Anda di halaman 1dari 7

8 Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm.

8 14
ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 1

EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)


TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO MENCIT (Mus musculus
L.) STRAIN DDW SELAMA PERIODE PRAIMPLANTASI HINGGA
ORGANOGENESIS
Emita Sabri, Deny Supriharti, dan Gunawan E. Utama
Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan
20155

Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai efek pemberian monosodium glutamat (MSG) terhadap
perkembangan embrio mencit (Mus musculus L.) strain DDW selama periode praimplantasi hingga
organogenesis. MSG diberikan pada induk mencit dimulai sejak umur kehamilan 0 hari hingga 16
hari, secara gavage sebanyak 0,1 ml/10 g bb.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) non faktorial yang terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dengan dosis 2,4; 4,8; 9,6
mg/ml akuades, sedangkan kelompok kontrol terdiri dari kelompok kontrol tanpa perlakuan dan
kontrol akuades.
Dari penelitian diperoleh hasil bahwa pemberian MSG pada induk mencit umur kehamilan 0 hari
hingga 16 hari tidak mempengaruhi implantasi dan berat badan fetus hidup. MSG menyebabkan
secara nyata menurunkan jumlah fetus hidup, yang ditandai dengan peningkatan persentase kematian
intra uterus berupa embrio yang diresorp. MSG menyebabkan secara nyata peningkatan persentase
kehilangan praimplantasi serta meningkatkan secara nyata persentase fetus yang mengalami
malformasi. Malformasi yang ditemukan pada fetus adalah malformasi eksternal berupa
mikropthalmia, anopthalmia, acorea sedangkan malformasi internal berupa hidrosephalus.
Dengan demikian dapat disimpulkan pada penelitian ini pemberian MSG pada induk mencit
yang sedang hamil bersifat embriotoksik dan teratogenik.
Keywords: MSG, embriotoksik, teratogenik

PENDAHULUAN
Kesibukan yang meningkat di tengah
masyarakat perkotaan dan pesatnya kemajuan
teknologi
informasi
membawa
dampak
perubahan gaya hidup. Perubahan ini juga
mempengaruhi pola konsumsi makanan dengan
lebih banyak mengkonsumsi jenis makanan cepat
saji. Keluarga yang makin sibuk, waktu yang
tersedia untuk memasak makanan sendiri makin
berkurang dan akhirnya tergantung pada bahan
makanan awetan dan kemasan yang belakangan
ini makin banyak dijual di pasarpasar tradisional
dan swalayan (Darmawan, 2001). Termasuk pula
penggunaan berbagai macam penyedap rasa yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari baik
berasal dari olahan tradisional maupun secara
sintetis yang menggunakan bahan kimia
(Anggara, 2000), misalnya bahan penyedap.
Bahan kimia yang lebih dikenal dengan nama
vetsin, micin, atau moto ini sudah lama akrab di
kalangan ibu rumah tangga karena biasa

digunakan sebagai bahan penyedap masakan


(Dhindsa, 1981).
Vetsin biasanya berbentuk kristal halus
dan berwarna putih yang dibuat melalui proses
fermentasi dari bahan dasar pati (gandum) dan
gula molases (tetes tebu) yang diberi nama
sebagai garam natrium dari asam glutamat atau
lebih dikenal dengan nama monosodium glutamat
(MSG) (Anggara, 2000). Asam glutamat
merupakan salah satu jenis asam amino non
esensial yang merupakan bagian dari kerangka
utama dari berbagai jenis molekul protein yang
terdapat dalam makanan, baik yang bersumber
dari nabati maupun hewani (Winarno, 1994).
Total pemakaian MSG di beberapa negara
cukup tinggi misal Jepang, kirakira sampai
15.000 ton per tahun, Korea, 30.000 ton per
tahun, sedangkan di Amerika kirakira 26.000
per tahun, dan di Indonesia sudah mencapai
17.000 ton per tahun (Dhindsa, 1981).
Penelitian mengenai efek toksik dari
MSG ini menunjukkan hasil yang mengejutkan.

