Anda di halaman 1dari 16

Skenario

Kasus 3
Seorang anak kecil dibawa orangtuanya ke puskesmas karena mengeluh
kakinya sakit setelah jatuh dari sepeda. Setelah diperiksa dokter mengatakan tidak
ada yang perlu di khawatirkan. Dokter menemukan bahwa punggung kaki kiri
pasien mengalami edema, hiperemis dan hangat pada perabaan, tetapi masih bisa
digerakan. Meskipun demikian, dokter juga menerangkan bahwa dalam beberapa
hari ini mungkin akan menyebabkannya sedikit susah berjalan dan demam.
Dokter hanya berpesan agar obat yang diberikannya diminum untuk mengurangi
keluhan yang dirasakannya.
STEP 1
1. Edema : penimbunan cairan di jaringan tubuh atau jaringan intertisial yang
disebabkan oleh :
- Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular bengkak
- Penurunan tekanan osmotik intravaskular
- Peningkatan tekanan osmotik intertisial
- Peregangan pembuluh darah venula (vasodilatasi)
- Peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang dirangsang
oleh histamin
2. Hiperemis : peningkatan volume darah akibat dilatasi pembuluh darah
arteriol yang merupakan respon inflamasi berupa kemerahan
STEP 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengapa kaki pasien terasa sakit setelah terjatuh?


Mengapa terjadi edema dan bagaimana mekanismenya?
Mengapa terjadi hiperemis dan bagaimana mekanismenya?
Mengapa kaki pasien terasa hangat dan bagaimana mekanismenya?
Mengapa anak tersebut susah berjalan ?
Bagaimana bisa terjadi demam ?

STEP 3

1. Karena inflamasi, trauma , dan rangsang reseptor saraf bebas yang


menyebabkan nyeri.
2. Edema : penimbunan cairan di jaringan tubuh atau jaringan intertisial yang
disebabkan oleh :
- Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular bengkak
- Penurunan tekanan osmotik intravaskular
- Peningkatan tekanan osmotik intertisial
- Peregangan pembuluh darah venula (vasodilatasi)
- Peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang dirangsang
oleh histamin
- Peregangan pembuluh darah karena histamin endotel
- Cairan berupa protein plasma, leukosit (neutrofil)
3. Karena vasodilatasi pembuluh darah peningkatan aliran darah ke
tempat luka, vasodilatasi disebabkan oleh peningkatan aliran darah arteriol
venula, kapiler. Mekanismenya berupa aktif dan pasif.
4. Disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah
5. Adanya nyeri tidak bisa berjalan , adanya edema, dan peningkatan
sensitivitas saraf karena penurunan pH
6. Mikroorganisme masuk makrofag IL 1 pembuluh darah
endotel

hipotalamus

prostaglandin

E2,PGE2

peningkatan

termoregulator hipotalamus demam


STEP 4
1. Inflamasi merupakan suatu respon aktif tubuh untuk memperbaiki sel
dengan

membatasi

dan

menghancurkan

agen

berbahaya,

berupa

kemerahan, bengkak, panas, nyeri pada jaringan karena cedera


fisik,infeksi, atau reaksi alergi.
Inflamasi dibagi menjadi dua yaitu :
- Akut : berlangsung menit sampai hari
- Kronis : berlangsung lama sampai bertahun- tahun ditandai
dengan proliferasi pembuluh darah jaringan parut
Tanda tanda inflamasi :
-

Rubor (kemerahan)
Vasodilatasi pembuluh darah leukosit keluar
Kalor (panas)

a. Vasodilatasi

pembuluh

darah

yang

menyebabkan

peningkatan aliran darah lokal


b. suhu kulit < darah panas karena suhu kulit = darah
Dolor (nyeri)
a. Rangsangan saraf
b. Pembengkakan jaringan sekitar lokal nyeri
c. Perubahan pH lokal rangsangan saraf
d. Pengeluaran histamin
Tumor (edema)
a. Endokrin merangsang leukosit keluar ke jaringan
ekstravaskuler cairan menumpuk leukosit berikatan
dengan reseptor (diapedesis) peningkatan vasodilatasi
cairan eksudat menghilang peremabilitas protein
penurunan tekanan osmotik intravaskuler peningkatan
tekanan

osmotik

intertisial

keluar

air,ion,ke

ekstravaskuler edema

Perbedaan

Akut

Kronik

Sel terlibat

Neutrofil

Makrofag, limfosit

Mediator

Histamin

Lesi khas

Jaringan parut

Keloid

Waktu

Menit hari

Bulan tahun

Mudah dimusnahkan dan

Susah dimusnahkan dan

disebabkan oleh bakteri

disebabkan virus atau

atau trauma

infeksi

Agen penyebab

2. Tumor (edema)
Endokrin merangsang leukosit keluar ke jaringan ekstravaskuler
cairan menumpuk leukosit berikatan dengan reseptor (diapedesis)
peningkatan vasodilatasi cairan eksudat menghilang peremabilitas protein

penurunan tekanan osmotik

intravaskuler peningkatan tekanan osmotik

intertisial keluar air,ion,ke ekstravaskuler edema


3. Vasodilatasi pembuluh darah leukosit keluar
4. Vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan aliran darah
lokal
5. Karena adanya nyeri
6. Gangguan set temperatur hipotalamus

STEP 5. Sasaran Belajar


1. Bagaimana
- Mekanisme inflamasi
4

Tanda- tanda inflamasi


Macam- macam inflamasi
Efek inflamasi

STEP 6. Belajar Mandiri


1. Mekanisme Inflamasi

Infek
si

Traum

Nekros
is

Agen

Benda

Imu

Mediator

Protein
plasm
a
Komplemen:
C3a, C5a, C4a
C3b
Bradikin
Trombin dan
pembentukan
Fibrin

PA
F

Asam
Arakidonat
( PGE2 )

Sitoki
n

Kimoki

Nitrat
Oksid
a

Sel
Mast
Histamin
Vasodilatasi
pembuluh darah

Rubo
r
Kalo

Permeabilitas
pembuluh darah
Ekstravasasi
leukosit
kemotaksis

Tumo
r

Functio
n

Dolo
r

Pengaktifan
leukosit
Fagositosis
5

Penghentian
respon
peradangan akut
penyembuh
an

2. Tanda-tanda Inflamasi
a. Dolor (Nyeri)
Dolor, atau nyeri, pada suatu reaksi peradangan tampaknya ditimbulkan
dalam berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion
tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pelepasan
zat kimia tertentu seperti histamine atau zat-zat kimia bioaktif dapat
merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang
menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang tidak diragukan lagi dapat
menimbulkan nyeri (Price,2012).
b. Tumor (Pembengkakan)
Aspek paling mencolok pada peradagan akut mungkin adalah tumor, atau
pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang
berpindah dari aliran darah ke jaringan interstisial. Campuran cairan dan
sel-sel ini yang tertimbun di daerah peradagan disebut eksudat. Pada awal
perjalanan reaksi peradangan, sebagian eksudat adalah cairan, seperti yang
terlihat secara cepat di dalam lepuhan setelah luka bakar pada kulit.
Kemudian, sel-sel darah putih atau leukosit, meniggalkan aliran darah dan
tertimbun sebagai bagian eksudat (Price,2012).
c. Fungsio Laesa (Perubahan Fungsi)
Fungsio laesa, atau perubahan fungsi merupakan bagin yang lazim pada
reaksi peradangan. Sepintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak,
nyeri disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang
abnormal, seharusnya berfungsi secara abnormal. Akan tetapi, cara
bagaimana fungsi jaringan yang meradang terganggu tidak dipahami
secara terperinci (Price,2012).
d. Rubor (Kemerahan)
Rubor atau kemerahan biasanya merupkan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami peradangan.Seiring dengan dimulainya reaksi peradangan,
6

arteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih


banyak darah mengalir kedalam mikrosirkulasi local. Kapiler-kapiler yang
sebelumnya kosong, atau mungkin hanya sebagian meregang, secara cepat terisi
penuh (Price,2012).
Dengan darah.Keadaan ini ,disebut hipermia atau kongesti ,menyebabkan
kemerahan local pada peradangan akut. Tubuh mengontrol produksi hyperemia
pada awal reaksi peradangan, baik secara neurologis maupun kimiawi melalu
pelepasan zat-zat seperti histamine (Price,2012).
e. Kalor ( Panas)
Kalor atau panas,terjadi bersamaan dengan kemerahan yang terjadi pada
permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingin dari 37 C yang merupakan
suhu inti tubuh .Daerah peradangan di kulit menjadi lebih hangat dari
sekelilingnya karena lebih banyak darah ( pada suhu 37 c) dialirkan dari dalam
tubuh kepermukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan kedaerah yang
normal. Fenomena hangat local ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang
terletak jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki
suhu inti 37 C dan hyperemia local tidak menimbulkan perbedaan (Price,2012).
3. Macam-Macam Inflamasi

a.

Inflamasi akut
Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit hari) dengan ciri khas
utama eksudasi cairan, akumulasi neutrofil memiliki tanda-tanda umum
berupa rubor (redness), calor (heat), tumor (swelling), Dolor (pain),
Functio laesa (lose of function). Seperti gambar dibawah ini:

Gambar 1. Gambar Tahapan terjadinya inflamasi akut.


