Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu.
Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai
trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal
dengan Charcot triad. Charcot mendalilkan bahwa empedu stagnankarena
obstruksi saluran empedu menyebabkan perkembangan kolangitis.
Obstruksi juga dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran empedu, yang
membawa empedu dari hepar kekandung empedu dan usus. Bakteri yang sering
dikultur pada empedu adalah Eschericia Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus,
Enterococcus, Clostridium perfiringens, Bacteroides fragilis. Bakteri anaerob yang
dikultur hanya sekitar 15% kasus.
Patofisiologi kolangitis sekarang ini dimengerti sebagai akibat kombinasi 2
faktor, yaitu cairan empedu yang terinfeksi dan obstruksi biliaris. Peningkatan
tekanan intraduktal yang terjadi menyebabkan refluks bakteri ke dalam vena hepatik
dan sistem limfatik perihepatik yang menyebabkan bakterimia.
Pada tahun 1959, Reynolds dan Dargon menggambarkan keadaan yang berat pada
penyakit ini dengan menambahkan komponen syok sepsis dan gangguan kesadaran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Hepatobiliaris
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat rata-rata 1.500 gr
atau 2% dari total berat badan orang dewasa normal. Letaknya tepat dibawah
diafragma kanan. Hati memiliki 2 lobus, yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang

dibatasi oleh ligamentum falsiformis. Pada bagian posterior hati terdapat porta
hepatica tempat dimana masuknya vena porta dan arteria hepatica dan keluarnya
duktus hepatica. Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas
abdominlais tepat dibawah diafrgama. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus
costalis dextra, dan hemidiafrgma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo,
pericardium dan cor. Hepar terbentang ke seblah kiri untuk mencapai hemidiafragma
sinistra. Permukaan atas hepar yang cembung melengkung di bawah kubah diafragma.
Fascia viseralis membentuk cetakan visera tang letaknya berdekatan sehingga
bentuknya menjadi tidak beraturan. Permukaan ini berhubungan dengan pars
abdominalis oesofagus, gaster, duodenum, fleksura coli dextra, rend extra dan
glandula suprarenalis dextra, serta vesica biliaris. Hepar dibagi menjadi lobus hepatis
dexter yang besar dan lobus hepatis sinister yang kecil oleh perlekatan ligamentum
peritoneale, ligamentum falciforme. Lobus hepatis dexter terbagi lagi menjadi lobus
quadrates, dan lobus caudatus oleh adanya vesica biliaris, fissure ligament teretis,
vena cava inferior, dan fissure ligament venosi. Porta hepatis, atau hilus hepatis,
terdapat pada fascies viseralis, dan teletak diantara lobus caudatus dan lobus
quadrates. Bagian atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir-pinggir
porta hepatis. Pada tempat ini terdpat duktus hepaticus sinister dan dexter, ramus
dexter dan sinister arteria hepatica, vena portae hepatis, serta serabut saraf simpatis
dan parasimpatis. Disisni terdapat beberapa kelenjar limf hepar. Kelenjar-kelnjar ini
menapung cairan limf hepar dan vesica biliarus, dan mengirimkan serabut eferannya
ke nodi lymphoidei coeliaci.
Seluruh hepar dikelilingi oleh capsula fibrosa, tetapi hanya sebagian ditutupi
oleh peritoneum. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena sentralis pada masingmasing lobules bermuara ke vena hepaticae. Di dalam ruangan diantara lobuleslobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena
portae hepatis, dan sebuah cabang duktus choledochus (trias hepatis). Darah arteria
dan vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan melalui vena
sentralis.

Vasa darah yang memberi darah ke hepar adalah a.hepatica dan v.portae hepatis.
a.hepatica membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, sedangkan v.portae hepatis
membawa darah vena yang kaya hasil pencernaan yang telah diserap dari tractus
gastrointestinal. Darah arteri dan vena masuk ke v.centralis dari setiap lobules hepatis
melalui sinusoid hepar.Vena centralis bermuara ke vena hepatica dextra et sinistra,
dan meninggalkan permukaan posterior hepar menuju vena cava inferior.
Hepar menghasilkan banyak limfe, sekitar 1/3-1/2 seluruh limfe tubuh. Vasa limfe
meninggalkan hepar dan masuk ke beberapa lymphonodus di porta hepatis. Vassa
efferent menuju LN.coeliacus. Sejumlah kecil vasa limfe menembus diafragma
menuju LN.mediastinalis posterior.

