LP Hiv + TBC
LP Hiv + TBC
Definisi HIV-AIDS
1. HIV
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel
darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut sel T-4 atau disebut juga sel
lainnya
sebagai
akibat
dari
gangguan
kekebalan
tubuh.
(Brunner&Suddarth, 2002).
HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh
manusia, dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang
2. AIDS
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV.
Kerusakan progresif pada system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA ( orang
dengan HIV /AIDS ) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam
penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan
daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar ( bukan dibawa sejak lahir )
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan
dengan
infeksi
(Brunner&Suddarth, 2002)
Human
Immunodefciency
Virus
HIV
).
AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan
ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan
imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa
kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi (Widoyono, 2005)
A. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS.
Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi
yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur.
Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol,
env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam
patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen
virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari
infeksi
HIV.
keluarnya
transkrip
untuk
virus
ekspresi
yang
protein
terlepas
dari
struktural
nukleus.
Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel
yang lain (Mandal, 2008).
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIV
1. Imunologi System
Sistem imun :
sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam mengenali dan menghancurkan
bahan yang bukan normal self (bahan asing atau abnormal cells)
Imunitas atu respon imun :
Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin yang berbahaya
Imunitas:
a) Alami / Bawaan
b) Adaptif / Didapativ
a) Imunitas Bawaan
Vasodilatasi pembuluh darah local -> aliran darah meningkat -> membawa
darah
Imunitas yang diperantarai sel / imunitas sel-T
pembentukan limfosit-T teraktivasi secara khusus untuk menghancurkan
benda asing
Imunitas didapat merupakan produk limfosit
Limfosit paling banyak ditemukan di nodus limfe
Dapat juga ditemukan di jaringan limfoid khusus seperti limpa, submukosa
saluran cerna, timus & sutul
Imunitas selular
Imunitas selular adalah respon imun yang dilakukan oleh molekul-molekul
protein yang tersimpan dalam limfa dan plasma darah. Imunitas ini dimediasi
oleh sel T limfosit. Mekanisme ini ditujukan untuk benda asing yang dapat
menginfeksi sel (beberapa bakteri dan virus) sehingga tidak dapat dilekati
oleh antibodi
Sel T adalah sel di dalam salah satu grup sel darah putih yang diketahui
sebagai limfosit dan memainkan peran utama pada kekebalan selular.
Tipe sel T:
1. Sel T pembantu (helper T cells) : jumlahnya paling besar, membantu
melakukan fungsi sistem imun, disebut juga CD4+
2. Sel T sitotoksik (cytotoxic T cells): sel penyerang mikroorganisme & sel
kanker,disebut juga CD8+ T cells
3. Sel T supresor (regulatory T cells): membatasi kemampuan sistem imun
untuk menyerang jaringan tubuh sendiri
4. Sel T memori adalah Sel T yang mengandung informasi mengenai antigen
tertentu dan tetap berada di dalam plasma bahkan setelah sebuah infeksi telah
lama dipadamkan. Sel T memori dapat berkembangbiak saat terpapar kembali
dengan antigen yang sama (bahasa Inggris: cognate antigen) sehingga
memberikan umpan balik berupa sistem kekebalan yang terjadi pada saat
infeksi sebelumnya.
1400-1500.
Fungsi :
Pengendali ; mengaitkan sistem monosit-makrofag ke sistem limfoid
Berinteraksi dengan sel penyaji antigen untuk mengendalikan Iagi
Menghasilkan sitokin yang memungkin tumbuhnya sel CD4 dan CD8
Berkembang menjadi sel pengingat
CD 8 T cell
Kadang disebut sel T-8
Mampu mematikan sel terinfeksi virus, sel tumor
Sel CD4 dapat dibedakan dari sel CD8 berdasarkan protein tertentu yang ada di
permukaan sel
Makrofag
Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau mencerna
sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang mengandung determinan
antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya
sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu.
C. Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe,
limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel
lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian
yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan
reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer
penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat doublestranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus
dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper
tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV
didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang
asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T
sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit.
Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan
penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius (Price, 2006)
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini,
jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4
mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul,
Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus
berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS
apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS (Corwin, 2009)
D. Manifestasi Klinis
Gejala Klinis
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a.
Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada
b.
orang lain.
Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
c.
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi)
dan gejala minor (tidak umum terjadi):
a.
Gejala mayor :
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
Demensia/ HIV ensefalopati
b.
Gejala minor :
Batuk menetap lebih dari 1 bulan
Dermatitis generalisata
Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
Kandidiasi orofaringeal
Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
E. Cara Penularan
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua
cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama
laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak
seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu.
Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu
2.
3.
yang terinfeksi
HIV.
Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam
tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna
narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur
tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas
4.
kesehatan.
Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan
karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan
5.
6.
sepenuhnya sebelum
digunakan.
Melalui transplantasi organ pengidap HIV
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan
7.
F. KOMPLIKASI
1. Oral Lesi
Kandidiasis, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan
kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
b. Enselophaty
akut,
karena
reaksi
terapeutik,
hipoksia,
hipoglikemia,
Kaposi.
Dengan
efek,
penurunan
berat
karena
pneumococcus,
Pneumocystic
dan
Carinii,
cytomegalovirus,
virus
influenza,
dengan
efek
nafas
strongyloides
pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa
terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Inilah
sebabnya
mengapa
dibutuhkan
waktu
3-6
bulan
untuk
mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk
mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi.
Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi
HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju (Brunner&Suddarth,
2002).
H. PENATALAKSANAAN
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency
Virus (HIV), bisa dilakukan dengan (Widoyono, 2005) :
1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang
tidak terinfeksi.
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang
tidak terlindungi.
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status
Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terpinya yaitu :
1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan
bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien
AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
3. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat
replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah
:
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxycytidine
d. Recombinant CD 4 dapat larut
e. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
I. Pengkajian
1. Riwayat : Tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2. Penampilan umum : pucat dan kelaparan
3. Gejala Subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, dan sulit tidur.
4. Kepala: Sakit kepala, edem muka, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara
berubah, epsitaksis.
5. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku
kuduk, kejang, paraplegia.
6. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
7. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi.
8. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, menggunakan otot bantu pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
9. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
10. Genital : lesi atau eksudat pada genital.
11. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas : spasme jalan nafas, sekresi
tertahan, banyaknya mukus
2. Pola napas tidak efektif b.d penurunan energi, kelelahan, nyeri, kecemasan
3. Hipertermia b.d proses penyakit, peningkatan metabolisme, dehidrasi
4. Nyeri b.d agen injury biologis
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d ketidakmampuan
pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat-zat gizi berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
6. Kurang Pengetahuan b.d kurangnya paparan atau informasi
7. Deficit volume cairan b.d kegagalan mekanisme pengaturan
8. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan status metabolik
9. Resiko infeksi dengan factor resiko prosedur Infasif, malnutrisi, imonusupresi ,
ketidakadekuatan imun buatan , tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan respon inflamasi), tidak adekuat pertahanan tubuh primer
10. Kelelahan b.d anemia, status penyakit
11. Deficit perawatan diri b.d kelemahan fisik
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Bersihan Jalan Nafas tidak Efektif
Berhubungan Dengan Akumulasi
Sekret Kental
INTERVENSI
(NIC)
Airway suction
Pastikan kebutuhan oral / tracheal
suctioning
Auskultasi suara nafas sebelum dan
sesudah suctioning.
Informasikan pada klien dan keluarga
tentang suctioning
Minta klien nafas dalam sebelum suction
dilakukan.
Berikan O2 dengan menggunakan nasal
untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
Gunakan alat yang steril sitiap melakukan
tindakan
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
dalam setelah kateter dikeluarkan dari
nasotrakeal
Monitor status oksigen pasien
Ajarkan
keluarga
bagaimana
cara
melakukan suksion
Hentikan suksion dan berikan oksigen
apabila pasien menunjukkan bradikardi,
peningkatan saturasi O2, dll.
Airway Management
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
2.
ventilasi
Identifikasi pasien perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
Pasang mayo bila perlu
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
Lakukan suction pada mayo
Berikan bronkodilator bila perlu
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Lembab
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
NOC :
Airway Management
1. Respiratory Status : Gas exchange Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
2. Respiratory Status : ventilation
atau jaw thrust bila perlu
3. Vital Sign Status
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
Kriteria Hasil :
Identifikasi pasien perlunya pemasangan
Mendemonstrasikan peningkatan
alat jalan nafas buatan
ventilasi dan oksigenasi yang Pasang mayo bila perlu
adekuat
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Memelihara kebersihan paru paru
Keluarkan sekret dengan batuk atau
dan bebas dari tanda tanda
suction
distress pernafasan
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
Mendemonstrasikan batuk efektif
tambahan
dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu Lakukan suction pada mayo
Respiratory Monitoring
Monitor rata rata, kedalaman, irama dan
usaha respirasi
Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostals
Monitor suara nafas, seperti dengkur
Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
biot
Catat lokasi trakea
Monitor kelelahan otot diagfragma
(gerakan paradoksis)
Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada
jalan napas utama
auskultasi suara paru setelah tindakan
untuk mengetahui hasilnya
3.
NOC :
Nutrition Management
1. Nutritional Status : food and Fluid Kaji adanya alergi makanan
Intake
Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk
Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan berat badan
sesuai dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai dengan
tinggi badan
Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda malnutrisi
Tidak terjadi penurunan berat
badan yang berarti
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal
Monitor adanya penurunan berat badan
Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan
Monitor interaksi anak atau orangtua
selama makan
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan dan tindakan
tidak selama jam makan
4.
NOC :
Thermoregulation
Kriteria Hasil :
Suhu tubuh dalam rentang normal
Nadi dan RR dalam rentang
normal
Tidak ada perubahan warna kulit
dan tidak ada pusing, merasa
nyaman
Fever treatment
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor IWL
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik
Berikan pengobatan untuk mengatasi
penyebab demam
Selimuti pasien
Lakukan tapid sponge
5.
NOC :
1. Pain Level,
2. Pain control,
3. Comfort level
Kriteria Hasil :
Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
untuk
mengurangi
nyeri,
mencari
bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri
berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal
Pain Management
Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi
Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
Gunakan teknik komunikasi terapeutik
untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
Kaji kultur yang mempengaruhi respon
nyeri
Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan
Kontrol
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic Administration
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi
dari
analgesik
ketika
pemberian lebih dari satu
Tentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
Tentukan
analgesik
pilihan,
rute
pemberian, dan dosis optimal
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Berikan analgesik tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
6
Manajemen Cairan
Monitor adanya
factor-faktor
yang
kriteria hasil :
-Mempertahankan urine output >
1300 ml/hr
- Mempertahankan
turgor
kulit
elastis, mambran mukosa dan lidah,
orientasi pada orang, tempat dan
waktu
- Menjelaskan cara pengukuran yang
dapat dilakukan untuk mencegah
kehilangan volume cairan.
Manajemen Hipovolemi
Monitor tanda vital klien dengan definisit
volume cairan setiap 15 menit 1 jam
pada klien yang tidak stabil, observasi
penurunan TD (Hipetensi) tachicardi,
penurunan volume nadi serta peningkatan/
penurunan temperatur tubuh.
Monitor turgor kulit, haus, lidah dan
mambran mukosa yang kering, kesulitan
berbicara, kulit kering, kelelahan dan
kesadaran klien
Kesediaan air segar dan cairan oral untuk
klien
Pertahankan ketepatan cairan IVFD
dengan hati-hati
Kaji pengetahuan pasien dan keluarga
tentang proses penyakit dan komplikasi
dari penurunan volume cairan
Ajarkan pada keluarga tentang pengukuran
Kerusakan
integritas
kulit
perubahan status metabolik
b.d NOC
kerusakan integritas kulit berkurang
Perawatan Kulit
Implemetasikan rencana pengobatan yang
diresepkan untuk pengobatan topical pada
tempat kulit yang mengalami kerusakan
Pilih pengobatan topical yang akan
mempertahankan
lingkungan
penyembuhan
luka
basah
dan
keseimbangan
dengan
kebutuhan
pengabsobsi eksudat.
Ajarkan klien menggunakan obat topical
yang sesuai dengan luka dan lokasinya
kriteria hasil :
1.Menunjukkan adanya integritas
permukaan kulit
2. Melaporkan adanya perubahan
sensasi atau nyeri pada tempat
terjadinya kerusakan kulit
3.Mendemonstrasikan
pemahaman
tentang rencana penyembuhan kulit
dan pencegahan kembali luka
4.Mendeskripsikan
tindakan Perawatan Luka
melindungi dan penyembuhan kulit
Kaji tempat / lokasi kerusakan kulit dan
serta perawatan lesi kulit
tentukan penyebab.
Monitor lokasi kerusakan kulit paling
sedikit sekali sehari untuk perubahan
warna, kemerahan, pembekakan, hangat,
nyeri atau tanda-tanda infeksi lain.
Tentukan apakah pasien mengalami
perubahan dalam sensasi nyeri.
Monitor cara perawatan kulit klien, catat
jenis sabun atau bahan pembersih lain yang
digunakan, suhu air yang digunakan dalam
membersihkan kulit
Jangan memposisikan pasien pada lokasi
kulit yang mengalami kerusakan jika
sesuai dengan tujuan manajemen pasien
secara keseluruhan, rubah dan posisikan
pasien paling sedikit 2 jam. Pindahkan
pasien
dengan
perawatan
pada
perlindungan
terhadap
efek
yang
merugikan
dari
kekuatan
mekanik
eksternal seperti tekanan, gesekan dan
teriris.
Hindari melakukan masase di sekitar kulit
dan sekeliling Daerah Bone Prominance
Ajarkan klien mengkaji kulit dan luka serta
memonitor tanda dan gejala infeksi,
komplikasi dan penyembuhan luka.
NOC
Kontrol infeksi.
Infeksi terkontrol
Batasi pengunjung.
Bersihkan lingkungan pasien secara
Kriteria Hasil:
benar setiap setelah digunakan pasien.
Bebas dari tanda dangejala
Cuci tangan sebelum dan sesudah
infeksi.
merawat pasien, dan ajari cuci tangan
Keluarga tahu tanda-tanda infeksi
yang benar.
Angka leukosit normal.
Pastikan teknik perawatan luka yang
sesuai jika ada.
Tingkatkan masukkan gizi yang
cukup.
Tingkatkan masukan cairan yang
cukup.
Anjurkan istirahat.
Berikan therapi antibiotik yang sesuai,
dan anjurkan untuk minum sesuai
aturan.
Ajari
keluarga
cara
menghindari infeksi serta
tentang
tanda dan gejala infeksi dan segera
untuk
melaporkan
keperawat
kesehatan.
Pastikan penanganan aseptic semua
10
Proteksi infeksi.
Monitor tanda dan gejala infeksi.
Monitor WBC.
Anjurkan istirahat.
Ajari anggota keluarga cara-cara
menghindari infeksi dan tanda-tanda
dan gejala infeksi.
Batasi jumlah pengunjung.
Tingkatkan masukan gizi dan cairan
yang cukup
Kelelahan b.d anemia, status penyakit
NOC :
Energy Management
Endurance
Observasi adanya pembatasan klien
dalam melakukan aktivitas
Concentration
Dorong anal untuk mengungkapkan
Energy conservation
perasaan terhadap keterbatasan
Nutritional status : energy
Kaji adanya factor yang menyebabkan
kelelahan
Kriteria Hasil :
Memverbalisasikan peningkatan Monitor nutrisi dan sumber energi
tangadekuat
energi dan merasa lebih baik
Menjelaskan penggunaan energi Monitor pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan
untuk mengatasi kelelahan
Monitor respon kardivaskuler terhadap
aktivitas
Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
Deficit perawatan diri b.d kelemahan NOC
SELF CARE ASSISTANCE
fisik
Deficit perawatan diri dapat teratasi
Monitor kemampuan klien untuk
kriteria hasil:
perawatan diri secara mandiri
Self Care : ADL
pasien
melaporkan
melakukan
ADL
mandiri
bisa
secara
L. Daftar Pustaka
Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Widoyono. 2005. Penyakit HIV: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical
Series
Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mandal,dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series
http://hanifatunnisaa.wordpress.com/2012/08/24/definisi-sejarah-gejala-cara-penularan-dan-pencegahan-penyakit-hiv-aids/
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Syaifudin. 2009. Anatomi dan fisiologi untuk perawat. Jakarta : EGC.
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
A. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman batang tanhan asam ini dapat merupakan organisme patogen
maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteria patogen , tettapi hanya strain bovin
dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2
sampai 4 m, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah (Price,2006).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh
2007)
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim
B. Etiologi
Penyebab TB adalah Mycobacterium Tuberculosis yaitu sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1 4 /m dan tebal 0,3 0,5 m. Kuman dapat bertahan
hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman
bersifat dormant yaitu dapat bangkit kembali menjadi TB aktif. Kuman ini juga disebut
kuman aerob yaitu kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya (Price, 2006).
C. Anatomi fisiologis
Secara
umum
fungsi
utama
dari
saluran
pernafasan
atas
adalah:
Air conduction kepada saluran nafas bagian bawah untuk pertukaran gas.
Protection saluran nafas bagian bawah dari benda asing. Warming filtration dan
humidification dari udara yang
1.
Hidung (cavum nasalis)
Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh
darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan dengan selaput lendir sinus yang
2.
larinx (larinx-faringeal).
Laring (tenggorok)
Terletak di depan bagian terendah farinx yang mernisahkan dari columna vertebrata,
berjalan dari farinx. sampai ketinggian vertebrata servikals dan masuk ke dalarn
trachea di bawahnya. Larynx terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama
oleh ligarnen dan membrane.
Saluran pernafasan bagian bawah (lower
saluran pernafasan bagian bawah terbagi menjadi dua komponen,yaitu sebagai berikut
(Syaifuddin, 2009) :
Saluran udara kondusi : Sering disebut sebagai percabangan trakeobronkialis,terdiri
Paru-paru terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan.
Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga
pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikn. Paru kanan
dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru
kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus
oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula,
bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan
bahwa stiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai
permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas.\
D. Patofisiologi
Port deentri kuman microbakterium tuberculosis adalah saluran pernapasan,
saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi
melalui udara (air borne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kumankuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Tambayong, 2003).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi terdiri
dari satu sampai tiga gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan disaluran
hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada
dalam ruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atau paru-paru atau dibagian atas
lobus bawah atau paru-paru tau dibagian bawah atas lobus bawah. Basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat
tersebut dan memfagosit bacteria namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah
hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag (Corwin, 2009). Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia
seluler ini dapat sembuh denagn sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau
proses dapat juga berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di
dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel
tuberkel epitolit yang dikelilingi leh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 1
sampai 10 hari (Price, 2006)
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum Tb paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum ,
malaise , gejala flu , demam ringan , nyeri dada , batuk darah . ( Mansjoer , 2007). Gejala
lain yaitu kelelahan, anorexia, penurunan Berat badan ( Brunner&Suddarth, 2002 )
1. Demam : subfebril menyerupai influenza
2. Batuk : - batuk kering (non produktif) batuk produktif (sputum), - hemaptoe
3. Sesak Nafas : pada penyakit TB yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah
bagian paru-paru
4. Nyeri dada
5. Malaise : anoreksia, nafsu makan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam
F. KLASIFIKASI
Pembagian tuberculosis (TB) paru dari sistem lama diketahui beberapa klasipikasi seperti
:
1. Pembagian secara patologis
Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)
Tuberculosis post primer (adult tuberculosis)
2. Pembagian secara aktivitas radiologis tuberculosis paru (koch pulmonum) aktif, non
aktif dan quessent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).
3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru
maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4
cm. jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satuan bagian paru. Bila
bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan
Obat tersebut diberikan pada penderita baru Y+TB Paru BTA Positif, penderita TB
Paru BTA Negatif Roentgen Positif yang sakit berat dan Penderita TB ekstra Paru
Berat.
2. Kategori II :
Paduan obat 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Obat ini diberikan untuk : penderita kambuh (relaps), pendrita gagal (failure) dan
penderita dengan pengobatan setelah lalai ( after default)
3. Kategori III :
sakit ringan,
4. Roentgen
Foto PA
H. Medikamentosa
- Obat Sekunder
1. Isoniazid (H)
1. Ekonamid
2. Rifampisin (R)
2. Protionamid
3. Pirazinamid (Z)
3. Sikloserin
4. Streptomisin
4. Kanamisin
5. Etambutol (E)
Tabel 2.1
Dosis Obat Antituberkulosis
Obat
Dosis
Isoniazid
Setiap hari
Dua kali/minggu
Tiga kali/minggu
5mg/kg
15 mg/kg
15 mg/kg
Maksimal
300Maksimal 900 mg
Maksimal 900 mg
mg
Rifampisin
10 mg/kg
Maksimal
10 mg/kg
600Maksimal 600 mg
10 mg/kg
Maksimal 600 mg
mg
Pirazinamid
15- 30 mg/kg
50-70 mg/kg
Etambutol
15- 30 mg/kg
Maksimal
50-70 mg/kg
Maksimal 3 gram
50 mg/kg
25-30 mg/kg
25-30 mg/kg
25-30 mg/kg
2,5
gram
Streptomisin
15 mg/kg
Maksimal 1 gram
2.
Pleuritis tuberkulosa
3.
Efusi pleura
4.
Tuberkulosa milier
5.
Meningitis tuberkulosa
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kultur Sputum adalah Mikobakterium Tuberkulosis Positif pada tahap akhir penyakit
2. Tes Tuberkalin adalah Mantolix test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 4872 jam)
3. Poto Thorak adalah Infiltrasi lesi awal pada area paru atas : pada tahap dini tampak
gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas : pada kavitas
bayangan, berupa cincin : pada klasifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi.
4. Bronchografi adalah untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena Tb
paru
5. Darah adalah peningkatan leukosit dan laju Endap darah (LED)
6. Spirometri adalah Penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital menurun
K. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Data Biografi Klien
Yang perlu dikaji adalah : nama, usia, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat
dan tanggal masuk rumah sakit.
b. Data Biografi Penanggung Jawab
Yang perlu dikaji adalah : nama, usia, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat
dan hubungan dengan klien.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : keluhan utama adalah keluhan yang paling menonjol yang
dirasakan klien saat dikaji yaitu : adanya batuk pilek yang lama ( 4 minggu),
terasa sesak waktu bernafas.
b. Riwayat kesehatan sekarang menjabarkan kejadian sampai terjadinya penyakit
saat ini yang menyebabkan klien mencari pertolongan. Merupakan penjabaran
dari keluhan utama yang dirasakan saat dikaji dengan menggunakan PQRST.
c. Riwayat kesehatan dahulu adanya batuk pilek yang mungkin berhubungan dengan
penyakit sekarang atau klien pernah mengalami penyakit yang sama dengan
penyakit yang sekarang.
d. Riwayat kesehatan keluarga apakah ada anggota keluarga yang mengalami
penyakit yang sama dengan klien atau penyakit yang diturunkan atau penyakit
menular.
k. Sistem endokrin
Menjelaskan mengenai keadaan kulit meliputi warna, tekstur, turgor dan keadaan
kulit, tekstur dan bentuk rambut, keadaan wajah pucat atau tidak.
l. Sistem Neurologis
Tuberculosis paru bisa dikompilasikan ke otak (meningens) apabila pengobatan
tidak teratur atau tidak tuntas.
4. Pemeriksaan penunjang / Diagnostik
a. Hasil labolatorium darah : gambaran darah tepi menunjukkan adanya leukositosis,
laju endap darah meningkat. Pemeriksaan bakteriologi : ditemukannya basil
tuberculosis akan memastikan diagnosis tuberculosis, tetapi walaupun tidak
diketemukan bukan berarti tidak menderita tuberculosis paru. Bahan yang
digunakan :
Bilasan lambung
Sekret bronchus
Sputum
Cairan pleura
b. Hasil foto thorax terdapat pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau
tanpa infiltrat.
L. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret kental atau
sekret darah
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveoler-kapiler
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
4. Nyeri Akut berhubungan dengan nyeri dada pleuritis
5. Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan terhadap informasi
INTERVENSI
(NIC)
NIC :
Airway suction
Pastikan kebutuhan oral / tracheal
suctioning
Auskultasi suara nafas sebelum dan
sesudah suctioning.
