OLEH
DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Hj. LATISMA DJ, M.Si
FILSAFAT MORAL
A. ONTOLOGI MORAL
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau
adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia,
kata mores masih dipakai dalam arti yang sama.
Kata Moral sering juga dipadankan dengan kata akhlak (bhs. Arab, berarti :
perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber
timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan
dan direncanakan sebelumnya.
Moral dapat dimaknai sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya,
perbuatan seseorang tidak bermoral. Hal itu dimaksudkan bahwa perbuatan orang tersebut
melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Tim Prima Pena) : Moral diartikan sebagai ajaran
tentang baik buruk yang di terima umum mengenaik akhlak-akhlak dan budi pekerti, kondisi
mental yang memperngaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin, dll.
Menurut Ensiklopedia Pendidikan : Moral merupakan suatu istilah untuk menentukan
batas-batas dari sifat-sifat, corak-corak,maksud-maksud, pertimbangan-pertimbangan, atau
perbuatan-perbuatanyang
layak
dapat
dinyatakan
baik/buruk,
benar/salah,Lawannya
amoral, Suatu istilah untuk menyatakan bahwa baik-benar itu lebih daripada yang
buruk/salah.
Menurut Kohlberg dalam Djahiri : Moral diartikan sebagai segala hal yang mengikat,
membatasi, dan menentukan serta harus dianut, diyakini, dilaksanakan atau diharapkan
dalam kehidupan dinamika kita berada.
Moral ada dalam kehidupan serta menuntut dianut, diyakini akan menjadi moralitas
sendiri. Djahiri mengatakan lebih lanjut, bahwa moral itu mengikat seseorang karena :
1. Dianut orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada.
2. Diyakini orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada
3. Dilaksanakan orang atau kelompok atau masyarakat di mana kita berada.
4. Merupakan nilai yang diinginkan atau diharapkan atau dicita-citakan kelompok atau
masyarakat di dalam kehidupan kita.
Selanjutnya, Kama Abdul Hakam mengatakan bahwa berbicara soal moral berarti
berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa
yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidak patut dilakukan.
Dari beberapa pendapat di atas, dipahami bahwa moral adalah keseluruhan aturan,
kaidah atau hukum yang berbentuk perintah dan larangan yang mengatur perilaku
manusia dan masyarakat di mana manusia itu berada.
Dalam perkembangannya kemudian, kata mos, mores dan moral ini menjadi moralismoralitas. Moralitas dipergunakan untuk menyebut sebuah perbuatan yang memiliki makna
lebih abstrak. Apabila ditanyakan, apakah moralitas tersebut? Moralitas adalah segi moral
baik maupun buruknya suatu perbuatan. Moralitas menunjuk pada suatu konsep yang
keseluruhannya memaknai suatu perbuatan itu berkenaan dengan hakekat nilai, terkait
dengan kualitas perbuatan manusiawi. Dengan demikian pada dasarnya perbuatan moralitas
manusia hanyalah dirasakan relevan apabila dikaitkan dengan eksistensi manusia seutuhnya.
Kata moralitas, yang berasal dari kata sifat Latin moralis. Ini mempunyai arti yang mirip
sama dengan moral, hanya lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan,
artinya memandang baik buruknya perbuatan dari segi moral. Moralitas adalah sifat moral
atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Menurut Sumantri, istilah moral dan moralitas itu tidak sekedar menunjukkan tingkah
laku atau sikap semata, akan tetapi lebih kepada kompleks komponen yang menyangkut
keduanya. Dari asumsi ini, pernyataan moral dan moralitas tidak saja meliputi komponen
sikap, akan tetapi sekaligus tingkah lakunya. Ini berarti bahwa moral sangat erat kaitannya
dengan performasi dari tingkah laku tertentu. Lebih dari itu, ruang lingkup moral juga
meliputi tipe-tipe motivasi, disposisi, dan intensi tertentu yang merupakan pra-kondisi mutlak
bagi tingkah laku moral. Konsep Sumantri mengenai moral dan moralitas tidak semata
menyangkut tingkah laku dan sikap semata yang dapat diartikan secara terpisah, tetapi
keduanya merupakan satu kesatuan yang dapat terwujud melalui performasi dan komponen
kompleksitas antara tingkah laku dan sikap dalam bentuk motivasi, disposisi, dan intensi
tertentu.
Yang
diinginkan
pembunuh
adalah
matinya
pemilik
harta
yang
berstatus
sebagai pewaris.
-
bebas. Moralitas perbuatan ada dalam kehendak. Perbuatan itu menjadi objek perhatian
kehendak, artinya memang dikehendaki oleh pelakunya. Sebagai contoh, ialah kasus dalam
pembunuhan keluarga yang dikemukakan diatas :
-
Diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu
matinya pemilik harta (pewaris).
Moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan perbuatan jahat dan salah.
Lingkungan perbuatan adalah segala sesuatu yang secara aksidental mengelilingi atau
Frekuensi perbuatan
Hal-hal ini dapat diperhitungkan sebelumnya atau dapat dikehendaki ada pada perbuatan
yang dilakukan secara sadar. Lingkungan ini menentukan kadar moralitas perbuatan yaitu
baik atau jahat, benar atau salah.
B. EPISTEMOLOGI MORAL
a. PERSPEKTIF OBJEKTIVISTISK VS RELATIVISTIK.
Perspektif objektivistik: baik dan buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah. Suatu
perilaku yang dianggap baik akan tetap baik, bukan kadang baik atau kadang tidak baik.
Baik dan buruk bersifat mutlak, sepenuhnya, dan tanpa syarat; pandangan universal
prinsip-prinsip moral. Perspektif relativistik: baik dan buruk suatu perilaku bersifat
relatif, tergantung kepada konteks, kultural, situasi, atau masing-masing individu.
Terbatas kepada dimensi ruang dan waktu.
b. MORALITAS OBJELTIVISTIK VS RELATIVISTIK : Perspektif historis (sejarah
perkembangan intelektual Barat)
1. Periode Abad Klasik: zaman Yunani Kuno (sekitar Abad ke-5 SM) Sokrates, Plato,
Aristoteles. Prinsip-prinsip moral bersifat objektivistik, naturalistik, dan rasional
objektivistik.
2. Periode Abad Pertengahan: sejak keruntuhan Imperium Romawi pada Abad ke-5
hingga Abad ke-15 disebut Abad Kepercayaan, pemikiran Barat dipengaruhi oleh
kepercayaan yang kokoh terhadap kebenaran wahyu Kristiani. Persoalan moralitas
bahkan realitas alam ditempatkan dalam kerangka pikir pada kepercayaan (iman)
dibanding penalaran spiritualistik objektivistik.
3. Periode Abad Modern: setelah berkembang Renaisans, Aufklarung (Bahasa Perancis
berarti: kelahiran kembali). Karakteristik : naturalistic, rasional-empiris dan
relativistik. Persoalan moral sebagai persoalan duniawi bersifat relativistic sekular.
Apakah segala perbuatan manusia hanyalah demi mencapai nikmat dan untuk
menghindari perasaan yang menyakitkan saja.
2. Eudemonisme
Pengertian etimologis dalam Bahasa Yunani berasal dari kata eudaimonia
berarti roh pengawal (demon) yang baik, mujur dan beruntung. Kata Eudemonia
lebih dititikberatkan kepada pengertian batiniah yaitu bahagia, kebahagian (De
Vos, 1987). Pendiri eudemonisme menyatakan bahwa hakekat kodrat manusia adalah
mengusahakan kebahagiaan. Kesenangan adalah kebahagiaan. Sumber kebahagiaan
adalah kekayaan, status sosial, keutamaan intelektual (Aristoteles). Para filosof moral
aliran ini adalah Aristoteles (384-322 SM), dengan akal budi manusia dapat mencapai
tujuan terakhir melalui kegiatan yang mencerminkan keutamaan intelektual maupun
keutamaan moral.
Etika Aristoteles dan khususunya ajaran tentang keutamaan tidak begitu berguna
untuk memecahkan dilema-dilema moral besar yang dihadapi sekarang (Bertens,
1993).
3. Utilitrisme
Pengertian etimologis utilitarisme, berarti berguna. Utilitarisme menyatakan
bahwa bertindaklah sedemikian rupa hingga sebanyak mungkin orang dapat bahagia.
Artinya kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebanyak
mungkin dan sedapat-dapatnya mengelakkan akibat-akibat buruk (Magnis-Suseno,
1987).
K. Bertens (1993) membagi utilitarisme ke dalam dua kelompok besar yaitu
UTILITARISME KLASIK dan UTILITARISME ATURAN.
Utilitarisme Klasik yang tumbuh dari tradisi pemikiran moral di Inggris oleh David
Hume (1711-1776) dan dimatangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Menurut
Bentham, utilitarisme sebagai dasar etis dimaksudkan untuk memperbaharui hukum
Inggris, terutama hukum pidana. Prinsip utilitasrisme klasik: the greatest happiness of
the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar. Eksponen utilitarisme
klasik lainnya adalah John Stuart Mill (1806-1873).
Utilitarisme Aturan (Stephen Toulmin, dkk) menurut mereka prinsip kegunaan tidak
harus diterapkan atas salah satu perbuatan melainkan atas aturan-aturan moral yang
mengatur perbuatan-perbuatan kita. Richard b. Brandt mengusulkan agar sistem
aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Utilitarisme ini sulit
ketika terjadi konflik antara dua aturan moral (Bertens, 1993).
Kritik terhadap Utilitarisme:
Tidak selamanya benar bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan
kebahagiaan terbesar. Ini disebabkan utilitarisme tidak pernah membenarkan
adanya paham hak. Padahal. Hak merupakan suatu kategori moral yang sangat
penting (Bertens, 1993).
4. Marxisme
Marxisme sebagai aliran filsafat moral bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Marxisme mendasarkan filsafat moralnya atas fakta, yaitu rasa lapar, artinya
kehendak untuk melestarikan diri atau kehendak untuk hidup. Karl Marx sebagai
orang yang namanya dipakai untuk aliran ini, sebenarnya tidak pernah menyusun
suatu etika/moralitas yang sudah lanjut perkembangannya (De Vos, 1987).
Satu-satunya kriteria moral dalam Marxisme ialah mencari kenikmatan yang
didasarkan atas kesempurnaan sarana-sarana produksi. Hal ini disadari karena
pandangan dunia Marxisme bersifat materialistik (Muthahari, 1995).
Moralitas Marxisme dibangun di atas kerangka konflik kelas melalui suatu
revolusi. Perbuatan buruk (nonetis) Setiap perbuatan yang menguntungkan kelas
yang lama yang bergantung kepada masyarakat lama. Kesempurnaan moralitas diukur
dengan kriteria revolusi. Mempercepat timbulnya revolusi tergolong baik dan
bermoral, sebaliknya jika menghambat revolusi, maka perbuatan itu tidak bermoral
(Muthahari, 1995).
Kejahatan dan kebaikan tidak seluruhnya dianggap tidak bertentangan dapat
melahirkan revolusi. Seandainya kebohongan dapat melahirkan revolusi, maka
kebohongan adalah tindakan bermoral. Demikian pula, jika kebenaran dapat
mempercepat revolusi, maka ia menjadi suatu kebajikan moral. Dengan demikian
antara amanat dan khianat tidak bisa dibedakan, tergantung perbuatan mana yang
duluan mempercepat timbulnya revolusi. Aliran Marxisme hanyalah mengakui satu
nilai, yaitu tidak mengenal benturan antar-nilai. Padahal masalah benturan nilai
atau dilema moral adalah masalah penting dalam perbincangan tindakan moral
(Muthahari, 1995).
5. Deontologi
Hedonisme, Eudemonisme, Utilitarisme, & Marxisme berorientasi kepada hasil
perbuatan dalam mencapai tujuan Teleologis (Bahasa Yunani, thelos), terarah
semata-mata kepada tujuan.
Pengertian deontologis berasal dari Bahasa Yunani yaitu deon yang berarti apa
yang harus dilakukan, kewajiban (Bertens, 1995).
Peletak etika kewajiban adalah Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant
(Magnis-Suseno, 1997), ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, baik pada dirinya
sendiri,
mau
memenuhi
Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku (rigorisme)
karena seolah-olah ada kesan bahwa kita berkelakuan baik hanya jika
melakukannya karena kewajiban.
Dalam Moralitas Kant, konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas
perbuatan kita. Contoh, perbuatan berbohong untuk melindungi nyawa seseorang
agar tidak dicelakai atau dibunuh. Jika jujur tentu saja kewajiban untuk tidak
berbohong membawa konsekuensi seseorang itu terancam dicelakai/dibunuh.
C. AKSIOLOGI MORAL
a. MORALITAS SEBAGAI NORMA
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, moralitas adalah kualitas perbuatan
manusiawi, sehingga perbuatan dikatakan baik atau buruk, benar atau salah. Penentuan
baik atau buruk, benar atau salah tentunya berdasarkan norma sebagai ukuran.
Sumaryono (1995) mengklasifikasikan moralitas menjadi dua golongan, yaitu :
1. Moralitas objektif
Moralitas objektif adalah moralitas yang terlihat pada perbuatan sebagaimana
adanya, terlepas dari bentuk modifikasi kehendak bebas pelakunya. Moralitas ini
dinyatakan dari semua kondisi subjektif khusus pelakunya. Misalnya, kondisi
emosional yang mungkin menyebabkan pelakunya lepas kontrol.
Apakah perbuatan itu memang dikehendaki atau tidak. Moralitas objektif sebagai
norma yang berhubungan dengan semua perbuatan yang pada hakekatnya baik atau
jahat, benar atau salah. Misalnya :
-
2. Moralitas subjektif
Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan dipengaruhi oleh
pengetahuah dan perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional, dan
perlakuan personal lainnya.
Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak dengan
suara hati nurani pelakunya. Moralitas subjektif sebagai norma berhubungan dengan
semua perbuatan yang diwarnai niat pelakunya, niat baik atau niat buruk. Dalam
musibah kebakaran misalnya, banyak orang membantu menyelamatkan harta benda
korban, ini adalah niat baik. Tetapi jika tujuan akhirnya adalah mencuri harta benda
karena tak ada yang melihat, maka perbuatan tersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya
terletak pada niat pelaku.
Moralitas dapat juga instrinsik atau ekstrinsik. Moralitas instrinsik menentukan
perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hukum
positif. Artinya, penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah
atau larangan hukum positif. Misalnya :
-
menggugurkan kandungan atau ada mufakat jahat berarti itu perbuatan salah.
Pada zaman modern mulai muncul perbuatan yang berkenaan dengan moralitas, yang
tadinya dilarang sekarang malah dibenarkan. Contohnya:
-
Dorongan tentang diri sendiri -- pilihan moral, personal morality berpengaruh pada
perkembangan spiritual dari manusia itu.
2.
3.
2. Moralitas pribadi itu primordial dan merupakan realitas alam semesta, melekat pada
kepribadian. Moralitas pribadi itu ada dari semula, pada semua pribadi, tidak
dihasilkan dari evolusi. Moralitas pribadi adalah salah satu ciri khas kepribadian yang
tulen dan dasar.
c. SIKAP-SIKAP KEPRIBADIAN MORAL YANG KUAT
1. Kejujuran
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran.
Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita
belum berani menjadi diri kita sendiri. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral
lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa
kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun. Hal yang sama berlaku bagi sikap
tenggang rasa dan mawas diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap
berhati-hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua : Pertama, sikap terbuka, kedua
bersikap fair. Terbuka berarti: orang boleh tahu, siapa kita ini. Dengan terbuka tidak
dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya,
atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita
berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul
sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak menyembunyikan
wajah kita yang sebenarnya. Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar
atau fair : ia memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya
dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu
akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi
untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati
atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan dan
kebohongan akan disobeknya.
Langkah awal untuk menerapkan sikap tersebut adalah dengan kita berhenti
membohongi diri kita sendiri. Kita harus berani melihat diri seadanya. Kita harus
berhenti main sandiwara, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan terhadap kita
sendiri.
Kita
perlu
melawan
kecondongan
untuk
berasionalisasi,
maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi,
pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi
pendirian kita.
Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri
dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau
berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak
jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak
dapat beli oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi
kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.
5. Keberanian moral
Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat,
yang
memperlakukannya
menyesuaikan
dengan
tidak
adil.
Keberanian
moral
tidak
DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis-Suseno. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta :
Kanisius
K. Bertens. 1993. Etika. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Lili S.P. Tjahjadi. 1991. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif
Kategoris. Yogyakarta : Kanisius
Muchson AR. 2003. Dasar-dasar Pendidikan Moral. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
William M. Kurtines dan Jacob L. Gerwitz (penyunting). 1992. Moralitas, Perilaku Moral dan
Perkembangan Moral. Jakarta : UI Press