Bunga Dan Derita
Bunga Dan Derita
Padahal masih hangat di memoriku, tadi siang saat jam istirahat aku mendapati sepucuk surat
beramplop merah jambu terselip di mejaku.
Hi Asmi..
Malam ini aku haraf kita bisa ketemu.
Ada beberapa hal yang perlu aku sampein ke loe Mi.
Gw.. Eh aku ssssstunggu kamu jam tujuh di taman kota yaa.
-DannisKu ulang kembali hingga tiga kali, aku baca dengan super apik, terutama dibagian pengirim.
Oh Tuhan, Dannis? suasana bahagia bercampur haru menyelimuti hatiku.
Nuansa kelas menjadi indah dipenuhi bunga warna-warni. Hingga seseorang menepuk pundakku.
Dan suasana kembali berubah menjadi kelas dua belas saat jam istirahat. Sepi, dan terkapar tak
berdaya buku-buku yang dilempar majikannya.
Asmi.
Ehhh.. Via, kenapa Vi?
Loe yang kenapa? Dari tadi Gw intip dari jendela Loe senyum-senyum sendiri.
Aku disuguhi pertanyaan yang membuat aku kikuk sendiri. Aku tidak bisa membayangkan
seberapa merah wajahkun saat itu. Yang pasti saat itu aku benar-benar tertunduk.
Eng.ngak ko Vi, aku gak kenapa-napa, sahutku gugup.
Ya udah Gw mau ke kantin aja, mau ikut gak Mi?
Oh gak, maksih aku gak laper.
Aku segera membalikkan tubuhku, memburu kursi dipojokan kelas. Namun baru beberapa
langkah, hartaku yang paling berharga disabet oleh orang dibelakangku.
ehhhh..
Haaa ternyata ini toh yang bikin Loe jadi gak laper? Hahhahah
Via kembaliin! ku rebut kembali kertas berharga itu.
Yah Loe ini Mi, sekalipun Gw gak baca tapi Gw udah tahu isinya apaan.
So tahu kamu!
Ya Gw tahu, itu surat dari Dannis kan? Dia ngajak kencan? Soalnya nanti malam dia mau
omongan Via tertahan dengan kedatangan seseorang yang dari tadi dibicarakan.
Dannis.. sahut ku dan Via kaget.
Aduh hampir saja bisik Via pelan.
Kenpa Vi? tanyaku penasaran.
Ohh enggak! Gw kayaknya ngedadak gak mau kekantin deh!
Lantas loe mau kemana Vi? tanyaku semakin heran.
Ke WC ya Vi? ya udah sana! tangkas Dannis plus kedipan kecil dimata kirinya.
Oh ya bener, hhehhe
Via telah berlalu, sekarang tinggal aku dan Dannis.
Gimana? Tanya Dannis.
Gimana apanya Nis?
Tuu tunjuknya ke arah kertas dijemariku.
Oh oke deh aku mau
Ya udah Gw cabut dulu ya! sahutnya salah tingkah.
Oh ya aku tak kalah salting.
Perlahan Dannis meninggalkan kelas, namun sebelum dia benar-benar pergi dia memanggilku.
Hmmm. Vi jangan ampe telat ya!
Ok sipp!
Awas loh
Iya bawel
***
Dengan berurai air mata dan kecewa, aku putuskan untuk pulang kerumah. Sesampainya
dirumah aku semakin kacau dengan disuguhi omelan Bunda, yang malah bikin hatiku semakin
hancur saja. Beribu pertanyaan Bunda menghujani aku.
bayang. Hingga bell masuk pun tiba, tapi keduanya tak kunjung masuk kelas. Sampai pelajaran
dimulai, baru sepuluh menit seseorang mengetuk pintu kelas. Aku terperajat kaget Aku haraf itu
Dannis atau Via. Tapi ternyata bukan, dia adalah Bu Jen, wali kelas kami.
Pagi anak-anak
Pagi Bu jawab murid hamper serempak.
Pagi ini ibu dengan berat hati akan mengabarkan kabar duka kepada kalian. Semua anak kelas
dua belas terlihat tenang mendengar penjelasan Bu Jen.