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera
9

Dari berbagai macam penelitian yang dilakukan


pada neonatal dengan pemberian MSG dosis
besar melalui suntikan diketahui bahwa MSG
dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf dan
mata pada bagian retina, menyebabkan
kemandulan pada jantan dan betina, menurunkan
berat uterus dan testis, serta kerusakan fungsi
reproduksi (Takasaki 1979). Jhon Olney (1996)
dalam Winarno (1994) mengemukakan MSG
yang diberikan sebagai makanan pada tikus putih
dapat mengakibatkan kerusakan pada beberapa
sel syaraf khususnya di bagian hipotalamus.
Kemudian pada tahun yang sama dilaporkan
bahwa penyuntikan MSG pada bayi monyet
dapat menyebabkan bayi monyet tersebut
menjadi pendek serta mengalami kerusakan mata
pada bagian retina (Winarno, 1994).
Nizamuddin (2000) telah melakukan
penelitian mengenai efek toksik pemberian MSG
pada tikus jantan. Kelompok perlakuan diberi
MSG dengan dosis 2400 mg/kg bb, 4800 mg/kg
bb, dan 9600 mg/kg bb dalam 4 ml akuades
sedangkan kelompok kontrol diberi 4 ml akuades
tanpa MSG dan tanpa diberi apapun. Dari hasil
penelitiannya, setelah pemberian dilakukan
selama 49 hari ternyata MSG dapat
mempengaruhi proses spermatogenesis. Namun,
penelitian tentang efek toksik pemberian MSG
terhadap perkembangan embrio belum pernah
dilakukan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian
ini untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG
terhadap gangguan perkembangan embrio (Mus
musculus L.) selama periode praimplantasi
hingga organogenesis lanjut.
BAHAN DAN METODE
Hewan Percobaan. Hewan percobaan
yang dipergunakan
adalah mencit (Mus
musculus L.) betina strain DDW. Umur mencit
perlakuan 12 minggu dengan kisaran berat badan
25-30 g (Smith, 1988). Mencit dipelihara dalam
kandang terbuat dari plastik yang diberi alas
sekam yang diganti 2 kali seminggu. Pemberian
pakan dan minum dilakukan setiap hari secara ad
libitum.
Bahan Uji. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah berupa serbuk
monosodium glutamat (MSG) dengan merek
dagang dari salah satu penyedap rasa yang
diperoleh dari pasar swalayan. Serbuk MSG ini
berupa kristal putih yang mengandung 99%
MSG dan terbungkus dalam kantung plastik
tertutup. Serbuk MSG ditimbang beratnya sesuai
dengan dosis perlakuan yang telah ditetapkan
(Nizamuddin, 2000).

Rancangan Penelitian. Metode yang


digunakan dalam penelitian ini adalah
eksperimen dengan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 kelompok
yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Perlakuan terdiri atas satu faktor yaitu dosis
bahan yang digunakan.
Kontrol tanpa perlakuan (K0)
Kontrol Pelarut dengan dosis 0 mg/4 ml
akuades (KP0)
Perlakuan dengan dosis 2,4 mg/4 ml akuades
(P1)
Perlakuan dengan dosis 4,8 mg/4 ml akuades
(P2)
Perlakuan dengan dosis 9,6 mg/4 ml akuades
(P3)
Jumlah ulangan untuk tiap kelompok
dengan menggunakan
perlakuan ditentukan
rumus yang digunakan Sugandi & Sugiarto
(1994).
Cara Kerja. Mencit betina dewasa
berumur 12 minggu dengan kisaran berat badan
25 sampai 30 g dan berada pada tahap estrus
dikawinkan dengan seekor mencit jantan
pasangannya. Apabila keesokan harinya terdapat
sumbat vagina maka kopulasi telah terjadi dan
dinyatakan sebagai kehamilan pada 0 hari
(Taylor, 1986). Pemberian MSG pada hewan uji
dilakukan secara oral menggunakan jarum
gavage pada induk mencit umur kehamilan 0
hingga 16 hari, dengan volume pemberian 0.1
ml/10 g bb. Sebelum perlakuan berat badan induk
mencit ditimbang. Selanjutnya mencit dari
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
dibunuh dengan cara dislokasi leher pada umur
kehamilan 18 hari. Setelah pembedahan,
dilakukan
pengamatan
meliputi
jumlah
implantasi, jumlah fetus hidup, fetus mati,
embrio yang di resorpsi, korpus luteum. Fetus
hidup ditimbang berat kemudian diamati
kelainan-kelainan eksternal dan internal. Untuk
pengamatan malformasi pada bagian hidung,
mata, dan otak dilakukan pemotongan dengan
pisau silet menggunakan metode penyayatan
razor blade (Taylor, 1986).
Untuk
memastikan
embrio
yang
diresorpsi, uterus ditetesi larutan ammonium
sulphate 10% selama 10 menit, dibilas dengan air
mengalir kemudian ditetesi dengan larutan
hydrochloric acid 1% dan larutan potassium
ferricyanide 2% yang ditandai dengan bintik
hitam pada uterus (Taylor, 1986).
Analisis Data. Dari pengamatan yang
diperoleh dianalisis secara statistik dengan
analisis varian (anava) untuk membandingkan
data parametrik berupa berat fetus hidup, jumlah
fetus hidup, jumlah implantasi, dan jumlah

