Anda di halaman 1dari 11

Kelompok 7:

1. Muhamad Luthfi (1112111000035)


2. Derinah (1112111000066)

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam melihat suatu fenomena, kita harus mencari tahu fenomena apa yang akan
disampaikan. Globalisasi menyatukan primordialisme yang ada di berbagai negara menjadi
primordialisme global. Globalisasi di satu sisi bagi kita merupakan sebuah kebutuhan yang
tak terelakkan. Namun di sisi lain globalisasi menjebak kita kepada sisi pragmatisme, dan
apabila telah terjadi pragmatisme, maka manusia akan teralienasi (kurangnya sense of
humanity). Masalah serius globalisasi dalam masyarakat dunia adalah ketidakadilan, baik
berupa ketidakadilan dalam hal ekonomi, sosial, politik, budaya, ekologi, maupun agama.
Dalam hal ini, kami berusaha untuk lebih menjelaskan globalisasi terkait dengan agama.
Agama memang tetap menjadi basis moral dan benteng spiritual, tetapi agama juga sering
membuat masyarakat hancur, karena religiusitas antar umat beragama yang mudah
terprovokasi. Agama tidak bisa berdiri sendiri, dan agama dapat pula dianggap memecahkan
semua masalah. Agama hanya merupakan salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin
faktor yang paling penting dan mendasar dalam agama adalah memberikan sebuah arti dan
tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang
agama perlu memahami segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang
paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi,
keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai
pandangan yang fanatik, hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi
penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan agama yang
optimis.
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan dan persebaran doktrin agama. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dibawa bersama dengan globalisasi memberi tempat bagi
perkembangan agama, solidaritas keagamaan, konvergensi agama-agama, maupun konflik
antar agama. Dengan ini, pembahasan dalam makalah ini akan memusatkan perhatian
hubungan antara globalisasi dan agama dengan berangkat dari tiga poin pertanyaan; 1)
Dampak globalisasi bagi perkembangan ideologi? 2) Bagaimana hubungan antar umat

agama-agama dalam era globalisasi? 3) Bagaimana menjelaskan kasus terorisme global atas
nama agama?.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Globalisasi dan Ideologi Islam
Kemerosotan keyakinan, nilai-norma dan praktik keagamaan sebagai akibat dari perluasan
modernisasi globalisasi - menuai beberapa isu-isu kebangkitan fundamentalis Islam
terutama terjadi di Indonesia. Robertson (Jhon Wiley dan Sons, edt Bryan, 2013: 839)
menyatakan ketegangan antara agama dengan globalisasi, yang merupakan ketegangan
antara partikularisme dan universalisme. Hasil ketegangan batas-batas agama terhadap
pandangan dunia luar yang tidak sejalan akan memunculkan konflik berujung kepada
kekerasan. Cerminan ketegangan, ditandai oleh penurunan positif secara sistematis.Ini
dianggap sebagai masalah besar dan dengan kebangkitan kembali Islam diyakini mampu
menghantarkan pada penyelesaian masalah. Semangat penggalakan kembali Islam
ditransformasikan kedalam partai politik Islam, memiliki kepentingan untuk menerapkan;
syariat Islam dan penerapan sistem khalifah. Akan tetapi sejalan dengan perkembangan
intelektual-intelektual muda Indonesia pandangan mengenai politik Islam segera memudar
digantikan dengan pandangan penerapan syariat Islam pada individu-individu, yang disebut
sebagai neo-fundamentalisme. Ideologi dan doktrin Ihya Al-Sunnah dapat dimasukkan
kedalam neo-fundamentalis, sedangkan Laskar Jihad, dan juga Front Pembela Islam
merupakan bagian dari Islam fundamentalis.
Laskar Jihad merupakan gerakan fundamentalis Islam yang bercirikan militerisme,
ideologi yang sangat kaku. Kemunculan kelompok militer Islam ketika rezim orde baru
runtuh. Laskar Jihad selalu menanamkan kepada para anggotanya untuk bersedia mati demi
Tuhan.Gagasan yang muncul dalam kelompok adalah semangat melawan misioneris Kristen,
menolak keras segala penerapan aspek kehidupan yang bertentangan dengan ajaran Islam,
menginginkan implementasi syaria Islam, khilafah. Seruan-seruan Jihad selalu ditekankan
kelompok militer Islam yang tidak menutup kemungkinan dilakukan melalui konflik dan
kekerasan untuk mewujudkan keinginannya dan dikuatkan dengan klaim-klaim prajurit
Tuhan (Noorhaidi Hasan, 2012: 147-9). Implementasi Laskar Jihad yang memiliki keinginan
besar untuk implementasi sistem khilafah pada tataran domestik, sebagai akibat dari persepsi

