Fenomena mutakhir seputar politik-kebangsaan cukup menggugah perhatian kita untuk melihat kembali proses transisi demokrasi. Di ranah kekuasaan misalnya, pemerintah gagal mengonsolidasikan diri menjadi kekuatan penggerak sekaligus penopang nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Kegagalan itu, salah satunya, bisa dilihat dari drama gertak sambal dalam koalisi hingga komitmen pemerintah pasca evaluasi yang semakin meredup dalam mengusut kasus century dan semacamnya. Pada sisi lain, di ranah kebangsaan, gejolak komunalisme dan primordialisme semakin meluas di mana setiap kelompok lebih mengedepankan kepentingannya masingmasing. Organisasi massa baik yang disandarkan pada identitas primordial agama ataupun lainnya saling mengibarkan bendera untuk memaksakan kehendak komunal bahkan dengan cara kekerasan. Sedangkan ruang sosial dipolitisasi sedemikian rupa sehingga masyarakat tersekat-sekat ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Secara sepintas, kondisi tersebut memberi gambaran tentang bagaimana proses transisi demokrasi yang sedang kita tempuh. Proses itu menemui hambatan besar di dua ranah sekaligus, yaitu ranah kekuasaan dan ranah kebangsaan. Ironisnya, hal itu terjadi berulang kali seolah terjebak di lingkaran absurd tanpa menemukan titik pijak dan titik puncak. Demokrasi memang berlangsung tetapi prahara dan muaranya tidak pernah berujung. Lalu, ke manakah politik-kebangsaan kita mengarah? Kapan kita mengakhiri masa transisi ini? Dalam transisi demokrasi berlaku tesis bahwa suatu negara akan berhasil melewati masa transisi apabila seluruh elemen bangsa mengonsolidasikan diri sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Kasus Amerika Latin, Afrika, Argentina dan sebagainya sangat lamban bahkan bermasalah dalam proses demokratisasi karena gagalnya konsolidasi. Karena itu, demokrasi harus dikonsolidasi secara menyeluruh dengan mengeliminasi semua hal yang menjadi antitesa utamanya. Komitmen Bernegara Pada prinsipnya, persoalan yang terjadi di ranah kekuasaan maupun kebangsaan, bersumber dari terkikisnya jiwa bernegara. Komunalisme dan primordialisme tidak akan pernah muncul jika komitmen bernegara terpatri dalam segenap elemen bangsa. Komitmen itu ditegaskan dalam setiap sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan kebajikan bersama ketimbang kepentingan diri atau kelompok. Dengan kata lain, jiwa bernegara merupakan kunci utama bagi berhasilnya proses transisi demokrasi. Krisis jiwa bernegara akan mengakibatkan gagalnya konsolidasi demokrasi. Penguasa sibuk mengamankan kekuasaan, elit politik mengedepankan kepentingan partai, masyarakat mengalami disorientasi dan menjelma menjadi kelompok massa yang cenderung anarkhis. Selama krisis ini tidak diatasi, maka selama itu pula seluruh elemen bangsa tidak akan berhasil mengonsolidasikan diri. Jika demikian, maka era transisi demokrasi sampai kapan pun tidak akan berhasil pula dilewati. Langkah pertama dalam mengatasi masalah tersebut harus dimulai dari elemen pemerintah sebagai pemangku jabatan lembaga negara. Pemerintah dan para elit politik harus mampu berdiri di tengah perbedaan kepentingan serta berkomitmen untuk memajukan bangsa. Kesamaan platform kebangsaan sangat dibutuhkan untuk
menghancurkan sekat-sekat ideologis atau kepentingan dalam rangka konsolidasi
demokrasi. Akan tetapi, bila memerhatikan perkembangan politik yang sedang berlangsung, belum ada tanda-tanda terang bagi politik-kebangsaan kita. Masing-masing masih terpaku dengan kepentingan diri atau kelompok sehingga visi besar kebangsaan tidak pernah tercurah. Politik-kebangsaan kita seperti beredar dalam lingkaran syaitan di mana tendensi sentrifugal (garis edar yang menjauhi titik pusat) yang berpotensi destruktif cukup besar. Sejauh ini, dalam lingkaran itu, kita memang belum mundur sekaligus belum maju. Tetapi anehnya, garis besar haluan sentripetal (garis edar menuju titik pusat) tidak pernah kita tempuh karena jiwa bernegara yang begitu rapuh. Maka tidak ada pilihan lain kecuali meneguhkan jiwa bernegara, setelah itu baru kita bersepakat tentang kapan era transisi ini diakhiri? Haluan Sentripetal Upaya untuk meneguhkan jiwa bernegara bisa dilakukan dengan dua hal, yaitu memperkuat negara dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Upaya pertama berkaitan dengan upaya negara dalam menjamin kesejahteraan warganya. Di sini kesejahteraan warga negara berbanding lurus dengan semakin kuatnya suatu negara. Semakin sejahtera warga negara maka negara akan semakin kuat. Begitu pula sebaliknya. Negara dengan tingkat kesejahteraan rendah hanya akan melahirkan tindakan yang menentang keutuhan seperti kriminalitas, konflik, dan sebagainya, sehingga melemahkan negara. Tak ada lagi pertimbangan rasional untuk menjalin suatu kesatuan dalam bingkai kebangsaan. Jiwa bernegara tercabik-cabik oleh kemiskinan sehingga penetrasi ideologi yang bertentangan dengan dasar negara mudah diterima. Di sinilah kasus terorisme yang akhir-akhir ini mecemaskan dapat dipahami. Upaya kedua bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan kebangsaan yang dimulai sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa orde baru, terdapat penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta pendidikan moral Pancasila untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan sesuai ideologi negara. Akan tetapi pada masa reformasi, karena dinilai indoktrinasi, P4 kemudian dihapuskan dan pendidikan moral Pancasila diganti dengan pendidikan kewarganegaraan. Celakanya, perangkat pengganti itu tidak begitu memadai untuk menanamkan nilai-nilai ideologis Pancasila karena tingkat kompetensinya jauh lebih sederhana. Alihalih menularkan nilai itu dalam jiwa bangsa, untuk memahami saja kurang memadai. Maka sangat wajar bila belakangan karakter bangsa untuk hidup toleran, terbuka, dan satu visi mewujudkan cita-cita kebangsaan mulai pudar. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita bersama, terutama pemerintah, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Dua hal tersebut merupakan syarat utama dalam menempuh haluan sentripetal kebangsaan kita. Sikap mengedepankan kepentingan diri atau kelompok serta hal-hal yang menghambat konsolidasi demokrasi harus segera diakhiri. Jika tidak, maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah berhasil keluar dari lingkaran itu.
*Peneliti Association for Research and Community Development (HP2M) dan Direktur INCA (Indonesian Culture Academy) Alamat : Jl. Kerta Mukti Rt 01 Rw 08 nomor 17 Ciputat 15412 Telp/hp : 08179118359 Email : hally_na@yahoo.com