Anda di halaman 1dari 14

A.

PENDAHULUAN
Hidradenitis

suppurativa

(HS)

adalah

penyakit

inflamasi kronis yang berasal dari kelenjar apokrin,


yang dapat menjadi kronis dan cenderung menimbulkan
sikatriks.1 Penyakit ini secara klinis ditandai dengan
pembentukan nodul bulat dan abses dengan jaringan
parut

hipertrofik

dan

supurasi

yang

rekuren,

menyakitkan dan dalam yang terjadi terutama pada area


lipatan-lipatan kulit yang memiliki ujung rambut dan
kelenjar apokrin. Penyakit ini cenderung menjadi kronis
dengan

ekstensi

pembentukan

subkutan

jaringan

yang

parut

mengarah

hipertrofi,

pada

sinus,

dan

fistula.2,3
Daerah axillae, inguinal, dan perineal merupakan
daerah yang sering terkena, sementara bokong dan
submamary jarang terkena. Penyakit ini biasanya terjadi
setelah pubertas dan empat kali lebih banyak menyerang
wanita daripada pria serta lebih sering terjadi pada
orang yang obesitas.2,3
Prevalensi dan insidensi HS di US masih belum diketahui
dengan pasti. Namun, sebuah studi di Denmark menyatakan
bahwa

prevalensi

hidradenitis

suppurativa

di

dunia

adalah 4%. Penyakit ini hanya menimbulkan kesakitan


namun tidak berakibat fatal, kecuali jika berkembang
menjadi

infeksi

sistemik

yang

luas

pada

pasien

immunocompromised. Ada peningkatan insidensi pada ras


rambut keriting. Perbandingan insidensi penyakit ini pada

wanita dan pria adalah sekitar 4:1 sampai 5:1. HS tidak


terjadi sebelum pubertas karena kelenjar apokrin belum
aktif hingga dipicu oleh hormon sex.4

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Etiologi HS masih belum diketahui pasti. Studi histologik pada HS
memperlihatkan hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur epitel folikel
dan pelepasan keratin, sebum, bakteri dan rambut ke lapisan dermis
menyebabkan terjadinya suatu oklusi pada kelenjar apokrin. Terjadinya reaksi
inflamasi pada kelenjar apokrin yang dipicu oleh oklusi tersebut menyebabkan
ruptur pada kulit, fibrosis, dan pembentukan sinus. Infeksi sekunder oleh
bakteri S. Aureus, Streptococcus pyogenes, dan berbagai bakteri gram negatif
lain dapat terjadi.2,5
Suatu studi analisis multivariat menunjukkan hubungan yang kuat
dengan merokok (OR=12.9; 95% CI 8.6-18.4) dan indeks massa tubuh
(OR=1.1; 95% CI 1.1-1.2) untuk tiap peningkatan 1 indeks massa tubuh.6
Beberapa faktor risiko terjadinya HS antara lain:5
-

Faktor genetik
Adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit hidradenitis
supurativa

diperoleh

pada

26%

pasien.

Beberapa

studi

tidak

menunjukkan adanya hubungan dengan HLA. Namun beberapa studi


lainnya menunjukkan adanya penurunan autosomal dominan dengan
single gene transmission. Namun, lokus genetik yang terkait tidak
ditemukan.
-

Hormonal
Kecenderungan terjadinya hidradenitis suppurativa ketika pubertas atau
setelah pubertas menunjukkan adanya pengaruh androgen. Selain itu,
adanya peningkatan kejadian yang dilaporkan pada pasien postpartum

yang berhubungan dengan penggunaan pil kontrasepsi oral dan pada


periode premenstrual (sekitar 50% pasien). Terapi antiandrogen juga
memperlihatkan keuntungan terapetik pada beberapa studi.
Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat
ditemukan pada 66 wanita dengan hidradenitis suppurativa. Selain itu,
tidak seperti kelenjar sebacea, kelenjar apokrin tidak dipengaruhi oleh
androgen. Karenanya, pengaruh androgen terhadap kejadian hidradenitis
suppurativa masih belum jelas.
-

Obesitas
Obesitas bukan merupakan faktor kausa terjadinya hidradenitis
suppurativa namun sering dianggap sebagai faktor yang memperberat
melalui peningkatan gaya gesek, oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi.
Obesitas juga memperberat penyakit ini dengan meningkatkan androgen.
Penurunan berat badan dianjurkan bagi pasien dengan berat badan
berlebih dan dapat membantu mengontrol penyakit.