sebagian orang Islam terutama kelompok fundamentalis Islam sistem pemerintahan yang
demokratis dianggap telah gagal dalam melayani seluruh aspek kehidupan masyarakat. El
Affendy (Zuly Qodir, nd: 23) menegaskan khilafah Islamiyah akan dianggap oleh sebagian
orang Islam sebagai alternatif atas gagalnya demokrasi memberikan tawaran dalam bernegara
dalam situasi modern...prinsip hukum dari Tuhan.
Berbeda dengan kelompok Fundamentalis Islam, kaum modernis Islam pembaharuan
didasarkan pada tiga prinsip dasar (Johannes dan Syamsul, 1993:53): 1) Islam pada dasarnya
adalah suatu sistem yang komplit dan integral dan merupakan tahap akhir dalam perjalanan
kehidupan dalam berbagai seginya: 2) Islam bersumber pada dua pokok, Alquran dan
Hadits: 3) Islam cocok untuk diterapkan pada setiap tempat dan waktu. Lebih luas, Islam
semestinya berkomitmen untuk menegakkan prinsip universal yang memiliki kesesuaian
dengan dasar Islam seperti keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Perihal ini dimaksudkan
sebagai kesadaran masyarakat plural. Sehingga dalam bernegara masyarakat harus religius.
Dalam arti negara mengakui dan mendukung keberadaan kelompok-kelompok agama.
Sekularisasi dianggap pemisahan negara dan agama yang ditandai masyarakat yang tidak
religius (Luthfi, 2011:21:3).
Keberlanjutan perkembangan kelompok fundamentalis Islam mencuat dipermukaan
sebagai sebab kemunculan intelektual-intelektual Islam muda. Kemunculan intelektual muda
memberikan kontribusi pada pemutar arah tujuan, yaitu pada tataran tingkat individu dan
masyarakat untuk membuka ruang Islamisasi. Jafar Umar Thalib merupakan intelektual
Islam sebagai pendiri kelompok Ihya Al-Sunnah. Kelompok Muslim ini banyak dipengaruhi
oleh paham Wahabi disejajarkan pada Salafi Arab. Fokus komunitas ini lebih memberatkan
kepada implementasi syariat Islam pada level individu melalui dawah. Ihya Al-Sunnah tidak
membutuhkan negara Islam, dengan alasan bahwa pembukaan ruang Islamisasi melalui
ceramah dan berdawah dimasjid-masjid sudah memungkinkan negara akan bercorak religius
dengan bersandar pada doktrin Islam. Lebih dari itu, penolakan untuk mewujudkan negara
Islam hanya mengakibatkan konflik sesama umat muslim. Doktrin Ihya Al-Sunnah
memprioritaskan pada pola relasi sosial dan berpakaian dengan corak tradisional. Lebih dari
itu, Ihya Al-Sunnah merupakan kelompok puritan yang mengesampingkan duniawi lebih
memprioritaskan tuntutan-tuntutan doktrin Islam yang bersifat murni. Ihya Al-Sunnah
mempercayai bahwa ideologi yang dipegang teguh akan mampu menyelesaikan persoalanpersoalan dunia yang telah sekular sehingga kemenangan Islam dapat diraih. Noorhaidi,
2012: 154-7).

2. Hubungan Antar Agama Dalam Globalisasi


Agama hidup sebagai suatu tradisi yang dipeluk dan menjadi hidup di tangan masyarakat
manusia. Agama yang kemudian menjadi tradisi memengaruhi perjalanan manusia;
sebaliknya manusia juga memengaruhi agama. Karena itulah ajaran-ajaran dan strukturstruktur agama tertentu dapat digunakan oleh siapa saja untuk kepentingannya sendiri, hampir
sama dengan pistol atau senjata apa saja yang dapat digunakan untuk menghabisi riwayat
orang lain.
Para penganut agama terlalu sering menjadikan pemimpin-pemimpin agama mereka, ajaranajaran agama dan kebutuhan untuk membela struktur-struktur institusional agama sebagai alat
dan justifikasi bagi tingkah laku mereka yang tak bisa diterima. Karena itu, orang yang
berpikiran mendalam harus mencoba belajar lebih banyak lagi tentang kemungkinan bahayabahaya dan janji-janji yang terkandung dalam fenomena kemanusiaan global yang kita sebut
agama.
Tabel 1
Fluktuasi Jumlah Penduduk berdasarkan Agama (Hasil Sensus Nasional BPS)
Agama
Islam
Kristen
Katolik
Hindu
Buddha
Khonghucu
(lainnya)
Jumlah