Secara mikroskopis, hepar terbagi menjadi unit fungsional yang disebut lobulus yang
berbentuk heksagonal. Lobulus tersebut mengelilingi vena sentralis dan lobulus
tersebut dikelilingi oleh cabang-cabang arteri hepatica,vena porta, dan saluran
empedu. Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi kurana lebih
60% sel hepar, sedangkan sisanya terdiri dari sel-sel epithelial system empedu dalam
jumlah yang bermakna dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya
endotolium, sel kuffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Hepatosit 64
sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari efferent vena hepatica dan
duktus hepatikus. Saat darah memasuki hati melalui arteri hepatica dan vena porta
serta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan oksigen secara
bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting kerentanan
jaringan terhadap kerusakan asinus. Membrane hepatosit berhadapan langsung dengan
sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak pada sisi lain sel
yang membatasi saluran empedu dan merupakan petunjuk tempat permulaan sekresi
empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubung dan
desmosom yang saling bertautan dengn sebelahnya. Sinusoid hati memiliki lapisan
endothelial endothelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang disse (ruang

sinusoida). Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding inusoid adalah sel fagositik. Sel
Kuffer yang merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan sel stellata
disebut sel itu, limposit atau perisit. Yang memiliki aktifitas miofibroblastik yang
dapat membantu pengaturan aliran darah. Sinosoidal disamping sebagai faktor penting
dalam perbaikan kerusakan hati. Peningkatan aktifitas sel-sel stellata tampaknya
merupakan faktor kunci dalam pembentukan jaringan fibrotik di dalam hati.
Fisiologi Hepar
Fungsi hepar yaitu (1) membentuk dan mensekresikan empedu ke dalam
traktus intestinalis; (2) berperan pada banyak metabolisme yang berhubungan dengan
karbohidrat, lemak dan protein; (3) menyaring drah untuk membuang bakteri dan
benda asing lain yang masuk ke dalam darah dari lumen intestinum. Fungsi hepar
yang utama adalah membentuk dan mengekskresi empedu. Hati menyekresi sekitar
sekitar 500 hingga 1.000 ml empedu kuning setiap hari. Hati juga berperan dalam
metabolism makronutrien yaitu karbohidrat, lemak dan protein, serta berperan dalam
fungsi detoksifikasi.
Bilirubin adalah suatu pigmen berwarna kuning berasal dari unsure porfirin dalam
hemoglobin yang terbentuk sebagai akibat penghancuran sel darah merah oleh sel
retikuloendotelial. Wlaupun berasal dri hemoglobin, bilirubin tidak mengandung zat
besi. Bilirubin yang baru terbentuk ini larut dalam lemak. Di dalam plasma akan
berikatan dengan albumin. Oleh karena terbentuk secara normal dari penghancuran
sel darah merah, maka metabolism dan sekresi selanjutnya dapat berlangsung secara
terus-menerus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel eritorsit oleh
makrofag di dalam limpa, hati, dan alat retikuloendotel lain akan mengalami
pemecahan menjadi heme dan globin. Melalui proses oksidasi, komponen globin
mengalami degradasi menjadi asam amino dan digunakan untuk pembentukan protein
lain. Unsur heme selanjutnya oleh heme-oksigenase, teroksidasi menjadi biliverdin
dengan melepas zat besi dan karbonmonoksida. Bilirubin reduktase akan mereduksi
biliverdin menjadi bilirubin tidak terkonjugasi. Walaupun lebih dari 80% bilirubin
terjadi dari eritrosit namun sekitar 15-20% bilirubin dapat pula berasal dari
hemoprotein lain seperti mioglobin, sitokrom. Bilirubin tak terkonjugasi ini adalah
suatu zat lipofilik, larut dalam lemak, hampir tidak larut dalam air sehingga tidak
dapat dikeluarkan lewat urine melalui ginjal (disebut pula bilirubin indirek karena
hanya bereaksi positif pada tes setelah dilarutkan ke dalam alcohol). Karena sifat
lipofilik zat ini dapat melalui membrane sel dengan relative musah. Setelah dilepas ke

dalam plasma sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi ini akan membentuk ikatan
dengan albumin sehingga dapat larut dalam darah. Pigmen ini secara bertahap
berdifusi ke dalam sel hati (hepatosit). Dalam hepatosit, bilirubin tak terkonjugasi ini
dikonjugasi dengan asam glukoronat membentuk bilirubin glukoronida atau bilirubin
terkonjugasi

(bilirubin

direk).