10 SABRI ET AL.

korpus luteum pada kelompok perlakuan dengan


kelompok kontrol. Apabila terdapat perbedaan
yang sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji
Duncan (Gomez & Gomez, 1995).
Data non parametrik berupa persen
embrio yang diresorpsi, persen fetus mati, persen
kehilangan praimplantasi, dan malformasi
dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxons
rank sum test (Wilcoxon & Wilcox 1965 dalam
Sabri, 1996).
Untuk menghitung persen fetus hidup,
persen malformasi, persen fetus mati, persen
embrio
diresorpsi,
persen
kehilangan
praimplantasi dihitung Manson & Kang (1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian tentang pengaruh MSG
dengan dosis perlakuan 2,4 mg/4ml akuades (P1),
4,8 ml/4 ml akusdes (P2), dan 9,6 mg/4 ml
akuades (P3) dan kelompok kontrol terdiri dari
kontrol tanpa perlakuan (K0) dan kontrol pelarut
(KP0) yang diberikan pada induk mencit (Mus
musculus L.) albino strain DDW selama umur
kehamilan 0 hingga 16 hari menggunakan jarum
gavage dengan volume pemberian 0,1 ml/10 g bb
yang dapat dilihat dari beberapa tabel di bawah.
Pengaruh Pemberian MSG terhadap
Rataan Penampilan Organ Reproduksi Induk
Mencit dan Keadaan Fetus Hidup Selama 0
hingga 16 hari Kehamilan. Hasil analisis sidik
ragam terhadap penampilan reproduksi induk
mencit yang sedang hamil (Tabel 1) meliputi
berat badan fetus hidup, jumlah fetus hidup,
jumlah implantasi, dan jumlah korpus luteum
menunjukkan bahwa berat badan fetus hidup
pada kelompok K0 (1,35) tidak berbeda nyata
dengan kelompok KP0 (1,35). Kelompok
perlakuan dosis P1 (1,05), P2 (1,08), dan P3
(1,07) juga menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata bila dibandingkan dengan
kelompok K0 dan KP0. Jumlah fetus hidup yang
diperoleh pada kelompok K0 (9,60) dengan
kelompok KP0 (9,40) tidak menunjukkan
perbedaan, selanjutnya jumlah fetus hidup pada
kelompok P1 (7,80) cenderung menurun
dibandingkan KP0 (9,40), meski secara statistik
tidak berbeda. Hasil analisis sidik ragam
kelompok P2 (5,40) menunjukkan perbedaan
yang nyata menurun jika dibandingkan dengan
kelompok K0, kelompok KP0 dan kelompok P1,
begitu pula pada kelompok P3 (5,80)
menunjukkan perbedaan yang nyata menurun jika
dibandingkan dengan kelompok K0, KP0, dan
P1.
Pada penelitian ini terjadi penurunan
jumlah fetus hidup berkaitan erat dengan semakin

