dan
Pluralisme
mayoritas untuk menghargai hak-hak minoritas.Sebagai seorang yang sangat berpegang pada
cara anti kekerasan, Gus Dur melakukan semua ini secara gradual dan selalu menghindari
konflik dan cara-cara yang radikal.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam
pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di
tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran
modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde
Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu
diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan
memisahkan polisi dari tentara.
Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul
sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani
berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan
berse berangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas.
Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini
sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia
malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim
sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap
sebagai seorang wali (http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/30/gus-dur-selamat-jalanpahlawan-demokrasi-dan-pluralisme/ diakses pada tanggal 27 Desember 2012).
Sebagai sistem keyakinan yang memuat dimensi ketuhahanan, agama merupakan faktor
tunggal yang menyatukan umat pemeluknya dalam satu dogma yang mutlak kebenarannya.
Namun sebagai dimensi budaya, agama memiliki derajat pluralitas yang cukup tinggi. Dimensi
budaya ini bisa dipahami sebagai upaya penerjemahan nilai-nilai dan ajaran agama yang ada
dimensi keyakinan. Dimensi budaya dalam hal ini akan sangat tergantung pada pola penafsiran
dan derajat peradaban masyarakat dalam memahami dan menerjemahkan ajaran agama yang
diyakini.
Penafsiran ajaran selalu membawa dalam dirinya perubahan pandangan hidup dan sikap,
atau dengan kata lain berlangsung proses mempertanyakan kemampanan ajaran-ajaran yang
semula diterima sebgai kebenaran agama. Dari upaya mempertanyakan kemampanan ajaran
itulah lahir sikap untuk mencarai relevansi agama bagi kehidupan masyarakat. Jelaslah dengan
demikian, upaya penfasiran kembali ajaran agama adalah kegitan untuk memahami keimanan
dalam konteks kehidupan yang senantiasa berubah-ubaha. Kehidupan beragama dala,
kompleksitas seperti itu memadukan dalam dirinya pengetahuan akan ajaran agama, nilai-nilai
keagamaan yang membentuk perilaku pemeluk agama, dan relasi sosial antara seorang pemeluk
agama dan lingkungannya. Kombinasi antara pengetahuan, nilai dan relasi sosial itu membentuk
pola yang membedakan seorang atau sekelompok pemeluk dari pemeluk lain, sehimggga
menjadi tak terhindarkan lagi adanya perbedaan (Al-Zastrouw, 1999:268).
Pandangan Gus Dur ini menyiratkan bahwa meski agama itu mengandung ajaran tunggal,
namun karena dia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang pengetahuan, pengalaman,
dan kepentingan yang berbeda, maka dalam pelaksanaan dan prakteknya menjadi berbeda dan
plural. Di samping itu Gus Dur berpikiran bahwa tidak semua simbol dan ritus itu sebagai
sesuatu yang baku yang bisa dianggap sebagai suatu ajaran yang harus dijaga dan dipertahankan,
di dalam agama ada dimensi kebudayaan juga menjelma dalam bentuk simbol dan ritus.
Sebenarnya umat beragama memiliki kebebasan untuk mengubah simbol dan ritus yang menjadi
bagian dari dimensi kebudayaan agama. Untuk mendinamisisr agama, agar nilai-nilai agama
tetap relevan dengan realitas zamannya, dan agar agama memiliki fungsi yang maksimal dalam
menjawab problem kehidupan, Gus Dur mencoba melakukan pembaharuan penafsiran dan
pembongkaran simbol-simbol agama yang mengalami stagnasi tanpa mengubah esensi ajaran
agama.
Gus Dur dikenal sebagai sosok pembela kaum minoritas. Pembelaannya kepada
kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol era
Orde Baru (Salman, 2009:145). Atas dasar inilah, Gus Dur bersikap tegas menjadi pembela
pluralisme dalam beragama. Atas sikapnya yang demikian, Gus Dur banyak mendapat tudingan
dan hujatan. Dia dituduh sekuler, pengkhianat umat, atau tidak membela umat Islam. Padahal,
jika dilacak secara cermat, sebenarnya Gus Dur justru berusaha memfungsionalisasikan agama
secara maksimal. Gus Dur tidak menginginkan agama menjadi sekedar simbol, jargon, dan
menawarkan janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan tidak
tersentuh. Sikap demikian memang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang
mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal.
Hal ini membawa Gus Dur pada sikap yang dileamtis ketika melihat kenyataan riil di
masyarakat. Misalnya, ketika ada beberapa orang Islam yang bermoral bejat, melakukan tindak
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kemudian bersembunyi di balik tabir dan simbol Islam. Bagi
kaum simbolis-formalis, kenyataan ini harus ditutupi karena jika dibuka hanya akan membuat
nama Islam hancur. Demi nama baik orang Islam, orang-orang tersebut harus tetap dilindungi,
sebab jika dibuka akan menjadi senjata orang lain untuk menyerang Islam. Kalau mereka harus
ditindak maka harus dilakukakn secara diam-diam, jangan sampai ketahuan publik. Bagi Gus
Dur, pandangan tersebut harus dihilangkan. Meski orang Islam, jika ia berbuat salah harus
dituding dan dipertanggung jawabkan di depan publik. Justru dengan sikap tegas seperti ini Islam
dapat memberikan contoh kepada yang lain dalam hal penegakan hukum dan bersikap ksatria.
Sikap seperti ini adalah cerminan dan penafsiran agama yang kontekstual. Dengan demikian
jelas bahwa apa yang dilakukan Gus Dur bukan sikap sekuler, tetapi upaya menegakkan prinsipprinsip agama (Al-Zastrouw, 1999:270). .
Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid
kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati
hanya 313 suara.
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi
kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata.
Menghadapi hal itu, setelah pengangkatan dirinya sebagai Presiden, Gus Dur melakukan
pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur
memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor
Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi
jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan
Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua
bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland:
Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk
menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga
keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada
pemerintahan Gus Dur lah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu,
sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan
kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur
tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM
duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus
Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM
Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda
Kemanusiaan. Selain usaha perdamaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir
dalam
mereformasi
militer
agar
keluar
dari
ruang
politik
pertikaian antara suku Dayak dan Madura yang banyak memakan korban jiwa dan kerusuhan ini
terjadi pada tanggal 27 Februari 2000 ( Budiarto, 2001:258).
Dalam kapasitas dan ambisinya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan
pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu
yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya.
Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi
kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak
gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan
sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang
seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar untuk menyebut seringkali tidak benar menurut
pandangan pihak lain adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang
mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam
Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh
melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru
mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di
saat ini.