Anda di halaman 1dari 11

Pengantar Umum Metode Penelitian dalam Akuntansi1

Oleh:
Dr. Aji Dedi Mulawarman

1. PENDAHULUAN
Manusia hampir setiap hari bertanya tentang segala sesuatu, baik itu yang
dilihatnya, dibacanya, dirasakannya, dikerjakannya, dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Manusia bertanya karena manusia berpikir (thinking). Pentingnya proses berpikir
tersebut sampai kemudian manusia menjuluki dirinya sendiri sebagai Homo Sapiens
(Makhluk yang Berpikir)2. Bahkan dalam Islam, tradisi manusia yang berpikir sebelum istilah Homo Sapiens muncul - telah dikemukakan Al-Quran dengan istilah
Ulil Albab (Manusia yang Berpikir)3. Hasil dari pertanyaan (question) sebenarnya
dapat disebut dengan jawaban (answer) atau dapat pula disebut dengan pengetahuan
(knowledge). Manusia bertanya untuk mendapatkan jawaban atau pengetahuan
disamping memang naluri dan sifat dasar kemanusiaannya, juga didasarkan pada
kebutuhan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Pertanyaan muncul dari hal-hal sepele yang tidak perlu pemecahan masalah
sampai dengan masalah krusial dan rumit yang membutuhkan pemecahan masalah
(problem solving). Pertanyaan paling mudah ketika kita bangun tidur, misalnya: Jam
berapa ini?; Sudah pagi atau masih malam ya?; Lo kok sudah jam segini, tementemen kos kok pada diem ya, apa aku yang gak denger atau mereka pada belum
bangun?; Waduh, kesiangan aku, bisa gak aku menyelesaikan tugas yang semalam
belum aku selesaikan?; dan lainnya. Atau pertanyaan seputar mahasiswa ketika
pertama kali masuk kelas Metodologi Penelitian: Dosennya serem gak ya?; Enak
gak dosen ini ngasih kuliah?; Mbulet and ruwet gak ya mata kuliah ini? dan lainlain. Pertanyaan yang lebih kritis, misalnya, ketika kita baru saja membaca koran
pagi atau menonton berita televisi (apalagi sambil ditemani teh atau kopi, pasti enak
:p): Mengapa pemerintah kok seperti lemah ketika kita diobok-obok Malaysia ya?
Apa pemimpin kita tidak bisa mencontoh Bung Karno dengan teriakannya - Ganyang
Malaysia - ya?, Apakah tidak ada cara untuk menghentikan kerusuhan-kerusuhan
yang tiap hari disiarkan di tv ya?; Bagaimana cara meredam korupsi di kalangan
elit-elit negeri kita ya?, dan lain sebagainya. Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul
di benak kita.
2. APA ITU PENELITIAN, PENGETAHUAN DAN ILMU?
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah beda antara pertanyaan biasa dengan
pertanyaan penelitian atau riset (research) yang memiliki substansi keilmuan? Apa
1

Materi Minggu Pertama Mata Kuliah Metodologi Penelitian - Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya, 12 September 2011.
2
Auguste Rodin (1840-1917) seorang seniman pemahat bahkan membuat sebuah patung termasyhur,
Homo Sapiens, Manusia yang Berpikir sebagai monumen pentingnya tradisi berpikir atau bertanya dari
manusia. Dengan berpikir itu pula ciri kemanusiaan itu hadir. Hakikat kemanusiaan paling substansial bagi
masyarakat Barat adalah ketika manusia berpikir (lihat Suriasumantri 1985, hal 1)
3
Lihat misalnya QS Ali Imron 190:191. Dalam konteks Quran, hakikat Manusia sebagai Ulil Albab adalah
manusia yang memiliki keseimbangan diri sebagai manusia yang selalu berpikir sekaligus berzikir kepada
Allah.
1