J. Biologi Sumatera

meningkatnya jumlah kematian intrauterus


terutama berupa embrio diresorpsi (Tabel 2) dan
seiring dengan kenaikan dosis MSG yang
diberikan pada induk mencit. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pemberian MSG selama
induk mencit hamil bersifat embriotoksik. Hal ini
diduga karena pemberian MSG yang dilakukan
secara terus menerus sejak kehamilan 0 hingga
16 hari masuk ke dalam tubuh induk mencit,
kemudian adanya ketidakmampuan induk mencit
untuk
menetralisir
dan
mendetoksifikasi
senyawa-senyawa kimia yang masuk ke dalam
tubuh induk mencit. Akhirnya terakumulasi pada
embrio mencit melalui pembuluh darah dan
mempengaruhi perkembangan fetus mencit
tersebut. Winarno (1995) menyatakan bahwa
MSG merupakan garam natrium dari asam
glutamat yang dihasilkan dari proses pembuatan
gula molases yang membentuk glutamin,
kemudian diubah menjadi asam glutamat dan
gugus karboksilat. Kedua senyawa tersebut
mudah terhidrolisis dengan penambahan asam
atau basa. Meskipun kedua senyawa tersebut
merupakan komponen yang aktif, tetapi sejauh
ini belum diketahui senyawa yang lebih berperan
aktif dalam menyebabkan kematian intrauterus.
Sadler (1993) menambahkan embrio mudah
diserang atau diganggu pada tingkat dini, maka
dalam perkembangannya mengalami kerusakan
yang sangat parah sehingga tidak dapat hidup.
Analisis statistik jumlah implantasi
antara ketiga kelompok perlakuan menunjukkan
adanya penurunan bila dibandingkan dengan
kedua kelompok kontrol. Namun setelah
dilakukan analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa jumlah implantasi (Tabel 1) antara ketiga
kelompok perlakuan dengan kedua kelompok
yang masing-masing tidak menunjukkan adanya
perbedaan. Dengan demikian pemberian MSG
selama umur kebuntingan induk mencit
cenderung tidak bersifat sebagai anti implantasi.
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah
korpus luteum dari ketiga kelompok perlakuan
cenderung
mengalami
peningkatan
jika
dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol.
Dan jumlah korpus luteum tertinggi terdapat pada
P3 dan menunjukkan peningkatan jika
dibandingkan dengan K0, KP0, P1, dan P2.
Terjadinya variasi peningkatan jumlah korpus
luteum antara kelompok perlakuan dengan
kelompok kontrol diduga tidak disebabkan oleh
pemberian dosis MSG, tetapi mungkin
disebabkan oleh faktor genetik serta faktor
internal dari induk mencit yang berbeda-beda.
Besarnya jumlah korpus luteum antara kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol tersebut
menggambarkan telur yang diovulasikan.

Vol. 1, 2006

Meskipun banyak telur yang diovulasikan tetapi


terjadi kehilangan jumlah praimplantasi yang
tinggi dan berbeda nyata (P2) bila dibandingkan
dengan kelompok K0 (Tabel 2). Hal ini diduga
karena pemberian MSG dilakukan secara terus
menerus selama 0 hingga 16 hari kehamilan
induk mencit dapat mengganggu tahap
perkembangan embrio pada waktu pembelahan
atau cleavage. Oleh karenanya sel-sel embrional
tidak mencapai tahap blastokista yang normal
untuk dapat terimplantasi pada uterus.
Pengaruh Pemberian MSG terhadap
Persentase Penampilan Organ Reproduksi
Induk Mencit Secara Gavage pada Umur 0
Hari Hingga 16 Hari Kehamilan. Persentase
penampilan organ reproduksi yang diamati dalam
penelitian ini meliputi persentase fetus yang
mengalami malformasi, persentase kematian
intrauterus berupa persentase embrio diresopsi
dan persentase kehilangan praimplantasi yang
dapat dilihat pada Table 2. Hasil menunjukkan
bahwa persentase fetus yang mengalami
malformasi 0% terjadi pada kelompok K0 dan
KP0. Pada perlakuan P1 menyebabkan
malformasi sebesar 2,05% (1,351,10) yang
tidak berbeda nyata dengan kelompok K0 dan
KP0.
Fetus yang mengalami malformasi pada
kelompok P2 cenderung meningkat bila
dibandingkan kedua kelompok kontrol, meskipun
secara statistik tidak berbeda. Namun pada
perlakuan P3 persentase fetus yang mengalami
malformasi sebesar 11,05% (2,261,40) dan
menunjukkan perbedaan yang nyata jika
dibandingkan K0, KP0, P1, dan P2. Malformasi
yang ditemukan pada ketiga kelompok perlakuan
berupa mikroptalmia, anoptalmia, akorea, dan
hidrosefalus (Tabel 3). Kejadian ini diduga
karena semakin meningkatnya pemberian dosis
MSG yang diberikan, serta didukung oleh
kemampuan induk mencit untuk menetralisir zat
atau senyawa kimia yang bersifat toksik. Selain
itu juga tergantung kerentanan dan kondisi
fisiologis dari induk mencit yang berbeda-beda,
sehingga cenderung meningkatkan persentase
malformasi pada fetus. Menurut Wilson (1973),
kerentanan terhadap teratogenesis tergantung dari
genotip dari suatu konseptus dan cara-cara
interaksi dengan faktor lingkungan yang meliputi
perbedaan spesies, perbedaan strain dan
lingkungan, serta penyebab dari faktor lain.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa
persentase kematian intrauterus (Tabel 2) hanya
berupa embrio diresopsi yang menunjukkan
adanya peningkatan embrio diresopsi baik pada
kedua kelompok kontrol maupun kelompok
perlakuan. Pada kelompok K0 persentase embrio

