Pendahuluan
Istilah tsunami yang kini digunakan di seluruh dunia, memang sebuah kata
dalam bahasa Jepang, yang berarti gelombang pasang (tidal wave) yang
datang mendadak. Itu berarti Jepang memang sebuah negeri tsunami.
Bukan itu saja, Jepang terletak di zona seismik aktif, dengan topografi
yang bergunung-gunung yang kaya akan gunung api dan sekaligus juga
terletak pada jalur taifun. Maka Jepang sering dilanda berbagai bencana
alam seperti gempa bumi, taifun, letusan gunung api, dll. sejak dulu kala.
Salah satu tsunami terdahsyat yang tercatat dalam sejarah Jepang adalah
Tsunami Gempa Meiji Sanriku yang terjadi pada tahun 1896. Tsunami ini
menewaskan lebih dari 20.000 orang. Setelah itu, pada tahun 1933
Gempa dan Tsunami Sanriku melanda daerah yang sama lagi dan
menelan sekitar 3000 jiwa dan orang hilang. Jelaslah ada jeda selama 40
tahun antara keduanya sehingga orang menjadi tidak waspada.
Salah satu Tsunami dahsyat yang menyapu Jepang terjadi pada tahun
1993, yaitu di pulau Okushiri yang merengut lebih dari 200 jiwa dan orang
hilang. Tsunami ini terjadi setelah terjadi gempa bumi lepas pantai baratdayat pulau Hokkaido.
Pemerintah dan rakyat Jepang merasa mendorong untuk melakukan
usaha bersama terpimpin untuk melestarikan tanah dan mengendalikan
banjir serta meningkatkan metode peramalan badai dan banjir serta
sistem peringatan dini di tempat-tempat yang sering dilanda bencana.
Berkat daya-upaya demikian, tahun demi tahun jumlah korban akibat
bencana alam makin berkurang. Tanggal 1 September telah ditunjuk
sebagai Hari Pencegahan Bencana di Jepang. Selama Minggu Reduksi
Bencana yang berpusat pada hari tersebut, lebih dari 3,5 juta orang
Jepang, termasuk Perdana Menteri, ikut serta dalam latihan-latihan
kesiapan menghadapi bencana yang diadakan di seluruh Jepang. Untuk
mendapatkan hasil yang memadai dalam usaha menekan seminimal
mungkin akibat bencana terhadap penduduk, diperlukan penerapan
latihan demikian secara berulang-ulang, tidak saja bagi mereka yang
ini,
pemerintah
Jepang
telah
membuat
beberapa
tindakan
memakan biaya cukup mahal, dan sea wall yang dibangun dengan
konstruksi yang buruk memerlukan biaya perawatan yang banyak akibat
dampak erosi.
Di Pulau Okushiri, sea wall setinggi 4.5 meter dibangun untuk melindungi
Aonae peninsula. Akan tetapi, sea wall ini kemudian dapat dilampaui oleh
tsunami pada tahun 1993 dengan korban jiwan 185 orang meninggal.
Semenjak itu, pembangunan sea wall kini menjadi perdebatan. Saat ini,
sea wall menjadi sangat tinggi sehingga menghalangi pemandangan ke
arah laut dan memiliki biaya mahal hanya untuk membangunnya.
2.2 Tsunami Breakwaters
Tsunami Breakwaters adalah sebuah struktur yang dibangun di lepas
pantai, bertujuan untuk membatasi arus gelombang yang masuk ke
pelabuhan dengan cara menyempitkan jalur masuk gelombang tersebut.
Salah satu breakwater dapat ditemui di teluk Ofunato di pantai Sanriku
Jepang.
Breakwaters dibangun sebagai tanggul air dan diatasnya diberi lapisan
baja yang mengurangi energi gelombang masuk. Breakwaters ini dapat
terkena erosi pada bagian dasarnya yang terletak didasar teluk, serta
dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar dengan mengurangi
sirkulasi air.
2.3 Water Gate
Water gate ini memiliki struktur seperti bendungan, dimana ketika terjadi
gempa bumi, pintu dari water gate ini kemudian akan menutup untuk
mencegah gelombang tsunami masuk kedalam dan merusak lingkungan
masyarakat sekitar. Salah satu water gate terletak di pulau Okushiri.
2.4 Shirahama Elevated Shelter
Shelter bertingkat ini dibangun di salah satu hotel pinggir pantai di
Shirahama. Shelter ini dapat menampung sampai dengan 700 orang
dengan luasan area 7535 feet. Shelter ini memiliki ketinggian 11.5 meter, 4
meter lebih tinggi daripada desain 7.5 meter yang didasarkan dari data
tsunami tahun 1854.
2.5 Nishiki Tower
Bangunan perlindungan tsunami ini memiliki tinggi 5 lantai dan dibangun
dengan beton yang bertulang. Pada mulanya, lantai dasar digunakan
sebagai toilet umum serta tempat penyimpanan peralatan pemadam
kebakaran. Lantai dua berfungsi sebagai ruang pertemuan dan lantai tiga
sebagai ruang penyimpanan arsip. Lantai empat dan lima memiliki luas
786 meter persegi untuk pengungsian. Nishiki Tower dirancang dapat
menahan intensitas gempa yang tinggi. Pondasi bangunan ini terdiri atas
campuran pasir dan kerikil sampai sedalam 13 kaki dengan tiang pancang
beton yang memanjang 20 meter. Bangunan ini juga memiliki ketinggian 6
meter berdasar data historis serta mampu bertahan dari tubrukan dengan
kapal seberat 10 ton dengan kecepatan 10 meter per sekon.
2.6 Tasukaru Tower
Fujiwara Industries Company di Jepang membangun Tasukaru Tower.
Struktur ekonomis ini dapat menampung 50 orang dengan ketinggian 5.8
meter.
2.7 Tsunami Control Forest
Pemerintah dapat menanam hutan kontrol untuk tsunami diantara pantai
dengan kota. Pepohonan dari hutan ini dapat menjadi penghambat energi
gelombang serta menjadi filter puing-puing besar yang dibawa dari laut
ketika terjadi tsunami. Sepanjang pantai Sanriku, Jepang, pohon cemara
dijadikan sebagai perkebunan untuk meng-counter tsunami. Selain itu,
terumbu karang disana juga dilindungi, mengingat potensi mereka untuk
mengurangi efek merusak dar tsunami.
III. Disaster Management System
Selain pembangunan struktur, pemerintah Jepang juga menerapkan
Disini
ditekankan
bahwa
yang
paling
penting
adalah
Daftar Pustaka
http://www.aktsunami.org/lessons/58/unit8/atep_58_StructuralCountermea
sures_VA.pdf, diakses pada 6 Januari 2015
http://wbi.worldbank.org/wbi/Data/wbi/wbicms/files/drupalacquia/wbi/drm_kn2-2.pdf, diakses pada 6 Januari 2015
http://www.id.emb-japan.go.jp/aj310_03_8.html, diakses pada 6 Januari
2015