Latar Belakang
mengembangkan sumber energi alternatif sebagai bahan bakar minyak. kebijakan tersebut
menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai alternatif pengganti bahan bakar
minyak. Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang sangat melimpah untuk menghasilkan
sumber energi alternatif. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif yang
terbaharukan dan ramah lingkungan menjadi pilihan. Salah satu energi terbaharukan adalah
biogas, biogas memiliki peluang yang besar dalam pengembangannya. Gas ini berasal dari berbagai
macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan dapat dimanfatkan
menjadi energi melalui proses anaerobic digestion. Proses ini merupakan peluang besar untuk
menghasilkan energi alternatif sehingga akan mengurangi dampak penggunaan bahan bakar fosil.
Sejarah Biogas
Sejarah penemuan biogas diawalai dari proses anaerobik yang tersebar dibenua Eropa.
Ilmuwan Volta menemukan as yang ada dirawa-rawa pada tahun 1770, kemudian avogadro
mengidentifikasi tentang gas metana. Setelah tahun 1875 dipastikan bahwa biogas merupakan
produk dari proses anaerobik digestion. Pastoer melakukan penelitian tentang biogas
menggunakan kotoran hewan pada tahun 1884. Era penelitian Pastoer menjadi landasan untuk
penelitian biogas hingga saat ini.
Pengertian Biogas
Biogas merupakan salah satu sumber bioenergi alternatif yang dapat diperbaharui
(renewable fuel). Biogas diperoleh dari hasil olahan biomass (bahan organic bukan fosil), berupa
kotoran ternak maupun sampah padat hasil aktivitas perkotaan. Biomass tersebut diolah secara
anaerobic digestion atau fermentasi anaerob dengan bantuan mikroorganisme seperti
Methanobacterium sp yang kemudian menghasilkan gas metana (CH4). Gas ini lebih lanjut
dapat dikonversi kedalam bentuk energi yang lain misalnya, menjadi bahan bakar gas dan lainlain.
Sampel organic
Konsentrasi
50%80%
20%50%
25% (mass)
14%
< 1%
505000 ppm
0300 ppm
Dalam konsentrasi yang sangat
berhalogen f
Partikel NonGas dan minyak
rendah
Dalam konsentrasi rendah
Ada beberapa metode komersial yang berbeda untuk mengurangi karbon dioksida. Yang
paling umum yaitu dengan proses penyerapan atau adsorpsi hanya menghilangkan 2% metana.
Teknik lainnya yang digunakan adalah membran pemisahan dan pemisahan kriogenik. Salah satu
metode yang menarik dalam pengembangan proses upgrade internal (Margareta Persson, 2006).
Pemurnian H2S
Beberapa metode pemurnian H2S menggunakan beberapa metode antara lain fixasi
biologi, pemberian FeCl2, water scrubbing, pemberian Fe(OH)3 atau oksida yang juga memiliki
beberapa kekurangan. Fixasi biologi akan mengemisikan NOx ketika dilepas ke udara, pada
pemberian FeCl2 tidak menghasilkan limbah, water scrubbing melepaskan buih air dan proses
bisa diregenrasi dengan mereduksi buihan air, karbon aktif ketika dilakukan regenerasi akan
menghasilkan emisi gas, pemberian Fe(OH)3 atau oksida akan mengemisikan FeS yang mudah
terbakar, pemberian NaOH namun menghasilkan larutan bersifat kaustik, berbahaya (Margareta
Persson, 2006).
Pemurnian air (H2O)
Pemurnian air dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu Pendinginan gas pasif,
refrigerasi dan adsorpsi. Berdasarkan 3 metode tersebut metode adsorpsi yang dapat diregenerasi
yang berasal dari silica gel atau alumunium oksida akan menadsorpsi air hingga setengah nya
hilang dari biogas. Pengeringan pada suhu medium dilakukan dengan suhu tinggi dan tekanan
tinggi (Margareta Persson, 2006).
Pemurnian Ammonia
Ammonia bersifat korosif, pembakaran amonia (NH3) sebagai konstituen biogas
mengarah pada pembentukan nitrogen oksida (NOx). Namun, karena hnaya sangat sedikit NH3
di biogas yang berasal dari bahan baku organic (1 ppm). Amonia larut dalam air, sehingga
konsentrasi NH3 dapat lebih dikurangi dengan metode pendinginan uap air dimana biogas akan
melewati counter aliran air (Margareta Persson, 2006).
