Anda di halaman 1dari 39

Sindroma Guillain-Barre

Muthia Isna Anindita


20090310226

Definisi
Idhiopaticpolyneuritis, acute febrile polyneuritis,

infective polyneuritis, post infectious polyneuritis,


acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy, gullain barre strohl
syndrome, landry ascending paralysis, landry
guillain barre syndrome.
Suatu polineuropati yang bersifat ascending dan
akut yang terjadi setelah 1 sampai 3 minggu
setelah infeksi akut.
Sindroma klinis yang ditandai dengan adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan
nervus kranialis.

Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia pada semua

musim dan terjadi peningkatan ketika kasus influenza


meningkat, 60% kasus terjadi antara bulan julioktober pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi bervariasi antara 0,6-1,9 kasus per 100.000
orang pertahun.
Terjadi puncak insidensi antara 15-35 tahun dan
antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2
tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua 95 tahun.
Laki-laki dan wanita sama jumlahnya.
Dari pengelompokan ras : 83% kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% hispanic, 1% asia, dan 4% pada kelompok
ras tidak spesifik

Insidensi terbanyak di Indonesia adalah

dekade I,II, dan III (dibawah usia 35 tahun).


Penderita laki-laki dan wanita sama.
Insiensi tertinggi pada bulan april mei
dimana terjadi pergantian musim hujan ke
kemarau.

Klasifikasi
Acute inflammatory demyelinating

polyradiculoneuropathy (AIDP)
a. Paling sering.
b. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang
membran sel schwan .
c. Kelemahan otot simetris ascending progresif, dan
hiporeflek dengan atau tanpa gejala sensorik atau
otonom.
Subacute inflamatory demyelinating
polyradiculoneuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
a. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang
axoplasma saraf perifer.
b. Biasanya pada anak-anak.hiperreflek dan
kelelamah progresif yang cepat.

Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy

(AMSAN)
a. Menyerang aksoplasma saraf perifer
b. Menyerang saraf sensorik dengan kerusakan
akson yang berat.
c. Biasanya pada dewasa.
d. Mengakibatkan disfungsi motorik dan sensorik
dan atrofi otot.
Miller Fishers Syndrome
a. Jarang terjadi.
b. Manifestasi sebagai paralisis descenden.
c. Trias klasik : ataxia, areflexia,ophtalmoplegia.
d. Bisa juga terdapat mild limb weakness, ptosis,
facial palsy, atau bulbar palsy (penderita

Acute Panautonomia

a.
b.
c.
d.
e.

Jarang terjadi.
Melibatkan sistem saraf simpatis dan
parasimpatis.
Termasuk kardiovaskular.
Sembuh bertahap.
Biasanya incomplete, atau meninggalkan
gejala.

Etiologi
Etiologi pasti belum diketahui, beberapa keadaan

atau penyakit yang mendahului dan mungkin ada


hubungannya dengan terjadinya SGB :
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik : keganasan, SLE, tiroiditis,
penyakit addison
5. Kehamilan atau masa nifas

SGB sering berhubungan dengan infeksi akut

non spesifik yaitu sekitar (56-80%).


Sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal.
Penyebab infeksi pada umumnya virus dari
kelompok herpes.
Dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi
bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi,
anastesi.

Patogenesis
Kerusakan syaraf yang terjadi karena mekanisme

imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas syaraf tepi
pada sindroma ini adalah :
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon
kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksius pada syaraf tepi.
2. Adany autoantibody terhadap sistem syaraf
tepi.
3. Didapatkan penimbunan kompleks antigen
antibodi dari peredaran pada pembuluh darah

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB

dipengaruhi oleh respon imunita seluler dan imunitas


humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa, yang
paling sering adalah infeksi virus.
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas
gambaran pembengkakan saraf tepi, dengan
mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi,
yaitu :
1. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi
pada hari ke 3 atau 4.
2. Pembengkakan dan iregularitas selubung myelin
pada hari ke 5.
3. Terlihat limfosit di hari ke 9.
4. Terlihat makrofag di hari ke 11.
5. Poliferasi sel schwan pada hari ke 13.
6. Perubahan myelin, akson, dan selubung schwan
berjalan secara progresif sehingga pada hari ke 66,

Perubahan pertama yang terjadi adalah

infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi


dari pembuluh darah kecil pada endo
dan epineural.
Diikuti dengan demyelinisasi segmental.
Peradangan berat degenerasi
Wallerian.
Kerusakan myelin disebabkan oleh
makrofag yang menembus membran
basalis dan melepaskan selubung
myelin dari sel schwan dan akson.