Reaksi

konjugasi

dikatalisasi

oleh

enzim

glukoroniltransferase, yaitu suatu enzim yang terdapat di RE dan merupakan


kelompok enzim yang mampu memodifikasi zat asing yang bersifat toksik. Bilirubin
terkonjugasi larut dalam air, dapat dikeluarkan melalui ginjal namun dalam keadaan
normal tidak dapat dideteksi dalam urine. Sebagian besar bilirubin terkonjugasi ini ini
dikeluarkan ke dalam empedu, suatu komponen kolesterol, fosfolipid, bilirubin
diglukoronida dan garam empedu. Sesudah dilepas kedalam saluran cerna bilirubin
glukoronida diaktifasi oleh enzim bakteri dalam usus, sebagian menjadi urobilinogen
yang akan keluar melalui tinja (sterkobilin), atau diserap kembali dari saluran cerna,
dibawa ke hati dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu. Urobilinogen dapat larut
ke dalam air, oleh karena itu sebagian dikeluarkan melalui ginjal.
Vesica fellea
Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak
pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.
Pembuluh darah kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan. V.
cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat
kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici

hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.


Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.

Fisiologi Vesica Fellea


Fisiologi Vesica Fellea
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica
fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini,
mukosanya mempunyai lipatan lipatan permanen yang satu sama lain saling
berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak
yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.
Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.
Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum
mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang
berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum.
Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum,
hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus
coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang
kental ke dalam duodenum. Garam garam empedu dalam cairan empedu penting
untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi
lemak.
Duktus Biliaris Hepatis
Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan, dan dipekatkan di dalam
vesica biliaris, kemudian dikeluarkan ke duodenum. Duktus biliaris hepatis terdiri atas
duktus hepaticus dexter dan sinister, ductus hepaticus communis, ductus choledochus,
vesica biliaris dan ductus cysticus. Cabang-cabang interlobulare ductus choledochus
terkecil terdapat di dalam canalis hepatis; cabang-cabang ini menerima canaliculi
biliaris; cabang-cabang ini saling berhubungan satu sama lain dan secara bertahap
membentuk saluran yang lebih besar, sehingga akhirnya pada porta hepatis
membentuk ductus hepaticus dexter dan sinister. Ductus hepaticus dexter mengalirkan
empedu dari lobus hepatis dexter dan ductus hepaticus sinister mengalirkan empedu
dari lobus hepatis sinister, lobus caudatus, dan lobus quadrates.
Duktus Sistikus
Duktus sistikus merupakan lanjutan dari vesika fellea, terletak pada porta
hepatis yang mempunyai panjang kira-kira 3-4 cm. Pada porta hepatis duktus sistikus
mulai dari kollum vesika fellea, kemudian berjalan ke postero-kaudal di sebelah kiri
kollum vesika fellea. Lalu bersatu dengan duktus hepatikus kommunis membentuk
duktus koledokus. Mukosa duktus ini berlipat-lipat terdiri dari 3-12 lipatan, berbentuk
spiral yang pada penampang longitudinal terlihat sebagai valvula disebut valvula
spiralis (Heisteri).
Duktus Hepatikus
Duktus hepatikus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister yang bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis pada porta hepatis dekat pada processus
papillaris lobus kaudatus. Panjang duktus hepatikus kommunis kurang lebih 3 cm

terletak disebelah ventral arteri hepatika propria dexter dan ramus dexter vena portae.
Bersatu dengan duktus sistikus menjadi duktus koledokus.
Duktus Koledokus
Duktus koledokus mempunyai panjang kira kira 7 cm dibentuk oleh
persatuan duktus sistikus dengan duktus hepatikus kommunis pada porta hepatis,
dimana dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga bagian
Pada kaput pankreas duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus
wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars
desenden duodeni membentuk suatu benjolan ke dalam lumen disebut papilla duodeni
major.

Cholangitis
Kolangitis adalah

suatu

infeksi bakteri akut pada sistem saluran

empedu. Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis,
sebagai trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang

dikenal

dengan

Charcot

triad.

Charcot

mendalilkan

bahwa

empedu

stagnankarena obstruksi saluran empedu menyebabkan perkembangan kolangitis.


Obstruksi juga dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran empedu, yang
membawa empedu dari hepar kekandung empedu dan usus. Bakteri yang sering
dikultur pada empedu adalah Eschericia Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus,
Enterococcus, Clostridium perfiringens, Bacteroides fragilis. Bakteri anaerob yang
dikultur hanya sekitar 15% kasus.
Patofisiologi kolangitis sekarang ini dimengerti sebagai akibat kombinasi 2 faktor,
yaitu cairan empedu yang terinfeksi dan obstruksi biliaris. Peningkatan tekanan
intraduktal yang terjadi menyebabkan refluks bakteri ke dalam vena hepatik dan
sistem limfatik perihepatik yang menyebabkan bakterimia.
Pada tahun 1959, Reynolds dan Dargon menggambarkan keadaan yang berat
pada penyakit ini dengan menambahkan komponen syok sepsis dan gangguan
kesadaran.
Epidemiologi
Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus yang berpotensi
menyebabkan kesakitan dan kematian. Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%.
Kolangitis ini dapat ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang dominan diantara
keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60
tahun.
Etiologi
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : koledokolitiasis, obstruksi
struktur saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun berat
penyebab obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi.
Kasus obstruksi akibat keganasan hanya 25-40% yang hasil kultur empedunya positif.
Koledokolitiasis menjadi penyebab tersering kolangitis.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin banyaknya pemakaian
manipulasi saluran biliaris invasif seperti kolangiografi, stent biliaris, untuk terapi
penyakit saluran biliaris telah menyebabkan pergeseran penyebab kolangitis. Selain
itu pemakaian jangka panjang stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh
cairan biliaris yang kental dan debris biliaris yang menyebabkan kolangitis.

MANIFESTASI KLINIK
Walaupun gambaran klasik kolangitis terdiri dari trias, demam, ikterus, dan
nyeri abdomen kuadran kanan atas yang dikenal dengan trias Charcot, namun semua
elemen tersebut hanya ditemukan pada sekitar 50 persen kasus. Pasien dengan
kolangitis supuratif tampak bukan saja dengan adanya trias charcot tapi juga
menunjukkan penurunan kesadaran dan hipotensi. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Cameron, demam di temukan pada lebih dari 90 persen kasus, ikterus pada 67
persen kasus dan nyeri abdomen hanya pada 42 persen kasus.
Dua hal yang diperlukan untuk terjadinya kolangitis yaitu adanya obstruksi
aliran empedu dan adanya bakteri pada duktus koledokus. Pada sebagian besar kasus,
demam dan mengigil disertai dengan kolangitis menandakan adanya bakteriemia.
Biakan darah yang diambil saat masuk ke rumah sakit untuk kolangitis akut adalah
positif pada 40 sampai 50 persen pasien. Pada hampir semua serial Escherichia coli
dan Klebsiella pneumoniae adalah organisme tersering yang didapatkan pada biakan
darah. Organisme

lain

yang dibiakan dari darah adalah spesies Enterobacter,

Bacteroides, dan Pseudomonas.


Dalam serial terakhir species Enterobacter dan Pseudomonas lebih sering
ditemukan, demikian juga isolat gram negatif dan spesies jamur dapat dibiak dari
empedu yang terinfeksi. Adapun organisme anaerobik yang paling sering diisolasi
adalah Bacteroides fragilis. Tetapi, anaerobik lebih jarang ditemukan pada serial
terakhir dibandingkan saat koledokolitiasis merupakan etiologi kolangitis yang
tersering.
DIAGNOSIS
Diagnosis kolangitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Pada anamnesis penderita kolangitis dapat ditemukan adanya keluhan demam,
ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya mengalami dingin
dan demam dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning
pada kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80% penderita.
B.

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali,


ikterus, gangguan kesadaran, sepsis, hipotensi dan takikardi.
C.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian
besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau
trombositopenia kadang kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah.
Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin
yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase
dan transaminase serum juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik.
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah:
1.

