Anda di halaman 1dari 24

Case Report Session

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna
pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.1
B. Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronis,
akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka.
Chronic idiopatic urticaria (CIU)

terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya.

Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urticaria kronis tidak
meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan usia
menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda,
sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.2
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%) daripada lakilaki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi
urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota.
Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000
orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada
wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000.3
C. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab
urtikaria bermacam-macam, antara lain: 1
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun
non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria
secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.1

2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi
imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang,
coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.1
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak
diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).1
4. Bahan fotosensitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.1
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).1
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent (penangkis
serangga), dan bahan kosmetik.1
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan
emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat
timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam
kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.1
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur, maupun infestasi parasit.1

9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .1
10. Genetik

Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominant.1
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih
sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.1

D. Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria diantaranya yaitu :1
1. Berdasarkan onset serangan
a. Urtikaria akut
Serangan berlangsung dalam beberapa jam sampai 6 minggu atau berlangsung
selama 4 minggu tapi muncul tiap hari.
b. Urtikaria kronis
Serangan berlangsung berulang-ulang dan terjadi selama lebih dari 6 minggu,
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
2. Berdasarkan morfologi klinis
a. Urtikaria papular
b. Urtikaria gutata
c. Urtikaria girata

3. Berdasarkan mekanisme terjadinya


a. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
Tergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
Pada atopi
Sensitivitas antigen spesifik (polen,obat, makanan,dll)
Fisik : dermografisme, getaran, dingin,cahaya, dll.
Kontak
Ikut sertanya komplemen
Reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
Reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)

Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)


b. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya obat
golongan opiat dan bahan kontras)
Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya
aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid, golongan azodyes)
Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar dan
bahan kolinergik.
c. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan idiopatik.

E. Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.
Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya
histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.1
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau
basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin
sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan
mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan
seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan
kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya
belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor
fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung
merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat
merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas.1
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc

bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga
mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis),
misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen
secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.1
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan
kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak
dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik,
dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.1

F. Gejala dan Tanda


1. Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4
a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
b. Biduran berwarna merah muda sampai merah.
c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul seterusnya.
d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah dan
nyeri kepala.
2. Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 1,2
a. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian
tengah tampak lebih pucat.
b. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
c. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory
distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
d. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka
merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan
pigmentasi.
e. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul
dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.

f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.

G. Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan submukosa yang terjadi
pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme
patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada angioedema mengenai lapisan dermis yang
lebih dalam dan jaringan subkutaneus. Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi
dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria,
pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa
dari saluran nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen
berat), serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.5
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai. Morfologi
khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan
kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama
pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula eritroskuamosa anular dan
solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik,
agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang
menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya
soliter, bentuk oval, anular, berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.13
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal. Penyebabnya
adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga
mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-kemerahan atau
papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga berupa nodula-nodula atau
bahkan vesikel.13
4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi pada
dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis alergika, dan

reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit. Gejala utama dermatitis
atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada
malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi,
eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai
tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.1
5. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen.
Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosindan
eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan
mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.1,13

H. Diagnosis
1. Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal dapat
bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik.5
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 1,5,14

Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.

Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit,
kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.

Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.

Bentuk : papular, lentikular, numular, dan plakat.

Dermographism.

b. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan menjadi


presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa, diantaranya adalah: 5

Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak.

Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.

Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya hepatitis
atau penyakit kolestatik hati.

Pembesaran kelenjar tiroid.

Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.

Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan penyambung,


rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus (SLE).

Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm (asthma).

Ekstremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.1 Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat
untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan
seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati,
dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1
inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa
urtikaria.15 Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.1
b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.1
c. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan
tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent
test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri (autologous
serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana
untuk

mengetahui

adanya

faktor

vasoaktif

seperti

histamine-releasing

autoantibodies.16

d. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi
memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini
dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.14

e. Tes eleminasi makanan


Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.1
f. Tes foto tempel
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.14
g. Suntikan mecholyl intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria
kolinergik.1
h. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya
alergi pada suhu tertentu. 1
i. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.1 Pada
urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan
epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabutserabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi
pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang
berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin
sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.6
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik. Beberapa
lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit,
polymorphonuclear

leukocyte

(PMN),

dan

sel-sel

inflamasi

lainnya.

Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi fase
akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal
memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat
keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).2
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line therapy,
dan third-line therapy.4
1. First-line therapy

First-line therapy terdiri dari: 4,2


a. Edukasi kepada pasien:

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan menggunakan


bahasa verbal atau tertulis.

Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak


mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika
penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.

b. Langkah non medis secara umum, meliputi:

Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol,


dan agen fisik.

Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.

Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.

Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.

c. Antagonis reseptor histamin


Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptorreseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema
dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun
efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi.
Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang
berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai
antihistamin nonklasik.1
Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin,
aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat
dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan
mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan
aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung
lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21
hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari
sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak
mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak.1

Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada beberapa


kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H2. Antagonis
reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada
pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine,
dan famotidine.4
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line therapy
harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
a. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus UVA
[PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan peningkatan
efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria
kronis.
b. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis reseptor H1
dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi daripada
diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna
pada pasien dengan urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin
untuk pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30
mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang
menunjukkan efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus.
Telah dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayedpressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.4
c. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal,
bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi
seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid.
Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain
(misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan
dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah
kursus singkat dari kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan
atau tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika

digunakan untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria
kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus
peptikum, dan hipertensi.2,4
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone, methylprednisolone,
dan

triamcinolone.

Prednisone

harus

diubah

menjadi

prednisolone

untuk

menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi
dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4
dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan
dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan
dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).
Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan
dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.2
d. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai
respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada
individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti montelukast, zafirlukast,
dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo
dalam perawatan pasien dengan urtikaria kronik.4
e. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada
pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium
ke dalam sel mast kutaneus.4

3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon terhadap
first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen immunomodulatori,
yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate
mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line therapy

seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya
meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat,
terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine, dan warfarin.4
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati
pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5
mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik
yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-g/mL setiap
hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.4
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien
dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat tidak
jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang
bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau
memperbanyak klirens IgG endogen.4
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan urtikaria
autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah
akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki dalam
hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.4
c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola urtikaria
ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling berguna untuk
urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang
menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan dengan
respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun 2adrenoceptor agonist terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik,
penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan
insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.4
Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal, namun sayang
sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun demikian, faktor
pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami menganjurkan bahwa pasien

dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 non
sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif
seharusnya juga menjadi terapi pilihan utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan
secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada
pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma,
atau edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan,
kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.16
Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya selalu dirujuk
ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan program penanganan. Strategi penanganan awal
seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non sedatif. Terapi tambahan lain
mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur, antidepresan trisiklik, atau
antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali
dengan kortikosteroid jangka pendek dengan harapan dapat memotong siklus penyakit.16
J. Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.1

BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. N

Umur

: 38 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Indarung

Nomor Hp

: 085263xxxxxx

Bangsa

: Indonesia

Suku Bangsa

: Minang Kabau

Agama

: Islam

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status

: Menikah

Jumlah anak

: Lima orang

Tanggal Pemeriksaan

: 1 September 2014

ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berumur 38 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP.Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 1 September 2014 pukul 10.30 WIB dengan:
Keluhan Utama:
Bentol-bentol merah terasa gatal pada punggung, dada, bahu, betis, paha,sejak 2 hari yang
lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:

Bentol-bentol merah terasa gatal pada punggung, dada, bahu, betis, paha,sejak 2 hari yang
lalu.

Awalnya muncul bintik-bintik terasa gatal seperti biang keringat 2 minggu yang lalu,
namun pasien tidak berobat.

Bentol-bentol mulai berkurang namun gatal tetap ada.

2 hari yang lalu muncul bentol-bentol merah terasa gatal pada wajah, telinga, punggung,
pinggang kiri, kedua betis.

Lalu pasien berobat ke bidan dan diberi 4 macam obat : Novabiotik 3x1 tab/hari
(tetrasiklin), tablet putih 3x1/hari, tablet kuning 2x1 tab/hari, tablet oranye 3x1 tab/hari.
Setelah meminum obat, bentol-bentol merah berkurang, namun gatal tetap ada.

Pasien menggunakan bedak caladine cair pada saat merasa gatal 2 hari yang lalu. Gatal
terasa sedikit berkurang.

Riwayat diare tidak ada.

Riwayat gigi berlubang ada.

Riwayat keputihan ada, gatal pada genitalia tidak ada, tidak berbau.

Riwayat stress/peningkatan beban pikiran tidak ada.

Riwayat cacingan tidak ada.

Riwayat gigitan serangga tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Bentol-bentol merah seperti ini sudah pernah hilang timbul sejak 8 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga/Atopi :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini

Riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada.

Riwayat alergi makanan tidak ada.

Riwayat alergi obat ada. Pasien alergi terhadap obat antalgin yang menyebabkan timbul
bentol-bentol merah dan terasa gatal.

Riwayat alergi serbuk sari dan debu tidak ada.

Riwayat mata merah, berair, dan gatal tidak ada.

Riwayat asma tidak ada.

Riwayat biring susu tidak ada.