Manfaat biogas
Setelah harga BBM naik beberapa hari yang lalu, kehidupan masyarakat baik di desa
maupun di kota semakin sulit. Warga berlomba-lomba mencari sumber energi alternatif, ada
yang menggunakan energi matahari, energi air, maupun energi angin. Tapi sampai sejauh ini
masih belum ditemukan sumber energi yang benar-benar bisa menggantikan bahan bakar
minyak. Kebanyakan sumber energi alternatif tidak bisa menghasilkan energi sebesar energi
yang dihasilkan bahan bakar minyak. Tapi, sebenarnya ada sumber energi alternatif yang relatif
sederhana dan sangat cocok untuk masyarakat pedesaan, energi alternatif itu adalah energi
biogas. Energi biogas digunakan sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan
dipergunakan untuk memasak kemudian sebagai bahan pengganti bahan bakar minyak (bensin,
solar). Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik. Di samping
itu, dari proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak yang dapat langsung
dipergunakan sebagai pupuk organik pada tanaman / budidaya pertanian.
Potensi pengembangan Biogas di Indonesia masih cukup besar. Hal tersebut mengingat
cukup banyaknya populasi sapi, kerbau dan kuda, yaitu 11 juta ekor sapi, 3 juta ekor kerbau dan
500 ribu ekor kuda pada tahun 2005. Setiap 1 ekor ternak sapi/kerbau dapat dihasilkan + 2
m3 biogas per hari. Potensi ekonomis Biogas adalah sangat besar, hal tersebut mengingat bahwa
1 m3 biogas dapat digunakan setara dengan 0,62 liter minyak tanah. Di samping itu pupuk
organik yang dihasilkan dari proses produksi biogas sudah tentu mempunyai nilai ekonomis yang
tidak kecil pula. Dengan demikian kita juga bisa mengurangi anggaran untuk membeli pupuk.
Selain bermanfaat sebagai pengganti bahan bakar, ada sejumlah kelebihan yang dapat
diperoleh dari biogas terhadap lingkungan, antara lain:
1. Masyarakat tak perlu menebang pohon untuk dijadikan kayu bakar.
2. Proses memasak jadi lebih bersih, dan sehat karena tidak mengeluarkan asap.
3. Kandang hewan menjadi semakin bersih karena limbah kotoran kandang langsung dapat
diolah.
4. Sisa limbah yang dikeluarkan dari biodigester dapat dijadikan pupuk sehingga tidak
mencemari lingkungan.
5. Dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pengurangan pemakaian
bahan bakar kayu dan bahan bakar minyak.
6. Realatif lebih aman dari ancaman bahaya kebakaran.
Adapun kekurangannya adalah :
1.
2.
3.
4.
kain dari tekstil, ampas tebu dari industri gula dan tapioka, limbah cair industri tahu,
Limbah perairan : alga laut, tumbuh-tumbuhan air,
Limbah peternakan : kotoran sapi, kotoran kerbau, kotoran kambing, kotoran unggas.
pembuatan biogas. Artinya jangan terlalu banyak (berlebihan) juga jangan terlalu sedikit
(kekurangan).
3. Temperatur selama proses berlangsung, karena ini menyangkut "kesenangan" hidup
bakteri pemroses biogas antara 27 - 28 derajat celcius. Dengan temperatur itu proses
pembuatan biogas akan berjalan sesuai dengan waktunya. Tetapi berbeda kalau nilai
temperatur terlalu rendah (dingin), maka waktu untuk menjadi biogas akan lebih lama.
4. Kehadiran jasad pemroses, atau jasad yang mempunyai kemampuan untuk menguraikan
bahan-bahan yang akhirnya membentuk CH4 (gas metan) dan CO2. Dalam kotoran
kandang, lumpur selokan ataupun sampah dan jerami, serta bahan-bahan buangan
lainnya, banyak jasad renik, baik bakteri ataupun jamur pengurai bahan-bahan tersebut
didapatkan. Tapi yang menjadi masalah adalah hasil uraiannya belum tentu menjadi CH4
yang diharapkan serta mempunyai kemampuan sebagai bahan bakar.
5. Untuk mendapatkan biogas yang diinginkan, bak penampung (bejana) kotoran organik
harus bersifat anaerobik. Dengan kata lain, tangki itu tak boleh ada oksigen dan udara
yang masuk sehingga sampah-sampah organik yang dimasukkan ke dalam bioreaktor bisa
dikonversi mikroba. Keberadaan udara menyebabkan gas CH4 tidak akan terbentuk.
