Anda di halaman 1dari 22

TUGAS ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

PENGARUH BUDAYA ASING TERHADAP BUDAYA


INDONESIA
PEKAN KONDOM NASIONAL

Disusun Oleh:
Lina Damayanti

04101401011

Sri Fitri Yanti

04101401040

Mutia Muliawati

04101401041

Putri Wulandari

04101401050

Dosen :
Meri Yanti, S.Pd.i, Med.

Fakultas Kedokteran
Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD)
Universitas Sriwijaya
2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Pola tingkah laku
seseorang di suatu kelompok masyarakat hampir identik dengan tingkah laku
kebanyakan individu di kelompok masyarakat yang bersangkutan tersebut
sehingga nantinya akan terbentuk suatu struktur masyarakat yang menentukan
kemantapan suatu masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat
dalam suatu kesatuan dapat mempengaruhi individu yang ada didalamnya
begitu pula sebaliknya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep budaya barat ?
2. Bagaimana konsep budaya timur?
3. Bagaimana perbandingan budaya barat dan timur?
4. Bagaimana implementasi dan pengaruh budaya barat ke budaya timur
khusunya dalam kasus Pekan Kondom Nasional?

1.3 Tujuan
1.Menjelaskan konsep budaya barat
2. Menjelaskan konsep budaya timur
3. Menjelaskan perbandingan budaya barat dan timur
4. Menjelaskan implementasi dan pengaruh budaya barat ke budaya timur
khusunya dalam kasus Pekan Kondom Nasional

BAB II
PEMBAHASAN
1.1.1

Pengertian dan definisi budaya

Menurut beberapa ahli :


-KROEBER dan KLUCKHOHN
Budaya menurut definisi deskriptif:
cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun
keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang
kajian) yang membentuk budaya
Budaya menurut difinisi historis :
cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialihturunkan dari generasi
satu ke generasi berikutnya
Budaya menurut definisi normatif:
bisa mengambil 2 bentuk. Yang pertama, budaya adalah aturan atau jalan
hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakn yang konkret. Yang
kedua, menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku
Budaya menurut definisi psikologis:
cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan
masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi
kebutuhan material maupun emosionalnya
Budaya menurut definisi struktural:
mau menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang
terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah
abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret
Budaya dilihat dari definisi genetis:
definisi budaya yang melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau

tetap bertahan. Definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antar
manusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya

- LEHMAN, HIMSTREET, dan BATTY


Budaya diartikan sebagai sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam
masyarakat mereka sendiri. Pengalaman hidup masyarakat tentu saja
sangatlah banyak dan variatif, termasuk di dalamnya bagaimana perilaku dan
keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu sendiri

-MOFSTEDE
Budaya diartikan sebagai pemrograman kolektif atas pikiran yang
membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dari kategori lainnya.
Dalam hal ini, bisa dikatan juga bahwa budaya adalah pemrograman kolektif
yang menggambarkan suatu proses yang mengikat setiap orang segera setelah
kita lahir di dunia

- BOVEE dan THILL


Budaya adalah system sharing atas simbol - simbol, kepercayaan, sikap, nilainilai, harapan, dan norma-norma untuk berperilaku

- MURPHY dan HILDEBRANDT


Budaya diartikan sebagai tipikal karakteristik perilaku dalam suatu kelompok.
Pengertian in juga mengindikasikan bahwa komunikasi verbal dan non verbal
dalam suatu kelompok juga merupakan tipikal dari kelompok tersebut dan
cenderung unik atau berbeda dengan yang lainnya

- MITCHEL
Budaya merupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar ,
pengetahuan, moral hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh individu -

individu dan masyarakat, yang menentukan bagaimana seseorang bertindak,


berperasaan, dan memandang dirinya serta orang lain.

Dari beberapa definisi budaya menurut para ahli diatas, bisa diambil
kesimpulan tentang beberapa hal penting yang dicakup dalam arti budaya
yaitu: sekumpulan pengalaman hidup, pemrograman kolektif, system sharing,
dan tipikal karakteristik perilaku setiap individu yang ada dalam suatu
masyarakat, termasuk di dalamnya tentang bagaimana sistem nilai, norma,
simbol-simbol dan kepercayaan atau keyakinan mereka masing-masing.

Budaya sendiri mempunyai beberapa tingkatan yang secara praktis bisa


dijelaskan seperti berikut ini:
Tingkat formal
Dalam tingkat formal, budaya merupakan sebuah tradisi atau kebiasaan yang
dilakukan oleh suatu masyarakat secara turun menurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya

Tingkat informal:
pada tingkatan informal ini, budaya banyak diteruskan oleh suatu masyarakat
dari generasi ke generasi berikutnya melalui apa yang didengar, dilihat,
dipakai, dan dilakukan tanpa diketahui alasannya mengapa hal itu dilakukan

Tingkat teknis:
Pada tingkat teknis ini, bukti-bukti dan aturan-aturan merupakan hal yang
paling penting. Sehingga terdapat penjelasan logis mengapa sesuatu harus
dilakukan dan yang lain tidak boleh dilakukan.
1.1.2

Budaya Asing

Budaya Barat (kadang-kadang disamakan dengan peradaban Barat atau


peradaban Eropa), mengacu pada budaya yang berasal Eropa.