1971
103,579,496
87.51%
6,049,491
5.11%
2,692,215
2.27%
2,296,299
1.94%
1,092,314
0.92%
972,133
0.82%
1,685,902
1.42%
118,367,850
100%

1980
128,462,176
88.17%
8,505,696
5.84%
4,355,575
2.99%
2,988,461
2.05%
1,391,991
0.96%
----145,703,899
100%

1990
151,901,404
87.68%
10,065,544
5.81%
5,610,452
3.24%
3,283,382
1.90%
1,824,201
1.05%
--554,290
0.32%
173,239,273
100%

Sumber: SensusNasional BPS, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010

2000
172,815,764
87.91%
11,264,183
5.73%
6,388,935
3.25%
3,518,829
1.79%
2,162,409
1.10%
--415,410
0.21%
196,582,600
100%

2010
207,176,162
87.21%
16,528,513
6.96%
6,907,873
2.91%
4,012,116
1.69%
1,703,254
0.72%
117,091
0.05%
1,196,317
0.50%
237,556,363
100%

Dari table di atas, terlihat jumlah pemeluk agama yang cenderung fluktuatif, hal itu wajar dan
dapat dipahami sebagai dinamika perkembangan umat beragama di dunia. Tidak ada
penjelasan yang pasti menganai naik-turunnya persentase jumlah pemeluk agama.
Ada juga lembaga lintas agama yang telah terbentuk di hampir semua kabupaten/ kota di
Indonesia, yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Perkembangan Jumlah FKUB 2008-2013
Tahun

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

FKUB

10

29

31

33

33

33

33

36

274

306

402

409

420

428

Provinsi
FKUB
Kab/Kota
Tabel 2
Kegiatan interfaith Dialogue dalam skala global
NO

KEGIATAN

TEMPAT DAN WAKTU

Interfaith Youthcamp Santiago,

Chile, 10 14 Maret 2013

Dialog Lintas Agama RI Jerman

Manado,7 -13 April 2013

The Doha Intl Interfaith Dialogue Awarding

Doha,23 25 April 2013

Dialog Lintas Agama RI-Polandia II

Jakarta,14 Mei 2013

Seminar on Indonesia

Brussels,akhirJuni 2013

Dialog Lintas Agama RI-Hongaria II

Yogyakarta,19-21 Juni 2013

Dialog Lintas Agama RI-Ethiopia I

Addis Ababa,Juli 2013

Dialog Lintas Agama RI-Kenya

Nairobi,Juli 2013

Indonesia Interfaith Sholarship II

Indonesia, 18 31 Agustus 2013

10

PameranFotoolehfotografer

Eropa, September 2013

11

Dialog Lintas Agama RI-Austria IV

Bali, 16 -20 September 2013

12

Dialog Lintas Agama RI-Tunisia I

Tunis, Oktober 2013

13

Dialog Lintas Agama RI-Aljazair I

Algier, Oktober 2013

14

Dialog Lintas Agama RI-Serbia II

Malang, AwalOktober 2013

Sumber: PKUB Setjen Kementerian Agama, 2013

Di bidang hubungan antarumat beragama, isu intoleransi dan kerukunan mewarnai wacana
keagamaan tahun ini. Serempaknya berbagai laporan menceritakan peningkatan angka
kekerasan/intoleransi, mendorong isu ini menjadi hantu yang demikian menakutkan. Ekspose
yang massif soal ini memang penting untuk menggerakkan palu kebijakan, hanya saja sikap
NATO juga tidak membantu. Alih-alih membukakan kesadaran pihak yang dikritik, yang
terjadi adalah reaksi yang kontraproduktif. Sangat baik cara kooperatif dalam program