Untuk itu maka bejana pembuat biogas harus dalam keadaan tertutup rapat.
6. Setelah proses ini selesai, maka selama dalam kurun waktu 1 minggu didiamkan, maka
gas metan sudah terbentuk dan siap dialirkan untuk keperluan memasak. Namun ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan biogas. Seperti misalnya sifat
biogas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat cepat menyala. Karenanya kalau
lampu atau kompor mempunyai kebocoran, akan sulit diketahui secepatnya. Berbeda
dengan sifat gas lainnya, sepeti elpiji, maka karena berbau akan cepat dapat diketahui
kalau terjadi kebocoran pada alat yang digunakan. Sifat cepat menyala biogas, juga
merupakan masalah tersendiri. Artinya dari segi keselamatan pengguna. Sehingga tempat
pembuatan atau penampungan biogas harus selalu berada jauh dari sumber api yang
kemungkinan dapat menyebabkan ledakan kalau tekanannya besar.
Proses Pembuatan Biogas yang Berasal dari Limbah Cair Tahu Reaktor Upflow
Anaerobic Sludge Blanket (UASB)
Bahan :Limbah Cair dari proses penggupalan yang mempunyai pH 4-5, COD 6.000-10.000 mg/L
Alat: Reaktor dalam bentuk UASB dibuat dari bahan paralon. Alat ini dilengkapi dengan sistem
sirkulasi dan penampung gas berupa erlenmeyer.
Cara kerja :
1. Memasukkan Empat liter massa mikroorganisme yang telah tumbuh (granular) ke reaktor
untuk start-up dan biasanya membutuhkan waktu yang lama. Waktu start- up dianggap
cukup bila laju degradasi bahan organik dan gas yang terbentuk sudah stabil.
2. Limbah dari industri tahu ditentukan CODnya berada pada kisaran 5000-8000 mg/l, pH
dijaga 4-5 kemudian dimasukkan ke reactor anaerobik mengikuti aliran seperti pada
gambar
Pada dekomposisi anaerob faktor pH sangat berperan, karena pada rentang pH yang tidak
sesuai, mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat menyebabkan
kematian yang pada akhirnya dapat menghambat perolehan gas metana. Bakteri-bakteri
anaerob membutuhkan pH optimal antara 6,2 7,6, tetapi yang baik adalah 6,6 7,5. Pada
awalnya media mempunyai pH 6 selanjutnya naik sampai 7,5. Tangki pencerna dapat
dikatakan stabil apabila larutannya mempunyai pH 7,5 8,5. Batas bawah pH adalah 6,2,
dibawah pH tersebut larutan sudah toxic, maksudnya bakteri pembentuk biogas tidak aktif.
Pengontrolan pH secara alamiah dilakukan oleh ion NH4+ dan HCO3-. Ion-ion ini akan
menentukan besarnya pH (Yunus, 1991).
c. Nutrisi
Mikroorganisme membutuhkan beberapa vitamin esensial dan asam amino. Zat tersebut
dapat disuplai ke media kultur dengan memberikan nutrisi tertentu untuk pertumbuhan dan
metabolismenya. Selain itu juga dibutuhkan mikronutrien untuk meningkatkan aktivitas
mikroorganisme, misalnya besi, magnesium, kalsium, natrium, barium, selenium, kobalt dan
lain-lain (Malina,1992). Bakteri anaerobik membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi yang
mengandung nitrogen, fosfor, magnesium, sodium, mangan, kalsium dan kobalt (Space and
McCarthy didalam Gunerson and Stuckey, 1986). Level nutrisi harus sekurangnya lebih dari
konsentrasi optimum yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik, karena apabila terjadi
kekurangan nutrisi akan menjadi penghambat bagi pertumbuhan bakteri. Penambahan nutrisi
dengan bahan yang sederhana seperti glukosa, buangan industri, dan sisa sisa tanaman
terkadang diberikan dengan tujuan menambah pertumbuhan di dalam digester (Gunerson and
Stuckey, 1986).
d. Keracunan dan Hambatan
Keracunan (toxicity) dan hambatan (inhibition) proses anaerob dapat disebabkan oleh
berbagai hal, misalnya produk antara asam lemak mudah menguap (volatile) yang dapat
mempengaruhi pH. Zat-zat penghambat lain terhadap aktivitas mikroorganisme pada proses
anaerob diantaranya kandungan logam berat sianida.
e. Faktor Konsentrasi Padatan
Konsentrasi ideal padatan untuk memproduksi biogas adalah 7-9% kandungan kering.