Riwayat galigato tidak ada.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata

Keadaan umum

: Tidak tampak sakit

Kesadaran

: Compos mentis kooperatif

Status Gizi

: normoweight

Nadi

: 86 x/menit

Nafas

: 20 x/menit

Tekanan Darah

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Suhu

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Berat badan

: 55 kg

Tinggi badan

: 155 cm

IMT

: 22,89

Rambut

: Tidak mudah rontok

Mata

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Hidung

: Tidak ada deformitas

KGB

: Tidak terdapat pembesaran KGB

Thoraks

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

: Tidak ditemukan kelainan

Status Dermatologikus
Lokasi

: Leher, punggung, pinggang, kedua betis

Distribusi

: Regional

Bentuk

: Tidak khas

Susunan

: Tidak khas

Batas

: Tegas

Ukuran

: Plakat

Effloresensi

: Urtika

Status Venerologikus

Kelainan Selaput

: Tidak ditemukan kelainan.

Kelainan Kuku

: Tidak ditemukan kelainan.

Kelainan Rambut

Foto Pasien

: Tidak ditemukan kelainan.

RESUME

Seorang pasien perempuan berumur 38 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP.Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan bentol-bentol merah terasa gatal pada
punggung, dada, bahu, betis, paha, sejak 2 hari yang lalu.

Awalnya muncul bintik-bintik terasa gatal seperti biang keringat 2 minggu yang lalu,
namun pasien tidak berobat.

Lalu pasien berobat ke bidan dan diberi 4 macam obat : Novabiotik 3x1 tab/hari
(tetrasiklin), tablet putih 3x1/hari, tablet kuning 2x1 tab/hari, tablet oranye 3x1 tab/hari.
Setelah meminum obat, bentol-bentol merah berkurang, namun gatal tetap ada.

Pasien menggunakan bedak caladine cair pada saat merasa gatal 2 hari yang lalu. Gatal
terasa sedikit berkurang.

Riwayat diare, stress/peningkatan beban pikiran, cacingan, batuk dan pilek, gigitan
serangga tidak ada.

Terdapat riwayat gigi berlubang dan keputihan tanpa disertai gatal dan bau pada genitalia.

Pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat antalgin, dengan munculan berupa bentolbentol merah dan gatal.

Diagnosis Kerja
Urtikaria akut tanpa angioedema ec susp. infeksi gigi.

Diagnosis Banding
Urtikaria akut tanpa angioedema ec susp.alergi obat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Rutin
-

Pemeriksaan darah, feses dan urin

Pemeriksaan Anjuran
-

Pemeriksaan gigi, THT dan usapan vagina

Tes kulit (uji gores/scratch test, uji tusuk/prick test)

Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.

Tes eliminasi makanan

Pemeriksaan histopatologik

PENATALAKSANAAN
Umum :

Penjelasan mengenai penyakit (penyebab, penularan dan komplikasi) dan pengobatan


pada pasien, serta berobat sampai dinyatakan sembuh.

Menjelaskan pada pasien bahwa bentol-bentol merah pada kulit dapat disebabkan oleh
berbagai faktor penyebab.

Menjelaskan pada pasien untuk menjaga kebersihan pribadi.

Memberitahu pada pasien jika terdapat efek samping obat segera kembali ke dokter untuk
mendapat penanganan selanjutnya.

Menerangkan kepada pasien, jika ada keluarga yang menderita keluhan yang sama segera
dibawa berobat.

Menjelaskan kepada pasien untuk mengurangi menggaruk lesi.

Khusus :
-

Sistemik

: Cetirizine tablet 10 mg 1x/hari

Topikal

: Bedak kocok dewasa 2x/hari pada bentol merah

Prognosis
Quo ad sanam

: bonam

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad kosmetikum : bonam


Quo ad functionam

: bonam
Praktek Umum
dr. Suppiah Dhini Dinda
SIP 03/06/009/2014
Hari Praktek : Senin- Jumat
Pukul : 16.00 20.00
Jl. Minahasa IV No. 4A, Padang, Telp. 0751 91122
Padang, 31 Agustus 2014

R/ Cetirizine 10 mg tab No. X


Sdd tab I
R/ Talk Venetum 20%
Zink Oxide 10%
Gliserin 12,5%
Asam Salisilat 2%
Menthol 1%
Alkohol 70%
Aqua 100 cc
Mf lotio
S u e (2 x sehari pada bentol merah)

Pro

: Ny. N

Usia

: 38 tahun

Alamat

: Padang

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A. (2008). sIlmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 31 Agustus 2014, dari
http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
3. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J
Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220
4. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.
5. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 31 Agustus 2014, dari
http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc
6. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 31 Agustus 2014, dari
http://jeksonsiahaansked.blogspot.com/2009/05/urtikariabiduran.html
7. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 31 Agustus 2014, dari
http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jpg

8. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 31 Agustus 2014,
dari http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg
9. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 31 Agustus 2014,
dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg
10. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep,
Gambar.
Diakses
tanggal
31
Agustus
2014,
dari
http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
11. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 31 Agustus
2014, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
12. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 31
Agustus 2014, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
13. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
14. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses
http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html

31

Agustus

2014,

dari

15. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema
dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.
16. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran UMY.

Anda mungkin juga menyukai