Istilah "budaya Barat" digunakan sangat luas untuk merujuk pada warisan
norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat istiadat, keyakinan agama, sistem
politik, artefak budaya khusus, serta teknologi. Secara spesifik, istilah budaya
Barat dapat ditujukan terhadap:

Pengaruh budaya Klasik dan Renaisans Yunani-Romawi dalam hal seni,

filsafat, sastra, dan tema hukum dan tradisi, dampak sosial budaya dari
periode migrasi dan warisan budaya Keltik, Jermanik, Romanik, Slavik, dan
kelompok etnis lainnya, serta dalam hal tradisi rasionalisme dalam berbagai
bidang kehidupan yang dikembangkan oleh filosofi Helenistik, skolastisisme,
humanisme, revolusi ilmiah dan pencerahan, dan termasuk pula pemikiran
politik, argumen rasional umum yang mendukung kebebasan berpikir, hak
asasi manusia, kesetaraan dan nilai-nilai demokrasi yang menentang
irasionalitas dan teokrasi.

Pengaruh budaya Alkitab-Kristiani dalam hal pemikiran rohani, adat dan

dalam tradisi etika atau moral, selama masa Pasca Klasik.

Pengaruh budaya Eropa Barat dalam hal seni, musik, cerita rakyat, etika

dan tradisi lisan, dengan tema-tema yang dikembangkan lebih lanjut selama
masa Romantisisme.
Konsep budaya Barat umumnya terkait dengan definisi klasik dari Dunia
Barat. Dalam definisi ini, kebudayaan Barat adalah himpunan sastra, sains,
politik, serta prinsip-prinsip artistik dan filosofi yang membedakannya dari
peradaban lain. Sebagian besar rangkaian tradisi dan pengetahuan tersebut
umumnya telah dikumpulkan dalam kanon Barat. Istilah ini juga telah
dihubungkan dengan negara-negara yang sejarahnya amat dipengaruhi oleh
imigrasi atau kolonisasi orang-orang Eropa, misalnya seperti negara-negara di
benua Amerika dan Australasia, dan tidak terbatas hanya oleh imigran dari
Eropa Barat. Eropa Tengah juga dianggap sebagai penyumbang unsur-unsur
asli dari kebudayaan Barat.

Beberapa kecenderungan yang dianggap mendefinisikan masyarakat Barat


moderen, antara lain dengan adanya pluralisme politik, berbagai subkultur
atau budaya tandingan penting (seperti gerakan-gerakan Zaman Baru), serta
peningkatan sinkretisme budaya sebagai akibat dari globalisasi dan migrasi
manusia.
1.1.3

Budaya Timur

Budaya Barat (kadang-kadang disamakan dengan peradaban Barat atau


peradaban Eropa), mengacu pada budaya yang berasal Eropa.
Istilah "budaya Barat" digunakan sangat luas untuk merujuk pada warisan
norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat istiadat, keyakinan agama, sistem
politik, artefak budaya khusus, serta teknologi. Secara spesifik, istilah budaya
Barat dapat ditujukan terhadap:

Pengaruh budaya Klasik dan Renaisans Yunani-Romawi dalam hal seni,


filsafat, sastra, dan tema hukum dan tradisi, dampak sosial budaya dari
periode migrasi dan warisan budaya Keltik, Jermanik, Romanik, Slavik, dan
kelompok etnis lainnya, serta dalam hal tradisi rasionalisme dalam berbagai
bidang kehidupan yang dikembangkan oleh filosofi Helenistik, skolastisisme,
humanisme, revolusi ilmiah dan pencerahan, dan termasuk pula pemikiran
politik, argumen rasional umum yang mendukung kebebasan berpikir, hak
asasi manusia, kesetaraan dan nilai-nilai demokrasi yang menentang
irasionalitas dan teokrasi.

Pengaruh budaya Alkitab-Kristiani dalam hal pemikiran rohani, adat dan


dalam tradisi etika atau moral, selama masa Pasca Klasik.