Kondisi ini dapat membuat proses digester anaerob berjalan dengan baik.
f. Penentuan Kadar Metana Dengan BMP
Uji BMP (Biochemical Methane Potential) ditunjukan untuk mengukur gas metana yang
dihasilkan selama masa inkubasi secara anaerob pada media kimia. Uji BMP dilakukan
dengan cara menempatkan cairan contoh, inokulan (biakan bakteri anaeorob) dan media
kimia dalam botol serum. Botol serum ini, diinkubasi pada suhu 35 oC, lalu pengukuran
dilakukan selama masa inkubasi secara periodik (biasanya setiap 5 hari), sehingga pada akhir
masa inkubasi (hari ke-30) didapatkan akumulasi gas metana. Pengukuran dilakukan dengan
g.
h.
bakteri methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20. (Anonymous, 1999a).
Kandungan Padatan dan Pencampuran Substrat
Menurut Anonymous (1999a), walaupun tidak ada informasi yang pasti, mobilitas bakteri
metanogen di dalam bahan secara berangsur angsur dihalangi oleh peningkatan kandungan
padatan yang berakibat terhambatnya pembentukan biogas. Selain itu yang terpenting untuk
proses fermentasi yang baik diperlukan pencampuran bahan yang baik akan menjamin
proses fermentasi yang stabil di dalam pencerna. Hal yang paling penting dalam
pencampuran bahan adalah menghilangkan unsur unsur hasil metabolisme berupa gas
(metabolites) yang dihasilkan oleh bakteri metanogen, mencampurkan bahan segar dengan
populasi bakteri agar proses fermentasi merata, menyeragamkan temperatur di seluruh
bagian pencerna, menyeragamkan kerapatan sebaran populasi bakteri, dan mencegah ruang
terhadap pendapatan dari masyarakat desa (peternak) itu sendiri. Kotoran ternak dapat dijadikan
sebagai bahan baku untuk menghasilkan energi terbarukan (renewable) dalam bentuk biogas.
Di samping itu, dari proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak yang dapat
langsung dapat di pergunakan sebagai pupuk organik pada tanaman/budidaya pertanian. Limbah
biogas, yaitu kotoran ternak yang telah hilang gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang
sangat kaya unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Bahkan unsur-unsur tertentu seperti
protein, sellulose, lignin dan lain-lain tidak bisa digantikan oleh pupuk kimia (http:/teknologibiogas/2008/10/ html). Menerapkan teknologi baru kepada masyarakat desa dilihat dari aspek
sosio kultural merupakan suatu tantangan tersendiri akibat rendahnya latar belakang pendidikan,
pengetahuan dan wawasan yang mereka miliki. Terlebih lagi pada penerapan teknologi biogas.
Tidak pernah terbayangkan bahwa kotoran lembu bisa menghasilkan api. Selain itu juga mereka
merasa jijik terhadap makanan yang dimasak dengan biogas tersebut. Setidaknya ada empat hal
yang menyebabkan masyarakat kurang tertarik menggunakan energy alternatif (biogas dari
kotoran ternak) tersebut menurut Hamni (2008) yaitu :
1. Masalah kebiasaan, masyarakat sudah terbiasa menggunakan minyak tanah atau kayu
sebagai bahan bakar, sulit bagi mereka untuk mengubah kebiasaan ini secara drastis dan
butuh waktu yang lama
2. Masalah kepraktisan, menggunakan minyak tanah lebih praktis dibandingkan dengan
menggunakan biogas karena mereka belum terbiasa
3. Ketersediaan energi alternatif (biogas dari kotoran ternak) di pasar tidak terjamin secara
berkesinambungan
4. Tabung yang beredar dipasaran terbuat dari plat baja dengan harga yang mahal dan
kapasitas lebih sedikit.
Penerapan teknologi biogas di Desa Plangkrongan Kec. Rawan Kab. Magetan tahun 1995
membutuhkan waktu sekitar dua tahun hanya untuk membangun sebuah unit biogas percontohan.