Gejala Klinis
Diagnosis SGB ditegakkan secara klinis

ditandai dengan timbulnya kelumpuhan


akut disertai hilangnya reflek-reflek
tendon dan didahului parestesi dua atau
tiga minggu setelah demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada lukuor dan
gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kelumpuhan
a. kelumpuhan otot ekstremitas tipe LMN.

Dimuai dengan kelumpuhan kedua


ekstremitas bawah kemudian menyebar
secara ascenden ke badan, anggota gerak
atas, dan saraf kranialis. Bisa juga keempat
ekstremitas secara serentak kemudian
menyebar secara ascenden.
b. kelumpuhan bersifat simetris diikuti dengan
hiporefleksia dan arefleksia.
c. derajat kelumpuhan otot proksimal lebih
berat daripada distal.

Gangguan Sensibilitas
a. Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian

distal ekstresmitas.
b. Defisit sensorid objektif biasanya minimal
dan sering dengan distribusi seperti pola
kaus kaki dan sarung tangan.
c. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering
daripada sensibilitas proprioseptif.
d. Nyeri otot sering ditemui seperti nyeri
setelah melakukan aktivitas fisik.

Saraf kranialis
a. Saraf yang sering terkena N.VII.
b. Kelumpuhan otot muka awalnya 1sisi
c.

d.
e.
f.

kemudian bilateral.
Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali
N.I dan N.VIII.
Diplopia terjadi akibat terkenanya N.IV dan
N.III.
Sukar menelan, disfonia, terjadi akibat
terkenanya N.IX dan N.X.
Kegagalan pernafasan disebabkan oleh
paralisis n. laringeus.

Gangguan fungsi otonom

a. Dijumpai pada 25% kasus SGB.


b. Seringnya sinus takikardi, sinus bradikardi

c.
d.
e.
f.

lebih jarang.
Facial flushing (muka memerah)
Hipertensi atau hipotensi berfluktuasi.
Hilangnya keringat atau episodic profuse
diaphoresis.
Jarang yang menetap lebih dari 1 atau 2
minggu.

Kegagalan pernafasan

a. Komplikasi utama dan fatal.


b. Terjadi pada 10-33% penderita SGB.
c. Disebabkan oleh paralisis diafragma dan

kelumpuhan otot-otot pernafasan.

Papiledema

a. Terjadi kadang-kadang.
b. Disebabkan oleh peninggian kadar protein

dalam cairan otot yang menyebabkan


penyumbatan vili arachoidales sehingga
absorbsi cairan berkurang.

Perjalanan Penyakit
Fase progresif : dimulai dari

onset penyakit, dimana


selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai
mencapai maksimal.
(beberapa hari- 4minggu)
Fase plateau : segera
setelah fase progresif,
kelumpuhan maksimal dan
menetap. (2hari-3minggu)
Fase rekonvalesen ;
timbulnya perbaikan
kelumpuhan ekstremitas.
(Beberapa bulan)

Kriteria Diagnosis

Dari National Institude of Naurogical and

communicative disorder and stroke (NINCDS),


yaitu :
1. Ciri yang penting untuk diagnosis :
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi

2. Ciri-ciri yang kuat menyokong diagnosis SGB :


a. Ciri ciri klinis :
Progresifitas : gejala kelemahan motorik
berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50%
mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
Relatif simetris
Gejala saraf kranial 50% terjadi parase N.VII dan
sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena
khususnya yang mempersyarafi lidah dan otot-otot
menelan, kadang <5% kasus neuropati dimulai dari
otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
Pemulihan : dimulai 2-4 minggu setelah
progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai
beberapa bulan.
Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi
postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis.