Pengaruh budaya Eropa Barat dalam hal seni, musik, cerita rakyat, etika dan
tradisi lisan, dengan tema-tema yang dikembangkan lebih lanjut selama masa
Romantisisme.
Konsep budaya Barat umumnya terkait dengan definisi klasik dari Dunia
Barat. Dalam definisi ini, kebudayaan Barat adalah himpunan sastra, sains,

politik, serta prinsip-prinsip artistik dan filosofi yang membedakannya dari


peradaban lain. Sebagian besar rangkaian tradisi dan pengetahuan tersebut
umumnya telah dikumpulkan dalam kanon Barat. Istilah ini juga telah
dihubungkan dengan negara-negara yang sejarahnya amat dipengaruhi oleh
imigrasi atau kolonisasi orang-orang Eropa, misalnya seperti negara-negara di
benua Amerika dan Australasia, dan tidak terbatas hanya oleh imigran dari
Eropa Barat. Eropa Tengah juga dianggap sebagai penyumbang unsur-unsur
asli dari kebudayaan Barat.
Beberapa kecenderungan yang dianggap mendefinisikan masyarakat Barat
moderen, antara lain dengan adanya pluralisme politik, berbagai subkultur
atau budaya tandingan penting (seperti gerakan-gerakan Zaman Baru), serta
peningkatan sinkretisme budaya sebagai akibat dari globalisasi dan migrasi
manusia.
1.1.4 PERBANDINGAN BUDAYA BARAT DAN BUDAYA TIMUR
A. PERBEDAAN KEBUDAYAAN BARAT DAN KEBUDAYAAN
TIMUR
Kebudayaan Barat adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya
dengan cara mamahami ilmu pengtahuan dan filsafat. Mereka melakukan
berbagai diskusi dan debat untuk menemukan atau menentukan makna
yang sebenarnya dari kesadaran. Mereka banyak belajar dan juga mengajar
yang awalnya datang dari proses diskusi dan perdebatan yang mereka
lakukan. Melalui proses belajar dan mengajar, para ahli atau master dari
kebuyaan tersebut yaitu kebudayaan barat dituntut untuk pandai dalam
berceramah dan berdiskusi. Hal itu dilakukan karena para murid akan
menilai suatu pencapaian seorang master dalam berceramah dan
berdiskusi, dan akhirnya banyak yang akan mengikuti ajarannya.
Sedangkan pada Kebudayaan Timur cara pembinaan kesadarannya adalah
dengan cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental.
Pelatihan fisik dapat berupa menjaga pola makan dan minum ataupun apa

yang dimakan dan diminum, karena hal tersebut dapat berpengaruh besar
pada tubuh atau fisik. Sedangkan untuk pelatihan mental dapat berupa
kegiatan yang umumnya dilakukan sendiri, seperti : bersemedi, bertapa,
berdoa, beribadah, dan lain lain.
Dari berbagai latihan tersebut, salah satu atau lebih dari mereka bisa
dikatakan atau diberi sebutan master spiritual. Pada umumnya semakin
tinggi tingkat pencapaian kemasterannya, maka master spiritual tersebut
hanya berpaduan pada kehidupan yang akan dijalankannya di akhirat atau
di kehidupan yang akan datang. Master spiritual akan lebih mementingkan
kepentingan akhirat dari pada kepentingan duniawi, sehingga akan sedikit
murid yang bisa mengerti ajarannya dan akhirnya akan sedikit pula yang
akan mengikuti ajarannya.
Walau proses dari dua kebudayaan tersebut bebeda, tapi tujuan
yang mereka capai sama yaitu untuk mensejahterakan kebudayaan masingmasing. Akan tetapi kelebihan dan kekurangan dari kedua kebudayaan
tersebut hanya dapat dirasakan oleh pengikutnya.
Pada umumnya master kebudayaan timur akan lebih bangga mendapatkan
murid dari kebudayaan yang berbeda yaitu dari kebudayaan barat. Hal itu
dikarenakan training atau latihan yang diberikan oleh para master
kebudayaan barat kepada para muridnya lebih cenderung dengan cara
kekerasan. Para murid kebudayaan barat cenderung hanya membanggakan
pencapaian dari masternya, akan tetapi pada kenyataannya para murid
tidak ingin mengikuti ajaran dari masternya.
Sebaliknya para murid dari kebudayaan timur lebih bisa mengikuti ajaran
dari masternya. Karena, pada umumnya para master dari kebudayaan timur
cenderung memberi training atau pelatihan pada para muridnya dengan
cara yang tidak mengarah pada kekerasan atau test fisik.
Kebudayaan timur menilai kebudayaan barat adalah kebudayaan yang
tidak mementingkan nilai kesopanan dalam berpakaian. Karena, pada
umumnya orang-orang atau murid-murid pada kebudayaan barat lebih

