Anda di halaman 1dari 6

Stevens Johnson Syndrome (SSJ) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)

di Asia Tenggara

Pendahuluan
Stevens Johnson Syndrome (SSJ) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) adalah reaksi
yang mengancam jiwa yang parah ditandai dengan pemisahan epidermis dan peradangan
mukosa. Reaksi ini sebagian besar berhubungan dengan obat. Meskipun spektrum yang luas dari
obat telah dilaporkan sebagai penyebab dalam reaksi ini, SCAR (Severe Cutaneous Adverse
Reactions) internasional case control dan studi EuroSCA telah menunjukkan bahwa di Eropa,
sebagian besar reaksi dapat dikaitkan dengan kelompok obat yang berisiko tinggi seperti
allopurinol, carbamazepin, phenytoin, lamotrigin, oxicam, Obat anti-inflamasi nonsteroid,
antibiotik sulfonamide, dan nevirapine.
Secara tidak langsung, beberapa penelitian epidemiologi (baik retrospektif dan
prospektif) telah dilakukan di Eropa untuk melihat kejadian SSJ/TEN. Penelitian awal berbasis
rumah sakit retrospektif telah memperkirakan kejadian TEN di Perancis dan Jerman menjadi
masing-masing 1,2 dan 0,9 kasus / juta / tahun,. Studi prospektif terbaru berbasis populasi
berdasarkan registrasi Jerman telah memperkirakan kejadian SSJ / TEN di Jerman untuk berada
dalam 2 kasus / juta / tahun.
Sekarang diketahui bahwa ada hubungan genetik yang kuat antara antigen leukosit
manusia dan obat yang memicu SSJ / TEN. Asosiasi genetik ini tidak hanya obat dan fenotipik
yang spesifik, tetapi juga etnis spesifik. Tujuan dari kajian ini adalah untuk meringkas ada data
epidemiologis pada SSJ / TEN di Asia Tenggara.
Geografi Asia Tenggara
Asia Tenggara adalah wilayah yang beragam terdiri dari 10 negara anggota (Brunei,
Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina,Thailand, Singapura, dan Vietnam). Ini
mencakup wilayah seluas 4,5 juta km2 dan memiliki penduduk sekitar 600 juta orang dari
beragam suku bangsa. Banyak data pada SSJ / TEN pada wilayah telah dipublikasikan yang
berasal dari Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, dan ini akan diringkas dalam ulasan ini.

Epidemiologi SSJ dan TEN di Asia Tenggara


Insiden SSJ / TEN di Asia Tenggara sebagian besar tidak jelas jumlahnya. Tidak ada
penelitian prospektif epidemiologi yang dipublikasikan. Studi secara retrospektif pada rumah
sakit telah memperkirakan kejadian TEN di Singapura untuk setidaknya 1,4 kasus / juta. Ketika
dianggap secara keseluruhan, prevalensi reaksi obat yang merugikan kulit (CADR) pada pasien
rawat inap bervariasi dari 1,3 menjadi 4,2 CADRs CADRs / 1000 pasien rumah sakit di
Singapura dengan efek samping kulit yang parah (SCAR) merupakan 5-14% dari reaksi. Di
Malaysia, kejadian CADR adalah 0,86% di antara pasien baru masuk pada sebuah rumah sakit
tersier dan SSJ / TEN terhitung untuk 30% dari reaksi.
Obat penyebab
Di Asia Tenggara, berdasarkan kasus yang dilaporkan dari tahun 1984 sampai 2013
(publikasi yang tumpang tindih dikecualikan), obat penyebab utama yang terlibat termasuk
carbamazepine (CBZ; 17%), allopurinol (15%), antibiotik sulfonamide (12%), phenytoin (PHT;
9%), obat anti-inflamasi nonsteroid (8%), lamotrigin (2%), fenobarbital (1%), dan antibiotik blaktam (13%). Distribusi kasus yang dilaporkan dan obat penyebab diringkas dalam Tabel 1 dan
Gambar 1. Obat berisiko tinggi, seperti yang diidentifikasi dalam studi Eropa, juga penyebab
utama di Asia Tenggara dalam 64% kasus.

Variasi obat penyebab di Asia Tenggara


CBZ dan PHT memicu SCAR
Proporsi CBZ dan PTH memicu SSJ / TEN di Asia Tenggara signifikan lebih tinggi,
perhitungan untuk 26% dari semua kasus (Gambar 1), sebagai perbandingan pada 12% populasi
Eropa. Meskipun variasi praktek klinis, pola peresepan, dan insiden penyakit dapat berperan,
diyakini bahwa variasi farmakogenetik antara suku bangsa yang berbeda merupakan faktor
utama.
Obat komplementer
Penggunaan obat tradisional / komplementer seperti obat tradisional Cina dan bentuk
jamu dari preparat herbal Indonesia / Melayu secara luas digunakan dikawasan ini dan budaya
tersebut dapat diterima dan dianggap aman karena berasal herbal. Namun, obat tersebut tidak
diatur dalam perundangan dan konstituen obat ini tidak selalu diketahui. Obat komplementer
telah dikaitkan dengan 4% dari kasus di Singapura dan 5% dari kasus yang dilaporkan dari
Malaysia (Dr MM Tang, Kuala Lumpur, Malaysia, komunikasi pribadi) dan laporan dari obat ini
yang tercemar oleh fenilbutazon telah dilaporkan.
Pemicu kerja
Pajanan trichloroethylene kadang-kadang telah dilaporkan sebagai pemicu SSJ / TEN dan
DRESS di Asia Tenggara dan Asia, dengan kasus yang dilaporkan di Singapura, Thailand,
Filipina, Jepang, Taiwan, dan China. Trichloroethylene adalah pelarut organik yang digunakan
luas sebagai pembersih pelarut di negara-negara berkembang. Biasanya, pasien datang dengan
letusan kulit dari 2 minggu sampai 2 bulan setelah pajanan. Dalam evaluasi dari beberapa kasus
tersebut, tingkat lingkungan, konsentrasi trichloroethylene pada saluran kemih, serta konsentrasi
paparan udara yang ditemukan lebih tinggi dari batas ambang standar.
Kasus idiopatik
Hal ini semakin diakui bahwa proporsi yang signifikan dari SSJ / TEN tidak terkait obatobatan. Dari 15%-25% dari kasus SSJ / TEN tidak memiliki riwayat obat sebelumnya atau
terjadi pada keadaan di mana kausalitas obat yang dianggap tidak biasa. Di Singapura, sekitar
10% dari SSJ / TEN kasus tidak terkait obat-obatan. Dalam sejumlah 106 pasien, ada tiga kasus
disebabkan infeksi dengan Mycoplasma, tiga kasus yang terkait dengan lupus eritematosus

sistemik, dan lima kasus tidak dipicu obat. Proporsi yang sama dari kasus yang tidak dipicu oleh
obat juga dilaporkan di Filipina.
Epidemiologi farmakogenetik dari SSJ / TEN
Kerentanan genetik untuk SSJ / TEN telah diusulkan. Hal ini sudah menjelaskan bahwa
risiko genetik tersebut khusus untuk jenis reaksi serta untuk obat dan suku bangsa. Risiko
farmakogenetik dari SSJ / TEN yang terbaik ditunjukkan dalam model HLA-B * 1502 dan.
HLA-B * 5801 masing-masing untuk CBZ dan allopurinol.

CBZ
Sejak penelitian awal yang dilakukan oleh Chung et al, yang menunjukkan hubungan
yang kuat antara HLA-B* 1502 dan SSJ/TEN di China Han di Taiwan, hasil ini berlipat ganda
negara Asia lainnya termasuk Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di
penelitian murni dan follow up pada China Han di Taiwan, memiliki odd ratio 2504 [95%
confidential interval (CI) 126 - 49,522] dan 1357 (95% CI 193 - 8838). Di populasi Asia
Tenggara memiliki odd ratio 16,2 (95% CI 4,6-62,0) untuk ras melayu di Malaysia dan 54,76
untuk ras Thai di Thailand (95% CI 14,6-205,1). Populasi perkumpulan Kaukasia lebih jarang.
Lonjou et al mengevaluasi pasien dengan SSJ/TEN yang diinduksi CBZ, tidak hnya 4 pasien
yang bertindak sebagai carrier HLA-B* 1502 alel dan semua keturunan Asia. Pada populasi
Asia, frekuensi alel dari HLA-B* 1502 jauh lebih tinggi dibandingkan populasi Kaukasian
(Tabel 2). Variasi frekuensi alel bisa, secara terpisah menjelaskan variasi insiden SSJ/TEN yang
diinduksi karbamazepin di Asia Tenggara dan Taiwan dibandingkan dengan populasi lainnya.