J. Biologi Sumatera
11

diresopsi sebesar 0,80% (1,241,06) dan pada


KP0 persentasenya meningkat sebesar 2,59%
(1,621,06), tetapi berdasarkan hasil uji statistik
tidak berbeda. Hal ini mungkin disebabkan
karena faktor internal dari induk mencit itu
sendiri atau juga terjadi secara alami. Pada
perlakuan P1 persentase embrio diresopsi sebesar
5,00% (1,931,17) dan menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata dengan kelompok K0
maupun KP0. Demikian pula pada P2 (5,40%),
meskipun adanya peningkatan persentase embrio
diresorpsi, tetapi uji statistik menunjukkan tidak
berbeda nyata dengan K0, KP0, dan P1. Namun
pada P3 persentase embrio diresopsi sebesar
8,67% (3,641,20) dan menunjukkan perbedaan
yang nyata jika dibandingkan dengan K0, KP0,
P1, dan P2. Ini berarti bahwa terjadinya
peningkatan persentase embrio diresopsi tersebut
sejalan dengan kenaikan dosis MSG yang
diberikan. P3 merupakan dosis yang optimal
dalam menyebabkan kematian intrauterus yang
berupa embrio diresopsi. Dengan demikian
penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
MSG selama umur kehamilan induk mencit
bersifat embriotoksik. Seperti yang dikemukakan
oleh Schardein (1985) dalam Peniati (1994),
bahwa kematian fetus pada awal kebuntingan
merupakan
ciri
utama
dari
toksisitas
perkembangan dan kematian yang terjadi berupa
embrio resopsi yang ditandai oleh adanya bekas
implantasi, tetapi bila kematian yang terjadi pada
akhir kebuntingan maka fetus akan diresopsi
seluruhnya sehingga dihasilkan fetus yang
mengalami maserasi.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil
analisis statistik Wilcoxons rank sum test
menunjukkan
persentase
kehilangan
praimplantasi pada kelompok K0 sebesar 3,21%
(3,190,02) dan secara statistik tidak berbeda
nyata jika dibandingkan dengan KP0 yang
besarnya 5,92% (5,770,02). Pada perlakuan P1
persentase kehilangan praimplantasinya sebesar
6,67% (5,880,02) juga menunjukkan perbedaan
yang tidak nyata jika dibandingkan dengan K0,
KP0. Namun pada P2 persentase sebesar 22,70%
(16,18 1,29) yang menunjukkan perbedaan yang
nyata jika dibandingkan dengan K0, KP0 dan P1.
Sedangkan pada perlakuan P3 persentase
kehilangan praimplantasi sebesar 16,22%
(10,391,00) dan menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata dengan K0, KP0, dan P1. Pada
penelitian ini, P2 merupakan dosis yang cukup
optimal
dalam
menyebabkan
kehilangan
praimplantasi. Besarnya persentase kehilangan
praimplantasi ini diduga karena pemberian MSG
mulai 0 hari hingga 16 kehamilan dan
berlangsung secara terus menerus tanpa ada

12 SABRI ET AL.

selang interval waktu. Dengan demikian dapat


mengganggu tahap perkembangan embrio pada
waktu pembelahan, sehingga sel-sel embrional
tidak dapat mencapai tahap blatokista yang
normal. Hal ini didukung oleh Parthodiharjo
(1980) dalam Tampubolon (2000) yang
menyatakan, bahwa perubahan komposisi
substansi sangat mempengaruhi pertumbuhan
embrio dan apabila substansi yang diperlukan
embrio tersebut dimasuki zat atau bahan lain
yang sifatnya toksik maka zat atau bahan tersebut
dapat memasuki sistem peredaran darah
kemudian akan mempengaruhi perkembangan
embrio sehingga mengakibatkan embrio mati.
Pengaruh Pemberian MSG terhadap
Kejadian Kelainan Eksternal dan Internal
pada Fetus Mencit Setelah Induk Diberi MSG
Secara Gavage pada Umur Kehamilan 0 Hari
Hingga 16 Hari. Kejadian kelainan eksternal
pada fetus mencit yang induknya diberi MSG
berupa mikropthalmia, anopthalmia, dan acorea,
sedangkan kelainan internal yang muncul pada
fetus mencit adalah hidrosephalus, yang dapat
dilihat pada Tabel 3.
Kelainan mikropthalmia
merupakan
kelainan yang terjadi pada bagian mata yang
menyebabkan salah satu bagian lensa mengecil
pada sebelah kanan ataupun pada sebelah kiri
(Taylor, 1968). Berdasarkan hasil pengamatan
yang dilakukan, kelainan mikropthalmia tidak
dijumpai pada K0 dan KP0. Pada perlakuan P1
persentase munculnya kelainan mikropthalmia
sebesar 1,11% begitu pula pada P2 persentasenya
sebesar 1,82% dan pada P3 menunjukkan
peningkatan sebesar 3,75%. Meskipun terjadi
sedikit
peningkatan
persentase
kelainan
mikropthalmia ini, namun berdasarkan hasil uji
statistik tidak berbeda dari kelompok K0 dan
KP0.
Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat
kejadian munculnya kelainan mikropthalmia ini
mungkin belum begitu tinggi sehingga secara
analisis statistik Wilcoxons rank sum test juga
menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara
kedua kelompok kontrol. Dalam penelitian ini
terlihat bahwa kelainan mikropthalmia tidak
disebabkan oleh infeksi dalam rahim seperti
sitomegalo virus dan toksoplasmosis, tetapi
kelainan mikropthalmia diduga karena pemberian
MSG yang mengganggu periode organogenesis
mata, yaitu pada saat proses diferensiasi jaringan
lensa di mana sel-sel epitel ekuatorial di bagian
posterior yang mengelilingi jaringan lensa tidak
mengalami pemanjangan ke arah anterior untuk
membentuk serabut lensa primer yang akan
menutupi seluruh rongga lensa mata, yang
akhirnya akan membentuk serabut lensa sekunder

J. Biologi Sumatera

sehingga lensa mata akan mengecil (Gilbert,


1988).
Rugh (1968) menambahkan bahwa pada
hari ke-13 ini serabut-serabut lensa menyelaputi
kantung lensa, kemudian lipatan penutup primer
mulai terbentuk dan serabut-serabut saraf muncul
pada tangkai optik sehingga pada perkembangan
selanjutnya serabut lensa ini berkembang secara
vertikal maupun lateral mengisi rongga mata,
sedang menurut Sadler (1993) kelainan
mikropthalmia ini merupakan keadaan di mana
seluruh mata terlalu kecil dan volume bola mata
dapat berkurang sampai dua per tiga dari normal.
Biasanya kelainan ini dihubungkan dengan cacat
mata
lainnya.
Mikropthalmia
kerapkali
merupakan akibat infeksi dalam rahim seperti
sitomegalo virus atau toksoplasmosis.
Kelainan
anopthalmia
merupakan
kelainan menyebabkan kehilangan salah satu
bagian mata baik sebelah kanan ataupun sebelah
kiri (Taylor, 1968). Dari Tabel 3 dapat dilihat,
bahwa pada K0 dan KP0 tidak dijumpai adanya
kelainan anopthalmia. Pada P1, persentase
kejadiannya
sebesar
1,11%,
pada
P2
persentasenya sebesar 1,82%, dan pada P3
persentasenya sebesar 3,75%, meski demikian
hasil analisis statistik menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan K0. Terjadinya kelainan
anopthalmia ini diduga disebabkan karena
pemberian MSG mengganggu terbentuknya
kantung optik primer dari dinding otak depan
sehingga plakoda lensa tidak dapat berinvaginasi
membentuk kantung lensa dalam proses
pembentukan mata, sehingga salah satu bagian
mata tidak dapat terbentuk pada saat
organogenesis mata. Gilbert (1988) menyatakan
bahwa mata terbentuk dari dinding otak depan.
Pada bagian anterior membentuk kantung optik
primer, kemudian sel-sel mesenkim dari kantung
optik primer tersebut akan menginduksi lapisan
ektoderm hingga membentuk plakoda lensa.
Plakoda lensa tersebut mengalami invaginasi juga
membentuk kantung lensa. Plakoda lensa
menginduksi kantung optik primer untuk
membentuk cawan optik sehingga sel-sel
mesenkim dari cawan optik yang berada di
bagian posterior akan membentuk tangkai optik
sehingga akhirnya membetuk mata.
Kelainan acorea merupakan kelainan
pada mata yang disebabkan karena salah satu
bagian mata tidak mempunyai lensa mata
(Taylor, 1968). Kelainan ini tidak dijumpai pada
K0, KP0, dan P1. Sedangkan kelainan acorea
ditemukan pada P2 persentasenya sebesar 1,82%
dan P3, dan menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata dari K0l, KP0, dan P1. Terjadinya kelainan
acorea ini diduga karena pemberian MSG dapat

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera
13

mengganggu pembentukan lensa mata yang


berasal dari kantung lensa yang akan berkembang
membentuk lensa dari periode organogenesis
mata sehingga lensa mata gagal terbentuk
(Gilbert, 1988). Rugh (1968) menyatakan bahwa
pada hari ke-11 kantung lensa mata mulai
menutup dari epitel ektoderm bagian kepala
sehingga lensa mata mulai muncul keluar,
serabut-serabut lensa, dan fisura choroid mulai
terbentuk.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa
kelainan hidrosephalus ini tidak dijumpai pada
kelompok K0 dan KP0. Tetapi pada P1 dan P2
persentase kejadiannya meningkat sebesar 2,22%
dan 7,27%, meski tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata dari kelompok K0 dan
KP0. Sedangkan pada P3 persentasenya
cenderung mengalami peningkatan yang cukup
tinggi sebesar 15,00% yang menunjukkan
perbedaan yang nyata dibandingkan K0, KP0, P1,
dan P2. Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat
kejadian dari munculnya kelainan hidrosephalus
meningkat sejalan dengan peningkatan dosis
MSG yang diberikan. P3 merupakan dosis yang
dalam
menyebabkan
optimal
kelainan
hidrosephalus. Tingginya kejadian hidrosephalus
pada kelompok perlakukan jika dibandingkan

dengan kelompok kontrol mungkin disebabkan


karena MSG yang diberikan pada saat dalam
pembentukan otak. Rugh (1968) menyatakan
organogenesis otak terjadi pada umur
kebuntingan 7 sampai 14 hari. Terjadinya
hidrosephalus
disebabkan
oleh
adanya
penimbunan cairan otak dalam ventrikel
serebrum. Seperti yang diungkapkan oleh Taylor
(1968), hidrosephalus ada 2 macam yaitu
hidrosephalus internal yang ditandai oleh
terjadinya pengumpulan cairan otak secara tidak
normal di dalam ventrikel otak, dan
hidrosephalus eksternal yang ditandai oleh
penimbunan cairan otak di permukaan otak dan
durameter. Pada penelitian ini kelainan
hidrosephalus yang mucul adalah hidrosephalus
internal yaitu hidrosephalus yang disebabkan
oleh adanya penimbunan cairan otak pada
ventrikel lateral (ventrikel I dan ventrikel II)
karena adanya penyumbatan pada rongga otak
tengah (mesensephalon) yang disebut akuaduktus
silvius sehingga cairan otak tersebut tidak dapat
mengalir menuju ventrikel ke IV kemudian akan
terkumpul diventrikel lateral dan biasanya
hidrosephalus ini disertai dengan adanya
penipisan mantel (selaput) yang melapisi rongga
otak (Sadler, 1993).

Tabel 1. Rataan penampilan organ reproduksi induk mencit pada kehamilan 0 hingga 16 hari setelah
diberi MSG secara gavage
Perlakuan
K0
KP0
P1
P2
P3

Berat Badan
Fetus Hidup (g)
1,35 aA
1,35 aA
1,05 aA
1,08 aA
1,07 aA

Jumlah Fetus
Hidup
9,60 aA
9,40 aA
7,80 aA
5,40 bA
5,80abA

Jumlah
Implantasi
10,00 a
10,80 a
9,60 a
7,40 a
8,80a

Jumlah Korpus
Luteum
11,60
14,00
17,60
15,80
19,20

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan
tidak berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji Duncan (DnMRT)

Tabel 2. Persentase penampilan organ reproduksi induk mencit pada umur kehamilan 0 hingga 16
hari diberi MSG secara gavage
Perlakuan

K0
KP0
P1
P2
P3

Persentase Fetus
Mengalami Malformasi
0
(0)
0
(0)
2,05
(1,351,10)
5,19
(1,711,23)
11,05*
(2,261,40)

Persentase Kematian
Intrauterus
Embrio Resorb
0,80
(1,241,06)
2,59
(1,621,06)
5,00
(1,93 1,17)
5,40
(1,93 1,17)
8,67*
(3,46 1,20)

Persentase Kehilangan
Praimplantasi
3,21
(3,19 0,02)
5,92
(5,770,02)
6,67
(5,88 0,02)
22,70*
(16,181,29)
16,22
(10,39 1,00)

14 SABRI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Keterangan: Uji statistik Wilcoxons Rank Sum Test


*Berbeda nyata dari kontrol (p<0,05)

Tabel 3. Kejadian kelainan eksternal dan internal pada fetus mencit yang induknya diberi MSG secara
gavage pada umur kehamilan 0 hingga 16 hari
Jumlah Fetus Mengalami Malformasi (%)
Jumlah
Jumlah
Malformasi Eksternal
Malformasi
Perlakuan Induk
Fetus
Internal
Hidup
Mikropthalmia Anopthalmia Acorea
Hidrosephalus
K0
5
22
0
0
0
0
KP0
5
22
0
0
0
0
P1
5
18
1,11
1,11
0
2,22
P2
5
11
1,82
1,82
1,82
7,27
P3
5
16
3,75
3,75
3,75
15,00*
Keterangan: Uji statistik Wilcoxons Rank Sum Test
*Berbeda nyata dari kontrol (p<0,05)

DAFTAR PUSTAKA
Anggara U. 2000. Aditif Makanan Dan Obatobatan. Pusat Penyelidikan Racun Negara
(USM). Jurnal Kedokteran Malaysia. 2:
19-23 C.
Darmawan I. 2000. Nutrisi dan Makanan
Tambahan. Jakarta: Penerbit PT Penebar
Swadaya.
Dhindsa KS. 1981. Histological Changes in The
Thyroid Gland Induced By Monosodium
Glutamat In Mice. An Atlas of Human
Anatomy.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi
Ternak. Edisi Keempat. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Gomez, Gomez. 1995. Prosedur Penelitian Untuk
Penelitian Pertanian. Edidi Ke-2. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Harahap R. 2001. Paper Teratologi. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Manson J.M, Kang Y.J. 1989. Methods For
Asssing Female Reproduvtive and
Development Toxicology in Principles and
Methods of Toxicology. Secon Edition.
New York: AW Hayes Raven Press, Ltd.
Mayes P.A., Gravner D.K. 1992. Biokimia
Harper. Edisi Ke-20. Jakarta: Penerbit
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nalbandov A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada
Mamalia dan Unggas. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Nizamuddin. 2000. Pengaruh Monosodium
Glutamat (MSG) Per Oral terhadap

Spermatogenesis dan Jumlah Anak Tikus


Putih Jantan Dewasa. Jurnal Kedokteran
Yarsi 8: 93-113.
Sabri, E. 1996. Pengaruh Ekstrak Kencur
(Kaempferia galanga L.) terhadap
Perkembangan Prenaral Mencit (Mus
musculus) Swiss Webster Albino. Tesis.
Pascasarjana. ITB. Bandung.
Sadler TW. 1988. Embriologi Kedokteran.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smith JB. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah
Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia Press.
Sugandi E, Sugiarto. 1994. Rancangan
Percobaan. Edisi Pertama. Yogyakarta:
Penerbit Andi Offset.
Suntoro HS. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta:
Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Sukra Y. 2000. Benih Masa Depan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Syhrum MH, Kamaludin. 1994. Reproduksi dan
Embriologi, dari Satu Sel Menjadi
Organisme. Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia .
Takasaki Y. 1979. Toxicological Studies of
Monosodium Glutamate in Rodents. Japan.
Tambajong J. 1995. Sinopsis Histologis. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Taylor. 1986. Practical Teratology. London:
Academic Press.
Yatim W. 1994. Reproduksi dan Embriologi.
Bandung: Penerbit Tarsito.

Anda mungkin juga menyukai