Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Hipertensi
Hipertensi dapat ditetapkan sebagai tingginya tekanan darah secara menetap dimana
tekanan sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi
lansia, hipertensi ditetapkan sebagai tekanan sistolik di atas 160 mmHg dan tekanan diastolik
di atas 90 mmHg. Hipertensi merupakan penyebab risiko morbiditas dan mortalitas
prematur, yang meningkat sejalan dengan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik.
(Baughman dan Hackley, 2002)
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi
perifer. Curah jantung adalah hasil kali denyut jantung isi secukupnya. Besar isi secukupnya
ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan alir balik vena. Resistensi perifer
merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah (arteri dan arterior) dan viskositas
darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan
elastisitas dinding pembuluh darah. (Setiawati dan Bustami, 1995)
Berdasarkan tinjauan klinis dan patogenetik organ, hipertensi dibedakan menjadi dua:
1. Hipertensi Primer
(Sinonim: hipertensi esensial, genuine, idiopatik) dengan penyebab yang masih belum
diketahui. Sejumlah faktor yang memungkinkan menyebabkan terjadinya hipertensi ini
diduga misalnya beban keluarga, kurangnya gerakan tubuh, seringnya timbul situasi
stress, makan yang berlebihan.
2. Hipertensi Sekunder
Yang terjadi akibat perubahan organ secara patologik.
Pembagian hipertensi menurut keparahan penyakit belum ada yang disetujui secara
umum. Sebagian panduan, dapat digunakan pembagian menurut WHO yang membagi
hipertensi menjadi 3 stadium :
a. Pada stadium I, hipertensi terjadi tanpa adanya perubahan organik dalam sistem
kardiovaskuler (biasanya hipertensi ini diketahui secara kebetulan pada saat
pemeriksaan dokter akibat adanya keluhan lain).

b. Pada stadium II, disamping hipertensi ditemukan tanda lain yaitu hipertrofi jantung
kiri, serta perubahan pembuluh mata.
c. Pada stadium III, disamping gejala di atas, terjadi juga insufisiensi jantung, gangguan
pasokan darah serebral, kerusakan ginjal dan makin parahnya perubahan pada mata
(perdarahan retina, kadang-kadang udem papilla). (Mutschler, 1991)

Kategori hipertensi menurut Departemen Kesehatan R.I ialah seperti tercantum


pada tabel 1

Tabel 1. Stadium Hipertensi

Stadium 1
(Hipertensi ringan)
Stadium 2
(Hipertensi sedang)
Stadium 3
(Hipertensi berat)

Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
140-159

Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
90-99

160-179

100-109

>180

>110

(Depkes R.I, 2007)


Hipertensi akan menimbulkan komplikasi atau kerusakan pada berbagai organ
sasaran, yakni jantung, pembuluh darah otak, pembuluh darah perifer, ginjal dan retina.
Ada 2 jenis komplikasi hipertensi, yaitu :
a. Komplikasi hipertensif, yakni komplikasi yang langsung disebabkan oleh hipertensi
itu sendiri, misalnya perdarahan otak, ensefalopati hipertensif, hipertrofi ventrikel
kiri, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, aneurisma aorta, dan hipertensi akselerasi
atau maligna (pendarahan retina dengan atau tanpa udem pup).
b. Komplikasi aterosklerotik, yakni komplikasi akibat proses aterosklerosis, yang
disebabkan tidak hanya oleh hipertensi itu sendiri, tetapi juga oleh banyak faktor
lain, misalnya peningkatan kolesterol serum, merokok, diabetes mellitus dan lainlain. Komplikasi aterosklerotik ini berupa penyakit jantung koroner (PJK), infark
miokard, trombosis serebral, dan klaudikasio. (Setiawati dan Bustami, 1995)

B. Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan terhadap penderita hipertensi bukan hanya persoalan pemberian
resep saja pada penderita, akan tetapi memilih obat yang tepat dengan memikirkan efek
samping, komplikasi yang telah terjadi dan menyingkirkan kontra indikasi memerlukan
strategi pengobatan yang teliti. Respon penderita terhadap obat-obatan antihipertensi
bersifat individual. (Mansjoer et al, 1982)
Penatalaksaan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar dimulai dengan dosis
rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia.
Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam,

dan lebih disukai dalam dosis

tunggal karena kepatuhan lebih baik, lebih murah, dapat mengontrol hipertensi terus
menerus dan lancar, dan melindungi pasien terhadap berbagai resiko dari kematian
mendadak, serangan jantung, atau strok akibat peningkatan tekanan darah mendadak saat
bangun tidur. Sekarang terdapat pula obat yang berisi kombinasi dosis rendah dua obat dari
golongan yang berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektifitas tambahan dan
mengurangi efek samping. (Mansjoer et al, 2001)
Penatalaksanaan secara farmakologis pada hipertensi ringan, tekanan darah dapat
dinormalkan pada sebagian besar pasien dengan obat tunggal. Monoterapi tersebut juga
memadai untuk beberapa pasien dengan hipertensi sedang. Diuretik thiazide dan penyekat-,
adalah satu-satunya obat yang telah terbukti mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas
dan dianjurkan sebagai pengobatan awal pada pasien hipertensi sedang. Telah dikemukakan
bahwa diuretik dan penyekat- dapat menambah resiko penyakit koroner dengan
memberikan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap profil lemak serum atau menurunkan
toleransi glukosa, yang kemudian mengurangi keuntungan dari efek penurunan tekanan
darah. (Katzung, 2001)
Modifikasi gaya hidup cukup efektif, dapat menurunkan resiko kardiovaskuler
dengan biaya sedikit, dan resiko minimal. Tatalaksana ini tetap dianjurkan meski harus
disertai obat antihipertensi karena dapat menurunkan jumlah dan dosis obat. Langkahlangkah yang dianjurkan antara lain :
1. Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indeks massa tubuh > 27)
2. Membatasi alkohol
3. Meningkatkan aktifitas fisik aerobik (30-45 menit/hari)

4. Mengurangi asupan natrium (< 100 mmol Na/2,4 gr NaCl/hari)


5. Mempertahankan asupan kalium yang adekuat (90 mmol/hari)
6. Mempertahankan asupan kalium dan magnesium yang adekuat
7. Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.
(Mansjoer et al, 2001)

C. Obat-obat Antihipertensi
Telah disepakati bahwa hipertensi perlu mendapat pengobatan yang serius. Apalagi
jika penderita hipertensi juga mengalami komplikasi dengan diabetes, payah jantung, atau
penyakit ginjal. Sekarang telah tersedia berbagai obat antihipertensi yang dipercaya dapat
menurunkan tekanan darah. Setiap jenis obat antihipertensi mempunyai cara kerja yang
berbeda.

1. Golongan Diuretik
Obat antihipertensi golongan diuretik bekerja dengan cara membuang kelebihan air dan
natrium melalui pengeluaran urine. Berkurangnya air dalam darah mengakibatkan
volume darah menurun sehingga pekerjaan jantung menjadi ringan. Pemakai obat jenis
ini mengalami banyak buang air (kencing). Golongan obat ini merupakan pilihan
pertama untuk pengobatan hipertensi.
Ada tiga jenis diuretik, yaitu thiazide diuretik, loop diuretik, dan potassium-sparing
diuretik.
a. Thiazide diuretik: Chlorotiazide (Diazil), Chlorothalidone, Hydrachlorotiazide,
Polythiazide (Reneze), Indapamide (Lozol), Metolazone (Mykrox).
b. Loop diuretik: Bumetanide (Bumex), Furosemide (Lasix), dan Torsemide
(Demadex).
c. Potassium-sparing diuretik: Amiloride (Midamor) dan Triamterene (Dyrenium).
Golongan diuretik mulai diperkenalkan pada tahun 1950-an. Obat ini masih digunakan
untuk pengobatan hipertensi, khususnya bagi penderita lanjut usia. Selain terbukti dapat
menurunkan tekanan darah, obat antihipertensi golongan diuretik juga mempunyai
beberapa efek samping. Pada awalnya para dokter memberi dosis tinggi kepada
penderita hipertensi, tetapi mengingat efek sampingnya yang cukup besar, sekarang

diresepkan dengan dosis rendah. Pengobatan hipertensi dengan diuretik dengan dosis
rendah memberi hasil yang cukup memuaskan.
Penggunaan diuretik dalam dosis tinggi tidak menunjukkan hasil yang signifikan, tetapi
justru memicu encok dan diabetes. Selain itu, dapat menurunkan kadar potassium dalam
darah dan meningkatkan kadar kolesterol atau lemak. Efek samping yang lain dari
penggunaan diuretik yaitu berupa disfungsi (gangguan fungsi) seksual pria dan payah
jantung. (Widharto, 2007)
2. Golongan Beta-Blocker
Golongan Beta-blocker bekerja dengan cara memperlambat kerja jantung melalui
pengurangan kontraksi otot-otot jantung dan menurunkan tekanan darah. Secara kimiawi
komponen obat golongan Beta-blocker menghambat kerja noradrenalin dan adrenalin.
Kerjasama kedua senyawa kimia ini berguna mempersiapkan tubuh saat menghadapi
bahaya sehingga tubuh siap lari atau lawan. Penghambatan terhadap kerja noradrenalin
dan adrenalin mengakibatkan menurunnya kontraksi otot, memperlambat kerja jantung,
dan menurunkan tekanan darah.
Beberapa contoh obat antihipertensi golongan Beta-blocker sebagai berikut.
a. Atenolol (Tenormin)
b. Betazolol (Kerlone)
c. Bisoprorol
d. Acebutolol
e. Pindolol
f. Propanolol.
Beta-blocker mulai diperkenalkan sejak tahun 1960-an. Pada dasarnya obat ini sangat
disukai untuk pengobatan hipertensi karena hampir tidak menimbulkan efek samping
(dalam jangka pendek). Akan tetapi, penggunaan dalam jangka panjang mengakibatkan
menurunkan

kemampuan

berolahraga.

Menurunnya

kemampuan

ini

berkaitan

melemahnya kerja jantung sehingga jantung menjadi lamban. Akibatnya tubuh tidak
mampu menyediakan energi dengan segera pada saat berolahraga. Ingat, suplai energi
berkaitan dengan suplai oksigen dan darah dalam sel-sel tubuh. Selain itu, obat ini juga

dapat mengakibatkan tangan dan kaki dingin karena kurangnya aliran darah ke daerah
tersebut dan menyebabkan gangguan tidur (insomnia). (Widharto, 2007)
Telah dijelaskan di depan bahwa senyawa dalam obat ini mampu menghambat
kerja noradrenalin dan adrenalin. Namun demikian ternyata obat ini dapat mempersempit
saluran udara dalam paru-paru. Oleh karena itu, obat ini tidak dianjurkan untuk penderita
asma karena dapat memperparah penyakitnya. Obat itu juga tidak boleh diberikan pada
penderita payah jantung karena bersifat mengurangi kontraksi jantung. Seperti diketahui
bahwa pada penderita payah jantung, jantungnya tidak mampu memompa darah ke
seluruh tubuh. Dengan berkurangnya kontraksi jantung akibat penggunaan obat Betablocker, justru memperparah kondisi penderita. (Widharto, 2007)