Allupurinol
Hubungan antara HLA-B*5801 dan allupurinol SCAR dilaporkan pertama kali oleh
Hung et al, yang mendemonstrasikan keberadaan alel pada 100% pasien memiliki allupurinol
SCAR tapi hanya 15% pada kontrol. Penemuan yang sama terlihat pada populasi Thai dimana
100% pasien dengan allupurinol SCAR membawa alel HLA-B*5801 dan SCAR (4 penelitian

menggunakan case-matched controls dan 5 penelitian populasi kontrol ) menunjukkan odd ratio
96,6 (95% CI 24-381) dalam kontrol yang sesuai atau 79,3 (95% CI 41,5-151,4) dalam populasi
kontrol. Analisis subgrup tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara populasi Asia dan Non
Asia. Walaupun ada variasi etnik dalam frekuensi HLA-B*5801, ini secara signifikan kurang
dibandingkan HLA-B*5801. Frekuensi alel disimpulkan pada Tabel 3.

Pencegahan SJS/TEN di Asia Tenggara


Kebiasaan peresepan/indikasi
Pencegahan primer dari SJS/TEN termasuk membatasi paparan terhadap obat risiko
tinggi dengan indikasi peresepan obat yang tepat dan menggunakan alternatif yang lebih tepat. 3
kelas obat teratas di Asia Tenggara diantaranya CBZ dan PHT (26%), allupurinol (15%),
antibiotik sulfonamid (12%)]

cenderung keliru dalam pemberiannya di lapangan. Di Asia

Tenggara, allupurinol sering diresepkan untuk hiperurisemia asimtomatik dan nyeri sendi yang
tidak spesifik. Sama halnya dengan fenitoin sering digunakan sebagai profilaksis kejang
perioperatif

walaupun bukti ilmiah akan hal itu lemah. Dan kotrimazol digunakan untuk

penatalaksanaan jerawat dan folikulitis walaupun alternatif yang lebih aman dan efektif tersedia.
Skrining awal untuk memulai terapi obat berisiko tinggi
Skrining dan modifikasi terapi obat adalah sasaran penelitian farmakogenetik.
Bagaimanapun, sebelum tes ini diadopsi secara luas, anggapan akan kekuatan farmakogenetik,
kegunaannya dalam pembuatan keputusan terapeutik (seperti adanya obat alternatif), alat-alat
medis, dan efektifitas biaya, perlu disebutkan. Kegunaan skrining HLA dalam mencegah
morbiditas sudah divalidasi dalam kasus HLA-B*1502 dan CBZ SJS/TEN di Taiwan. Sejak itu,
skrining awal sebelum memulai terapi CBZ juga lebih efektif dalam hal biaya di Thailand,
Malaysia, dan Singapura, dimana prevalensi HLA-B*1502 tinggi. Dengan tempat inisiasi ini,
diharapkan insiden SJS/TEN diinduksi CBZ di regional ini akan berkurang di masa yang akan
datang
Kesimpulan
Penelitian prospektif epidemiologi dibutuhkan dalam dokumen insiden dan obat
penyebab JSJ/TEN dalam populasi Asia. Daftar obat berisiko tinggi didapatkan sama di Asia dan

Eropa. Walaupun variasi insiden insiden SJS/TEN karena obat spesifik bisa dipengaruhi oleh
peresepan obat dan insiden penyakit dasar yang sedang diobati, hal ini seperti perbedaan etnik
farmakogenetik yang memainkan peran penting. Kegunaan skrining awal untuk memulai
pengobatan adalah tindakan yang berpeluang untuk menekan angka mortalitas dan morbiditas
dari berbagai reaksi di kemudian hari

Anda mungkin juga menyukai