sinergis, sebagaimana dilakukan KontraS dengan Polri dalam isu pemolisian, misalnya. Atau
program pemerkuatan kapasitas anggota FKUB oleh The Wahid Institute dengan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan. Saling membuka pintu dan sinergi nampaknya menjadi pola yang
tepat untuk menangani permasalahan bangsa ini.
Solusi yang ditawarkan oleh Ali Masrur (Ali Masrur: 2004), kita seharusnya perlu
mengembangkan optimisme dalam menghadapi dialog masa depan. Paling tidak ada tiga hal
yang dapat membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai tempat.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam
melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler
maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem
keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya
tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke
akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau
jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya
bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih
mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi
kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami
dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasiprovokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh
pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid
dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan
mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik
(authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para
pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk
tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu
domba antar penganut agama.

3. Terorisme Global
Rumor yang nampak dipermukaan publik pada tingkat domestik dalam masyarakat plural
bahwa hubungan sosial antar-agama tidak berjalan dengan baik atau tidak terdapat proses
sosial yang bersifat asosiatif. Hubungan yang tidak harmonis seperti ini, seyogyanya akan
dapat menimbulkan potensi konflik antar-agama. Pada kasus konflik umat Islam dan Kristen
di Maluku dapat dijadikan cerminan kondisi dan situasi relasi sosial yang tidak harmonis di
Indonesia. Keterlibatan umat Islam pada konflik di tanah Maluku merepresentasikan
keberlanjutan tahap pergerakan Islam Militan di tingkat transnasional. Keyakinan dan
pengukuhan akan pengakuan musuh bersama dijadikan sebagai dasar solidaritas umat Islam
garis keras di dunia tetap menjadi kewajiban bersama untuk mempertahankan dan membela
agama Islam. Jafar Umar Thalib (Noorhaidi, 2012:167) menyatakan bahwa perang Maluku
perang suci melawan Kristen...keterlibatan dalam perang adalah sebuah kewajiban yang

harus dipenuhi oleh umat Islam untuk menghormati pesan Allah. Selain itu, Keterlibatan
Muslim pada konflik di Maluku dianggap sebagai perang suci. Dengan kata lain, perang
suci memberikan peluang yang terbuka bagi umat Islam untuk mendapatkan pahala besar dari
Allah, jihad merupakan aktualisasi tindakan untuk menanggapi pesan Allah demi melindungi
Islam dari ancaman-ancaman lain - non-Islam dan globalisasi.- sehingga menuntut partisipasi
umat, dan komunitas garis keras Islam.
Respon kaum fundamentalis Islam terhadap proses globalisasi yang terkandung perubahan
kultur, politik dan ekonomi menjadi tantangan tersendiri. Tantangan serius dalam proses
perubahan tersebut dianggap tidak sejalan dengan doktrin Islam murni. Atas dasar persepsi
perubahan dunia saat ini, fundamentalisme Islam mencari referensi historis sebagai alternatif
untuk membangun kembali kebangkitan Islam. Segenap teror dan kekerasan terdengar di
masyarakat dunia yang dilancarkan oleh kelompok fundamentalis Islam merupakan suatu
bentuk perlawanan demi transformasi kehidupan yang ideal. Aksi terorisme dan kekerasan
merupakan wujud nyata dari kelompok garis keras Islam mengindikasikan penolakan keras
integrasi Islam dalam proses globalisasi yang merupakan suatu proses politik yang
mengancam dunia dan tidak lebih sebagai gerakan politik keagamaan.
Akan tetapi tidak meluluh terorisme dan kekerasan yang mengancam dunia berasal dari
kelompok Islam radikal. Konflik Israel dan Palestina jelas mendukung pernyataan tersebut.
Banyak versi menyatakan bahwa perang senjata kedua negara tersebut di satu sisi dianggap
sebagai perang berlandaskan konflik agama Islam dan Yahudi. Kebangkitan kekerasan
religi keyakinan semit - secara global, menurut Mark Juergensmeyer disebut sebagai
cosmic war. Konsep perang kosmik ini dimaksudkan bahwa masing-masing sistem
keyakinan Yahudi, Kristen, dan Islam meninggalkan warisan dari biblikal bahwa ada musuh
abadi yang harus ditumpas. Seperti, bagi masyarakat Israel, masyarakat Arab dipandang
sebagai musuh abadi yang mesti diperangi sebagai tuntutan yang diwarisi dari nilai-norma
masa lalu. Oleh karena itu, teror dan kekerasan fisik yang dikemas dalam bentuk
pemerintahan Israel terhadap pihak lain Palestina memiliki akar kosmik.
Kebangkitan fundamentalisme agama diyakini terjadi lebih kuat dikalangan kaum Muslim.
Kelompok fundamentalis memunculkan dan menghasilkan pemikiran yang radikal, dan
ekstrim. Sedangkan kalangan modernis lebih terbuka dalam menyesuaikan doktrin agama
dengan kontekstualitas yang melihat relevansinya, sehingga melahirkan pemikiran reformis
beserta manifestasi pola tindakan. Dengan ini, kebangkitan kelompok fundamentalis Islam
dinilai sebagai perlawan atas modernisme (Muhiddin, 2012:79). Samuel P. Huntington

(Akbar Tandjung, 2009: 103) menyebut perihal ini sebagai Clash of Civilizations benturan
antar peradaban.
Tragedi 11 September 2001 di AS merupakan sejarah baru dalam arus terorisme
transnasional agama Islam sebagai akar pembentukan teroris. Atas serangan ini Presiden AS
Bush dalam pidatonya Joint Session of Congress and the American People, termuat
pernyataan bahwa terorisme merupakan penghancur demokrasi. Pada saat bersamaan, Bush
mengajak

seluruh

masyarakat

dunia

untuk

memerangi

kembali

terorisme

demi

mempertahankan dan menegakkan prinsip-prinsip dasar demokrasi sebagai komitmen


bersama di dunia baru. Pernyataan Bush mampu menarik masyarakat dunia karena sistem
demokrasi mengandung jaminan keamanan, ketertiban dan stabilitas baik di tingkat nasional
maupun hubungan antar-negara (Gabriel, 2005: 72). Kualitas keamanan teritorial
ditingkatkan dan operasi kantong-kantong negara yang dituding menjadi sarang
perkembangbiakan terorisme terutama negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam
Afganistan dan Irak mendapat perhatian besar, ini merupakan upaya pemberantasan dan
dinilai lebih efektif. Strategi yang memprioritaskan bentuk defensif dan proaktif tercermin
dalam penggunaan piranti-piranti kontrol negara seperti militer.
Berbagai kritik yang dilontarkan terhadap strategi yang didemonstrasikan Presiden AS
dianggap tidak efektif bahkan tidak bisa menumpas akar yang menjadi kemunculan
terorisme. Berbagai penawaran strategi yang disajikan para teoritis praktis terutama dengan
mendekati secara institusional, yaitu konsolidasi demokrasi. Bagi pandangan ini orientasi
institusional bahwa kemunculan terorisme global saat ini muncul sebagai sebab kehilangan
substansi dari sistem demokrasi sehingga secara sistematis mempengaruhi tiga aspek
mendasar institusional, perilaku, dan kinerja. Secara fungsional, konsolidasi demokrasi
dilihat dari ketiga aspek tersebut dalam upaya mematahkan muncul dan berkembangnya
terorisme baik ditingkat domestik maupun transnasional:
Pada aspek institusional, konsolidasi demokrasi diarahkan untuk memperkuat sekaligus
memastikan bahwa institusi-institusi politik...dapat bekerja secara efektif dan selaras
dengan kepentingan publik...sejalan dengan premis institusionalisme yang menyatakan
bahwa institusi aturan main, standar prosedur, norma perilaku, nilai memainkan
peran sentral dalam kehidupan politik dan memberikan batasan-batasan...apa yang boleh
atau tidak boleh... Pada aspek perilaku, konsolidasi demokrasi diarahkan untuk
mengembangkan kultur politik yang demokratis sebagai referensi satu-satunya...secara
keseluruhan. ... Konsolidasi demokrasi pada tingkat ini menjadikan prinsip-prinsip dan
nilai-nilai demokrasi sebagai bagian integrasi dan norma, keyakinan, serta sikap
masyarakat sehari-hari...partisipasi demokratis yang semakin luas, serta toleransi