3. Penghambat Saluran Kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB)


Penghambat saluran kalsium bekerja dengan menghambat kerja kalsium dalam
otot halus pada dinding arteriol. Kalsium dapat menyebabkan penyempitan otot halus
arteriol sehingga tekanan darah meningkat (terjadi hipertensi). Dengan terhambatnya
kalsium mengakibatkan membukanya pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah.
Ada dua jenis penghambat saluran kalsium, yaitu penghambat saluran kalsium tanpa
dihidropiridin dan dengan dihidropiridin.
a. Penghambat saluran kalsium tanpa dihidropiridin antara lain: Diatizem dan
Verapamil.
b. Penghambat saluran kalsium dengan dihidropiridin antara lain: Amlodipine,
Felodipine, Isradipine, Nicardipine, Nifedipine, dan Nisoldipine.
Penggunaan obat ini berakibat melebarnya (membukanya) semua pembuluh arteriol,
termasuk arteriol di otak. Pelebaran arteriol mengakibatkan sakit kepala, kulit wajah
memerah, dan pergelangan kaki membesar. Namun, saat ini efek samping itu dapat
dikurangi. Efek lain penggunaan obat golongan penghambat saluran kalsium yaitu dapat
mencegah serangan jantung dan stroke. (Widharto, 2007)
4. Penghambat ACE
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim angiotensin II
(Angiotensin-converting system = ACE). Angiotensi merupakan suatu hormone yang
berperan dalam menyempitkan pembuluh darah. Dengan memberian obat ini, angiotensi
II tidak bekerja secara aktif sehingga pembuluh darah dapat melebar dan menurunkan

tekanan darah.
Beberapa obat antihipertensi golongan penghambat ACE sebagai berikut
a. Benazepril

f. Meoxipril

b. Captopril

g. Perindopril

c. Enalapril

h. Quinapril

d. Fasinopril

i. Ramipril

e. Lisinopril

j. Trandolapril

Penghambat ACE ternyata sangat disukai karena efektif menurunkan hipertensi, tetapi
juga melindungi kerusakan ginjal bagi penderita hipertensi dan diabetes. Obat ini juga
dapat memperlambat terjadinya kerusakan retina yang dapat mengakibatkan kebutaan
pada penderita diabetes.
Sebenarnya penghambat ACE mempunyai angka keamanan cukup tinggi, asal
pemakaiannya diawasi. Pemakaian penghambat ACE dalam dosis tinggi dapat
mengakibatkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba yang justru dapat
mengakibatkan kematian, terutama pada penderita yang telah menggunakan obat
golongan diuretik.
Keunggulan lain dari penghambat ACE yaitu tidak menyebabkan penurunan mental.
Mengingat obat ini tidak sampai masuk ke otak, berbeda dengan Beta-blocker.
(Widharto, 2007)

5. Alpha-Blocker
Golongan Alpha-blocker bekerja dengan cara menghambat kerja adrenalin pada
otot-otot dinding pembuluh darah. Adrenalin menyebabkan pembuluh darah menyempit
sehingga tekanan darah meningkat. Dengan penghambatan adrenalin menyebabkan
pembuluh darah melebar sehingga tekanan darah menurun. Biasanya pemberian Alphablocker menimbulkan mulut kering dan rasa pusing. Obat golongan ini antara lain:
Dexazosin, Prazosin, dan Terazosin. (Widharto, 2007)

6. Obat yang Bekerja Terpusat


Jenis obat ini bekerja dengan mempengaruhi pusat saraf di otak yang
mengendalikan tekanan darah. Obat jenis ini cenderung menimbulkan efek kelelahan,
kelesuan, dan depresi jika dipakai dalam dosis tinggi. Oleh karena itu, obat jenis ini

jarang diresepkan kepada pasien. Obat ini baru diresepkan jika obat antihipertensi
lainnya tidak efektif. Beberapa obat antihipertensi yang bekerja terpusat antara lain :
Clonidine, Reserpine, Methyldopa, dan Guanfacine. (Widharto, 2007)

7. Antagonis Reseptor Angiotensin


Cara kerja obat ini mirip dengan ACE-inhibitor. Jika ACE-inhibitor menghambat
aktivitas angiotensi II, tetapi obat jenis ini bekerja dengan cara menghambat reseptor
angiotensin II. Itulah sebabnya obat ini lebih memberikan efek yang lebih efektif dalam
penurunan tekanan darah. Jika ACE inhibitor menimbulkan efek samping berupa batuk
yang sangat mengganggu, pemberian obat jenis ini tidak menimbulkan batuk.
Golongan Antagonis reseptor angiotensin meliputi beberapa jenis obat berikut.
a. Candersatan

e. Losartan

b. Eprosartan

f. Olmesartan

c. Irbesartan

g. Telmisartan

d. Valsartan
Golongan obat ini baru diperkenalkan pada tahun 1995, tetapi segera menjadi populer
karena tidak menimbulkan efek samping yang berarti. Di antara obat golongan
antagonis reseptor angiotensin, Candersatan paling banyak digunakan untuk
pengobatan

hipertensi.