Foto polos abdomen


Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos

abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu
saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang
dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar hidrops,
kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
2.

Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada
duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus.
Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan
gaya gravitasi.

Menunjukkan ultrasonografi dari duktus


intrahepatik yang mengalami dilatasi
3. CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu
kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung empedu
yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.

CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan


dilatasi duktus pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin
4. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang
menggunakan lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal.
Endoscope Retrograde

Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat

menentukan penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati
penyebab obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.

Menunjukkan endoscope Cholangiopancreotography


(ERCP) dimana menunjukkan duktus biliaris yang berdilatasi
pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran feeling defect)
5. Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati
dan kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan
spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat
duktus empedu dan duktus sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat
mengidentifikasi batu saluran empedu atau hanya dapat memberikan informasi sesuai
dengan letak anatominya. Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi
adalah derivat asam iminodiasetik dengan label
6.

99m

Tc.

Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier

melalui prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi
yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan
tes. Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan
di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu.

7.

Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien

dengan kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk


menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi saluran empedu sebelum terapi
definitif. Jadi, kolangiografi jarang diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan
dengan demikian harus ditunda sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama
adalah pasien yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap
antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk
menegakkan

drainase

biliaris.

Kolangiografi

retrograd

endoskopik

ataupun

kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan untuk menentukan anatomi atau


patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada
sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang tepat harus
diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus.
DIAGNOSIS BANDING
1.

Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh
batu yang terjebak di dalam kantong Hartmann. Pada keluhan utama dari kolesistikus
akut adalah nyeri perut di kuadran kanan atas, yang kadang-kadang menjalar ke
belakang di daerah skapula. Biasanya ditemukan riwayat kolik dimasa lalu, yang pada
mulanya sulit dibedakan dengan nyeri kolik yang sekarang. Pada kolesistitis, nyeri
menetap dan disertai tanda rangsang peritoneal berupa nyeri tekan dan defans
muskuler otot dinding perut. Kadang-kadang empedu yang membesar dapat diraba.
Pada sebagian penderita, nyeri disertai mual dan muntah.

2.

Pankreatitis
Pankreatitis adalah radang pankreas yang kebanyakan bukan disebabkan
oleh infeksi bakteri atau virus, akan tetapi akibat autodigesti oleh enzim pankreas
yang keluar dari saluran pankreas. Biasanya serangan pankreatitis timbul setelah
makan kenyang atau setelah minum alkohol. Rasa nyeri perut timbul tiba-tiba atau
mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di daerah pertengahan epigastrium dan
biasanya menjalar menembus ke belakang. Rasa nyeri berkurang bila pasien duduk
membungkuk dan bertambah bila terlentang. Muntah tanpa mual dulu sering
dikeluhkan dan muntah tersebut sering terjadi sewaktu lambung sudah kosong.

Gambaran klinik tergantung pada berat dan tingkat radang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila ditekan. Kira-kira 90% disertai
demam, takikardia, dan leukositosis.
3. Hepatitis
Hepatitis merupakan salah satu infeksi virus pada hepar yang terdiri dari
hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D dan hepatitis E. Hepatitis B
merupakan hepatitis yang paling sering terjadi. Keluhan utamanya yaitu nyeri perut
pada kuadran kanan atas sampai di ulu hati. Kadang disertai mual, muntah dan
demam. Sekitar 90% kasus hepatitis merupakan infeksi akut. Sebagian menjadi
sembuh dan sebagian lagi menjadi hepatitis fulminan yang fatal.
PENATALAKSANAAN
Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah
konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan
antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat
dengan antibiotik oral. Dengan kolangitis supuratif dan syok septik mungkin
memerlukan terapi di unit perawatan insentif dengan monitoring invasif

dan

dukungan vasopresor.
Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan
bakteriologi yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin
telah dianjurkan. Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik untuk melawan basil
gram negatif yang sering ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan
enterokokus. Penambahan metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan
antibakterial terhadap anaerob bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan
antibiotik. Perlindungan antibiotik

jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan

kepekaan telah tersedia.


Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk
terapi kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis
antibiotik saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja
mencakup organisme yang ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang
dieksresikan dalam konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu.

DEKOMPRESI BILIARIS
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan
berespon terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan
tes fungsi hati kembali ke normal seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien
tidak menunjukkan perbaikan atau malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam
pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar
kasus, dekompresi biliaris segera paling baik dilakukan secara non operatif baik
dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu:
a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah
semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu
dan nanah serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa
nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm,
sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita
ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu.
b.

Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada

batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama
satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan

kedalam kandung

empedu dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi
invasif walaupun kerap disertai dengan penyulit.
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu
saluran empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi
dengan

pencitraan

flouroskopi

sebelum

prosedur,

diperlukan

sfingterotomi

endoskopik dan pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan material kontras.


Terapi dilanjutkan sampai terjadi penghancuran yang adekuat atau telah diberikan
pelepasan jumlah gelombang kejut yang maksimum.
c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai
salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi
ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien

dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar
untuk membantu mengambil batu intrahepatik.
ADAPUN PEMBEDAHAN-PEMBE DAHAN YANG DILAKUKAN :
A.

Kolesistektomi Terbuka
Karl Legenbach dari Jerman telah melakukan kolesistektomi elektif yang
pertama pada tahun 1882. Lebih dari satu abad kolesistektomi terbuka dijadikan
standar untuk metode terapi pembedahan

pada sistem empedu. Kolesistektomi

membutuhkan anestesi umum kemudian dilakukan irisan

pada bagian anterior

dinding abdomen dengan panjang irisan 12 20 cm.


Teknik operasi untuk kolesistektomi terbuka
Tidak ada aturan yang kaku tentang jenis insisi yang terbaik. Insisi digaris
tengah, paramedian kanan, transversal dan insisi subkostal dapat dilakukan,
tergantung pada pilihan ahli bedah. Kriteria penting adalah pemaparan yang adekuat
untuk diseksi serta eksplorasi. Pilihannya adalah insisi subkostal kanan (Kocher)
sebagai salah satu insisi yang paling serba guna dalam diseksi kandung empedu dan
saluran empedu.

Gambar insisi untuk pembedahan sistem bilier


Terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang pengangkatan kandung empedu secara
antegrad (diseksi dimulai di fundus) atau retrograd (diseksi dimulai di porta). Jika
anatomi porta tidak dikaburkan oleh peradangan yang parah, maka pilihannya adalah
memulai diseksi pada porta. Dengan traksi pada kandung empedu menggunakan klem
yang dipasang di fundus dan kantung Hartman, peritoneum yang menutupi segitiga
Calot diinsisi dan disisihkan dengan diseksi tumpul. Arteri sistikus diidentifikasi,
diligasi ganda atau diklem ganda, dan lalu dipotong, meninggalkan puntung
sekurangnya 1sampai 2 mm.

Pemotongan

arteri

mempermudah

identifikasi

saluran

sistikus.

Memperhatikan anomali yang sering terjadi adalah penting pada tahapan ini. Anomali
yang cukup sering adalah masuknya saluran sistikus ke saluran hepatik kanan,
anomali lain adalah masuknya saluran hepatik asesorius kanan yang cukup besar ke
saluran sistikus. Sangat penting bahwa struktur saluran yang dipotong sampai anatomi
sistem saluran yang tepat telah diketahui. Persambungan saluran sistikus dengan
saluran empedu harus ditunjukkan secara jelas. Jika kandung empedu mengandung
batu kecil atau lumpur, saluran sistikus diikat dengan jahitan atau klem tunggal pada
tempat keluarnya dari kandung empedu, untuk mencegah batu atau lumpur masuk ke
dalam saluran empedu selama diseksi. Menegakkan anatomi pada tahap operasi ini
dilakukan dengan kolangiografi operatif.
* Kolangiografi operatif
Kolangiografi operatif dilakukan secara rutin karena dua alasan. Pertama,
untuk mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering mengalami anomali. Kedua
yang sama pentingnya adalah untuk menyingkirkan batu saluran empedu yang tidak
dicurigai, dengan insidensi setinggi 5 sampai 10 persen.
Kolangiografi dilakukan dengan menggunakan salah satu dari sekian banyak
kanula kolangiografik yang dapat digunakan (Berci, Lehman, Colangiocath, dll).
Pilihannya adalah kolesistektomi terbuka adalah kanula Berci bersudut untuk
mempermudah insersi dan fiksasi. Insisi dibuat disaluran sistikus pada titik yang aman
setelah persambungan sistikus dan saluran empedu (biasanya sekurangnya 2,0 cm).
Insisi harus cukup besar untuk memasukkan kanula atau kateter, yang dapat
diinsersikan jika empedu terlihat mengalir dari lumen. Kanula lalu dipertahankan di
tempatnya dengan hemoklip medium atau klem khusus. Material kontras untuk
kolangiografi adalah hypaque 25 persen. Sistem operasi yang paling disukai untuk
kolangiografi, menggunakan fluorokolangiografi dengan penguatan citra (image
intensifier) serta monitor televisi . Ini memungkinkan pengisian saluran empedu
secara lambat dan pemaparan multiple sistem saluran saat sedang diisi.
* Laparoskopi Kolesistektomi
Kolesistektomi laparoskopi adalah cara yang invasif untuk mengangkat batu
empedu dengan menggunakan teknik laparoskopi. Prosedur menjadi populer pada
tahun 1988 dan telah berkembang dengan cepat. Indikasi untuk operasi adalah batu

empedu, polip simtomatik dan penyulit akibat batu. Kontraindikasinya adalah sepsis
abdomen, gangguan pendarahan, kehamilan dan tidak mampu melihat

saluran

empedu. Teknik ini adalah perawatan yang singkat dan dapat kembali beraktifitas
dengan normal. Penyulitnya adalah adanya cidera

saluran empedu, perdarahan,

kebocoran empedu dan cidera akibat trokar


* Eksplorasi koledokus; laparoskopi eksplorasi duktus empedu
Umumnya, batu duktus empedu dideteksi intraoperatif dengan kolangiografi
intraoperatif atau ultrasonografi dan dilakukan dengan cara laparoskopi eksplorasi
koledokus yang merupakan bagian dari tekhnik kolesistetomi laparoskopi. Pasien
dengan batu duktus empedu dideteksi sebelum operasi, biasanya dengan klirens
endoskopik. Namun, kurang berhasil sehingga batu di duktus harus dilakukan dengan
kolesistektomi.
Jika batu pada duktus empedu kecil, mungkin dapat dibilas ke dalam
duodenum dengan mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi setelah sfingter
Oddi direlaksasikan dengan glukagon. Jika irigasi (pengaliran) tidak berhasil, dapat
dilakukan pemasangan kateter balon melalui duktus sistikus dan turun ke duktus
empedu.
KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi
(kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:
A. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada
anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua
sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran
empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan
akibat abses multiple.
B. Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%).
Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama
penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan
utama sekitar 10-15%.

C. Peritonitis sistem bilier


Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis.
Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang
mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal.
D. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau
pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang
sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
E. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat
mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang
terjadi kadang susah untuk dikontrol.
PROGNOSIS
Tergantung berbagai faktor antara lain :
Pengenalan dan pengobatan diri
Pada kasus kolangitis dibutuhkan pengobatan antibiotik secara dini dan diikuti
dengan drainase yang tepat serta dekompresi traktus biliaris.

Respon terhadap terapi


Semakin baik respon penderita kolangitis terhadap terapi yang diberikan

(misalnya antibiotik) maka prognosisnya akan semakin baik.


Namun sebaliknya, respon yang jelek akan memperberat penyakit tersebut.

Kondisi Kesehatan Penderita


Sistem pertahanan tubuh penderita merupakan salah satu faktor yang

menentukan prognosis penyakit ini. Biasanya penderita yang baru pertama kali
mengalaminya dan berespon baik terhadap terapi yang diberikan, prognosisnya akan
baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Debas, T. Haile, Gastrointestinal Surgery, Pathophysiology and Management, p : 208203


2. Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 1968, p : 1154
1161
3. Northon A, Jeffery, Balinger, Randal R, Chang EA, et al, Surgery Basic Science and
Clinical Evidence, Part I, New York, Sprinset Comp, 2000, p : 568-574
4. 12. Burkitt G, Quick C, Gatt D. Management of gallstone disease in essensial
surgery, second edition, New York ; Churchill Livingstone, 1996, P : 215-220
5. 13. Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of
Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2000, p : 1203-1213

Anda mungkin juga menyukai