Metode yang dipergunakan untuk mensosialisasikan biogas adalah dengan memilih sebuah
keluarga sebagai khalayak sasaran antara (KSA) yang diharapkan menjadi pelopor dan bias
mengembangkan biogas itu kepada masyarakat sebagai khalayak sasarannya. Teknologi biogas
dapat diterapkan pada skala rumah tangga dengan asumsi rata-rata kepemilikan ternak sapi ditiap
rumah 2 - 3 ekor. Satu ekor sapi bisa menghasilkan rata-rata 23,59 kg kotoran per hari. Dengan
mengeluarkan biaya Rp. 1,5 juta untuk membeli satu unit alat biogas, bias melakukan
penghematan dalam tahun pertama adalah RP. 552.960, sedangkan tahun berikutnya mendapat
keuntungan sebesar Rp. 1.037.540 dikurangi total biaya perawatan/tahun. Kapasitas digester
(drum pencerna) adalah 30 kg yang akan menghasilkan 1 meter kubik biogas yang setara dengan
0,62 liter minyak tanah dan setara dengan 3,5 kg kayu bakar kering atau setara dengan 0,46 kg
elpiji.
Uji coba yang pernah dilakukan di Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur (NTT) dilakukan
di tiga tempat dan dibiayai, semuanya berhasil. Kelanjutannya masih bergantung pada kesadaran
masyarakat, apakah mereka mau mengaplikasikannya. Sebab untuk biogas ini syaratnya pasokan
kotoran hewan harus rutin, jadi dituntut pula keseriusan warga memelihara dan merawat ternak.
Warga umumnya memelihara ternak dengan membiarkan ternak-ternak itu berkeliaran bebas atau
hanya dengan mengikat hewan peliharaan disatu tempat tanpa mengandangkan. Selain itu biaya
seluruh perangkat biogas yang mencapai Rp. 5 juta untuk skala rumah tangga dirasa sangat berat.
biaya sebesar itu untuk membuat lubang atau saluran pemasukan bahan baku (kotoran ternak),
bagian pencerna (digester) dengan kapasitas 7 ton, lubang pengeluaran lumpur sisa pencernaan,
pipa penyaluran biogas serta satu kompor biogas sekaligus biaya pemasangannya. Biaya sebesar
ini bagi petani kecil sangat mahal, bila harus ditanggung sendiri. Oleh karena itu perlu usaha
dalam menerapkan teknologi biogas dengan melakukan pembentukan kelompok petani peternak.
Metode penerapan teknologi pada masyarakat di tiap wilayah berbeda beda, tergantung kondisi
sosial dan kultural masyarakatnya. Pembentukan kelompok merupakan cara yang telah lama
dirintis sejak jaman penjajahan dengan mengelompokkan petani berdasarkan tempat tinggal dan
domisili (Muchtiar, 1985) dan digunakan untuk mendukung kegiatan penyuluhan. Pendekatan
kelompok sebagai metode penyuluhan pertanian biasanya lebih berdaya dan berhasil guna serta
hasilnya akan lebih mantap.
Keuntungan Ekonomis Aplikasi Biogas
Biogas yang menggunakan bahan kotoran ternak menghasilkan api berwarna biru bersih,
tidak menghasilkan asap maupun bau sehingga kebersihan dapur terjaga. Biogas dapat digunakan
24 jam nonstop tidak akan berhenti sepanjang bahan baku kotoran ternak rutin dipasok ke dalam
digester. Untuk memasak air dengan biogas membutuhkan waktu 15 menit lebih cepat
dibandingkan menggunakan kayu bakar atau minyak tanah. Biaya menjadi lebih irit. Keluarga
keluarga yang sudah menggunakan biogas tidak membutuhkan pembelian bahan bakar karena
sudah bisa terpenuhi kebutuhannya dari kotoran ternak yang dipeliharanya. Bagi mereka yang
biasanya mencari/memotong kayu bakar di hutan kini waktunya bias dipergunakan untuk
kegiatan yang memberikan nilai tambah ekonomis, dengan pekerjaan sambilan lain.
Aplikasi biogas menjadikan kotoran ternak sangat berharga, oleh karena itu para petani
akan rajin merawat ternaknya sehingga kondisi kandang menjadi bersih dan kesehatan ternak
menjadi lebih baik. Secara tidak langsung akhirnya akan membawa keuntungan dengan
penjualan ternaknya yang sehat, lebih cepat besar dan harga jualnya menjadi lebih tinggi.
Keluarga petani yang biasanya menggunakan pupuk kimia untuk menanam, sekarang dapat
menghemat biaya produksi pertaniannya karena sudah tersedia pupuk organic secara kontinyu
dalam jumlah yang memadai serta kualitas pupuk yang lebih baik (Kompas, 2009).