di Yogyakarta
hanya menggunakan 79.6% dari dosis anjuran.
Sementara petani di Klaten rata-rata memupuk tanaman tebu di tegalan dengan dosis
urea sebesar 100 kg/ha, ZA sebesar 472 kg/ha (59%), KCl sebesar 90 kg/ha (45%),
dan SP-36 sebesar 100 kg/ha (50%). Secara kumulatif, dosis pemupukan yang
dilakukan petani tebu di Klaten sebesar 55% dari dosis anjuran. Dosis pemupukan
tebu yang dianjurkan adalah 800 kg/ha ZA, 200 kg/ha KCl, dan 200 kg/ha SP-36.
Petani justru menggunakan pupuk urea dengan maksud untuk menambah berat tebu
dan meningkatkan rendemen. Namun, kenyataanya berat maupun rendemen yang
diharapkan tidak meningkat, ditunjukkan oleh produktivitas tebu yang semakin
menurun.
Berdasarkan pembahasan di muka, dapat disusun suatu tabel rangkuman
perbandingan nilai B/C ratio berbagai variasi sebagai disajikan pada Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa menurut jenis lahan usahatani tebu di lahan
sawah secara umum lebih menguntungkan daripada tegalan, khususnya apabila
diusahakan dengan pola tanam awal pada skala usaha lebih dari satu hektar. Namun,

berdasarkan pola tanam, baik di lahan sawah maupun tegalan, keprasan lebih
menguntungkan dan layak diusahakan bahkan lebih dari tiga kali pada skala usaha
kurang dari satu hektar. Kenyataan pada petani dan temuan empiris kelayakan usaha
ini bertolak belakang dengan teori yang direkomendasikan P 3GI. Secara umum
peningkatan skala usaha akan lebih menguntungkan dilakukan pada lahan sawah dan
dapat meningkatan kelayakan finansial lebih dari 50%.
Tabel 6. Pemilihan Kategori Usahatani Tebu
Luas Garapan

Pola Tanam

Sempit (< 1 Ha)

Tanam awal np

pn

Keprasan

nn

pp

Kepras 1-3

nn

pp

Kepras > 3

nn

pp

Rata-rata

np

pn

Tanam awal

pp

nn

Keprasan

pn

np

Kepras 1-3

pn

np

Kepras > 3

pn

np

Rata-rata

pp

nn

Luas (> 1 Ha)

Sawah

Tegalan

Keterangan: n = negatip, p = positip.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASINYA


Berdasarkan pembahasan di muka, dapat disimpulkan bahwa menurut jenis lahannya
usahatani tebu di lahan sawah secara umum lebih menguntungkan daripada tegalan,
khususnya apabila diusahakan dengan pola tanam awal pada skala usaha lebih dari
satu hektar. Berdasarkan pola tanam, tanaman keprasan lebih menguntungkan
diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan dengan skala usaha kurang dari satu
hektar. Berdasarkan skala usahatani, secara umum peningkatan skala usaha pada
lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan tegalan dan dapat meningkatan
kelayakan finansial lebih dari 50%.

Implikasi dari kesimpulan di muka dikaitkan dengan program akselerasi pergulaan


adalah usahatani tebu harus diusahakan secara luas atau ekstensif pada lahan sawah
dengan pola tanam awal. Artinya, target akselerasi dapat dicapai dengan tingkat
produktivitas tanaman yang baik dan ketersediaan sarana irigasi yang memenuhi.
Dukungan program dana talangan harus terus dipertahankan untuk memberi insentif
bagi petani tebu yang menyediakan bahan baku industri gula Indonesia .

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 19972002. Klaten Dalam Angka Tahun 19982001. BPS
Kabupaten Klaten.
Badan Pusat Statistik. 19982001. Yogyakarta Dalam Angka 19982001. BPS
Propinsi DI Yogyakarta.
Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Co.
Irawan, B. dan Budiman H. 1991. Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan
Ekonomi Skala UsahaTani Tebu di Jawa Timur. JAE, Volume 10, Nomor 1 dan 2,
Oktober 1991. Hal. 73 90.
Ismail, N.M. 2001. Peningkatan Industri Daya Saing Gula Nasional Sebagai
Langkah MenujuPersaingan Bebas. ISTECS Journal, II (2001). Hal 3-14.
Mubyarto. 2003. Penelitian Kebijakan untuk Mendukung Akselerasi Peningkatan
Produktivitas Industri Gula Nasional. Makalah disampaikan pada Workshop Strategi
Penelitian dan Pengembangan untuk Memacu Program akselerasi Peningkatan
Produktivitas Industri Gula Nasional. 16 Juli 2003, LPP Yogyakarta.
Rahmat, M. 1999. Profil Tebu Rakyat di Jawa Timur. JAE Vol. II/ No. 2/ Okt 1992.
Hal. 39 57.
Rusastra, I.W., Achmad S, dan Ali A.N. Amsari. 1999. Keunggulan Komparatif,
Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB.
Hal. 427 479.

Simatupang, P. 1999. Nizwar S, Farida Liestijati. 1999. Keterkaitan antar Industri


dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB.
Hal. 21 68.
Soentoro, Novi I, Abdul Muis SA. 1999. Usahatani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di
Jawa. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB. Hal. 69 130.

Anda mungkin juga menyukai