berani dalam memperlihatkan atau menonjolkan salah satu bagian


tubuhnya. Sedangkan mungkin kebudayaan timur lebih dikenal oleh para
kebudayaan barat adalah kebudayaan yang kuno. Akan tetapi pada
kenyataannya kebudayaan timurlah yang mungkin dinilai lebih sopan atau
lebih mementingkan nilai kesopanan.
Akan tetapi alangkah baiknya bila para master dari kebudayaan timur bisa
menerima para murid dari kebudayaan barat tanpa kehilangan jati diri
kemasterannya, begitupun sebaliknya. Karena para muridpun akan
mengikuti jati diri dari para masternya. Dan pada akhirnya kedua belah
pihak kebudayaan dapat menghormati masing-masing perbedaan yang
terjadi, serta dapat menjalin hubungan yang harmonis tanpa ada konflik
antara kedua kebudayaan.
Kebudayaan atau budaya menurut Bapak Antropologi Indonesia,
Koenjtaraningrat, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar. Pengertian tersebut merujuk pada gagasan J. J
Honigmann tentang wujud kebudayaan atau disebut juga gejala
kebudayaan. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga wujud, yakni
kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda.
Mengacu pada konsep diatas, jika dikembalikan pada realita yang ada di
kehidupan bangsa Indonesia, kiranya kita bisa memilah setiap wujud
kebudayaan yang ada, minimal dari yang kita temui setiap harinya. Sejalan
dengan itu, kemudian akan muncul pertanyaan klasik -apakah ada yang
namanya budaya Indonesia? Jika Jepang memiliki identitas budaya dalam
wujud idenya yang terangkum dalam Bushido (moral samurai) yang
berisikan ajaran tentang kejujuran, kerelaan berkorban, kerja keras dsb.
Lantas, apakah konsep gotong royong adalah budaya Indonesia? Atau ada
istilah lain?
Ada beberapa budaya besar (bukan dalam konteks baik dan buruk) yang
terkait dan selalu dikaitkan dengan kebudayaan Indonesia dalam
pencariannya, yakni istilah budaya timur, dominasi sebuah budaya lokal

dan pengaruh Islam sebagai agama mayoritas. Pengaitan itu pada dasarnya
bukan mengarah kepada pencarian jawaban atas apa yang dimaksud
dengan kebudayaan nasional, tetapi lebih cenderung menjadi sesuatu yang
dipaksakan sebagai turunan dari kepentingan ideologis, yang kemudian
mengatasnamakan integrasi nasional. Namun, ada baiknya jika kita
terlebih dahulu analisis ketiganya untuk menguatkan argumentasi kita
tentang budaya nasional.
B. KEBUDAYAAN NASIONAL DAN PENGARUH TIGA BUDAYA
Budaya timur. Penggolongan barat dan timur banyak mengalami
perdebatan secara sosiologis maupun secara politis, budaya timur, yang
mana sebagian besar secara demografis adalah wilayah budaya Asia,
identik dengan nilai-nilai kolot hal ini ditenggarai atas perbandingannya
dengan budaya barat yang direpresentasikan sebagai budaya modern
bahkan posmodern.
Dari prinsip pengelompokan tersebut, kita tidak sepenuhnya bisa sepakat
bahwa Budaya Indonesia adalah sama dengan Budaya Timur, apalagi
secara nilai yang terkandung, ada yang tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada dilapangan, salah satunya pada nilai budaya timur tentang
kesopanan dalam berpakaian, sudut pandang atau budaya dalam wujud ide
ini tidak berlaku pada seluruh kelompok budaya di Indonesia. Secara
prinsipnya, jika berangkat dari pancasila, UUD 45 ataupun konteks
kebangsaan. Budaya Indonesia sekali lagi, tidak sama dengan Budaya
Timur.
Budaya lokal. Maksudnya, budaya nasional merupakan perwujudan dari
sebuah budaya lokal yang dianggap memiliki nilai paling luhur,
superioritas sebuah budaya kelompok. Jika memang demikian, benturan
yang terjadi kembali pada konteks keragaman yang ada. Apakah ada
budaya yang paling kuat dalam keragaman budaya di Indonesia yang bisa
mengendalikan budaya lainnya? Misalnya Budaya Jawa atau Sunda
mengendalikan budaya yang tersebar di Bali, Papua, Aceh, Sulawesi,

Kalimantan dll. Tentu saja, kita pun kembali harus mengaca pada cermin
pancasila dan konsep pluralisme yang ada dan menjawab tidak.
Budaya Islam. Apakah budaya nasional diambil dari budaya Islam?
Karena Islam adalah agama mayoritas. Pertentangan yang muncul adalah
pada keragaman agama yang ada di Indonesia. Walaupun semua agama
mengandung inti ajaran yang sama yakni kebaikan, akan tetapi pada
prakteknya tentu memiliki perbedaan, dan kenyataannya di Indonesia tidak
hanya berkembang agama Islam, tapi juga agama Kristen, Hindu, Budha
dan kepercayaan lainnya yang juga ada dan dijamin secara hukum. Dan
lagi-lagi cermin pancasila dan UUD 45 serta konsep pluralisme mengajak
kita untuk bercermin dan mengatakan tidak.
Jika bukan berangkat atau mengadopsi budaya timur, bukan juga memakai
salah satu budaya lokal ataupun menginduk pada budaya Islam, lantas
seperti apakah budaya nasional bangsa Indonesia secara umum?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita artikan apa yang disebut
Kebudayaan Indonesia. Dalam kamus Wikipedia, kebudayaan Indonesia
didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum
bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Pengertian ini diperkuat
juga oleh pendapat Wahyudi Ruwiyanto (2002), dimana menurutnya
Visi kebudayaan nasional harus memuat semangat integrasi nasional,
karena pada hakekatnya kebudayaan nasional adalah akumulasi dari
kebudayaan lokal yang tersebar di Indonesia.
Jika mengacu pada pengertian diatas, maka jelas bahwa Indonesia
bukanlah terdiri dari budaya tunggal (monokultural) akan tetapi terdiri dari
banyak budaya (multikultural).
C. MONOKULTURALISME DAN SETTING KAPITALISME
Monokulturalisme merupakan sebuah idelogi atau konsep yang memiliki
kehendak akan adanya penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam
monokulturalisme, ditandai adanya proses asimilasi, yakni percampuran
dua kebudayaan atau lebih untuk membentuk kebudayaan baru. Sebagai