Salah satu teman kita, Dannis. Semalam mendapat musibah, dia mengalami kecelakaan yang
cukup parah, hingga nyawanya tidak dapat tertolong. Suara Bu Jen semakin melemah.
Suasana berubah menjadi pilu, tangisan mulai tumpah ruah dimana-mana. Aku sendiri terpasung
dalam diam, jantungku berdegup dalam kisah sedih yang tak tertahankan.
Dannissssss!!!!!
Aku berteriak sekencang-kencangnya, aku berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya aku telah
bertepi di ruas jalan di dekat Taman, dimana aspal dipenuhi kelopak bunga yang telah layu
diinjak pengguna jalan.
Oh Tuhan ternyata kelopak bunga ini dipenuhi cipratan darah
Diri ini semakin berguncang hebat, saat aku temui secarik kertas.
Dear
Asmi (Calon Kekasihku)
From : Dannis
Kertas kotor bernoda darah itu aku peluk sekuat-kuatnya.
Dannis..Hiks kepala ini semakin tak tertahan, dan akhirnya aku terkapar dalam
ketidaksadaran.
***
Mata ini pelan-pelan mulai menatap jelas orang-orang disekelilingku. Ku lihat dengan pasti
wajah Bunda dan Via penuh dengan kehawatir dan penasaran.
Asmi kayaknya udah sadar Tant
Iya
Aku kenapa Bund? tanyaku dengan nada berat.
Bunda dan Via menatapku pilu. Aku mulai mengingat deretan kejadian sebelum aku terkapar
dalam tempat tidur ini,
Dann. Ucapanku terhenti karena sentuhan telunjuk Bunda di bibirku. Bunda
menganggukkan kepalanya petanda mengiyakan setiap halus ucapanku,
Iya, kamu yang sabar ya nak
Lagi-lagi aku terpaku dalam diam, hanya linangan air mata yang mengalir deras dipipiku.
Via memeluku erat,
Maafin Gw ya Mi, Hiks Gw tahu, Gw gx mampu jaga Dannis buat Loe.
Hiks Dannis
***
Satu minggu sudah aku mengurung diri dikamar, tanpa bicara dan tak ingin brtemu siapa-siapa.
Tukk tukkkk..
Seseorang mengetuk pintu kamarku
Asmi , nih ada Nak Via pengen ketemu kamu.
Pergi Kamu!! bentakku kasar, dan lemparan bantal tepat mendarat diwajah Via saat Bunda
membuka pintu kamarku.
Mi ini Gw, Via
Pergi kamu!!! Kamu yang udah bikin Dannis meninggal!!!
Ya Gw Mi, Gw yang udah nagsih buku Diary loe itu ke Dannis, yang membuat Dannis sadar
tentang semua perasaan Loe ke dia. Tapi asal Loe tahu Diary Loe itu juga yang bikin Dannis
sadar kalo cintanya gak bertepuk sebelah tangan!
Jadi Dannis.. ucapanku terhenti, perlahan aku mendekati wajah Via yang basah karena air
mata, Bohong! bentakku bringas.
Gak Mi!
Alah itu akal-akalan kamu aja, biar aku enggak ngerasa terhianati sahutku sinis.
Gak Mi, Loe gak sadar waktu malam itu Dannis terlambat tiga puluh menit, dia terus mangginmanggil Loe, tapi Loe gak denger, ucapannya terhenti, sesaat Via mengambil nafas panjang
Loe malah sibuk sama riasan Loe itu, sampai akhirnya dia tertabrak karena lari kearah Loe!
Bohong!
Tidak! Gw liat dngan mata kepala Gw sendiri, Gw yang anter Dannis ke Taman karena dia
kelamaan milih bunga di toko bunga nyokap Gw.
Dannis.Jadi
Jadi gak ada yang terhianati disini, Dannis bener-bener cinta sama Loe Mi! Pliese Loe jalani
hidup Loe lagi, buat Dannis Mi!
Hiks.
Aku menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan menjadi tangisan terakhirku. Karena aku telah
berjanji untuk menjalani kehidupan ini dengan sebaik mungkin. Karena aku mencintai Dannis,
laki-laki yang mencintai aku.
***
The End
By : Ray Nurfatimah