Terjadi karena tujuan utama adalah mengirim leukosit ke tempat
jelas bersihkan setiap mikroba. Dengan dua proses utama, perubahan
vaskular (vasodilatasi, peningkatan permeabilitas) dan perubahan selular
(rekrutmen dan aktivasi selular) (Kumar,2010).
1. Hiperemia
Jejas yang terbentuk pertama-tama akan menyebabkan dilatasi arteri
lokal

(didahului

vasokonstriksi

sesaat).

Dengan

demikian

mikrovaskular pada lokasi jejas melebar, aliran darah mengalami


perlambatan, dan terjadi bendungan darah yang berisi eritrosit pada
bagian tersebut, yang disebut hiperemia. Pelebaran ini lah yang
menyebabkan

timbulnya

Perlambatan

dan

warna merah

bendungan

ini

(eritema)
terlihat

dan hangat.

setelah

10-30

menit(Kumar,2010).
2. Eksudasi
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas endotel disertai
keluarnya protein plasma dan sel-sel leukosit ke daerah extravaskular
yang disebut eksudasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah dalam
darah terkonsentrasi, viskositas meningkat, sirkulasi menurun,
8

terutama pada pembuluh darah-pembuluh darah kecil yang sisebut


stasis (Kumar,2010).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi
mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan
cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein
plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar,
dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula.
Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam
jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran
limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan
larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Kumar,2010).
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis
tinggi (di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg%
serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini
tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang
memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas),
bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran
darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit
leukosit yang menyebabkan emigrasinya(Kumar,2010).
3. Emigrasi leukosit
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada
lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah
putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri
dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di
dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara.
Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang,
dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang
berarti. Baik neutrofil, maupun sel berinti tunggal dapat melewati
celah antar sel endhotelial dengan menggunakan pergerakan amoeboid
menuju jaringan target (Kumar,2010).
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan
menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk
agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut

hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian
tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian
tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung
pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat
tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan
endotel (Kumar,2010).
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang
bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit
adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan
antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu
menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak
tertutup tanpa perubahan nyata(Kumar,2010).
4. Kemotaksi
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke
arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini
disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi
disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi
oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda.
Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis.
Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat
mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara
selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor
kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen,
misalnya produk bakteri berupa protein maupun polipeptida (Kumar,
2010).

5. Fagositosis
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.
Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa
didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis

10

akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin,


yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang
mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit
sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan
kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang
masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu
pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula
sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya
ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar
mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan
oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun
beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit
(Kumar,2010).
b. Inflamasi Kronik
Inflamasi kronis terjadi bila proses inflamasi akut gagal, bila
antigen menetap. Inflamasi akut berbeda dengan inflamasi kronis. Antigen
yang persisten menimbulkan aktivasi dan akumulasi makrofag yang terus
menerus. Hal ini menimbulkan terbentuknya sel epiteloid dan granuloma
TNF diperlukan untuk pembentukan dan mempertahankan granuloma.
INF-y dilepas sel T yang diaktifkan menimbulkan transformasi makrofag
menjadi sel epiteloid dan sel multinuklear yang merupakan fusi dari
beberapa makrofag.(Bratawidjaja, 2013)
Infeksi bakteri kronis dapat memacu pembentukan granuloma
berupa agregasi fagosit mononuklear dan sel plasma yang disebut DTH.
Fagosit terdiri atas monosit baru dikerahkan dengan sedikit makrofag yang
sudh ada dalam jaringan. Kadang-kadang ditemukan fusi makrofag dan
membentuk sel datia. Granuloma ditemukan pada reaksi terhadap gelas,
talk, dan inisiator hipersensitivitas selular seperti M.tuberkulosis, M.lepra,
dan histoplasma kapsulatum. Pembentukan granuloma akan mengisolasi
fokus inflamasi yang persisten, membatasi penyebaran dan memungkinkan
fagosit mononuklear mempresentasikan antigen ke limfosit yang ada di
permukaan. Berbagai jenis inflamasi akut dan kronis dan perbedaanya
adalah sebagai berikut :
11

Inflamasi

Inflamasi kronis Inflamasi

Akut

(granulomatosa) (hipersensitivitas kronis

(piogenik)

akut Inflamasi

cepat)

(peran
eosinofil)

Pemicu khas Stafilokok

Mikrobakteri,

Cacing

Cacing

hepatitis B
Sel pemicu
Sel

Makrofag

Makrofag

efektor Neutrofil

Makrofag,

dalam

sel Sel mast

Sel

NK

mast,

eosinofil

imunitas
nonspesifik
Sel

efektor Tidak ada

TH1

TH2, sel B

TH2, sel B

dalam
imunitas
spesifik
Mediator

Komplemen,

TNF, IL-12, IL- Histamin,

GM-CSF,

18,

TNF,

kemokin

sel IL-3,

IFN-y, mast isi granul

IL-4,

IL-5,
leukotrin,

kemokin

kemokin

Efek

Respons fase Respons

fase Dapat

Eosinofilia,

sistemik

akut,

akut,

efek mengakibatkan

IgE

neutrofilia

kronis

TNF, anafilaksis

meningkat

neutrofilia
Jenis

Pembentukan

kerusakan

nanah, abses

Granuloma

Edem,

mukus, Inflamasi

kontraksi
polos

otot difus

di

mukosa atau
kulit
(Bratawidjaja, 2013)

Peran IFN-y dan TNF-alpha pada inflamasi kronis

12

Sitokin terutama TNF-y dan TNF-alpha berperan pada inflamasi


kronis, TH1, sel NK dan sel Tc melepas IFN-y, sementara mekrofag yang
diaktifkan melepas TNF-alpha. Anggota famili glikoprotein (TNF-alpha
dan beta) dilepas sel terinfeksi virus dan memberikan proteksi antivirus
pada sel sekitar. IFN-alpha diproduksi oleh leukosit, IFN-beta sering
disebut interferon fibroblast, IFN-y hanya diproduksi sel T dan sel NK.
IFN-y menunjukkan sifat pleiotropik yang dapat dibedakan dari IFN-alpha
dan IFN-beta dan berperan pada respons inflamasi. Salah satu efek IFN-y
adalah kemampuannya mengaktifkan mikrofag. (Bratawidjaja, 2013)
IFN-alpha merupakan sitokin utama yang dilepas oleh makrofag yang
diaktifkan. Endotoksin memacu makrofag untuk memproduksi TNF-alpha.
Yang akhirnya memiliki sifat sitotoksik direk terhadap sel tumor tetapi
tidak terhadap sel normal. TNF-alpha juga berperan dalam kehilangan
material jaringan yang merupakan ciri inflamasi kronis. TNF-alpha
bekerja sinergistik dengan INF-y dalam inisiasi respons inflamasi kronis.
Kedua sitokin bersama menginduksi pengikatan yang lebih besar dari
ICAM-1, E-selektin dan MHC-1 dibanding masing-masing sitokin sendiri.
(Bratawidjaja, 2013)
4. Efek Sistemik Inflamasi
Setiap orang yang telah menderita penyakit virus berat telah
mengalami efek sistemik inflamasi, yang secara bersamaan disebut reaksi fase
inflamasi akut. Demam hanya salah satu dari berbagai efek sistemik inflamasi
yang lebih nyata:efek lainnya, yaitu peningkatan somnolen, malaise,
anoreksia, degradasi otot skelet yang dipercepat, hipotensi, sintesis hepatik
berbagai protein, misalnya pada protein komplemen dan perubahan pool sel
darah putih dalam sirkulasi. (Robbins, 2007)
Sitokin IL-1, IL-6 dan TNF merupakan mediator reaksi fase akut yang
paling penting. Sitokin ini dihasilkan oleh leukosit sebagai respon terhadap
infeksi atau terhadap cedera imun dan toksik, dan dilepaskan secara sistemik
yang sering kali dalam bentuk kaskade sitokin. Oleh karena itu,TNF
menginduksi produksi IL-1 yang selanjutnya merangsang IL-6. Walaupun
terdapat perbedaan TNF dan IL-1 menyebabkan efek serupa misalnya
keduanya bekerja pada pusat pengatur suhu (termoregulator) hippotalamus13

melalui produksi PGE lokal-untuk menginduksi demam (oleh karena itu,


aspirin dan OAINS efektif menurunkan demam). IL-6 merangsang sintesis
hepatik beberapa protein plasma, yang terbanyak khususnya fibrinogen;
peningkatan kadar fibrinogen yang dapat menyebabkan eritrosit lebih mudah
beraglutinasi sehingga menjelaskan mengapa inflamasi akan disertai dengan
laju endap darah meningkat melalui pemerikasaan yang objektif. (Robbins,
2007)
Leukositosis (peningkatan jumlah sel darah putih) merupakan
gambaran umum reaksi radang, khusus nya yang diinduksi oleh infeksi
bakteri. Jumlah leukosit secara khusus meningkat sampai 15.000 atau 20.000
per L (normal=4.000 sampai 10.000 sel per L) tetapi dapat melonjak
menjadi 40.000 sampai 100.000 sel per L, yang disebut juga reaksi
leukemoid. Leukositosis awalnya terjadi karena pelepasan sel dari sumsum
tulang (disebabkan oleh IL-1 dan TNF) dan disertai peningkatan sejumlah
neutrofil yang imatur dalam darah (pergeseran ke kiri/left-shift). Namun,
infeksi yang memanjang menginduksi proliferasi prekursor dalam sumsum
tulang yang disebabkan oleh peningkatan produksi faktor perangsang koloni
(colony-stimulating factors) yang dikendalikan oleh IL-1 dan TNF. (Robbins,
2007)
Sebagian besar bakteri menginduksi peningkatan sel polimorfonuklear
(neutrofilia) yang relati selektif, sementara infeksi parasit (dan juga respon
alergi) secara khusus akan menginduksi eosinofilia. Virus tertentu, seperti
mononukleosis infeksiosa, gondongan(mumps) dan rubella, menimbulkan
peningkatan selektif pada limfosit (limfositosis). Namun demikian, sebagian
besar virus, riketsia, protozoa serta jenis infeksi bakteri tertentu (demam
tifoid) disertai dengan penurunan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi
(leukopeni). Leukopeni juga ditemukan pada infeksi yang sangat banyak
terdapat pada pasien yang tidak berdaya akibat misalnya kanker yang
menyebar. (Robbins, 2007)
Meskipun pembahasan ini menyimpulkan diskusi kita tentang berbagai
peristiwa yang terjadi pada sel dan molekul pada inflamasi akut dan kronik,

14

masih perlu mempertimbangkan perubahan yang diinduksi oleh upaya tubuh


untuk menyembuhkan kerusakan yaitu proses perbaikan. (Robbins, 2007)
5. Mekanisme Perubahan pH Lokal
Darah manusia mempunyai ph normal yaitu

7,35-7,45 dimana

kenadaan ph diantara 7,35-7,45 normal, namun apabila ph darah kurang dari


7,35 darah tersebut asam, dan apabila ph darah lebih dari 7,45 darah tersebut
dikatakan basa. Keadaan asam atau basa tersebut mempunyai efek terhadap
fungsi fisiologis dari tubuh manusia itu sendiri.(Sherwood.2012).
Pada keadaan dolor atau nyeri, pada suatu reaksi peradangan
tampaknya ditimbulkan dalam berbagai cara. Perubahan ph local atau
konsentrasi ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf bebas,
dimana pada perubahan ph local sendiri dikarnakan oleh vasodilatasi
pembuluh darah local, dimana vasodilatasi pembuluh darah local tersebut atau
pada arteriol disebabkan oleh penurunan aktifitas miogenik, penurunan
stimulasi simpatis, kenaikan nitrat oksida, peningkatan co2 dan metabolit lain
serta penurunan o2. penurunan o2 ke jaringan local luka menyebabkan ph
menjadi basa, karna sipat dari o2 sendiri asam, menyebabkan darah local
menjadi alkalosis.(Sherwood.2012).
Efek alkalosis adalah eksitabilitas berlebihan dari system saraf,
pertama system saraf tepid an kemudian system saraf pusat bila alkalosis di
siskulasi darah sistemik. Saraf perifer menjadi sangat peka sehingga
melepaskan sinyal meskipun tidak ada rangsangan normal. Eksitabilitas
berlebihan saraf aferen (sensorik) tersebut menimbulkan rasa kesemutan
seperti di tusuk jarum. Eksitabilitas berlebihan saraf eferen(motoric)
menimbulkan kekedutan otot dan, pada kasus yang lebih parah, spasme otot
hebat. Alkalosis yang hebat dapat menyebabkan kematian karena spasme otot
pernafasan menghambat bernafas. Pasien alkalosis berat juga dapat meninggal
akibat kejang karena eksitabilitas berlebihan susunan saraf pusat. Pada
keadaan yang kurang serius, eksitabilitas berlebihan susunan saraf pusat
bermanimfestasi sebagai kecemasan yang berlebih.(Sherwood.2012).

15

DAFTAR PUSTAKA

Price S. A. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Vol


1. Jakarta ; EGC
Kumar, Vinay.dkk. 2010. Robbins & Cotran Dasar Patologis Penyakit. Jakarta :
EGC
Robbin dan Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1 Edisi 7. Jakarta : EGC
Sherwood, L. Buku Ajar Fisiologi Dari Sel ke Sel Edisi 5. Jakarta : EGC

16

Anda mungkin juga menyukai