yang dicontohkan di atas adalah contoh dari pertanyaan-pertanyaan biasa dan sudah
menjadi sifat dasar manusia. Sebenarnya pula yang disebut dengan pertanyaan
ilmiah merupakan bentuk lanjut dari pertanyaan-pertanyaan biasa di sekitar
kehidupan kita. Dengan semakin bertumpuknya pertanyaan-pertanyaan manusia,
makin banyak pula jawaban yang muncul. Dari banyaknya jawaban-jawaban yang
muncul kemudian menjadi pola atau kebiasaan. Hanya saja pola atau kebiasaan hasil
dari pertanyaan dan jawaban tersebut belum membentuk ilmu, tetapi baru masuk
pada tataran yang disebut dengan tradisi. Tradisi muncul dari jawaban atas
pertanyaan yang terselesaikan tanpa harus dipertanyakan lebih mendalam dan di uji
pola serta pemodelan maupun kemungkinan perekayasaan yang kemudian
membentuk teori (theory).
Pengetahuan dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu, pertama, pengetahuan yang
berasal dari manusia sendiri. Kedua, pengetahuan dari luar manusia yang terjangkau
indera dan akal manusia, yaitu alam semesta. Ketiga, pengetahuan dari luar manusia
yang tidak terjangkau indera dan akal manusia, yaitu Tuhan. Pengetahuan diri dan
alam semesta biasa disebut dengan pengetahuan empiris yang didapatkan melalui
panca indera, akal dan batin. Sedangkan pengetahuan di luar itu biasanya disebut
dengan agama dan didapatkan melalui wahyu dengan pendekatan intuisi dan
spiritual. Meskipun saat ini banyak manusia dan hasil pengetahuan berupa ilmu
yang tidak mempercayai bahwa pengetahuan mengenai Tuhan itu ada. Aliran seperti
ini biasanya disebut dengan Materialisme. Materialisme percaya bahwa segala
sesuatu hanya dapat disebut pengetahuan dan dengan demikian dapat menjadi ilmu
apabila pengetahuan tersebut didapatkan bila terbukti secara material melalui panca
indera dengan mengunggulkan akal sebagai sumber pencarian. Materialisme tidak
mengakui adanya pengetahuan adanya Tuhan.
Berdasarkan pembagian pengetahuan tersebut, maka pengetahuan dapat
dibagi menjadi beberapa kategori. Pengetahuan pertama yaitu pengetahuan biasa
yang didapatkan melalui pengalaman panca indera. Pengetahuan kedua, yaitu
tradisi, pengetahuan yang didapatkan dari kebiasaan dan pola yang teratur tetapi
tidak terstruktur. Pengetahuan ketiga, yaitu ilmu, hasil dari pengalaman panca
indera dan tradisi yang kemudian dilalukan secara sistematis, terorganisir serta
radikal (sampai ke akar-akarnya) berdasarkan riset dan atau eksperimen yang sesuai
tahapan/metode keilmuan. Pengetahuan keempat, yaitu filsafat, hasil dari pemikiran
menemukan kebenaran yang sistematis, radikal dan universal. Filsafat sendiri
menurut Gazalba (1990, 24) sebenarnya lebih menekankan pada sistem kebenaran
tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil berpikir secara radikla,
sistematis dan universal.
Pertanyaan dan jawaban menjadi sebuah penelitian atau memiliki substansi
keilmuan bahkan membentuk teori, ketika subyek atau obyek yang dipertanyakan
tersebut diamati dan diteliti secara mendalam, diidentifikasi secara sistematis,
melalui kerangka berfikir yang terorganisir. Teori sendiri seperti dijelaskan oleh
Indriantoro dan Supomo (1999, 7) bila dilihat dari definisinya merupakan penjelasan
atau keterangan mengenai fenomena alam. Sedangkan penelitian menurut
Indriantoro dan Supomo (1999, 4-5) merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengembangkan pengetahuan. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang
memiliki kriteria tertentu. Penelitian dengan demikian mempunyai hubungan yang
erat dengan ilmu.
Tujuan penelitian sebenarnya adalah untuk memperoleh pengetahuan yang
dapat menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah serta bila memungkinkan
2

membentuk teori dan berakhir pada ilmu (science)4. Ilmu atau science dengan
demikian secara literer dapat didefinisikan secara mudah sebagai akumulasi dari
pengetahuan yang sistematik (Goode dan Hatt 1952, 7).
Akuntansi sebagai salah satu cabang dari ilmu pengetahuan (accounting as a
part of science) tidak pernah lepas dari pertanyaan-pertanyaan. Baik
mempertanyakan dirinya sendiri, seperti banyak dipertanyakan oleh kalangan
akuntan maupun di luar akuntan. Seperti misalnya, apakah akuntansi itu ada, eksis?
Atau, apakah akuntansi itu ilmu, teknologi, teknik, seni atau sekedar alat bagi
organisasi? Juga dapat terjadi misalnya mempertanyakan kegunaan akuntansi bagi
organisasi atau lingkungan di luar dirinya, maupun pertanyaan di seputar proses,
prosedur, hubungannya dengan ilmu lainnya, dan lain sebagainya, dan lain
sebagainya. Banyak pertanyaan yang dapat dijawab dengan memuaskan, banyak
pula yang sampai sekarang tidak memiliki jawaban utuh, atau bahkan tak terjawab
sama sekali.
Sebagaimana diketahui secara umum, yang disebut dengan ilmu pengetahuan
atau sains merupakan akumulasi sistematis dari pengetahuan. Akumulasi sistematis
pengetahuan didapatkan dari proses yang disebut dengan kerangka berpikir
sistematis atas ilmu itu sendiri. Sehingga jelas, di dalam kerangka keilmuan, salah
satu hal paling pentingnya adalah tidak habis-habisnya pertanyaan yang selalu
muncul atas suatu bidang ilmu. Demikian pula dengan akuntansi, apabila memang
akuntansi dianggap sebagai ilmu. Akuntansi harus penuh dengan pertanyaan yang
harus dipecahkan secara sistematis dalam kerangka keilmuan, baik menggunakan
metode riset (research methods) berbasis pada model scientific methods maupun
melalui cara naturalistic approach. Scientific methods biasanya digunakan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan keilmuan berdasarkan pada metode ilmu-ilmu
alam (natural science). Naturalistic approach biasanya digunakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan keilmuan berdasarkan pada metode ilmu-ilmu sosial (social
science). Berdasarkan dinamika pertanyaan sekaligus jawaban atas akuntansi itu
pulalah maka akuntansi dapat dikatakan sebagai ilmu5.
3. PARADIGMA DAN METODOLOGI PENELITIAN
Terdapat perbedaan mendasar mengenai apa itu metode penelitian (research
methods) dan metodologi penelitian (research methodology). Metode penelitian
menekankan pada teknis (technical) yang berhubungan dengan conduct of research.
Artinya, metode penelitian merupakan teknis bagaimana penelitian dilakukan secara
sistematis untuk menjawab pertanyaan penelitian. Sedangkan metodologi penelitian
lebih menekankan pada filosofi yang mendasari pilihan penggunaan metode riset.
Artinya, metodologi penelitian merupakan pembahasan mengenai substansisubstansi dan nilai-nilai (values) yang mendasari dari penggunaan metode riset yang
dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian. Metodologi penelitian misalnya
membahas mengenai values dan substansi scientific methods yang berasal dari
sistematika dan tata aturan ilmu-ilmu alam. Bagi scientific methods penelitian harus
bebas nilai (value free) dan bersifat obyektif. Sedangkan values dan substansi metode
4

Silakan lihat juga Suriasumantri (1985, 2-3)


Bila ingin dilihat lebih jauh, seperti dijelaskan oleh Muslih (2004) bahwa di ranah social science muncul apa
yang dinamakan dengan sosiologi ilmu atau sociology of knowledge (bukannya ilmu sosiologi). Sosiologi
ilmu adalah disiplin yang secara teoritis berusaha menganalisis kaitan antara pengetahuan dengan
kehidupan. Disiplin ini dirintis oleh Marx Scheler dan kemudian diperkokoh oleh Karl Mannheim. Sosiologi
ilmu membentuk sebuah kesepakatan tentang perbedaan pendekatan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Bagi
ilmu sosial dikenal dengan pendekatan verstehen (pemaknaan), sedangkan ilmu alam dikenal dengan
pendekatan erklaren (penjelasan berdasarkan hukum alam; kasualitas)
3
5

penelitian dari naturalistic methods haruslah sarat nilai (value laden) dan bersifat
subyektif. Perbedaan antara kedua metode di atas kemudian memunculkan apa yang
kemudian disebut dengan Paradigma (Paradigm)6 atau Worldview7.
Paradigma keilmuan Barat oleh Burell dan Morgan (1979) disusun berdasar
empat paradigma utama, yaitu fungsionalisme, interpretif, radikal humanis dan
radikal struktural. Sedangkan dalam akuntansi misalnya dibagi dalam paradigma
positif, interpretif dan kritis (Chua 1986; untuk pembagian berbeda lihat Belkaoui
2000). Muhadjir (2000) melakukan pembagian yang berbeda, yaitu positivis,
postpositivis (di dalamnya termasuk interpretif dan kritis) dan postmodernisme.
Sedangkan turunan metodologinya, biasanya paradigma positivis menggunakan
metodologi kuantitatif, sedangkan di luar itu menggunakan metodologi kualitatif atau
lainnya.
Metodologi di luar positivisme atau biasa disebut dengan non-positivism, baik
yang interpretif, kritis, posmo atau lainnya bisanya berupaya untuk mengembangkan
apa yang disebut Fakih (2002b:49) penolakan terhadap dominasi representasi
penelitian ilmiah (scientific methods) positivisme. Dominasi positivisme atas
penelitian ilmiah lanjut beliau adalah bentuk penguasaan pengetahuan untuk
menerapkan pengetahuan sampai bentuk teknologinya tidak hanya didasarkan
ideologi Barat tetapi juga didasarkan hasrat untuk mengendalikan (51-52) berdasar
dua asumsi utama scientific methods, yaitu obyektivisme dan regulatori.
Obyektivisme mensyaratkan ilmuwan maupun praktisi sedapat mungkin bertindak
netral, berjarak dan tidak melibatkan aspek emosional dan pemihakan (47).
Regulatori menempatkan ilmu pada posisi sentral dalam analisis sosial maupun
proses perubahan sosial. Masyarakat dalam asumsi ini ditempatkan sebagai obyek
ilmu. Sebagai subyek, ilmuwan mendapat legitimasi untuk membangun sendiri
agenda maupun tujuan dari perubahan sosial. Oleh karena itu masyarakat yang
diletakkan sebagai obyek harus menyerahkan diri untuk diarahkan dan
dikembangkan menuju tujuan yang telah ditetapkan (48-49).
3.1. Paradigma positif
Paradigma positif atau the functionalist paradigm (Burell & Morgan 1979),
atau disebut juga mainstream accounting thought, menurut Chua (1986), didasarkan
common set asumsi filosofis tentang pengetahuan, dunia empiris dan hubungan
6

Istilah paradigma menurut Mulawarman (2010) dipakai pertama kali oleh Thomas Kuhn dalam karyanya
The Structure of Scientific Revolution (1962). Paradigma merupakan terminologi kunci dalam perkembangan
ilmu pengetahuan yang diperkenalkan Kuhn, meskipun ia tidak merumuskan dengan jelas tentang apa yang
dimaksudkan dengan paradigma itu sendiri. Bahkan istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari dua
puluh satu cara yang berbeda. Memang setelah Kuhn, banyak pendefinisian yang berkaitan dengan
paradigma, baik yang mencoba mereduksi dua puluh satu definisi Kuhn menjadi tiga konsep utama
paradigma, seperti yang dilakukan oleh Masterman yang mencoba membagi paradigma dalam apa yang
diistilahkan sebagai paradigma metafisis, paradigma sosiologis dan paradigma konstruk. Metaphysical
paradigm adalah tipe paradigma mengenai (1) sesuatu yang ada dan tidak ada; (2) mengenai hanya
sesuatu yang ada saja; atau (3) hanya sesutu yang sungguh-sungguh ada; yang menjadi pusat perhatian
dari komunitas ilmuwan tertentu. Dari metaphysical paradigm Kuhn mengajukan satu konsep yang
disebutnya exemplar, yaitu hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum. Exemplar ini
disebut pula tipe sociological paradigm. Sedangkan construct paradigm merupakan konsep yang paling
sempit di antara ketiga tipe paradigma di atas
7
Paradigma lanjut Mulawarman (2010) dapat pula diartikan sebagai worldview. Worldview dalam khasanah
etimologi Barat tersusun dari dua kata world (dunia) dan view (pandangan) yang berarti pandangan dunia.
Worldview dalam bahasa Jerman disebut Weltansicht atau Weltanschauung (welt=dunia;
anschauung=persepsi) yang berarti persepsi tentang dunia. Di Italia, Weltanschauung diartikan sebagai
konsepsi tentang dunia. Sedangkan di Perancis maknanya diperluas menjadi pandangan metafisis tentang
dunia dan konsepsi tentang kehidupan. Worldview di Rusia disebut dengan Mirovozzrenie yang juga
memiliki arti yang sama dengan Weltanschauung.
4

antara teori dan praktek. Pandangan dunia terutama, menekankan pada hypotheticodeductivism dan technical control. Secara ontologis, ditegaskan Chua (1986)
dipengaruhi realitas fisik yang menganggap dunia sebagai realitas obyektif yang
berada di luar (independent) manusia, dan alam yang penuh kepastian (determinate
nature) atau secara esensi dapat diketahui (knowable). Dengan demikian terdapat
garis pembatas tegas antara obyek dan subyek, pengetahuan dapat diperoleh ketika
subyek dapat menemukan dengan benar dan mendiscovers realitas obyektif tersebut.
Karena itu, penelitian-penelitian dalam paradigma ini selalu menekankan
obyektivitas yang tinggi. Ini tidak lain obyek yang diketahui terpisah dengan subyek
yang mengetahui.
Peneliti dalam paradigma ini selalu mencoba melakukan pengukuranpengukuran yang akurat melalui suatu instrumen yang dinamakan questionaire
terhadap realitas sosial yang ditelitinya. Melihat realitas sebagai materi yang dapat
diukur dan diinterpretasikan secara rasional, atau satu-satunya untuk membangun
ilmu memakai Metode Ilmiah. Bentuk metodologi yang sesuai dan banyak dipakai
pada paradigma ini adalah metodologi kuantitatif dengan teknik statistiknya yang
berakar pada ilmu-ilmu alam .
3.2. Paradigma Interpretif
Paradigma Interpretif diturunkan dari Germanic Philosofical Interests yang
menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman. Ilmu pengetahuan,
bagi paradigma ini tidak digunakan untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi
(to predict), tetapi untuk memahami (to understand). Paradigma Interpretif dibentuk
berdasarkan asumsi bahwa realitas sosial itu keberadaannya tidak konkret,
melainkan keberadaannya dibentuk dari pengalaman subyektif-obyektif masingmasing individu. Jadi realitas sosial itu diciptakan dari hasil interpretasi dan konsepkonsep individu serta bagaimana ia membentuk makna (meaning) atas interpretasi
tersebut. Sehingga realita sosial itu majemuk, bisa bertahan atau berubah tergantung
pada pemaknaan individu.
Paradigma Interpretif, menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti
halnya functionalism paradigm, tetapi mereka menggunakan pendekatan
subyektifisme dalam analisis sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi
keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa
adanya, yakni mencari sifat yang paling mendasar dari kenyataan sosial menurut
pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam
peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamatinya (Fakih 2002). Hal ini
juga ditegaskan oleh Hardiman (1994), bahwa kalau diikuti jalur perkembangan
ilmu-ilmu sosial pasca positivisme, kita akan menemukan suatu upaya yang sangat
gigih untuk mempertahankan rasionalitas dalam sebuah perspektif yang kritis
terhadap saintisme dan positivisme. Tanpa meninggalkan cita-cita pencerahan dan
proyek modernitas, sikap kritis tersebut diperlihatkan dengan usaha untuk
memandirikan ilmu-ilmu sosial secara epistemologis dan metodologis.
Lebih jauh tentang Interpretive Paradigm, Hardiman (1994), mengatakan
bahwa, disini obyektivism dilampaui, namun phenomenology, khususnya Husserl,
tidak beranjak dari saintism, karena ingin menjadi rigorous science tentang
fenomen apa adanya dari sudut pandang suatu subyek intensional (kesadaran).
Bahkan fenomenologi sosial, seperti sudah ditunjukkan Susan Hekman, meskipun
sudah menampilkan aspek intersubyektif, masih memahami makna dari sudut
intensionalitas individual. Disini, bersama Teori Tindakan, fenomenologi masih
terperangkap dalam konsep pengetahuan ala Pencerahan, yaitu paradigma
individualistis dan dikotomi subyek-obyek. Bentuk metodologi yang dijalankan pada
5

paradigma ini adalah antitesis dari positivisme, sebagai upaya mencari dasar
metodologis bagi ilmu-ilmu social yang lebih luas sampai pada konteks kehidupan
manusia yang tidak tereduksi dalam bentuk sainitifikasi, konsep yang penting untuk
menyelamatkan subyek pengetahuan yang tidak pernah tertangkap oleh positivisme,
konsep yang dinamakan Edmund Husserl sebagai Lebenswelt (dunia kehidupan)
(Hardiman 2003:59). Dijelaskan Muhadjir (2000:14) pendekatan seperti ini
merupakan penegasan mengenai pembangunan ilmu pengetahuan yang tidak hanya
terjebak pada konteks empirisme saja, tetapi mengakomodasi kepentingan
rasionalisme ilmu yang valid.
3.3. Paradigma Kritis
Paradigma kritis, berlawanan dengan positivism, dalam melihat realitas. Bila
dalam paradigma positif, Fakih (2002) yang mensitir pemikiran Jurgen Habermas,
bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi
justru pada ruh atau gagasan, ilmu sosial lebih dipahami sebagai proses katalisasi
untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan, tidak boleh dan tidak
mungkin bersifat netral. Paradigma kritis, di sisi lain memperjuangkan pendekatan
yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan
reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif
kesejarahan. Paradigma kritis memakai baik pendekatan obyektif maupun subyektif
untuk menjelaskan tentang perubahan yang selalu terjadi dalam setiap hubungan
sosial. Menurut Sarantakos (1993) makna-makna subyektif adalah relevan dan
penting, namun hubungan-hubungan obyektif juga tidak bisa ditolak. Perhatian
utama dari paradigma ini adalah membuka mitos dan ilusi, mengekspos struktur
yang nyata dan mempresentasikan realitas sebagaimana adanya. Burell & Morgan
(1979) memisahkan paradigma ini dalam dua paradigma, yaitu Radical Humanism
dan Radical Structuralism. Radical Humanism memandang perubahan dilakukan
lewat consciousness/kesadaran, sedangkan Radical Structuralism memandang bahwa
perubahan bisa dilakukan lewat perubahan structure atau sistem. Radical
Structuralism berdasar dari hasil kritik radikal Karl Marx dan Frederick Engels dari
German Idealism dalam bukunya The German Ideology (1846), setelah melakukan
reinterpretasi Sistem Filsafat Hegelian. Fokus analisis dari Marx adalah political
economy dari capitalism. Menggantikan konsep consciousness, alienation dan critique
menjadi structures, contradictions dan crisis.
3.4. Paradigma Postmodernisme
Postmodernisme menurut Rosenau (1992) merupakan kritik atas masyarakat
modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Karena peristiwa yang
mengerikan selama abad ke dua puluh, postmodernisme menanyakan bagaimana
setiap orang dapat percaya bahwa modernitas telah membawa kemajuan dan
harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Menurut Agger (2003), penulis
postmodernisme tidak percaya pada puncak perkembangan evolusioner modernitas
yang ditandai dengan rasionalitas, sains dan obyektifitas. Secara gamblang,
diungkapkan oleh Hadiwinata (1994), bahwa postmodernisme meletakkan dirinya di
luar paradigma modern dalam arti bahwa ia menilai modernisme bukan dari kriteria
modernitas, tetapi melihatnya dengan cara kontemplasi dan dekonstruksi.
Postmodernisme muncul akibat kekecewaan terhadap segala atribut yang
melekat pada modernitas. Di satu pihak, postmodernisme melihat modernisme selalu
diikuti dengan hal-hal seperti penyebaran (jika bukan hegemoni) peradaban Barat,
industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, konsumerisme, dan lain-lain. Namun
di pihak lain, postmodernisme juga melihat rasisme, perbedaan kaya-miskin,
diskriminasi, pengangguran, dan stagflasi tumbuh bersama-sama dengan
6

modernisme. Karakter utama postmodernisme, menurut Triyuwono (2000), terletak


pada usaha dekonstruksi yang dilakukan terhadap semua bentuk logosentrisme yang
dibuat oleh modernisme. Logosentrisme, adalah system pola berpikir yang mengklaim
adanya legitimasi dengan referensi kebenaran universal dan eksternal (Rosenau
1992:xii). Dengan dekonstruksi, dijelaskan oleh Triyuwono (2000), postmodernisme
memasukkan sang lain (the others) yang dimarginalkan, disepelekan, ditindas,
dieksploitasi dan dibunuh ke dalam kedudukan yang sama dengan apa yang
ditunggalkan oleh modernisme.
Meskipun demikian, keragaman pemikiran postmodernisme dalam ilmu-ilmu
sosial, menurut Rosenau (1992:15) dapat dibagi menjadi dua orientasi utama, yaitu
postmodernisme skeptis dan afirmatif. Postmodernisme skeptis, dicirikan atas
pesimistik, negatif, gloomy assessment, melihat abad postmodern telah
terfragmentasi, terjadi disintegrasi, malaise, tak memiliki makna, hilangnya
parameter moral dan masyarakat chaos serta tidak ada kebenaran. Bahkan lebih
tegas lagi dapat dikatakan hilangnya Tuhan, Zat yang Maha Kuasa, kecuali Tuhan
yang telah masuk dalam akal rasional, Tuhan yang empiris (penjelasan detil lihat
Griffin 2003). Aliran skeptis disebut Rosenau (1992:15) sebagai sisi gelap
postmodernisme. Postmodernisme afirmatif dicirikan dengan persetujuannya dengan
kalangan skeptis dalam kritik terhadap modernitas, meskipun aliran ini masih lebih
mementingkan harapan, pandangan optimis, terbuka pada aksi politik atau konten
(isi) dengan rekognisi visioner, merayakan proyek non-dogmatik (termasuk tentatif
dan nonideologis) personal yang berada pada ring Agama New Age dan Gaya Gidup
Aliran Baru dan termasuk seluruh spektrum gerakan sosial postmodern (16).
Sebagaimana dijelaskan di atas, postmodernisme merupakan antitesis dari
modernisme yang cenderung menolak disposisi subyek dan obyek. Postmodernisme
melihat realitas tidak hanya obyektif, realitas juga memiliki padanannya yaitu
realitas subyektif. Berbeda dengan interpretivism yang hanya memandang realitas
itu subyektif, berbeda pula dengan aliran kritis awal yang membedakan perubahan
sosial bisa dilakukan terpisah melalui subyektifitas (radical humanist) atau melalui
obyektifitas (radical structuralist). Postmodernisme melihat realitas itu majemuk,
baik itu subyektif maupun obyektif, bahkan melampaui keduanya. Realitas adalah
hasil dari pengalaman obyektif, subyektif, intuitif, bahkan spiritual, semuanya terjadi
dalam satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dan ditera mana yang berpengaruh
dan mana yang dipengaruhi. Mudahnya, tidak ada pemisahan antara realitas (object)
dan pencipta realitas (subject). Perkembangan terbaru saat ini muncul apa yang
disebut dengan paradigma spiritual. Paradigma ini sebenarnya merupakan rentetan
yang dihasilkan dari perkembangan paradigmatik Barat, terutama sebagai hasil
turunan paradigma postmodernisme afirmatif
Pemahaman atas realitas majemuk seperti itu berdampak pada pemahaman
atas manusia dalam postmodernisme sebagai makhluk yang bebas, dinamis dan
berpikir holistik. Pemahaman tersebut menyebabkan aliran postmodernis melihat
realitas sosial dan ilmu pengetahuan tidak memiliki sekat serta terpisah-pisah.
Metodologi yang dikembangkan kemudian juga secara epistemologis dikonstruksikan
secara bebas, tidak terstruktur, bahkan dapat dikatakan tidak memiliki metode dan
prosedur formal. Metodologi yang muncul kemudian dapat dikatakan sebagai the
anti-rule atau anything goes (Rosenau 1992:117). Dengan demikian, ilmu
pengetahuan tidak bersifat sistematik (unsystematic), memiliki logika majemuk
(heterological), tidak terpusat (de-centered), selalu berubah (ever changing) dan
bersifat lokal (Rosenau 1992:83).
7

3.5. Paradigma Religius


Pertanyaannya kemudian, bila pendekatan paradigmatik Barat berbeda
dengan pandangan religius seperti Islam di atas misalnya, maka apakah
dimungkinkan adanya perbedaan yang signifikan pula akan pendekatan
paradigmatik dari agama lain? Saya kira hal itu sah-sah saja. Artinya ketika
pendekatan paradigmatik Barat dirasa sesak karena adanya ideologisasi yang
melekat pada dirinya, atau dirasa terlalu longgar karena adanya deideologisasi
paradigmatik, maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan
kebebasan atas kreativitas atas nama ilmu untuk mengkreasi, katakanlah,
Paradigma Religius. Contohnya, yaitu Paradigma Islam.
Berbeda dengan pembagian paradigmatik Barat, tradisi Islam kontemporer
memiliki perbedaan definisi yang berbeda. Beberapa definisi paradigma atau
worldview yang menonjol seperti dijelaskan Zarkasyi (2005) setidaknya terdapat
empat definisi paradigma atau worldview dalam khasanah Islam kontemporer, yaitu
definisi dari Maulana Al-Maududi, Syaikh Atif al-Zain, Sayyid Qutb, dan Seyyed
Naquib Al-Attas. Berikut akan dijelaskan masing-masing.
Pertama, definisi dari Maulana Al-Maududi. Beliau mengistilahkan paradigma
Islam sebagai Islami Nazariyat (Islamic Vision), yang berarti pandangan hidup yang
dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi keseluruhan
kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab shahadah adalah pernyataan moral
yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara
menyeluruh. Kedua, definisi dari Syaikh Atif al-Zain. Paradigma dalam istilah Syaikh
Atif al-Zain disebut al-Mabda al-Islami (Islamic Principle) yang cenderung
merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ai mengartikan mabda sebagai
aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman
didahului dengan akal. Ketiga, paradigma menurut Sayyid Qutb. Menurutnya
paradigma disebut sebagai al-tasawwur al-Islami (Islamic Vision), yang berarti
akumulasi keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim,
yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik
itu. Keempat, definisi paradigma menurut Seyyed Naquib Al-Attas. Al-Attas
mengartikan paradigma sebagai Ruyatul Islam lil Wujud (Islamic Worldview), yaitu
pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita
dan yang menjelaskan tentang hakikat wujud. Point penting yang dapat ditangkap
dari definisi keempat tokoh Muslim di atas adalah bahwa paradigma berkenaan
dengan pandangan hidup Muslim tentang realitas dan kebenaran serta hakikat
wujud yang berakumulasi dalam alam pikiran dan memancar dalam seluruh aktfitas
kehidupan umat Islam.
Bila kita lihat penjelasan-penjelasan mengenai makna paradigma di atas,
dapat kita lihat terdapat perbedaan pemahaman mengenai paradigma. Dalam tradisi
Barat, paradigma lebih dilihat dalam konteks filsafat dan pandangan hidup yang
memiliki tiga penekanan, yaitu motor bagi perubahan sosial, dasar bagi pemahaman
realitas, dan dasar bagi aktifitas ilmiah. Namun dalam Islam makna paradigma
menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam
semesta dan selalu berujung pada Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) yaitu Allah.
Paradigma Islam tidak terbatas pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau
keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural,
tetapi mencakup aspek dunia dan hari akhir, dimana aspek dunia harus terikat dan
mendalam dengan aspek akhirat, sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai
aspek final. Mudahnya, paradigma dalam bahasa Al-Faruqi disebut dengan Tawhid.
8

Esensi Islam adalah Tawhid atau pengesaan Tuhan, tindakan menegaskan


Allah sebagai yang Esa, Pencipta mutlak dan transenden. (Al-Faruqi 1995:16).
Tauhid digambarkan Iqbal (1966:3) seperti burung tak berjejak dan tidak dituntun
oleh pikiran (intelek), dan juga bukan hanya perasaan. Tauhid adalah konsep kunci
dalam Islam. Tauhid memberikan identitas pada peradaban Islam yang mengikat
semua unsur-unsurnya bersama-sama dan menjadikannya kesatuan integral dan
organis (Al-Faruqi 1995:16).
Nilai-nilai Islam yang berpedoman pada Vestigia Dei (jejak-jejak Ilahi) di atas
mengarah pada koeksistensi tujuan utama manusia. Koeksistensi tujuan utama
manusia tersebut terletak pada keseimbangan sebagai abd Allah dan sekaligus
Khalifatullah fil ardh. Abd Allah adalah realisasi tujuan manusia untuk selalu
menjalankan ibadah kepada Allah. Manusia memiliki tujuan hidup asali dan akhir
untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Pengabdian tersebut terkait langsung,
integratif dan organis dengan fungsinya sebagai Khalifatullah fil Ardh. Khalifatullah
fil Ardh adalah realisasi tujuan kealaman manusia untuk memelihara dan mengelola
alam semesta milik Tuhan. Manusia diberi amanah memberdayakan seisi alam raya
sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk. Manusia sebagai khalifah
Allah di muka bumi mempunyai kewajiban menciptakan masyarakat Ilahiah dan
harmonis. Manusia sebagai khalifah Allah harus dapat memelihara agama, akal dan
budayanya (Shihab 2000, 166). Implementasi koeksistensi tujuan utama manusia
kemudian harus dilaksanakan dalam bentuk harmoni, keseimbangan dan kebaikan.
Inilah yang disebut dengan cinta sejati menurut Islam. Cinta dalam Islam bukan
hanya bersifat materi tetapi juga batin dan spiritual. Itulah truly love atau hyperlove
(cinta melampaui). Cinta dengan demikian dijalankan untuk menumbuhkan dan
membangun kesadaran insaniah, kesadaran menuju fitrah Ketuhanan, didasari rasa
saling percaya dan kejujuran serta menghilangkan kecurigaan dan penghianatan.
4. METODE PENELITIAN
Seperti dijelaskan di atas, metode penelitian adalah teknis yang berhubungan dengan
conduct of research, bagaimana penelitian dilakukan secara sistematis berdasarkan
prosedur yang ditentukan. Berdasarkan pada peta paradigmatik atas ilmu dan riset
di atas, kita dapat menyimpulkan secara sederhana, beberapa cara pandang
bagaimana kita melakukan penelitian atau riset.
Apabila kita memiliki pertanyaan apa hubungan atau pengaruh fenomena
akuntansi yang terjadi, maka kita perlu melakukan penjelasan (to explain) dan
memprediksikannya (to predict) melalui pendekatan (metode riset) statistik
(kuantitatif). Penelitian model ini disebut dengan pendekatan positivistik. Apabila
kita memiliki pertanyaan mengapa (why) sebuah fenomena akuntansi terjadi dan apa
yang terjadi di dalamnya serta kita ingin melakukan interpretasi praktik akuntansi
secara langsung, maka kita perlu pendekatan (metode riset) verstehen (pemaknaan
realitas secara kualitatif). Penelitian model ini disebut dengan pendekatan
interpretif. Apabila kita resah dengan kenyataan akuntansi yang tidak sesuai dengan
pemikiran kita dan ingin melakukan perubahan akuntansi, kita dapat melakukan
pendekatan perubahan pada tataran kesadaran akuntan (kritis humanis) atau dapat
juga melakukan pendekatan perubahan pada tataran organisasi, kelembagaan atau
model akuntansinya (kritis struktural). Penelitian model ini disebut dengan
pendekatan kritis. Apabila kita ingin membuat bentuk-bentuk akuntansi baru baik
itu menggunakan akuntansi yang ada dengan penambahan nilai-nilai dari luar
akuntansi, atau membuat akuntansi yang benar-benar baru sesuai dengan nilai yang
kita pahami sebagai kebenaran untuk kemajuan akuntansi, maka kita perlu
9

