dan juga pada waktu yang bersamaan tidak bisa disebut dengan kelompok social. Misalnya:
orang-orang yang membeli karcis, memesan makanan di kantin, dan berhenti di lampu merah
Menurut Soerjono Soekanto (1990), kelompok social adalah himpunan atau kesatuankesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan di antara mereka secara
timbal balik dan saling mempengaruhi.
Secara sosiologis istilah kelompok social mengandung pengertian suatu kumpulan
dari individu-individu yang saling berinteraksi sehingga menumbuhkan perasaan bersama.
Dengan kata lain, kelompok sosial adalah sekumpulan manusia yang memiliki persamaan ciri
dan memiliki pola interaksi yang terorganisir secara berulang-ulang, serta memiliki kesadaran
bersama akan anggotanya.
B.
Di kalangan para ahli sosiologi, kelompok sosial mempunyai beragam definisi sesuai
pemahaman ahli yang menyampaikannya. Namun, dari definisi-definisi yang disampaikan
oleh para ahli, dapat kita ambil kesimpulan bahwa kelompok sosial mempunyai pengertian
"sejumlah individu yang berinteraksi dan memiliki hubungan sehingga mengakibatkan
kebersamaan dan rasa memiliki". Dari pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa suatu
kumpulan individu baru bisa disebut sebagai kelompok sosial jika telah memenuhi dua
kriteria, yaitu jika telah terorganisasi (baik secara formal maupun informal) serta adanya
kesadaran akan keanggotaan individu dalam kelompoknya. Kelompok sosial sendiri
terbentuk karena adanya gregariousness yaitu naluri manusia untuk selalu bersama.
Klasifikasi Kelompok Sosial Menurut Cara Terbentuknya
Secara umum, menurut cara terbentuknya, kelompok sosial dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu kelompok semu dan kelompok nyata.
1. Kelompok Semu. Yaitu kelompok sosial yang terbentuk secara spontan, tidak
direncanakan, dan tidak terorganisir. Karena cara terbentuknya tersebut, diantara
anggotanya biasanya tidak terjadi interaksi secara terus menerus, tidak ada kesadaran
berkelompok, serta kehadirannya tidak konstan. Kelompok semu dibagi lagi menjadi
tiga, yaitu:
luas yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Publik terbentuk karena ada perhatian
yang sama yang disatukan oleh alat-alat komunikasi. Contoh publik antara lain orangorang pendengar siaran radio atau saluran televisi tertentu.
2. Kelompok Nyata. Salah satu ciri khusus dari kelompok nyata adalah kehadirannya
Selalu konstan. Robert Bierstedt mengklasifikasikan kelompok nyata menjadi empat j
enis, yaitu Kelompok Statistik (Statistical Group), Kelompok Kemasyarakatan
(Societal Group), Kelompok Sosial (Social Group), serta Kelompok Asosiasi
(Associational Group). Pengklasifikasian ini didasarkan atas ada tidaknya hubungan
sosial, komunikasi, kesadaran jenis, serta ada tidaknya organisasi formal dalam
kelompok sosial tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengidentifikasikan diri kita sebagai anggota dari
kelompok A dan mengidentifikasikan orang lain sebagai kelompok B dimana kita tidak
termasuk dalam keanggotaannya. Pengidentifikasian ini bisa berdasarkan pekerjaan, jenis
kelamin, sekolah, agama, ataupun organisasi formal. Berdasarkan fakta inilah W.G Summer
membedakan kelompok sosial menjadi dua macam, yaitu in group (kelompok dalam) dan out
group (kelompok luar).
1. In Group. Adalah kelompok dimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya atau
merasa menjadi anggota dari kelompok tersebut.
2. Out Group. Yaitu kelompok yang berada diluar keanggotaan seorang individu atau
kebalikan dari in group.
balik antara individu dengan masyarakat. Dalam hubungan timbal balik tersebut status dan
peran individu mempunyai peranan yang penting karena kelanggengan masyarakat
tergantung pada keseimbangan kepentingan-kepentingan individu yang bersangkutan. Secara
empiris, perbedaan status mempengaruhi cara bersikap seseorang dalam berinteraksi sosial.
Orang yang menduduki status tinggi mempunyai sikap yang berbeda dengan orang yang
statusnya rendah. Status seseorang menentukan perannya dan peran seseorang menentukan
apa yang diperbuat (perilaku) (Maryati,kun,2001).