Informasikan pada klien dan keluarga
tentang suctioning
Minta klien nafas dalam sebelum suction
dilakukan.
Berikan O2 dengan menggunakan nasal
untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
Gunakan alat yang steril sitiap melakukan
tindakan
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
dalam setelah kateter dikeluarkan dari
nasotrakeal
Monitor status oksigen pasien
Ajarkan
keluarga
bagaimana
cara
melakukan suksion
Hentikan suksion dan berikan oksigen
apabila pasien menunjukkan bradikardi,
peningkatan saturasi O2, dll.
Airway Management
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
2.
ventilasi
Identifikasi pasien perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
Pasang mayo bila perlu
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
Lakukan suction pada mayo
Berikan bronkodilator bila perlu
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Lembab
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
NOC :
NIC :
4. Respiratory Status : Gas exchange Airway Management
5. Respiratory Status : ventilation
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
6. Vital Sign Status
atau jaw thrust bila perlu
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Kriteria Hasil :
ventilasi
Mendemonstrasikan peningkatan Identifikasi pasien perlunya pemasangan
ventilasi dan oksigenasi yang
alat jalan nafas buatan
adekuat
Pasang mayo bila perlu
Memelihara kebersihan paru paru Lakukan fisioterapi dada jika perlu
dan bebas dari tanda tanda
Keluarkan sekret dengan batuk atau
distress pernafasan
suction
Mendemonstrasikan batuk efektif
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
dan suara nafas yang bersih, tidak
tambahan
ada sianosis dan dyspneu (mampu
Respiratory Monitoring
Monitor rata rata, kedalaman, irama dan
usaha respirasi
Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostals
Monitor suara nafas, seperti dengkur
Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes,
biot
Catat lokasi trakea
Monitor kelelahan otot diagfragma
(gerakan paradoksis)
Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada
jalan napas utama
auskultasi suara paru setelah tindakan
untuk mengetahui hasilnya
3.
NOC :
NIC :
2. Nutritional Status : food and Fluid Nutrition Management
anoreksia
Intake
Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan berat badan
sesuai dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai dengan
tinggi badan
Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda malnutrisi
Tidak terjadi penurunan berat
badan yang berarti
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal
Monitor adanya penurunan berat badan
Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan
Monitor interaksi anak atau orangtua
selama makan
Monitor lingkungan selama makan
4.
NOC :
Thermoregulation
Kriteria Hasil :
Suhu tubuh dalam rentang normal
Nadi dan RR dalam rentang
normal
Tidak ada perubahan warna kulit
dan tidak ada pusing, merasa
nyaman
NIC :
Fever treatment
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor IWL
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik
Berikan pengobatan untuk mengatasi
penyebab demam
Selimuti pasien
Lakukan tapid sponge
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan
aksila
Tingkatkan sirkulasi udara
Berikan pengobatan untuk mencegah
terjadinya menggigil
Temperature regulation
Monitor suhu minimal tiap 2 jam
Rencanakan monitoring suhu secara
kontinyu
Monitor TD, nadi, dan RR
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Selimuti
pasien
untuk
mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas
Diskusikan
tentang
pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency
yang diperlukan
Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
5.
penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
untuk
mengurangi
nyeri,
mencari
bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri
berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal
ketidaknyamanan
Gunakan teknik komunikasi terapeutik
untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
Kaji kultur yang mempengaruhi respon
nyeri
Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan
Kontrol
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic Administration
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi
dari
analgesik
ketika
pemberian lebih dari satu
Tentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
Tentukan
analgesik
pilihan,
rute
pemberian, dan dosis optimal
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Berikan analgesik tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa
6. Jakarta: EGC
Keperawatan,
Aplikasi
pada
Praktik
Klinis,
edisi
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis.Depkes RI : Jakarta.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey:Upper Saddle River
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.
Syaifudin. 2009. Anatomi dan fisiologi untuk perawat. Jakarta : EGC.
Diana C. Baughman. 2000. Patofisiologi. Jakarta : EGC,
Soedarsono. (2000). Guidelines of Pulmonology. Jakarta : EGC
Price, S. A. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC