Tetanus
Tetanus
BATASAN
Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama
kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian
perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan
11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40
kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan
sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%.
PATOGENESIS
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam
lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak
eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat
luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam
sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi
klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut
berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu
GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk
kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang
makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin
mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada
sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme,
hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi,
gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang
dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan
diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus
dikenali dan dikelola dengan teliti.
GEJALA KLINIK
Gejala klinik yang dominan adalah kekakuan otot bergaris yang disusul dengan kejang tonik dan klonik. Masa
inkubasi 5-14 hari, period of onset (waktu antara gejala pertama sampai timbul kejang pertama) yang pendek
dapat dijadikan indikator tetanus berat dengan berbagai penyulit.
Gejala awal adalah trismus; pada neonatus tidak dapat/sulit menetek, mulut mencucu. Pada anak besar berupa
trismus, akibat kekakuan otot masseter. Disertai dengan kaku kuduk, risus sardonikus (karena kekakuan otot
mimik, opistotonus, perut papan. Selanjutnya dapat diikuti kejang apabila dirangsang atau menjadi makin berat
dengan kejang spontan, bahkan pada kasus berat terjadi status konvulsivus. Spasme larynx merupakan
penyebab kematian yang sering dijumpai, bronchopneumonia akibat kekakuan rongga dada, gagal nafas nafas
dan status konvulsivus.
Perubahan derajat berat penyakit dapat terjadi sangat cepat, sehingga seringkali memerlukan perubahan dosis
antikonvulsan yang sesuai dengan perjalanan klinik. Digunakan kriteria berat penyakit Surabaya yang lebih
sederhana dibanding cara penilaian dari Abblet, skor Phillips, skor Dakar atau modifikasi Patel dan Joag.
Penelitian Rizal menunjukkan adanya kesetaraan kuat antara kriteria Surabaya dan Kriteria Abblet. Penilaian
klinis yang menitik beratkan pada perbedaan jenis kejang, dapat dilakukan oleh paramedik, sehingga
perubahan dosis dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.
Derajat penyakit tetanus Surabaya
Derajat I (tetanus ringan)
Trismus (lebar antar gigi sama atau lebih 2 cm)
Kekakuan umum
LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril,
riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi.
Riwayat anak tidak diimunisasi/tidak lengkap imunisasi tetanus/BUMIL/WUS
Pemeriksaan fisik
Adanya kekakuan lokal atau trismus
Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan
Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki
Adanya penyulit
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis
1. Anamnesis : partus non steril, status imunisasi, masa inkubasi, period of onset, luka tusuk, otitis media
2. Pemeriksaan fsik : kekakuan otot, kejang, kesadaran baik.
3. Diagnosis berdasarkan data klinik, tidak ada pemeriksaan penunjang yang membantu
Diagnosa banding
Trismus akibat abses gigi, abses parafaring/retrofaring/peritonsiler
Sepsis neonatorum, meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies
keracunan striknin, efek simpang fenotiazin, tetani, epilepsi.
PENYULIT
Waspadai adanya :
Gangguan ventilasi paru,
Aspirasi pneumonia,
Bronkopneumonia, atelektasis
Emfisema mediastinal, pneumotoraks,
Sepsis,
Fraktur vertebra atau fraktur tulang paha.
TATALAKSANA
Terapi dasar tetanus
Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi
Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau
Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam
b. Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal
5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card).
II. Pencegahan pada luka
Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung lebih lama.
Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat.
Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu.
Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak.
Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh karena hipoksia yang berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arnon SS. Tetanus dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatrics, 17
ed. Philadelphia, Saunders, 2004 : 951.
2. Brook I, tetanus dalam Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2nd ed, 2003 :
981.
3. Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40.
4. Cristie AB, 1987. Tetanus dalam infectious disease : Epi demiology and clinical practice. 4th ed. Churchill
living stone, Edenburgh, hal. 759-786.
5. Irwantono FJ, Ismoedijanto, M. Faried Kaspan, Dwi Atmadji Soejoso. Parwati SB, 1978. evaluasi klinik
tetanus neonatorum selama 7 tahun. KONIKA IV, Yogyakarta.
6. Ismoedijanto, Koeswardoyo, Dwi AS, S. Soegianto, IGN Gde Ranuh, 1981. Diazepam dosis tinggi pada
tetanus neonatorum. Naskah lebgkap diskusi kelompok tetanus neonatorum, KONIKA V, Medan.
7. Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. Neonatal tetanus treated with high dozage diazepam. Arch Dis
Childhood, 53 : 737-79.
8. Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology and therapeutic of tetanus. Clin
pharm therap 4 : 36-61.
9. Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment. Folia traumatologica, Geigy, hal.
1-16.
10. M. Rizal Altway 2006. Perbandingan kriteria derajat berat penyakit tetanus antara kriteraia Surabaya dan
kriteria Ablett. Karya Akhir.
11. Ismoedijanto, Nasiruddin, B Wahyu. 2004. High dose diazepan in treatment of severe tetanus. South East
Asia Journal of Tropical medicine and hygine.