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal :


-protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu.
-jumlah sel CSS <10 MN/mm3
-varian : tidak ada peningkatan protein CSS
setelah 1 minggu gejala, jumlah sel CSS : 11-50
MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung
diagnosa : perlambatan koduksi saraf bahkan
blok pada 80% kasus, biasanya kecepatan hantar
kurang 60% dari normal

Diferensial Diagnosis
Poliomyelitis

Demam pada fase awal.


b. Myalgia berat.
c. Adanya gejala meningeal.
d. Diikuti parlisis akut asimetrik.
Myastenia gravis
a. Tidak muncul sebagai paralisis ascenden.
b. Pada SGB otot mandibula kuat, sedangkan
pada MG melemah setelah beraktivitas.
c. Tidak terdapat defisit sensorik atau arefleksia.
a.

Paralisis Periodik

Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa


keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau
hiperkalemia.
Cedera Medulla Spinalis
a. Paralisis sensorimotor dibawah tingkat lesi dan
paralisis sfingter.
b. Gejala hampir sama pada fase syok spinal,
dimana reflek tendon akan menghilang.
Mielopati Servikalis
a. Defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang
muncul pada awal penyakit.
b. Reflek tendon akan hilang dalam 24 jam pada
anggota gerak yang sangat lemah.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Gambaran laboratorium yang menonjol adalah

peningkatan kadar protein dalam cairan otak :


>0.5mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel
dalam cairan otak. Hal ini disebut dengan disosiasi
sito-albuminik.
b. Peninggian kadar protein dalam cairan otak dimulai
pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncak setelah 3-6 minggu.
c. Jumlah sel mononuklear < 10sel/mm3.
d. Imunoglobulin serum dapat meningkat.
e. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita
yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma
Inappropriate Antidiuretic Hormone)

Pemeriksaan Elektrofisiologi (EMG)

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung


SGB :
a. Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik
melambat.
b. Distal motor retensi emmanjang.
c. Kecepatan hantaran gelombang-f melambat,
menunjukkan perlambatan pada segmen
proksimal dan radiks saraf.
d. Selain untuk mendukung diagnosis,
elektrofisiologi juga berguna untuk emnentukan
prognosis : bila ditemukan potensial denervasi
menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit
lebih lama dan tidak sembuh sempurna.

Terapi
Self limiting disease
Tujuan terapi : mengurangi berat penyakit, dampak,

mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas


(imunoterapi)
Terapi simptomatik
Fisioterapi
Imunoterapi
Kortikosteroid : tidak bermanfaat.
Plasmaparesis (plasma exchange) : mengeluarkan
faktor antibodi yang beredar. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam
7-14 hari. Lebih bermanfaat bila diberikan saat awal
onset gejala.

Pengobatan imunosupresan :

Imunoglobulin IV

1.
a.

b.

2.

Pengobatan dengan gamma globulin iv lebih


menguntungkan dibanding plasmaparesis karena
minim efek samping dan komplikasi.
Dosis maintenance 0.4 gr/kgBB/hari selama 3hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kgBB/hari tiap 15hari sampai sembuh.

Obat Sitotoksik
pemberian obat sitotoksis yang dianjurkan :
a. 6 merkaptopurin
b. azathioprine
c. cyclophosphamide
efek samping dari obat-obatan ini adalah alopecia,
muntah, mual, sakit kepala.

Komplikasi
Gagal nafas

Aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru


Pneumonia
Meningkatkan terjadinya infeksi
Trombosis vena dalam
Paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu
Kontraktur sendi

Prognosis
Umumnya baik, tetapi ada sebagian kecil yang

meninggal atau memiliki gejala sisa.


95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa
dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara
lain :
1. Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
2. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu
mulai saat onset
3. Progresifitas penyakit lambat dan pendek
4. Pada penderita usia 30-60 tahun

Sekian
Wassalamualaikum wr wb

Anda mungkin juga menyukai