Anda di halaman 1dari 2

Etika Berbicara Terhadap Atasan

DALAM Bahasa Indonesia, sejak lama penggunaan kata ganti orang kedua telah menjadi
masalah yang sulit untuk dicarikan pemecahan yang memuaskan. Ketika kata kamu mulai
dianggap tidak sopan digunakan untuk orang yang lebih tua atau lebih dihormati, pada awal
tahun 1960-an Pak Rosihan Anwar memperkenalkan kata anda. Dengan cepat kata anda diserap
oleh masyarakat, didalam percakapan maupun dalam surat menyurat. Tetapi didalam pergaulan
yang lebih akrab, kata anda tidak dipergunakan karena terasa terlalu formal. Anak muda
termasuk di kampus di Jakarta masih menggunakan kata lu. Saya tidak tahu kapan mulainya,
terasa bahwa kata anda sudah tidak memadai dalam etika percakapan. Terhadap orang yang lebih
muda atau bawahan, kata anda terasa sangat tepat untuk digunakan. Juga untuk orang yang
setara. Tetapi terhadap orang yang lebih tua atau terhadap atasan, terasa kurang tepat.
Terhadap atasan, orang yang lebih tua atau yang perlu dihormati, banyak yang menggunakan
kata bapak atau ibu sebagai kata pengganti orang kedua. Untuk kalangan tertentu kita
menggunakan kata abang. Untuk orang Jawa digunakan kata sampean terhadap yang setara dan
kata panjenengan terhadap yang lebih tua atau atasan. Untuk kalangan santri, lazim dipakai kata
ente atau antum yang lebih sopan.
Dalam dialog yang bersifat formal, banyak yang masih canggung menggunakan kata
ganti yang sudah lama kita pergunakan yaitu kata saudara. Tentu dalam dialog seperti itu kita
tidak mungkin menggunakan kata kamu sebagai kata pengganti orang kedua.
Sebagai contoh dikemukakan dialog antara Andy Noya dengan Sultan Hamengku Buwono X
dalam acara Kick Andy. Andy memakai kata anda terhadap HB X, sebaliknya HB X memakai
kata bapak terhadap Andy. Seorang kawan, mengatakan bahwa Andy tidak punya etika
berbahasa. Sudah disindir oleh HB X dengan sebutan bapak, dia masih memakai kata anda
terhadap HB X. Contoh lain adalah dialog dalam rapat Pansus Angket Bank Century. Terhadap
Wapres digunakan panggilan Bapak dan Wapres juga menggunakan panggilan Bapak atau Ibu.
Tetapi Marsillam lebih lugas dan tidak canggung. Dia gunakan kata saudara untuk kata ganti
orang kedua terhadap para anggota Pansus. Maka para anggota Pansus juga memanggil
Marsillam dengan kata Saudara Saksi.
Menurut saya, cara yang dipakai oleh Marsillam lebih baik dan perlu didorong untuk
digunakan secara luas. Kalau sudah dipergunakan secara luas tentu tidak usah menimbulkan
perasaan rikuh atau canggung bagi penggunanya. Tidak pula perlu menimbulkan perasaan tidak
enak karena kurang menghormati lawan bicara kita. Dan lawan bicara kita juga tidak perlu
merasa tidak kita hormati. Dalam tayangan TV tentang jalannya sidang Pansus BC, kita juga
melihat banyak etika berbicara yang tidak dijaga dengan baik. Contohnya ialah intonasi suara
beberapa anggota DPR yang sering terlalu tinggi dan terkesan seperti menghadapi pesakitan.
Perang mulut antara Gayus Lumbuun dengan Ruhut Sitompul yang menggunakan kata-kata yang
tidak pantas, memberi kesan amat negatif terhadap masyarakat. Amat mungkin contoh-contoh
negatif di atas dan mungkin yang lain tentang etika berbicara yang tidak dijaga, akan ditiru oleh

para anggota DPRD dan masyarakat. Karenanya contoh-contoh itu perlu dicatat oleh pimpinan
fraksi masing-masing dan juga oleh pimpinan DPR lalu dicari jalan untuk bisa memperbaikinya.
Saya pernah membaca tulisan tentang kemampuan anggota DPR Inggris dalam berbicara yang
mampu menyampaikan pikiran secara singkat dan padat, langsung pada sasaran, dan tidak
bertele-tele. Ada baiknya para anggota DPR cukup rendah hati untuk mendapat pelatihan guna
meningkatkan kemampuan berbicara mereka sehingga efektif, hemat waktu, dan beretika.
(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)
Sumber : http://www.pelita.or.id

Anda mungkin juga menyukai