Status dan peran dalam batasan sosiologis
Perlu dibedakan pula antara pengertian status dengan status sosial. Status lebih
diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan
dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut. Sementara status sosial adalah tempat
seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain dalam
arti lingkungan pergaulannya, hak-hak dan kewajibannya. Status sosial tidaklah semata-mata
berarti kumpulan kedudukan seseorang dalam kelompok-kelompok yang berbeda, akan tetapi
kedudukan-kedudukan sosial tersebut memengaruhi kedudukan orang tersebut dalam
kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Menurut Ralph Linton, status mempunyai dua arti. Secara abstrak, status berarti
tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang dikatakan
mempunyai beberapa status, oleh karena seseorang biasa ikut serta dalam berbagai pola-pola
kehidupan. Pengertian tersebut menunjukkan tempat sehubungan dengan kerangka
masyarakat secara menyeluruh. Status Tuan A sebagai warga masyarakat bisa dikatakan
sebagai kombinasi dari segenap statusnya sebagai guru, kepala keluarga, ketua RT, suami
dari Nyonya B dan status-status lainnya.
D. DIFERENSIASI
MULTIKULTURAL
SOASIAL
DALAM
MASYARAKAT
yang mengikat
masyarakat.
Kelompok-kelompok
sosial
dalam
masyarakat
multikultural di Indonesia antara lain berdasarkan etnis, agama, maupun stratifikasi sosial.
Kelompok Etnis
Kelompok etnis merupakan bentuk kelompok yang menampilkan persamaan bahasa,
adat kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap dan sistem politik, serta telah mengembangkan
subkulturnya sendiri. Kelompok etnis tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara.
Secara garis besar, kelompok etnis (suku bangsa) yang ada di Indonesia adalah
sebagai berikut.
1)
Pulau Sumatera antara lain didiami oleh beberapa suku bangsa seperti Suku Aceh,
Pulau Kalimantan antara lain didiami oleh Suku Dayak, Banjar, Melayu, dan
sebagainya.
3)
Pulau Jawa antara lain didiami oleh Suku Jawa, Sunda, Badui, Tengger, Samin, dan
Betawi.
4)
Pulau Sulawesi antara lain didiami oleh Suku Minahasa, Sangir, Bolang Mangondo,
Pulau Bali antara lain didiami oleh Suku Bali Aga (Bali Asli) dan orang Bali
pendatang.
6)
Wilayah Maluku antara lain didiami oleh Suku Ambon, Kei, Tual, Dobo, Morotai, dan
sebagainya.
7)
Pulau Papua antara lain didiami oleh Suku Sasak, Dompu, Alor, dan sebagainya.
E. KONFLIK SOSIAL
1. Definisi Konflik Sosial
Istilah konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
percekcokan, perselisihan, pertentangan. Menurut asal katanya, istilah
konflik berasal dari bahasa Latin confligo, yang berarti bertabrakan,
bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang, berselisih, atau
berperang.
Dalam pustaka Sosiologi, ada banyak definisi mengenai konflik sosial. Berikut
adalah beberapa di antaranya:
a. Konflik sosial adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutantuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang
persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya
bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga
memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka. (Lewis A.
Coser)
b. Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau
kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan/atau
kekerasan. (Leopold von Wiese)
c. Konflik sosial adalah konfrontasi kekuasaan/kekuatan sosial. (R.J. Rummel)
d. Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih
menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber,
dan/atau tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri atau dalam
beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. (Duane RuthHeffelbower)
2. Pemahaman Teoretik Mengenai Konflik Sosial
Ada dua sudut pandang yang umumnya digunakan untuk memahami
kenyataan konflik dalam masyarakat, yaitu pendekatan konsensus (teori
fungsional-struktural) dan pendekatan konflik (teori konflik).
Secara ringkas, perbandingan antara pendekatan konsensus dan pendekatan
konflik dapat dirangkum seperti yang tampak dalam tabel berikut.