sebuah ideologi, monokulturalisme dibeberapa negara dijadikan landasan


kebijakan dan atau strategi pemerintah menyangkut kebudayaan dan
sistem negara.
Perkembangan dewasa ini, dimana adanya usaha untuk menciptakan
budaya tunggal sebagai identitas budaya Indonesia yang sebagian besar
dilakoni oleh media, khususnya televisi dengan setting Jakarta-isme adalah
sebuah hal yang bertolak berlakang dengan semangat pluralisme. Kita
banyak menemui misalnya di sinetron-sinetron dimana adanya proses
monokulturalisme, bahwa yang gaul itu adalah yang gue-elo, bahwa
yang ndeso itu yang tidak mengikuti apa yang berkembang di Jakarta.
Sentralisme semacam ini mau tidak mau adalah semata-mata hanyalah
setting dari kapitalisme untuk mengarahkan agar masyarakat terpolakan
pada sistem yang sudah dibangun oleh modal. Semakin homogen
masyarakat, maka semakin mudah sebuah produk untuk dipasarkan
dengan selera yang sama. Sebaliknya, semakin kompleks atau heterogen
masyarakat, maka semakin sulit sebuah produk untuk menyentuh pasar
secara holistik.
Upaya-upaya monokulturalisme yang dicontohkan diatas pada prosesnya
bisa mengancam kelangsungan entitas-entitas budaya lokal yang ada.
Kecenderungan untuk mengikuti trend yang ditawarkan media dikalangan
generasi muda adalah sejalan lurus dengan tawaran gaul tadi.
Seorang anak merasa lebih asyik memainkan game perang di playstation
dibandingkan bermain permainan tradisional. Seorang ibu akan merasa
lebih bermartabat jika berbelanja di mall dibandingkan di pasar tradisional.
Seorang ayah merasa hebat jika bisa mengajak anaknya untuk makan
hamburger ataupun pizza dibandingkan memberi makanan tradisional.
Seorang remaja akan merasa lebih gaul jika menggunakan bahasa gaul ala
Jakarta dengan elo-gue-nya dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar apalagi bahasa daerah.
Kecenderungan-kecenderungan sikap diatas kebanyakan dipengaruhi oleh
pola hidup yang ditawarkan oleh setting kapitalisme. Bahwa gaya adalah

yang dikedepankan daripada kualitas hidup, tidak peduli bahwa kualitas


pakaian di mall tidak berbeda dengan yang dijual di pasar tradisional, tidak
peduli bahwa ternyata Hamburger memiliki patogen yang bisa mengancam
kesehatan dibanding makanan tradisional seperti serabi ataupun martabak,
tidak peduli bahwa game perang dapat mendorong ke arah kriminalitas,
tidak peduli bahwa bahwa bahasa gaul itu telah merusak bahasa ibu. Yang
lebih berbahaya, ketika ternyata ketidak pedulian ini diakibatkan oleh
ketidak tahuan.
D. MULTIKULTURALISME DAN IDENTITAS BUDAYA NASIONAL
Integrasi Nasional selalu terkait dengan penyatuan atau pengakomodiran
kepentingan dari ragam kelompok didalamnya. Integrasi sendiri menurut
Kuntowijoyo dalam bukunya Budaya dan Masyarakat, adalah masalah
sosial yang tidak pernah selesai, selalu menghadapi kekuatan disintegrasi.
Adanya konflik kepentingan ini menurut Kuntowijoyo adalah sebuah hal
yang alamiah, dimana integrasi tersebut memiliki makna yang berbeda
dalam persfektif setiap kelompok budaya, ketika sebuah kelompok
berhasil menancapkan persfektifnya terhadap integrasi yang terbentuk,
maka Ia mempunyai kecenderungan untuk mempertahankannya, diluar itu
kelompok dengan persfektif atau makna lain sebaliknya menginginkan
disintegrasi, merasa kepentingannya tidak terakomodir.
Dominasi dan subordinasi adalah hal yang memang telah berlaku lama di
Indonesia, terutama dengan positivistiknya Orde Baru yang menganggap
satu kebijakan akan berlaku mutlak bagi semua lapisan bangsa. Hampir,
hal ini terulang ketika pada isu pornografi dan pornoaksi belakangan
dimana kelompok mayoritas menginginkan terbentuknya UU Anti
Pornogafi dan Pornoaksi, yang mana akan mengancam kelangsungan
banyak budaya, misalnya kaum adat di Papua yang masih
mempertahankan koteka.
Dalam hal ini ada baiknya kita mengacu pada gagasan Drs. S Sumarsono
dkk yang terangkum dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan (2001).