pendekatan (metode riset) akuntansi baru. Penelitian model ini disebut pendekatan
postmodernis. Apabila kita ingin membangun akuntansi dari basis agama maka kita
perlu pendekatan riset religius.
Secara umum tahapan yang perlu dilakukan dalam riset akuntansi seperti
dirumuskan Howard dan Sharp (1983) dalam Smith (2007, 16-18) sebagai berikut:
1
6
.
2. Pemilihan Topik
A
n5
a.
l
3
iP
se
3a
n
.
g
D
4. Formulasi Rencana
Riset
u
P
a
m
e1t
p
n.a
u
e
l
5
nI
a
td
n
ue
an
I
nt
6
n
if
P
fo
ei
r
nk
m Temuan
7. Presentasi
da
es
k
Berikut penjelasan masing-masing tahapani riset di atas secara ringkas:
a
1. Identifikasi Masalah Secara Umum. Persempit
fokus masalah dari akuntansi
tM
secara umum menjadi konteks akuntansi
yang
mengarah pada akuntansi
aa
keuangan, akuntansi manajemen, auditing,
ns pendidikan akuntansi, sistem informasi

akuntansi, etika bisnis dan profesi, akuntansi


syariah, akuntansi sektor publik,
a
R
akuntani perpajakan atau lainnya.
l
ia
2. Pemilihan Topik. Spesifikasi sub konteks
akuntansi yang dipilih pada point 1
sh
dengan memilih topik yang relevan.
e
3. Penentuan Pendekatan Riset. Tentukan
tS pendekatan metode penelitian sesuai
paradigma. Penentuan metode penelitian
disesuaikan dengan tujuan penelitian.
e
Pendekatan penelitian nantinya akan
menentukan bagaimana penelitian
c
dilangsungkan, apakah dilakukan secaraa statistik, interpretif, kritis, posmo, atau
religius.
r
4. Formulasi Rencana Riset. Susun rencana
a
penelitian sesuai tujuan dan target,
tentukan cara dan alat, timeline, serta tempat penelitian.
U
5. Pengumpulan Informasi. Koleksi data dapat
dilakukan dengan baik apabila kita
m
telah mengetahui apa yang kita ingin tahu dan tujuan dari penelitian
u
m

10

6. Analisa Data. Metode analisa data dilakukan sesuai dengan metode penelitian yang
dipilih, baik dilakukan secara manual maupun dengan alat bantu komputerisasi
seperti software pendukung.
7. Presentasi Temuan. Membuat laporan penelitian dan presentasi hasil dalam forum
seminar atau ujian di lingkungan kampus.
5. PENDALAMAN PEMAHAMAN MATERI
5.1. Jelaskan perbedaan antara pertanyaan biasa dan pertanyaan yang mengandung
substansi ilmu.
5.2. Jelaskan makna pengetahuan, tradisi, ilmu dan filsafat. Apa yang membedakan
masing-masing.
5.3. Manusia memiliki beberapa sarana untuk mendapatkan ilmu. Sebutkan dan
jelaskan masing-masing.
5.4. Terdapat perbedaan mendasar antara metode dan metodolologi penelitian.
Jelaskan.
5.5. Jelaskan pengertian paradigma. Terdapat beberapa paradigma dalam penelitian.
Sebutkan dan jelaskan.
5.6. Berdasarkan sarana untuk mendapatkan ilmu yang saudara miliki, cobalah
lakukan integrasi ketiganya. Setelah itu lakukan beberapa tahapan berikut:
- Carilah masalah penelitian yang saudara sukai dalam konteks akuntansi.
- Spesifikasikan masalah penelitian akuntansi yang telah saudara pilih di atas
sesuai dengan topik yang relevan.
- Pilihlah pendekatan penelitian yang sesuai dengan keinginan saudara.

11

Anda mungkin juga menyukai