Tabel Perbandingan Teori Fungsional-Struktural dan Teori KonflikDimensi Teori
Fungsional-struktural Teori Konflik
Pandangan mengenai masyarakat Stabil, terintegrasi secara baik Ditandai oleh adanya
ketegangan dan konflik antarkelompok
Tingkat analisis yang ditekankan Makrososial, analisis pada skala besar Makrososial,
analisis pada skala besar
Pandangan mengenai individu Individu anggota masyarakat disosialisasi untuk
menunjukkan fungsi sosialnya Individu anggota masyarakat diatur melalui kekuasaan,
paksaan, dan kewenangan
Pandangan mengenai tata sosial Tertib sosial terpelihara melalui kerjasama dan
konsensus Tertib sosial terpelihara melalui kekuasaan/kekuatan dan paksaan
Pandangan mengenai perubahan sosial Dapat diperkirakan Perubahan dapat terjadi di
setiap waktu dan mungkin memiliki dampak positif
Konsep-konsep kunci Sistem, keseimbangan, stabilitas, pembagian kerja, fungsi
manifes, fungsi laten, disfungsi sosial Kekuasaan, eksploitasi, persaingan
kepentingan, ketidaksamaan sosial, penaklukan kelompok, alienasi
Tokoh perintis Auguste Comte, Emile Durkheim, Herbert Spencer Karl Marx, Max
Weber, George Simmel
Tokoh penerus Talcott Parsons, Robert K. Merton, Jeffrey C. Alexander, Niklas
Luhmann Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, Joseph Hims, Jonathan Turner, Barrington
Moore, Jeffrey Paige, Theda Sockpol
3. Konflik dan Kekerasan
1. Kekerasan
Istilah kekerasan (violence) berasal dari bahasa Latin vis (kekuatan, kehebatan,
kedahsyatan, kekerasan) dan latus (membawa). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, istilah kekerasan diartikan sebagai perbuatan orang atau sekelompok
orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang.
Ada dua macam pengertian mengenai kekerasan, yaitu:
a. Pengertian sempit, kekerasan menunjuk pada tindakan berupa serangan, perusakan,
penghancuran terhadap diri (fisik) seseorang maupun milik atau sesuatu yang secara
potensial menjadi milik seseorang. Dengan demikian menunjuk pada kekerasan fisik
yang sifatnya personal (mengarah pada orang atau kelompok tertentu) yang dilakukan
secara sengaja, langsung, dan aktual.
b. Pengertian luas, kekerasan menunjuk pada kekerasan fisik maupun kekerasan
psikologis, baik dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak
langsung, personal atau struktural. Yang dimaksud kekerasan struktural adalah
kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil.
Jadi, konflik sosial bernuansa kekerasan adalah konflik sosial yang di dalamnya
terdapat serangan, perusakan, penghancuran terhadap diri (fisik dan psikis) seseorang
maupun sesuatu yang secara potensial menjadi milik seseorang, yang dilakukan
sengaja, langsung, dan aktual.
2. Konflik bernuansa kekerasan
Dalam hal ini, Coser membedakan konflik dalam dua kategori sebagai berikut.
a. Konflik realistik, yaitu pertentangan yang bersumber pada rasa frustasi mengenai
hal-hal yang spesifik dalam sebuah hubungan, juga dari dugaan mengenai keuntungan
yang diperoleh pihak lain. Contoh, konflik antarkelompok pendukung dan penentang
kenaikan BBM. Bagi para penentang kenaikan BBM, konflik tersebut merupakan alat
untuk membuat agar kebijakan kenaikan BBM dibatalkan.
b. Konflik nonrealistik, yaitu pertentangan yang timbul bukan karena adanya
persaingan untuk mencapai tujuan spesifik tertentu, melainkan lebih disebabkan oleh
keinginan untuk melepaskan ketegangan terhadap kelompok lain dalam masyarakat.
B. FAKTOR PENYEBAB, FUNGSI, AKIBAT, DAN CARA MENGATASI
KONFLIK
1. Faktor Penyebab
Menurut Loepold von Wiese dan Howard Becker, secara umum ada empat faktor
utama yang menjadi penyebab terjadinya konflik, yaitu:
a. Perbedaan individual
b. Perbedaan kebudayaan
c. Perbedaan kepentingan
d. Perubahan sosial
Sementara itu, menurut teori konflik, penyebab utama terjadinya konflik sosial adalah
adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan-hubungan kekuasaan dalam
masyarakat yang memunculkan diferensiasi kepentingan. Secara lebih rinci, faktorfaktor penyebab konflik menurut teori ini adalah sebagai berikut:
Ketidakmerataan distribusi sumber-sumber daya yang terbatas dalam masyarakat.
Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah.
Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan kepentingan.
Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah
konflik. Lebih buruk lagi, konflik yang disertai dengan kekerasan sering kali
mengakibatkan hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ada dua macam konflik,
yaitu konflik fungsional dan konflik destruktif. Konflik fungsional adalah konflik
yang berdampak positif bagi perkembangan masyarakat. Konflik ini biasanya terjadi
tanpa diwarnai kekerasan. Sedangkan konflik destruktif adalah konflik yang merusak
kehidupan sosial. Konflik ini umumnya disertai dengan kekerasan sehingga sering
disebut sebagai kekerasan sosial.