sebagai bagian dari budaya massa. ...pada aspek kinerja, ...berupaya membangun
dukungan publik terhadap rezim yang ada dengan menyediakan pelayanan publik,
mempromosikan kebebasan sipil, melaksanakan pemilu yang adil dan terbuka, menjamin
hak-hak kelompok minoritas, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pembangunan
ekonomi... dengan sendirinya meningkatkan dukungan publik, menjaga legitimasi rezim,
serta menjamin terjaganya stabilitas sosial dan keamanan. (Gabriel, 2005: 84-5)
Pernyataan kedua tetang strategi dalam mendiagnosa akar penyebab terorisme dibungkus
dalam orientasi institusional yang menekankan kembali kemantapan implementasi sistem
elektoral negara secara efektif mampu mengeliminasi segala bentuk konflik dan kekerasan
serta terorisme. Hilangnya substansi sistem demokrasi dapat menghadirkan persepsi
masyarakat agama tentang ketidak pastian hidup yang ditandai dengan kerusakan moral
masyarakat yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan hal inilah yang memberikan
petunjuk untuk menjelaskan munculnya benturan peradaban. Yang mana kelompok
fundamentalis agama bermunculan ditangan masyarakat global dengan mendemonstrasikan
cita-cita kehidupan yang ideal melalui teror. Perubahan orientasi strategi pada saat bersamaan
juga merubah cara pandang dalam melihat terorisme.

BAB III
KESIMPULAN
Globalisasi tidak mengenal barat dan timur, menyatukan semua golongan. Di lain hal
globalisasi juga memiliki dampak besar terhadap kehidupan masyarakat. Dampaknya bisa
berupa memudarnya nilai sosial budaya yang berakibat pada mengikisnya nilai spiritual
individu khususnya dalam hal beragama. Agama merupakan salah satu faktor dari kehidupan
manusia yang bisa mendorong individu menciptakan pola tingkah baik dan buruk. Dengan ini
globalisasi mempengaruhi penurunan nilai dan norma agama seseorang yang menjadikan
agama tidak berperan aktif dalam mengatur perilaku sebagai wujud dari masyarakat
beragama. Oleh karena itu, penurunan religiusitas masyarakat ini mengakibatkan munculnya
kembali doktrin agama yang tertuang dalam agama fundamental yang dipelopori oleh
segilintir individu yang memberikan fokus perhatiannya pada permasalahan sosial.
Penegakkan kembali fundamentalisme akan berpengaruh pada relasi sosial antar umat
beragama, khususnya dialog antar agama dalam mengatasi masalah kebangkitan kembali
gerakan radikal yang dilahirkan oleh fundamentalisme dan mengarah pada mengancamnya
dunia global. Bentuk dari ancaman itu dapat berupa aksi terorisme, yang sampai saat ini aksi
tersebut

dituding

bersumber

dari

agama

Islam

Irak

dan

Afganistan.

DAFTAR PUSTAKA
Wiley, Jhondan Sons, The New Blackwell Companion To The Sociology of Religion, edt
Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, edk Bahasa Indonesia, cet 1, trans Daryatno. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013.
Assyaukanie, Luthfi, Ideologi Islam dan Utopia, cet 1, trans Samsudin Berlian. Jakarta:
Freedom Institute, 2011.
Qodir, Zuly, Globalisasi dan Radikalisme Islam atau Radikalisme Politik Agama [jurnal
elektronik] Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, nd.
Heijer, den Johannes dan Syamsul Anwar, Islam, negara dan Hukum, trans Syamsul
Anwar. Jakarta: INIS, 1993.
Ahmad, Bustamam Kamaruzzaman, Islam dan Kekerasan: Pengalaman Untuk Aceh, vol
2, no 3, 2014.
Bakri, Muhiddin Muhammad, Modernisme dan Fundamentalisme di Dunia Islam, vol 9,
no 1, 2012, dalam Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah.
Tandjung, Akbar, Islam, Demokrasi dan Tantangan Global, vol 4, no 1, 2009.
Lele, Gabriel, Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global, Solusi Lokal, vol 9, no 1, 2005,
hh. 71-90.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Laporan tahunan Kehidupan Keagamaan Di
Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan KeagamaanBadan Litbang dan DiklatKementerian
Agama

RI2014.

file:///C:/Users/Test/Downloads/Laporan%20Tahunan%20Kehidupan%20keagamaa%20di%
20Indonesia%202013_Kemenag.PDF. Diunduh tanggal 27 Oktober 2014.
Dr. Ali Masrur, M.Ag,2004, Problem dan Prospek Dialog Antaragama. Artikel cfm.

Anda mungkin juga menyukai