Infeksi bateri
Peranan infeksi bakteri pada terjadinya hidradenitis suppurativa masih
belum jelas. Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama dengan peranan
bakteri pada terjadinya jerawat. Obat antibakteri biasa digunakan sebagai
terapi. Keterlibatan bakteri terjadi secara sekunder. Kultur biasanya
menunjukkan hasil yang negatif, namun sejumah bakteri dapat ditemukan
dari lesi. Staphylococcus aureus dan coagulase-negative-staphylococcus
adalah yang peling sering diisolasi. Namun, bakteri lain termasuk
Streptococcus, basil gram negaif, dan anaerob, juga dapat ditemukan.

Merokok
Perokok paling sering ditemukan pada penderita hidradenitis suppurativa
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Satu studi kohort menunjukkan
bahwa 70% dari 43 pasien dengan hidradenitis suppurativa perineal
adalah perokok. Diperkirakan bahwa merokok dapat mempengaruhi
kemotaxis

sel

polymorphonuclear.

Penghentian

merokok

dapat

memperbaiki manifestasi klinis penyakit ini.

C. PATOGENESIS
Regio axilla dan inguinoperineal adalah regio yang paling sering
terkena HS, regio lain yang juga biasa terkena HS adalah areola mammae,
regio submamary, periumbilicalis, scalp, fasialis, meatus ekternal auditori,
leher dan punggung.7

Kelenjar apokrin tersusun atas kelenjar keringat yang memanjang dari


dermis ke jaringan subkutan. Masing-masing kelenjar terdiri atas komponen
sekretori yang dalam dan melingkar yang mengalir melalui duktus eksketorius
yang lurus dan panjang, biasanya menuju folikel rambut. Sekresi dari kelenjar
ini berbau.7
Walaupun penyebab yang jelas dari HS masih belum diketahui dengan
jelas, telah disepakati secara umum bahwa semua berawal dari oklusi apokrin
atau duktus folikuler oleh sumbatan keratin, yang menyebabkan dilatasi
duktus dan stasis komponen glandular. Bakteri memasuki sistem apokrin
melalui folikel rambut dan terperangkap di bawah sumbatan keratin yang
kemudian bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang mengandung
banyak nutrisi dari keringat apokrin. Kelenjar dapat ruptur, sehingga
menyebabkan penyebaran infeksi ke kelenjar dan area sekitarnya. Infeksi
Strptococcus, Staphylococcus, dan organisme lain menyebabkan inflamasi
lokal yang lebih luas, destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses
penyembuhan yang kronis menimbulkan fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi
pada kulit di atasnya.7 (gambar 1)

Pada hidradenitis yang melibatkan regio perineal, ada peningkatan


insiden infeksi oleh Streptosossus milleri, yang berhubungan dengan aktivitas
penyakit. Organisme lain yang juga dapat diidentifikasi ketika penyakit ini
menyerang daerah ini adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob
dan Bacteroides.7

Gambar 1. Patogenesis Hidradenitis suppurativa7

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis hidradenitis suppurativa yang paling sering adalah
lesi nodular, nyeri, lunak, dan tegas di ketiak. Keluhan yang sering dikatakan
oleh penderita adalah gatal dan nyeri. Mula-mula gatal, lalu timbul nodus
merah dan nyeri. Dapat lebih dari satu kelenjar sehingga tampak berbenjolbenjol dan saling bertumpuk tidak teratur. Kemudian terjadi pelunakan yang
tidak serentak, disebut abses multipel. Jika abses pecah keluar sekret tanpa
mata. Karena perlunakan tidak serentak dan kelenjar yang bertumpuk-tumpuk,
sekret yang keluar sedikit-sedikit menimbulkan sinus dan fistel.4
Hidradenitis suppurativa biasanya diawali dengan nodul dalam (ukuran
0,5-2 cm) (gambar 2). Pustul juga dapat terlihat. (gambar 3). Nodul ini dapat
sembuh secara lambat atau justru berkembang dan bergabung dengan nodul
disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga menghasilkan abses inflamasi
nyeri yang besar. Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral dan dapat sembuh atau
fuptur spontan, menghasilkan discharge purulen (gambar 4).5,7

Gambar 2. Bisul besar pada area genitalia wanita yang menderita hidradenitis
suppurativa5

Gambar 3. Pustul dan papul inflamasi yang terdapat pada area yang terkena
hidradenitis suppurativa pada pasien laki-laki5

Gambar 4. Abses yang ruptur mengeluarkan material purulen pada individu yang
menderita hidradenitis suppurativa5
Kerusakan progresif pada arsitektur kulit normal terjadi karena
inflamasi periductal dan periglandular dan dermal serta fibrosis subkutan.
Proses penyembuhan dapat menghasilkan sikatrik dengan fibrosis (gambar 5),
kontraktur dan peninggian kulit rope-like, dan double-ended comedones
(gambar 6). Sinus juga dapat terbentuk (gambar 7). Sinus telah dilaporkan
melibatkan jaringan dalam, termasuk otot dan fascia, uretra dan usus. Proses
kemudian terjadi kembali pada area sekitarnya atau pada area lain yang
mengandung kelenjar apokrin.5,7

Gambar 5. Sikatriks dengan fibrosis5

Gambar 6. Double ended comedone5

Gambar 7. Pembentukan sinus pada daerah vulva seorang wanita yang menderita
hidradenitis suppurativa5
Perinanal hidradenitis suppurativa dapat disertai nyeri, edema,
discharge purulen, pruritus atau perdarahan dan dapat menyerupai penyakit
lain seperti furunculosis, fistula ani, penyakit pilonidal, abses perianal atau
penyakit Crohn. Fistula pada canalis analis dapat terjadi pada hidradenitis,
namun hanya akan terjadi pada bagian terbawah canalis analis, pada kulit yang
mengandung kelenjar apokrin.5

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak

ada

pemeriksaan

penunjang

khusus

untuk

hidradenitis

suppurativa. Kultur dari eksudat yang diambil dapat menumbuhkan berbagai


bakteri saprofit dan patogen seperti staphylococcus dan streptococcus. Pada
pemeriksaan laboratorium pasien dengan lesi HS akut dapat memperlihatkan
peningkatan laju endap darah atau C-reactive protein. Bila pasien tampak
toksik atau demam, pemeriksaan darah lengkap, kultur darah, kultur eksudat,
dan kimia rutin perlu dilakukan.4,5

F. DIAGNOSIS BANDING
Adanya papul, nodul, atau abses nyeri pada lipat paha dan axilla dapat
didiagnosis banding sebagai: furunkel, karbunkel, limfadenitis, cat-scratch
disease, limfogranuloma venerum, scrofuloderma. Adanya sinus dan fistula
dapat didiagnosis banding dengan colitis ulserativa dan enteritis regional.4,8

G. DIAGNOSIS
Diagnosis HS secara primer dibuat berdasarkan karakteristik klinis dan
telah memenuhi kriteria yang diadopsi oleh 2nd International Conference on
Hidradenitis suppurativa. Kriteria hidradenitis supurativa tersebut antara lain:6
1. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: blind boils pada lesi awal;
abses, sinus, bridged scars,dan double-ended pseudo-comedones pada lesi
sekunder.
2. Topografi tipikal seperti axillae, paha dan regio perianal, bokong, lipatan
infra dan inter mamary
3. Kronik dan rekuren
Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk
masing-masing area berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem sederhana
namun statis dan tidak sesuai untuk penilaian keparahan secara global.
Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya mempertimbangkan
sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan lesi secara individual.

Klasifikasi Hurley:9
Tingkat
I

II

III

Karakteristik
Abses soliter atau multipel tanpa sikatriks atau sinus.
(sejumlah sisi minor dengan inflamasi yang jarang;
mungkin keliru untuk jerawat)
Abses rekuren, lesi soliter atau multipel yang terpisah
jauh, dengan sinus (inflamasi yang membatasi
pergerakan dan mungkin membutuhkan bedah minor
seperti insisi dan drainase)
Keterlibatan area sekitar yang difus atau luas dengan
sinus dan abses yang saling berhubungan. (inflamasi
berukuran sebesar bola golf atau terkadang sebesar
bola baseball; timbul sikatriks, termasuk infeksi
subkutan. Pasien pada tingkat ini mungking tidak
dapat berfungsi)

B
A
Gambar 8. (A) dan (B) Tingkat I klasifikasi Hurley

A
B
Gambar 9. (A) dan (B) Tingkat II klasifikasi Hurley

10

Gambar 10. (A), (B), dan (C). Tingkat III klasifikasi Hurley

Sistem klasifikasi Hurley dinilai tidak dinamis dalam menjelaskan hasil


terapi. Sartorius Score yang menghitung skor keterlibatan regio, nodul, dan
sinus, kemudian dijadikan panduan untuk menilai keparahan penyakit.

Gambar 8. Sartorius Score9

H. PENATALAKSANAAN
Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang simpel, dan
antibiotik

sistemik

hanyalah

merupakan

bagian

dari

program

penatalaksanaannya. Kombinasi dari pengobatan glukokortikoid intralesi,


pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin perlu digunakan.8

11

Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah perkembangan


lesi primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti
sikatriks atau pembentukan sinus. Lesi yang timbul paling awal sering kali
sembuh dengan cepat dengan pemberian terpai steroid intralesi, dan sebaiknya
dicoba untuk memulai kombinasi dengan cleocin topikal atau tetracycline atau
minocycline oral.2,5
Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan
triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamcinolone (35 mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik
oral yang dapat digunakan adalah erythromycin (250-500 mg qid), tetracycline
(250-500 mg qid), atau minocycline (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi
sembuh, atau kombinasi klindamisin 2 x 300 mg bid dengan rifampin (300 mg
2 kali perhari) selama beberapa minggu. Prednison dapat diberikan bila nyeri
dan inflamasi sangat berat dosisnya 70 mg perhari selama 2-3 hari, diturunkan
(tappered) selama 14 hari. Pemberian isotretinoin oral tidak bermanfaat pada
penyakit yang kronis namun bermanfaat pada awal penyakit untuk mencegah
sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi lesi.8
Pencucian teratur tiap hari dengan sabun antibakteri dan pemberian
clindamycin topikal penting untuk pencegahan. Mengurangi gesekan dengan
menggunakan pakaian longgar dan penurunan berat badan bila diperlukan, dan
mencegah timbulnya keringat berlebih dengan menggunakan aluminium
klorida topikal. 2,5
Pada kondisi adanya draining sinus, kultur dari pus mungkin akan
menunjukkan S. Aureus atau organisme gram negatif. Pemilihan antibiotik
harus didasarkan pada sensitivitas kultur organisme. Isotretinoin efektif pada
beberapa kasus. Pada suatu studi diberikan isoretinoin dengan dosis 0,56
mg/kg selama 4 sampai 6 bulan. 2,5
Pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat adalah
modalitas pengobatan. Rekurensi postoperatif dapat terjadi. Pembedahan yang
dilakukan dapat berupa insisi dan drainase abses akut, eksisi nodul fibrotik
atau sinus. Pada penyakit yang luas dan kronis, dibutuhkan eksisi komplit

12

pada axilla atau area yang terlibat. Eksisi mungkin mendalam hingga lapisan
fascia sehingga dibutuhkan skin grafting untuk penutupannya. Beberapa
peneliti menyarankan penggunaan laser CO2 untuk ablasi jaringan. Penutupan
primer, grafting, atau flaps telah digunakan secara luas, namun mungin
berhubungan dengan hasil yang tidak begitu baik.5,8
Radioterapi. Beberapa peneliti melaporkan kesuksesan radioterapi
dalam pengobatan HS. Lebih sering diberikan pada populasi pasien muda.
Efek samping jangka panjang perlu diperhatikan. 5

I. PROGNOSIS
Keparahan penyakit ini sangat bervariasi. Banyak pasien hanya
mengalami gejala ringan yang rekuren, dapat sembuh sendiri, sehingga tidak
berobat. Penyakit ini biasanya mengalami remisi spontan pada usia > 35
tahun. Pada beberapa individu, gejalanya dapat menjadi progresif, dengan
morbiditas nyata terkait pada penyakit kronis, pembentukan sinus, dan
sikatriks yang menimbulkan keterbatasan gerak.8

J. KOMPLIKASI
Komplikasi sistemik yang dapat terjadi antara lain disebabkan oleh
infeksi lokal yang dapat menimbulkan septikemia. Anemia atau leukositosis
dapat terjadi namun tidak signifikan. Komplikasi lokal dapat berupa sikatriks
yang membatasi mobilitas. Inflamasi genitofemoral dapat mengakibatkan
striktur anus, uretra, atau rektum. Fistula uretra juga dapat terjadi. Selain itu,
dapat juga terjadi kecacatan persisten pada penis dan skrotum, atau limfedema
vulva yang menyebabkan kerusakan fungsi yang signifikan. Limfedema ini
diduga terjadi karena fibrosis dan obstruksi saluran limfe. Squamous cell
carcinoma (SCC) dapat terjadi pada area yang mengalami inflamasi dan
sikatriks kronis. SCC dilaporkan terjadi pada 3,2% pasien dengan perianal HS
yang terjadi selama 20-30 tahun. SCC sering terjadi pada pria di regio
anogenital.4,5,8

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Burns T, Breathnach S, et al. [editor]. Rooks Textbook of Dermatology 7th
edition. Blackwell Science. 2004.
2. James WD, Berger TG, and Elston DM. Andrews Disease of the Skin
Clinical Dermatology, 10th edition. Philadelphia: saunders Elsevier. 2006.
3. Revuz J. Hidradenitis suppurativa. Orphanet Encyclopedia. March 2004.
Available from URL: http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-hidradenitissuppurativa.pdf. Accesed on May 22nd, 2011.
4. Fite D. Hidradenitis Suppurativa in Emergency Medicine. May 2010.
Emedicine.
Available
from
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/762444-overview. Accesed on may
22nd, 2011.
5. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine, 7th edition. US: Mc Graw Hill Medical. 2008.
6. Fimmel S and Zouboulrs CC. Cormobities of Hidradenitis Suppurativa (Acne
Inversa). Dermatoendocrinol.2010 Jan-Mar; 2(1): 9-16. Available from URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3084959/?tool=pmcentrez.
Accesed on May 22nd, 2011.
7. Parks RW and Parks TG. Pathogenesis, Clinical Features and Management of
Hidradenitis Suppurativa (Review). Ann R Coll Surg Engl 1997; 79: 83-89.
8. Wolf K and Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology 6th edition. US: Mc Graw Hill Medical. 2009
9. Hidradenitis
suppurativa.
Wikipedia.
Available
from
URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Hidradenitis_suppurativa. Accessed on May 22nd,
2011.

14

Anda mungkin juga menyukai