Berdasarkan

penelitian

Candersatan

merupakan

obat

antihipertensi masa kini yang paling efektif dan aman dalam mengobati hipertensi.
Menurut Prof. Dr. dr. Endang Susalit, Candersatan memiliki beberapa keunggulan
berikut.
a. Dapat menurunkan tekanan darah (sistolik dan diastolic) dengan lebih stabil.
b. Mempunyai kardioprotektif (perlindungan terhadap jantung) yang lebih baik.
c. Dapat menghambat glomerulosklerosis, ekskresi albumin, dan stroke.
(Widharto, 2007)

Tabel 2. Skema Pemberian Obat (Alternatif Pertama)

Derajat Hipertensi

Pengobatan Pertama

Ringan

Diuretik

Tambahan

Lain-lain

Penghambat reseptor beta,

(Diastol kurang dari

penghambat reseptor alfa,

110 mmHg)

vasodilator.

Sedang

Diuretik+Penghambat

Penghambat reseptor alfa,

Alfa metildopa,

(Diastol sampai

reseptor beta

vasodilator.

Clonidine.

Diuretik+Clonidine

Penghambat reseptor beta,

Guanitidin diet rendah

(Diastol di atas

penghambat reseptor alfa,

garam.

130 mmHg)

vasodilator.

130 mmHg)
Berat

Tabel 3. Skema Pemberian Obat (Alternatif Kedua)

Derajat Hipertensi

Pengobatan Pertama

Tambahan

Lain-lain

Ringan

Penghambat reseptor

Diuretik, penghambat

(Diastol kurang dari

beta

reseptor alfa, vasodilator.

Sedang

Penghambat reseptor

Penghambat reseptor alfa,

Penghambat reseptor

(Diastol sampai

beta, diuretik

vasodilator.

beta dosis tinggi alfa

110 mmHg)

130 mmHg)

Berat

metildopa, clonidine.

Cloridine + Diuretik

Penghambat reseptor beta,

Penghambat reseptor

(Diastol di atas

penghambat reseptor alfa,

beta dosis tinggi,

130 mmHg)

vasodilator.

guanitidin, diet rendah


garam.

(Mansjoer et al, 1977)

D.

Puskesmas
Pengertian Puskesmas yang akan diketengahkan di sini menunjukkan adanya perubahan
yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan pelayanan kesehatan dewasa
ini,diantaranya adalah :
dr. Azrul Azwar, MPH (1980)
Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang
langsung memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat dalam suatu
wilayah kerja tertentu dalam bentuk usaha-usaha kesehatan pokok.
Departemen Kesehatan RI (1981)
Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan yang
langsung memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terintegrasi kepada
masyarakat di wilayah kerja tertentu dalam usaha-usaha kesehatan pokok.
Departemen Kesehatan RI (1987)
1.

Puskesmas adalah sebagai pusat pembangunan kesehatan yang berfungsi


mengembangkan dan membina kesehatan masyarakat serta menyelenggarakan
pelayanan kesehatan terdepan dan terdekat dalam masyarakat dalam bentuk kegiatan
pokok yang menyeluruh dan terpadu di wilayah kerjanya.

2. Puskesmas adalah suatu unit organisasi fungsional yang secara

profesional

melakukan upaya pelayanan kesehatan pokok yang yang menggunakan peran serta
masyarakat secara aktif untuk dapat memberikan pelayanan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya.
Departemen Kesehatan RI (1991)
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat
disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di
wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Dari keempat definisi yang diketengahkan di atas maka dapat digali makna,yang
menunjukkan bahwa puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang sangat
besar dalam memelihara kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
peningkatan status kesehatan masyarakat seoptimal mungkin.
(Effendy, 1998)

Anda mungkin juga menyukai