BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi bakteri Staphylococcus aureus menjadi penyebab terbentuknya
furunkel. Furunkel (boil) merupakan tonjolan yang nyeri dan berisi nanah yang
terbentuk dibawah kulit ketika bakteri menginfeksi dan menyebabkan inflamasi
pada satu atau lebih folikel rambut. Furunkel yang berdekatan dapat bergabung
membentuk karbunkel. Karbunkel merupakan beberapa furunkel yang membentuk
kelompok (cluster). Karbunkel memiliki lesi inflamasi yang lebih luas, dasarnya
dalam, dan ditandai dengan nyeri yang luar biasa pada tempat lesi yang biasanya
ditemui pada tengkuk, punggung atau paha.1,2
Furunkel dapat muncul dimana saja pada kulit, tetapi terutama muncul pada
wajah, leher, ketiak, pantat atau paha dan area yang terdapat rambut serta banyak
mengeluarkan keringat atau mengalami gesekan. Walaupun setiap orang memiliki
potensi untuk terkena furunkel, beberapa orang dengan diabetes, sistem imun
yang lemah, jerawat atau masalah kulit lainnya memiliki resiko lebih tinggi.1,2
I.
DEFINISI
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan subkutan
sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika lebih dari
satu tempat disebut furunkulosis. Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai
faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang kurang, dan daya tahan tubuh
yang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya peradangan pada folikel rambut di
kulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan sekitarnya.1
II.
EPIDEMIOLOGI
Furunkel dapat terjadi sekunder terhadap dermatosis lain. Sering mengenai
orang yang kurang gizi, orang terlantar, dan pada penderita imunodefisien.
Sedangkan karbunkel terutama mengenai laki-laki usia pertengahan. Faktor
predisposisinya adalah diabetes, malnutrisi, kegagalan jantung, dermatosis
generalisata yang berat, dan terapi kortikosteroid yang berkepanjangan.3
Berdasarkan statistik Departemen Kesehatan Inggris, pada tahun 2002 dan
2003 terdapat sekitar 0,19% atau 24.525 penderita yang berobat ke Rumah Sakit
Inggris dengan diagnosa furunkel abses kutaneus dan karbunkel. Dari 24.525
pasien tersebut terdapat 90% yang memerlukan rawat inap. 54% dari pasien yang
berobat tersebut adalah laki-laki dan 46% pasien adalah perempuan. Usia rata-rata
dari pasien yang berobat adalah 37 tahun. 72% berusia 15-59 tahun dan 6%
berusia diatas 75 tahun.3
III. ETIOLOGI
Furunkel disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Bakteri ini
merupakan flora normal pada kulit kadang-kadang pada tenggorokan dan saluran
hidung. Bakteri Staphylococcus aureus berbentuk bulat (coccus), memiliki
diameter 0,5 1,5 m, memiliki susunan bergerombol seperti anggur, tidak
memiliki kapsul, nonmotil, katalase positif dan pada pewarnaan gram tampak
berwarna ungu.4
S. aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di
lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam) yang luas,
dan dapat hidup pada konsentrasi NaCl sekitar 3 Molar. Habitat alami S.
aureus pada manusia adalah di daerah kulit, hidung, mulut, dan usus besar, di
mana pada keadaan sistem imun normal, S. aureus tidak bersifat patogen.4
IV. FAKTOR RESIKO
Walaupun setiap orang termasuk orang yang sehat dapat terkena furunkel,
beberapa faktor ini dapat meningkatkan resiko1,2:
1. Carier S.aureus kronik (pada hidung, aksila, perineum, vagina).
Chediak-Higashi,
defisiensi
C3,
hiperkatabolisme
C3,
PATOGENESIS
Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang merupakan flora
residen pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dan saluran
hidung. Predileksi terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantat atau
paha. Bakteri tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan dan iritasi pada kulit.
Selanjutnya, bakteri tersebut berkolonisasi di jaringan kulit. Respon primer host
terhadap infeksi S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke tempat masuk kuman
tersebut untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ke tempat infeksi
oleh komponen bakteri seperti formylated peptides atau peptidoglikan dan sitokin
TNF (tumor necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan 6 yang dikeluarkan oleh
sel endotel dan makrofag yang teraktivasi. Hal tersebut menimbulkan inflamasi
dan pada akhirnya membentuk pus yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan
sel kulit yang mati.1,5
BAB II
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
I.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis, yaitu berdasarkan gambaran
klinisnya yang khas.Tetapi untuk lebih menegakkan diagnosis bisa dari segi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3
1.
Gambaran Klinis
Furunkel dimulai dengan nodul folikulosentrik yang keras, lunak, merah
Gambar 2. Furunkel pada bibir atas. Lesinya nodular dan sumbatan nekrotik pusat ditutupi oleh
kerak purulen. Beberapa pustul kecil terlihat di lateral pusat lesi tersebut. 1
2.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis furunkel ialah dermapatologi,
II.
1.
DIAGNOSIS BANDING
Kista Epidermal
Diagnosa banding yang paling utama dari karbunkel adalah kista epidermal
2.
Hidradenitis Supuratif
Diagnosa banding seperti hidradenitis supuratif (apokrinitis) juga
Gambar 10. Hidradenitis supuratif. Adanya bisul yang halus dan besar pada genital wanita.1
3.
Sporotrikosis
Sporotrikosis merupakan infeksi kronik dari jamur Sporotrichum schenkii dan
ditandai oleh nodula kecil sampai kasar berjejer sepanjang aliran limfe.1
4.
Blastomikosis
Blastomikosis ditandai nodula kronik dengan multipel fistula. Gejala penyakit
ini sangat bervariasi karena banyak sistem organ yang berperan dalam
penyebarannya. Namun, beberapa gejala yang paling sering diperiksakan adalah
gejala yang berkaitan dengan manifestasi pulmonari, lesi pada kulit yang tidak
sembuh, lesitulang yang seringkali tanpa rasa sakit, dan gejala yang berkaitan
dengan sistem genitouorinari (urogenital).1,5
5.
Akne Konglobata
Akne konglobata ditandai oleh nodul-nodul merah hitam dengan kebanyakan
Gambar 13. Akne konglobata. Terdapat nodul-nodul merah menyebar pada wajah.5
III. PENATALAKSANAAN
1.
Non Farmakologis
Pengobatan furunkel tergantung kepada lokasi dan kematangan lesi. Lesi
permulaan yang belum berfluktuasi dan belum bermata dikompres panas dan
diberi antibiotik oral. Kompres panas akan memperkecil ukuran lesi dan
mempercepat penyerapan.7
Insisi terhadap lesi awal jangan dilakukan untuk mencegah inokulasi lebih
dalam infeksi tersebut. Jika lesi telah matang dan bermata dilakukan insisi dan
drainase. Insisi jangan dilakukan jika lesi terdapat di kanalis auditorius external,
bibir atas, hidung, dan pertengahan dahi karena infeksi yang tidak ditangani dapat
menyebabkan trombosis sinus kavernosus. Sewaktu penderita mendapat
10
antibiotik, semua pakaian, handuk, dan alas kasur yang telah mengenai daerah
yang sakit harus dicuci dengan air panas.7
2.
Farmakologis
Pengobatan furunkel dengan selulitis di sekitarnya atau yang disertai demam,
harus diobati dengan antibiotik sistemik. Untuk infeksi berat atau infeksi pada
area yang berbahaya dosis antibiotik maksimal harus diberikan dalam bentuk
parenteral. Bila infeksi berasal dari methicillinresistant Staphylococcus aureus
(MRSA) atau dicurigai infeksi serius dapat diberikan vankomisin (1-2 gram IV
setiap hari dalam dosis terbagi). Pengobatan antibiotik harus berlanjut paling tidak
selama satu minggu.1,7
Setiap episode bisa diobati sistemik dengan flucloxacillin atau antibiotik
resisten penisilin. Antibakteri biotik mengurangi kombinasi bakteri di kulit.7
a)
Topikal1:
Mupirocin
Mupirocin dihasilkan oleh pseudomonas fluorescens. Berdaya khusus
terhadap kuman Gram-positif seperti Staphylococcus aureus. Khasiatnya
bersifat bakterisid (salep 2%) berdasarkan penghambatan RNA-sintetase
yang berakibat penghentian sintesa protein kuman.
Asam Fusidat
Antibiotikum dengan rumus steroida yang mirip dengan struktur asam
empedu yang dihasilkan oleh jamur fusidium, spektrum kerjanya sempit
dan terbatas pada kuman Gram-positif, terutama stafilokok. Kuman Gramnegatif resisten terkecuali Neisseria. Khasiatnya bersifat bakteriostatis
berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman.
b) Sistemik1:
Ampisilin 4x500 mg/hari
Amoksisilin 4x500 mg/hari
Kloksasilin 3x250 mg/hari
11
12
V.
PROGNOSIS
Prognosis baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis
13
DAFTAR PUSTAKA
1.
Craft Noah, Lee P.K, Zipoli T.M, Weinberg A.N, Swartz M.N, Johnson
R.A. Superficial Cutaneous Infections and Pyodermas. In: Wolff K,
Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S, Lefell D.J,
editors.Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 8th Edition Volume 1
& 2. USA: Mc Graw Hill Medical. 2012. 117; p.1699-1701
2.
Gawkrodger
DJ.
Bacterial
infection-staphylococcal
rd
and
Edition. United
Bolognia
J.L.,Jorizzo
J.L.,
Rapini
R.P.
Gram-Positive
Bacteria
5.
6.
7.
Hall J.C. Dermatologic Bacteriology. In: Hall J.C, et al, editors. Sauers
Manual of Skin Disease 9th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
2006. 21; p. 201-03
14