3. Cara Mengatasi Konflik
Mengikuti alur pemikiran pendekatan konsensus maupun pendekatan konflik, ada
empat cara pokok yang umumnya dipakai untuk mengelola/mengatasi konflik, yaitu:
a. Paksaan/Koersi
Cara ini dilakukan dengan memaksa para pihak yang bersengketa untuk mengadakan
perdamaian. Paksaan dilakukan secara psikologis maupun fisik. Cara paksaan ini
dilakukan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Pihak yang kuat biasanya
mengajukan syarat-syarat untuk mengakhiri konflik atau syarat-syarat perdamaian
yang harus diterima oleh pihak yang lemah.
b. Arbitrasi
Kata arbitrasi berasal dari bahasa Latin arbitrium, yang berarti keputusan wasit (K.
Prent, 1969: 61). Arbitrasi merupakan proses untuk mengatasi konflik dengan melalui
pihak tertentu yaitu arbitrator. Pihak ini dipilih secara bebas oleh pihak yang
bersengketa. Arbitrator itulah yang memutuskan penyelesaian konflik tanpa terlalu
terikat pada hukum-hukum.
c. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian konflik dengan menggunakan pihak ketiga yang
memilki hubungan baik dengan para pihak yang berkonflik. Pihak ketiga ini secara
aktif terlibat dalam negosiasi dengan para pihak yang berkonflik, serta mengarahkan
para pihak yang berkonflik sedemikian rupa sehingga penyelesaian dapat tercapai,
meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak terlalu mengikat terhadap para pihak
yang berkonflik. Jadi pihak ketiga tersebut melakukan fungsi-fungsi konsultatif secara
aktif. Selanjutnya, pihak-pihak yang berkonflik itu sendiri yang mengambil keputusan
untuk menghentikan konflik.
d. Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian konflik atas inisiatif pihak-pihak yang
berkonflik. Dalam proses ini, kedua pihak yang berkonflik melakukan pembicaraan
dalam bentuk tawar-menawar mengenai syarat-syarat mengakhiri konflik.
C. MENCEGAH KONFLIK DENGAN MEMPERKUAT INTEGRASI SOSIAL
1. Pengertian dan Bentuk-bentuk Integrasi Sosial
1.1 Pengertian
Secara etimologi, istilah integrasi berasal dari bahasa Latin integer, integra, integrum
yang berarti utuh, seluruhnya, lengkap, genap, komplit, bulat, tidak kena luka, tidak
dirusakkan (K. Prent, 1969: 450). Integrasi sosial berarti kondisi kemasyarakatan
yang ditandai oleh adanya keutuhan antaranggota masyarakat. Istilah lain yang sering
digunakan untuk menunjuk pada kondisi semacam itu adalah kohesi sosial,
keseimbangan sosial, atau harmoni sosial.
Ada banyak definisi mengenai integrasi sosial pada tingkat masyarakat makro.
Beberapa dari antara definisi tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Penyatuan bagian yang berbeda-beda dari suatu masyarakat menjadi suatu
keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang
banyak jumlahnya menjadi satu bangsa (Howard Wrigins).
b. Proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan kelompok sosial ke dalam satu
kesatuan wilayah dan dalam pembentukan suatu identitas nasional. Jadi integrasi
bangsa khususnya menunjuk pada masalah membangun rasa kebangsaan dalam suatu
wilayah dengan menghapuskan kesetiaan-kesetiaan picik pada ikatan-ikatan yang
lebih sempit (Myron Weyner).
c. Suatu kondisi kesatuan hidup bersama dari aneka satuan sistem sosial budaya,
kelompok-kelompok etnis dan kemasyarakatan, untuk berinteraksi dan bekerja sama,
berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma dasar bersama guna mewujudkan fungsi
sosial-budaya yang lebih maju, tanpa mengorbankan ciri-ciri kebhinekaan yang ada
(Hendro Puspito).
Bentuk-bentuk Integrasi Sosial
Masalah integrasi sosial muncul berkenaan dengan adanya kenyataan kemajemukan
masyarakat. Menurut Piere L. Van den Berghe (Ritzer, 1992; Nasikun, 1992),
masyarakat majemuk senantiasa memiliki ciri-ciri berikut:
Adanya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok kebudayaan yang berbeda-beda.
Memilki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer.
Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai