TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna
pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.1
B. Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronis,
akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka.
Chronic idiopatic urticaria (CIU)
Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urticaria kronis tidak
meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan usia
menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda,
sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.2
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%) daripada lakilaki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi
urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota.
Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000
orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada
wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000.3
C. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab
urtikaria bermacam-macam, antara lain: 1
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun
non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria
secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.1
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi
imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang,
coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.1
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak
diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).1
4. Bahan fotosensitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.1
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).1
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent (penangkis
serangga), dan bahan kosmetik.1
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan
emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat
timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam
kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.1
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur, maupun infestasi parasit.1
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .1
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominant.1
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih
sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.1
D. Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria diantaranya yaitu :1
1. Berdasarkan onset serangan
a. Urtikaria akut
Serangan berlangsung dalam beberapa jam sampai 6 minggu atau berlangsung
selama 4 minggu tapi muncul tiap hari.
b. Urtikaria kronis
Serangan berlangsung berulang-ulang dan terjadi selama lebih dari 6 minggu,
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
2. Berdasarkan morfologi klinis
a. Urtikaria papular
b. Urtikaria gutata
c. Urtikaria girata
E. Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.
Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya
histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.1
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau
basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin
sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan
mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan
seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan
kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya
belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor
fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung
merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat
merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas.1
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc
bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga
mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis),
misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen
secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.1
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan
kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak
dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik,
dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.1
f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
G. Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan submukosa yang terjadi
pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme
patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada angioedema mengenai lapisan dermis yang
lebih dalam dan jaringan subkutaneus. Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi
dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria,
pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa
dari saluran nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen
berat), serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.5
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai. Morfologi
khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan
kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama
pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula eritroskuamosa anular dan
solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik,
agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang
menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya
soliter, bentuk oval, anular, berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.13
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal. Penyebabnya
adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga
mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-kemerahan atau
papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga berupa nodula-nodula atau
bahkan vesikel.13
4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi pada
dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis alergika, dan
reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit. Gejala utama dermatitis
atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada
malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi,
eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai
tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.1
5. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen.
Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosindan
eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan
mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.1,13
H. Diagnosis
1. Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal dapat
bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik.5
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 1,5,14
Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit,
kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
Dermographism.
Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya hepatitis
atau penyakit kolestatik hati.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.1 Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat
untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan
seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati,
dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1
inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa
urtikaria.15 Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.1
b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.1
c. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan
tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent
test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri (autologous
serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana
untuk
mengetahui
adanya
faktor
vasoaktif
seperti
histamine-releasing
autoantibodies.16
d. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi
memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini
dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.14
leukocyte
(PMN),
dan
sel-sel
inflamasi
lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi fase
akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal
memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat
keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).2
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line therapy,
dan third-line therapy.4
1. First-line therapy
digunakan untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria
kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus
peptikum, dan hipertensi.2,4
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone, methylprednisolone,
dan
triamcinolone.
Prednisone
harus
diubah
menjadi
prednisolone
untuk
menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi
dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4
dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan
dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan
dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).
Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan
dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.2
d. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai
respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada
individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti montelukast, zafirlukast,
dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo
dalam perawatan pasien dengan urtikaria kronik.4
e. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada
pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium
ke dalam sel mast kutaneus.4
3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon terhadap
first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen immunomodulatori,
yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate
mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line therapy
seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya
meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat,
terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine, dan warfarin.4
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati
pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5
mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik
yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-g/mL setiap
hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.4
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien
dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat tidak
jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang
bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau
memperbanyak klirens IgG endogen.4
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan urtikaria
autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah
akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki dalam
hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.4
c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola urtikaria
ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling berguna untuk
urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang
menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan dengan
respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun 2adrenoceptor agonist terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik,
penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan
insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.4
Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal, namun sayang
sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun demikian, faktor
pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami menganjurkan bahwa pasien
dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 non
sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif
seharusnya juga menjadi terapi pilihan utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan
secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada
pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma,
atau edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan,
kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.16
Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya selalu dirujuk
ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan program penanganan. Strategi penanganan awal
seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non sedatif. Terapi tambahan lain
mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur, antidepresan trisiklik, atau
antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali
dengan kortikosteroid jangka pendek dengan harapan dapat memotong siklus penyakit.16
J. Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.1
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. N
Umur
: 38 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Indarung
Nomor Hp
: 085263xxxxxx
Bangsa
: Indonesia
Suku Bangsa
: Minang Kabau
Agama
: Islam
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
Status
: Menikah
Jumlah anak
: Lima orang
Tanggal Pemeriksaan
: 1 September 2014
ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berumur 38 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP.Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 1 September 2014 pukul 10.30 WIB dengan:
Keluhan Utama:
Bentol-bentol merah terasa gatal pada punggung, dada, bahu, betis, paha,sejak 2 hari yang
lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Bentol-bentol merah terasa gatal pada punggung, dada, bahu, betis, paha,sejak 2 hari yang
lalu.
Awalnya muncul bintik-bintik terasa gatal seperti biang keringat 2 minggu yang lalu,
namun pasien tidak berobat.
2 hari yang lalu muncul bentol-bentol merah terasa gatal pada wajah, telinga, punggung,
pinggang kiri, kedua betis.
Lalu pasien berobat ke bidan dan diberi 4 macam obat : Novabiotik 3x1 tab/hari
(tetrasiklin), tablet putih 3x1/hari, tablet kuning 2x1 tab/hari, tablet oranye 3x1 tab/hari.
Setelah meminum obat, bentol-bentol merah berkurang, namun gatal tetap ada.
Pasien menggunakan bedak caladine cair pada saat merasa gatal 2 hari yang lalu. Gatal
terasa sedikit berkurang.
Riwayat keputihan ada, gatal pada genitalia tidak ada, tidak berbau.
Bentol-bentol merah seperti ini sudah pernah hilang timbul sejak 8 tahun yang lalu.
Riwayat alergi obat ada. Pasien alergi terhadap obat antalgin yang menyebabkan timbul
bentol-bentol merah dan terasa gatal.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan umum
Kesadaran
Status Gizi
: normoweight
Nadi
: 86 x/menit
Nafas
: 20 x/menit
Tekanan Darah
Suhu
Berat badan
: 55 kg
Tinggi badan
: 155 cm
IMT
: 22,89
Rambut
Mata
Hidung
KGB
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Status Dermatologikus
Lokasi
Distribusi
: Regional
Bentuk
: Tidak khas
Susunan
: Tidak khas
Batas
: Tegas
Ukuran
: Plakat
Effloresensi
: Urtika
Status Venerologikus
Kelainan Selaput
Kelainan Kuku
Kelainan Rambut
Foto Pasien
RESUME
Seorang pasien perempuan berumur 38 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP.Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan bentol-bentol merah terasa gatal pada
punggung, dada, bahu, betis, paha, sejak 2 hari yang lalu.
Awalnya muncul bintik-bintik terasa gatal seperti biang keringat 2 minggu yang lalu,
namun pasien tidak berobat.
Lalu pasien berobat ke bidan dan diberi 4 macam obat : Novabiotik 3x1 tab/hari
(tetrasiklin), tablet putih 3x1/hari, tablet kuning 2x1 tab/hari, tablet oranye 3x1 tab/hari.
Setelah meminum obat, bentol-bentol merah berkurang, namun gatal tetap ada.
Pasien menggunakan bedak caladine cair pada saat merasa gatal 2 hari yang lalu. Gatal
terasa sedikit berkurang.
Riwayat diare, stress/peningkatan beban pikiran, cacingan, batuk dan pilek, gigitan
serangga tidak ada.
Terdapat riwayat gigi berlubang dan keputihan tanpa disertai gatal dan bau pada genitalia.
Pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat antalgin, dengan munculan berupa bentolbentol merah dan gatal.
Diagnosis Kerja
Urtikaria akut tanpa angioedema ec susp. infeksi gigi.
Diagnosis Banding
Urtikaria akut tanpa angioedema ec susp.alergi obat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Rutin
-
Pemeriksaan Anjuran
-
Pemeriksaan histopatologik
PENATALAKSANAAN
Umum :
Menjelaskan pada pasien bahwa bentol-bentol merah pada kulit dapat disebabkan oleh
berbagai faktor penyebab.
Memberitahu pada pasien jika terdapat efek samping obat segera kembali ke dokter untuk
mendapat penanganan selanjutnya.
Menerangkan kepada pasien, jika ada keluarga yang menderita keluhan yang sama segera
dibawa berobat.
Khusus :
-
Sistemik
Topikal
Prognosis
Quo ad sanam
: bonam
Quo ad vitam
: bonam
: bonam
Praktek Umum
dr. Suppiah Dhini Dinda
SIP 03/06/009/2014
Hari Praktek : Senin- Jumat
Pukul : 16.00 20.00
Jl. Minahasa IV No. 4A, Padang, Telp. 0751 91122
Padang, 31 Agustus 2014
Pro
: Ny. N
Usia
: 38 tahun
Alamat
: Padang
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A. (2008). sIlmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 31 Agustus 2014, dari
http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
3. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J
Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220
4. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.
5. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 31 Agustus 2014, dari
http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc
6. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 31 Agustus 2014, dari
http://jeksonsiahaansked.blogspot.com/2009/05/urtikariabiduran.html
7. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 31 Agustus 2014, dari
http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jpg
8. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 31 Agustus 2014,
dari http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg
9. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 31 Agustus 2014,
dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg
10. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep,
Gambar.
Diakses
tanggal
31
Agustus
2014,
dari
http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
11. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 31 Agustus
2014, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
12. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 31
Agustus 2014, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
13. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
14. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses
http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html
31
Agustus
2014,
dari
15. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema
dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.
16. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran UMY.