Drs. S Sumarsono dkk memandang bahwa solusi untuk mengatasi


persoalan integrasi yang melibatkan kompleksnya golongan budaya di
Indonesia membutuhkan persamaan persepsi diantara segenap masyarakat
mengenai adanya keragamanan tersebut, dan harus dimunculkan semangat
untuk membina kehidupan bersama secara harmonis.
Kesamaan persepsi tersebut dalam pandangan penulis adalah sebuah solusi
yang tepat, namun sungguh sulit untuk dicapai, karena hal ini melibatkan
pertarungan ego yang sungguh rumit. Ketika kita mengatakan kesamaan
persepsi maka sebenarnya kita telah melakukan suatu proses yang begitu
hebat dan melelahkan- meruntuhkan bangunan ego yang berangkat dari
sukuisme yang mengakar.
Konsep tersebut, sesungguhnya sudah bisa terjamin dengan adanya
sistem parlementer di Indonesia, dimana sistem keterwakilan rakyat di
DPR dan MPR adalah buah dari sistem demokrasi yang sejatinya
membawa aspirasi rakyat untuk ikut menentukan nasib negara. Namun,
pada prakteknya hal ini belum terlaksana, karena adanya benturan ego dan
kepentingan yang kompleks juga, terutama aspek politik dan ekonomi
yang cenderung mengalahkan aspek sosio budaya, hal ini dibuktikan
dengan tidak adanya UU sebagai produk dari parlemen yang membahas
atau mengatur secara khusus tentang kelangsungan budaya bangsa yang
beragam.
Solusi kedua, seperti yang disinggung diatas adalah membuat regulasi atau
UU khusus kebudayaan nasional. Tidak adanya regulasi atau UU
kebudayaan selama ini, disinyalir oleh banyak kalangan sebagai salah satu
penyebab banyaknya terjadi konflik dimasyarakat yang dilandasi oleh
kesalahan tafsir antar kelompok berbeda budaya. Adapun semangat inti,
dari regulasi yang menyangkut budaya bangsa itu tentu bukan untuk
meleburkan semua budaya menjadi satu (monokulturalisme), tapi lebih
kepada arahan tentang pengakuan dan pentingnya pemahaman masyarakat
akan aneka ragam budaya, hingga terbentuknya kesadaran pluralisme di

masyarakat.
Solusi lainnya, adalah mengubah bentuk negara dari kesatuan ke federal
seperti Amerika dengan adanya negara bagian, dimana setiap wilayah
budaya dalam kelompok besar memiliki otonomi yang khusus, hal ini
berbeda dengan kondisi sekarang yang juga dengan konsep otonomi
namun selalu berbenturan dalam prakteknya, karena posisi pusat masih
menjadi sentral yang positivistik. Perubahan sistem negara ini, jika melihat
pada kesiapan bangsa kita tentu bukan solusi yang harus dikedepankan,
karena nantinya akan cenderung menciptakan disintegrasi yang subur.
Amerika Serikat membutuhkan periode sejarah yang panjang untuk
menjadi negara yang kuat walaupun terbagi kedalam negara bagian, dan
kita tidak punya banyak waktu untuk mengalami periode sejarah yang
akan berlangsung dengan konflik yang beragam lagi, yang kita butuhkan
adalah maju setahap demi setahap dengan optimisme ditengah arus
globalisasi yang mengancam dengan muatan kapitalismenya.
Adanya regulasi (UU) yang mengatur kehidupan antar budaya adalah
salah satu solusi yang penulis nilai paling tepat untuk mengatasi persoalan
integrasi nasional, dalam hal ini memberikan pemahaman atas budaya
nasional yang harus dimaknai sebagai pemahanan akan pluralitas atau
keragaman. Pada intinya budaya nasional mengandung semangat bhineka
tunggal ika, walaupun berbeda namun satu jua, yang merupakan cerminan
dari prinsip muktikulturalisme.
Pada dasarnya, multikulturalisme sendiri menghendaki adanya persatuan
dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik
yang sama dalam masyarakat modern (Wikipedia). Hal ini berbeda dengan
monokulturalisme yang lebih menghendaki kepada adanya kesatuan, yang
cenderung homogen, bukan persatuan yang menjadi cermin dari
harmonisasi dalam pluralitas. Sila ketiga Pacasila, Persatuan Indonesia,
adalah jawaban sebenarnya atas persoalan pelik mengenai kebudayaan
Indonesia.

BAB III
KASUS DAN KESIMPULAN
3.1 Kasus
Setelah mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak termasuk organisasi
keagamaan, akhirnya Panitia penyelenggara pekan kondom nasional 2013
membatalkan acara yang rencananya akan digelar mulai tanggal 1 hingga 7
Desember mendatang. Pekan Kondom Nasional dimaksukan untuk menjadi
ajang kampanye besar-besaran untuk sosialisasi pemakaian kondom pada
masyarakat.

Hizbut Tahrir Indonesia merupakan salah satu ormas yang menolak Pekan
Kondom Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional serta DKT, sebuah perusahaan yang
memproduksi kondom merek Sultra dan Fiesta. Juru bicara Hizbut Tahrir
Indonesia Ismail Yusanto menyambut baik pembatalan Pekan Kondom
Nasional itu.Organisasinya lanjut Ismail menolak acara tersebut karena
kondom sangat tidak efektif untuk mencegah penularan virus HIV AIDS. Di
banyak penelitian tambahnya menyebutkan bahwa ukuran pori-pori kondom
jauh lebih besar dari ukuran virus HIV. Ukuran pori-pori kondom sebesar 1/60
mikron dalam kondisi normal dan membesar menjadi 1/6 mikron saat dipakai.
Sedangkan ukuran virus HIV hanya 1/250 mikron sehingga virus HIV sangat
mudah bebas keluar masuk melalui pori-pori kondom. Dia juga tidak setuju
dengan adanya pembagian kondom gratis di kampus-kampus dalam acara itu
yang seakan menyuruh mereka melakukan hubungan seksual asalkan aman.
Hizbut Tahrir, kata Ismail, setuju bahwa harus adanya upaya untuk mencegah
perkembangan penyakit menular itu, tetapi hal itu harus dilakukan secara
tepat. Menurutnya, pembagian kondom seharusnya dilakukan kepada mereka
yang beresiko dan bukan kepada mereka yang tidak beresiko. Ismail Yusanto
mengatakan, "Program bukan hanya gagal tetapi juga berbahaya karena ini

bisa merusak cara berfikir seolah bahwa kalian bisa melakukan seks apa saja
asal pakai kondom. Kita harus kembali ke cara yang benar bagaimana
mengatasi persoalan berkembangnya penyakit HIV AIDS, ini secara
komprehensif."

Psikolog Universitas Indonesia (UI) yang mengambil spesialisasi perilaku


seksual Zoya Amirin membantah bahwa kondom melegalisasi seks pra nikah.
Meski demikian, dia tidak setuju dengan adanya pembagian kondom secara
gratis pada acara Pekan Kondom Nasional.Yang penting dilakukan kata Zoya
bukan membagikan kondom secara gratis tetapi bagaimana mengedukasi
masyarakat tentang pentingnya menggunakan kondom."Karena tanpa edukasi
semua percuma . Kita harus berbuat perubahan perilaku. Bagaimana
melakukan perubahan perilaku yah edukasi . Edukasinya bukan hanya agama
tetapi juga harus ada nilai-nilai budaya," papar Zoya Amirin.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Kamil Siregar


membantah adanya pembagian kondom kepada masyarakat umum terutama di
kampus-kampus dalam acara Pekan Kondom Nasional. Membagikan kondom
kepada mereka yang tidak beresiko menurut Kamil sangat tidak tepat sasaran.
Ia menjelaskan, "Kalau bagi kondom itu tidak ada gunanya. Itu hanya berguna
kalau itu memang di tempatnya bukan di tempat lain karena virus HIV tidak
menyebar di mana-mana dia hanya menyebar di tempatnya.
3.2 Pembahasan
1. Bagaimana hubungan antara Pekan Kondom Nasional dengan budaya di
Indonesia?
Pekan Kondom Indonesia dinilai kurang pantas bila dikaitkan dengan
budaya Indonesia yang sering menganggap bahwa sex itu tabuh.

2. Bagaimana pola tingkah laku masyarakat yang mungkin dapat ditimbulkan


dengan adanya Pekan Kondom Nasional?

Tedapat tiga pola tingkah laku masyarakat sebagai mahluk individu yaitu
menyimpang dari norma, takluk kepada norma, dan mempengaruhi norma
yang ada di masyarakat. Jika Pekan Kondom Nasional ini diterima
dimasyarakat maka pola pikir masyarakat pun ikut berubah sehingga mau
tidak mau akan mempengaruhi individu didalamnya dan membuat mereka
takluk terhadap peraturan yang ada di lingkungannya, dalam kasus jika
memang Pekan Kondom Nasional diterima di masyarakat.

3. Bagaimana cara agar perilaku free sex tidak meraja rela di Indonesia?
Manusia tidak dapat menahan arus globalisasi yang perlahan tetapi pasti
menelusup kedalam keseharian masyarakat di Indonesia, sehingga untuk
mencegah pengaruh buruk globalisasi semua pihak perlu turun tangan
dalam hal ini adalah untuk memperbaiki sumber daya masyarakat dan
sistem yang berlaku. Sistem sendiri dipegang oleh pemerintah, dimana
fungsi pemerintah adalah fungsi pengawasan. Contoh dari tindakan yang
dapat diambil oleh pemerintah adalah peningkatan atau pengefektifan
pelajaran agama, kewarganegaraan, budi pekerti di sekolah dan melakukan
sosialisasi. Pihak lainnya yang berpengaruh adalah orang tua yang
merupakan lini pertama pendidikan anak, dan yang terpenting adalah
individu itu sendiri bagaimana ia memagari dirinya agar tidak terjerumus
ke dalam kekacauan yang disebabkan oleh efek negatif globalisasi.

4. Apakah setuju dengan Pekan Kondom Nasional ?


Jika dilihat dari segi agama, norma dan budaya yang ada di Indonesia,
jelas kelompok 3 menolak adanya Pekan Kondom Nasional karena
kegiatan ini sarat dengan makna menghalalkan hubungan seksual diluar
nikah. Namun, jika kita melihat dari kacamata pemrintah, kegiatan ini
sendiri bertujuan untuk mengurangi angka penularan HIV, seperti yang
kita ketahui angka penularan HIV di Indonesia sangat tinggi, karena pada
dasarnya kita tidak dapat menahan ornag lain ataupun melarang mereka
dari melakukan hubungan seksual di luar nikah karena besarnya pengaruh

budaya barat yang mulai mencemari norma di Indonesia oleh karena itu,
mau kita biarkan saja penularan HIV? Mau berapa banyak lagi orang yang
terserang HIV/AIDS?

5. Apakah tujuan pekan kondom nasional dapat melindungi mayarakat ?


Jika melihat fungsi kondom sendiri sebagai laat pelindung, makan hal ini
dapat melindungi, namun efek lainnya adalah perubahan pola pikir
masyarakat yang dikhawatirkan akan muncul dan menjerumuskan
masyarakat sendiri.

3.3 Kesimpulan
a) Pekan Kondom Nasional adalah kemasan baru dari sekulerisme,
hedonisme, dan kapitalisme. Kapitalisme dilihat dari kondom sendiri
sebagai barang dagangan yang dapat mendatangkan untung bagi
produsennya. Hedonisme dilihat dari kesempatan untuk menjadi hedon
pada kegiatan ini dan budaya barat yang identik dengan sekulerisme.

b) Sasaran Pekan Kondom Nasional belum tepat, yaitu pelajar dan


mahasiswa. Seharusnya sasarannya adalah pasnagan yang telah
menikah, memiliki risiko, atau ingin menjauhkan jarak kelahiran anak.

c) Manusia sebagai obyek dari globalisasi harus pandai memagari diri


dengan iman dan takwa agar terhindar dari efek negatif globalisasi
yang arusnya tidak dapat kita tahan.

d) Beberapa langkah yang dapat diambil untuk menyikapi Pekan Kondom


Nasional adalah meyakini bahwa kegiatan ini lebih banyak
mendatangkan mudarat dibandingkan dengan manfaat dan kegiatan ini
tidak sebaiknya diadakan karena bertentangan dengan nilai dan norma
yang berlaku di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Jones, Prudence and Pennick, Nigel A History of Pagan Europe Barnes &
Noble (1995) ISBN 0-7607-1210-7.
Ankerl, Guy (2000) [2000]. Global communication without universal
civilization. INU societal research. Vol.1: Coexisting contemporary civilizations :
Arabo-Muslim, Bharati, Chinese, and Western. Geneva: INU Press. ISBN 288155-004-5.
Barzun, Jacques From Dawn to Decadence: 500 Years of Western Cultural Life
1500 to the Present HarperCollins (2000) ISBN 0-06-017586-9.
Merriman, John Modern Europe: From the Renaissance to the Present W. W.
Norton (1996) ISBN 0-393-96885-5.
Derry, T. K. and Williams, Trevor I. A Short History of Technology: From the
Earliest Times to A.D. 1900 Dover (1960) ISBN 0-486-27472-1.
Eduardo Duran, Bonnie Dyran Native American Postcolonial Psychology 1995
Albany: State University of New York Press ISBN 0-7914-2353-0
McClellan, James E. III and Dorn, Harold Science and Technology in World
History Johns Hopkins University Press (1999) ISBN 0-8018-5869-0
Stein, Ralph The Great Inventions Playboy Press (1976) ISBN 0-87223-444-4.
Asimov, Isaac Asimov's Biographical Encyclopedia of Science and Technology:
The Lives & Achievements of 1510 Great Scientists from Ancient Times to the
Present Revised second edition, Doubleday (1982) ISBN 0-385-17771-2.

Pastor, Ludwig von, History of the Popes from the Close of the Middle Ages;
Drawn from the Secret Archives of the Vatican and other original sources, 40
vols. St. Louis, B. Herder (1898ff.)
Walsh, James Joseph, The Popes and Science; the History of the Papal
Relations to Science During the Middle Ages and Down to Our Own Time,
Fordam University Press, 1908, reprinted 2003, Kessinger Publishing. ISBN 07661-3646-9 Reviews: P.462

Anda mungkin juga menyukai