Anda di halaman 1dari 3

Krisis Bernegara

Oleh Mohalli Ahmad*


Fenomena mutakhir seputar politik-kebangsaan cukup menggugah perhatian kita
untuk melihat kembali proses transisi demokrasi. Di ranah kekuasaan misalnya,
pemerintah gagal mengonsolidasikan diri menjadi kekuatan penggerak sekaligus
penopang nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Kegagalan itu, salah satunya, bisa dilihat
dari drama gertak sambal dalam koalisi hingga komitmen pemerintah pasca evaluasi yang
semakin meredup dalam mengusut kasus century dan semacamnya.
Pada sisi lain, di ranah kebangsaan, gejolak komunalisme dan primordialisme
semakin meluas di mana setiap kelompok lebih mengedepankan kepentingannya masingmasing. Organisasi massa baik yang disandarkan pada identitas primordial agama
ataupun lainnya saling mengibarkan bendera untuk memaksakan kehendak komunal
bahkan dengan cara kekerasan. Sedangkan ruang sosial dipolitisasi sedemikian rupa
sehingga masyarakat tersekat-sekat ke dalam kelompok-kelompok tertentu.
Secara sepintas, kondisi tersebut memberi gambaran tentang bagaimana proses
transisi demokrasi yang sedang kita tempuh. Proses itu menemui hambatan besar di dua
ranah sekaligus, yaitu ranah kekuasaan dan ranah kebangsaan. Ironisnya, hal itu terjadi
berulang kali seolah terjebak di lingkaran absurd tanpa menemukan titik pijak dan titik
puncak. Demokrasi memang berlangsung tetapi prahara dan muaranya tidak pernah
berujung. Lalu, ke manakah politik-kebangsaan kita mengarah? Kapan kita mengakhiri
masa transisi ini?
Dalam transisi demokrasi berlaku tesis bahwa suatu negara akan berhasil
melewati masa transisi apabila seluruh elemen bangsa mengonsolidasikan diri sesuai
prinsip-prinsip demokrasi. Kasus Amerika Latin, Afrika, Argentina dan sebagainya sangat
lamban bahkan bermasalah dalam proses demokratisasi karena gagalnya konsolidasi.
Karena itu, demokrasi harus dikonsolidasi secara menyeluruh dengan mengeliminasi
semua hal yang menjadi antitesa utamanya.
Komitmen Bernegara
Pada prinsipnya, persoalan yang terjadi di ranah kekuasaan maupun kebangsaan,
bersumber dari terkikisnya jiwa bernegara. Komunalisme dan primordialisme tidak akan
pernah muncul jika komitmen bernegara terpatri dalam segenap elemen bangsa.
Komitmen itu ditegaskan dalam setiap sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan
kebajikan bersama ketimbang kepentingan diri atau kelompok. Dengan kata lain, jiwa
bernegara merupakan kunci utama bagi berhasilnya proses transisi demokrasi.
Krisis jiwa bernegara akan mengakibatkan gagalnya konsolidasi demokrasi.
Penguasa sibuk mengamankan kekuasaan, elit politik mengedepankan kepentingan partai,
masyarakat mengalami disorientasi dan menjelma menjadi kelompok massa yang
cenderung anarkhis. Selama krisis ini tidak diatasi, maka selama itu pula seluruh elemen
bangsa tidak akan berhasil mengonsolidasikan diri. Jika demikian, maka era transisi
demokrasi sampai kapan pun tidak akan berhasil pula dilewati.
Langkah pertama dalam mengatasi masalah tersebut harus dimulai dari elemen
pemerintah sebagai pemangku jabatan lembaga negara. Pemerintah dan para elit politik
harus mampu berdiri di tengah perbedaan kepentingan serta berkomitmen untuk
memajukan bangsa. Kesamaan platform kebangsaan sangat dibutuhkan untuk

menghancurkan sekat-sekat ideologis atau kepentingan dalam rangka konsolidasi


demokrasi.
Akan tetapi, bila memerhatikan perkembangan politik yang sedang berlangsung,
belum ada tanda-tanda terang bagi politik-kebangsaan kita. Masing-masing masih terpaku
dengan kepentingan diri atau kelompok sehingga visi besar kebangsaan tidak pernah
tercurah. Politik-kebangsaan kita seperti beredar dalam lingkaran syaitan di mana
tendensi sentrifugal (garis edar yang menjauhi titik pusat) yang berpotensi destruktif
cukup besar.
Sejauh ini, dalam lingkaran itu, kita memang belum mundur sekaligus belum
maju. Tetapi anehnya, garis besar haluan sentripetal (garis edar menuju titik pusat) tidak
pernah kita tempuh karena jiwa bernegara yang begitu rapuh. Maka tidak ada pilihan lain
kecuali meneguhkan jiwa bernegara, setelah itu baru kita bersepakat tentang kapan era
transisi ini diakhiri?
Haluan Sentripetal
Upaya untuk meneguhkan jiwa bernegara bisa dilakukan dengan dua hal, yaitu
memperkuat negara dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Upaya pertama berkaitan
dengan upaya negara dalam menjamin kesejahteraan warganya. Di sini kesejahteraan
warga negara berbanding lurus dengan semakin kuatnya suatu negara. Semakin sejahtera
warga negara maka negara akan semakin kuat. Begitu pula sebaliknya.
Negara dengan tingkat kesejahteraan rendah hanya akan melahirkan tindakan
yang menentang keutuhan seperti kriminalitas, konflik, dan sebagainya, sehingga
melemahkan negara. Tak ada lagi pertimbangan rasional untuk menjalin suatu kesatuan
dalam bingkai kebangsaan. Jiwa bernegara tercabik-cabik oleh kemiskinan sehingga
penetrasi ideologi yang bertentangan dengan dasar negara mudah diterima. Di sinilah
kasus terorisme yang akhir-akhir ini mecemaskan dapat dipahami.
Upaya kedua bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan kebangsaan yang
dimulai sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa orde baru, terdapat
penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta pendidikan moral
Pancasila untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan sesuai ideologi negara. Akan tetapi
pada masa reformasi, karena dinilai indoktrinasi, P4 kemudian dihapuskan dan
pendidikan moral Pancasila diganti dengan pendidikan kewarganegaraan.
Celakanya, perangkat pengganti itu tidak begitu memadai untuk menanamkan
nilai-nilai ideologis Pancasila karena tingkat kompetensinya jauh lebih sederhana. Alihalih menularkan nilai itu dalam jiwa bangsa, untuk memahami saja kurang memadai.
Maka sangat wajar bila belakangan karakter bangsa untuk hidup toleran, terbuka, dan
satu visi mewujudkan cita-cita kebangsaan mulai pudar.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita bersama, terutama pemerintah, untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Dua hal
tersebut merupakan syarat utama dalam menempuh haluan sentripetal kebangsaan kita.
Sikap mengedepankan kepentingan diri atau kelompok serta hal-hal yang menghambat
konsolidasi demokrasi harus segera diakhiri. Jika tidak, maka sampai kapan pun kita
tidak akan pernah berhasil keluar dari lingkaran itu.

*Peneliti Association for Research and Community Development (HP2M) dan Direktur
INCA (Indonesian Culture Academy)
Alamat
: Jl. Kerta Mukti Rt 01 Rw 08 nomor 17 Ciputat 15412
Telp/hp
: 08179118359
Email
: hally_na@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai