Disusun :
Anisa Cyntia Devi (13010034023)
PLS 2013 B
Alhamdullilah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Sholawat dan salam kepada Rasullah Muhammad SAW, Tauladan sejati
sampai akhir zaman sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Filsafat Ilmu dengan
judul Sejarah sebagai Pembentuk Identitas Nasional dengan baik tanpa suatu halangan
yang berarti.
Terselesainya tugas ini adalah berkat dukungan dari semua pihak, untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada segenap pihak yang telah ikut
andil dalam proses penyelesaian makalah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
tulisan. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
yang sebesar-besarnya bagi penulis dan pembaca.
DAFTAR ISI
B.
C.
BAB II PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.
Kesadaran Sejarah........................................................................................... 9
E.
Kesimpulan .................................................................................................... 13
B.
Saran ............................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jati diri yang berarti juga merupakan kepribadian bangsa seperti dalam konteks integrasi
nasional ternyata diakui sebagai hasil bentukan sejarah. Jati diri bahkan dinilai sebagai
konsep sejarah. Ini tidak berlebihan bila disadari sepenuhnya bahwa integritas nasional
merupakan perjuangan yang telah dilakukan oleh pendahulu hingga terimplementasi dalam
realitas konkret yang amat panjang. Membutuhkan proses, waktu yang kontinu dan dalam
dimensi waktu itulah sejarah memerankan fungsinya sebagai unsur yang dapat membentuk
identitas dan kepribadian nasional termasuk tentu saja integritas nasional.
Pada hakikatnya manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, manusia
senantiasa membutuhkan orang lain. Pada akhirnya manusia hidup secara berkelompok kelompok.
Manusia dalam bersekutu atau berkelompok akan membentuk suatu organisasi yang
berusaha mengatur dan mengarahkan tercapainya tujuan hidup kelompok tersebut. Dimulai
dari lingkungan terkecil sampai lingkungan besar. Pada mulanya manusia hidup dalam
kelompok keluarga selanjutnya mereka membentuk kelompok lebih besar lagi seperti suku,
masyarakat dan bangsa. Kemudian manusia hidup bernegara, mereka membentuk Negara
sebagai persekutuan hidupnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.
5.
C. TUJUAN PENULISAN
1.
2.
3.
4.
5.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Manusia
Dari sudut sejarah filsafat, Socrates dapat di nilai sebagai filsuf yunani pertama yang
begitu serus dan itensif menjadkan manusia sebagai salah satu tema sentral dalam
pemikiran. Oleh karena itu, ia sering juga di anggap sebagai tokoh yang telah berhasil
menurunkan filsafat dari langit ke bumi. Sebelumnya manusia lebih bergairah
mengajukan pertanyaan metafisika di luar dirinya. Filsafat bergelantung di langit
metafisika, manusa mengajukan pertanyaan besar tentang segala sesuatau (supranatural),
padahala manusia itu sendiri merupakan objek pertanyaan besar yang penuh misteri. Bagi
Socrates yang pertama harus diselesaikan adalah kenalialah dirimu, siapa saya? Mengenal
dengan baik siapa saya dapat mengatur pada pengenalan terhadap di luar saya yang lebih
asasi dan menjadi penentu segalanya.
Hanya dengan mengenal siapa manusia, kita menjadi sadar tentang kedirian kita.
Bukan itu saja, mengenal diri ( manusia)penting artinya dalam membebaskan manusia
dari keterasingan, paling tidak terbebas dari ketereasingan diri sendiri. oleh sebab itu,
sepanjang sejarah manusia selalu muncul kreativitas sadar memebebaskan diri dari
keterasingan. Karena hakikatnya manusia dapat menemukan hakikat ketika pikiran
telah keluar dari manusia.
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini
didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada
pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa
mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan
kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum
Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat
diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah
membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan
immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat
dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak
masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya
setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme,
empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi
dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia
adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak
membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalamanpengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman.
Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman
yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang
yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh
memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang
ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas,
terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego
pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif
yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar
dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum
sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal
Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada
tahap ini semua unsur membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan
aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara
subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia
lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia
ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai
dan fungsinya manusia sebagai adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai
kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asyari,
Filsafat Islam, 1999)
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat
dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia
dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia
dapat mempersepsikan kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan
didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan
hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia
dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan
tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhadap dunia. Dari sini memunculkan
kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi
penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta
kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia
sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu.
Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan
cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan
dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian
dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi.
Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan
eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri
manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan
manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan
dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga
eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan
menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang
menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak
dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh Ali Syariati bahwa esensi
manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut
menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan
refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang
dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani.
Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan
Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami
Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses
menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan
refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi
insan kamil atau manusia sempurna.
B. Hakikat Sejarah
Memasuki pengertian yang hakiki melalui pengertian-pengertian umum
maupun spesifik untuk memahami hakikat sejarah. Hakikat sejarah dapat dipahami
dengan membuka pengertian-pengertian peristilahan (etimologis) dan terminologis.
Dengan cara demikian, barulah dimungkinkan dengan baik memaparkan sekaligus
menunjukkan secara relatif tepat mengenai hakikat sesuatu. Oleh karena itu,
pengertian sejarah, baik secara etimologis maupun terminologis menjadi syarat
penting untuk diketengahkan dalam rangka menemukan substansi sejarah. Pengertian
yang sistematis dengan mula-mula bertolak dari pemahaman sederhana secara
etimologis mengenai sejarah, untuk kemudian masuk pada pendalaman terminologis,
dan akhirnya sampai juga pada substansi yang mendasar tentang sejarah dimaksud,
benar-benar merupakan sebuah langkah holistik dan universal perihal pemahaman
sejarah.
Bertolak dari sini, marilah mulai menjelaskan apakah sejarah itu secara
etimologis. Ternyata berdasarkan akar kata sejarah secara historis, ditemukan bahwa
kata sejarah sesungguhnya mula-mula berasal dari bahas arab yaitu syajaratun yang
berarti pohon kayu (Helius Syamsudin dan Ismaun, 1996:2) seperti dapat diamati
bersama, sebuah pohon senantiasa mendiskripsikan proses bertumbuh dan
berkembang dari bumi ke udara. Dalam proses tumbuh dan berkembnag tersebut,
kemudian memunculkan, cabang, dahan atau ranting, daun, kembang, bunga, dan
buah.
Itulah sejarah etimologis yang berarti pohon, yang berarti pula silsilah, asal
usul. Memang, sejarah selalu menggambarkan proses tumbuh, hidup dan berkembang
terus menerus. Namun, pengertian semacam ini tidak bisa dipahami secara biologis.
Karena itu, secara etimologis pengertian sejarah lebih dari sekedar sebuah istilah, asal
usul (pohon).
Setelah menegaskan sejarah sebagai ilmu, maka yang menarik dari definisi
diatas adalah bahwa kemudian kita dipermaklumkan dua hal penting dalam sejarah,
yaitu sejarah mempunyai nilai dan kegunaan dan sejarah terkait dengan waktu, baik
masa lalu sekarang maupun yang akan datang. Sejarah memang tidak bisa melepaskan
diri dari kerangka tridimensi waktu: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Berkaitan dengan pengertian sejarah dalam kerangka yang tidak semata
terpasung dengan masa lampau, ditegaskan oleh Edward Carr bahwa history is a
continous process of interaction between the historian and facts and unending
dialogue between the present and the past. Jadi, Carr berpendapat bahwa sejarah ialah
suatu proses interaksi terus menerus antara sejarawan dengan fakta-fakta yang ada
padanya, suatu dialog yang tidak henti-hentinya antara masa sekarang dengan masa
silam.
Pengertian lain mengenail sejarah dapat dikutip pandangan Robert V. Daniels
bahwa history is the memory of human group experience. J. Bank juga menegaskan
pengertian sejarah bahwa semua peristiwa masa yang lampau adalah sejarah (sejarah
adalah kenyataan). Definisi yang tampaknya lebih filosofis dikemukakan oleh J.
Huezingan yang menyatakan bahwa sejarah adalah bentuh rohaniah di mana suatu
kebudayaan mempertanggungjawabkan masa yang lampau (Helius Syamsudin dan
Ismaun, 1996:9)
Setelah mendefinisikan sejarah, perlu ditegaskan bahwa sejarah dapat
dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmiah (ilmu) di samping itu tentu saja
merupakan rangkaian peristiwa masa lampau yang tidak berhenti hanya sampai pada
titik kelampauan semata, tetapi bersenyawakan dengan masa sekarang maupun masa
depan.
Secara praktis sejarah telah menempuh perjalanan yang amat panjang.
Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, sejarah telah ada sejak manusia mulai
bereksistensi di permukaan bumi ini. Sejarah, sama tuanya dengan usia umat manusia
itu sendiri, akan tetapi dilihat dari sudut pandang teori, yaitu memandang sejarah dari
sudut ilmiah seperti dikemukakan diatas, sejarah merupakan ilmu yang tentu saja
masih relatif muda dibandingkan dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial dan
humaniora yang sejak abad ke-19 mulai menampakkan perkembangan yang pesat.
Kini, ilmu sejarah telah berhasil mencapai perkembangan yang
membanggakan sehingga dewasa ini sangatlah sulit menemukan orang dengan
kualifikasi menguasai ilmu sejarah secara komprehensif. Keberhasilan ilmu sejarah
dalam melahirkan pola-pola spesialisai sangat tergantung pada adanya unsur
keterbukaan yang memang merupakan ciri inheren bagi ilmu sejarah. Bahkan, boleh
dikatakan ilmu sejarah sangat terbuka. Terbuka untuk diresapi, dimakani, dipedomani,
diinterpretasi, dan terbuka untuk digugat.
Oleh karena ilmu sejarah amat dicirikan oleh aspek keterbukaan, hingga
berakibat penafsiran. Maka muncullah gugatan bahwa karya sejarah itu bersifat
subjektif, tidak objektif. Meskipun demikian, ilmu sejarah harus tetap terbuka dan
mendorong sekuat mungkin daya interpretasi dan analisis terhadap suatu peristiwa
sejarah. Hanay dengan sifat terbuka, daya interpretasi, dan analisis itulah, sejarah
menjadi hidup. Hidup karena mengaktualisasikan kelampauan ke dalam kekinian
untuk suatu proyeksi pada dimensi masa depan, sehingga jelas memperlihatkan
sejarah sesungguhnya berurusan dengan masa lampau yang belum selesai. Pengertian
ini mengisyaratkan integrasi tridimensi waktu seperti yang telah disinggung di depan.
Hakekat sejarah meliputi beberapa unsur, yaitu manusia, waktu dan ruang.
Tidak ada satupun peristiwa sejarah yang tidak mencakup ketiga unsur di atas.
Dengan tegas dapat dinyatakan bahwa sejarah sebagai suatu proses dan peristiwa
pasti melibatkan ketiga unsur tersebut. Hanya dengan adanya manusia, waktu dan
ruang, maka proses sejarah dapat berjalan. Tanpa itu, tidak akan ada sejarah. Karena
ketiga unsur manusia, waktu dan ruang menentukan eksistensi sejarah, ini berarti
ketiganya menjadi hakekat sejarah, sebab secara negatif dapat dikatakan kalau ketiga
aspek itu tidak hadir, maka mustahil sejarah dapat berproses.
C. Kesadaran Atas Manusia, Waktu dan Ruang
penting manusia, meskipun itu tema-tema sejarah yang dikisahkan meliputi tema
majemuk, manusia senantiasa hadir dalam keseluruhan tema sejarah.
Selanjutnya dapat dibahas kesadaran atas waktu, meskipun hanya manusia yang
sadar akan waktu, tetapi harus diakui bahwa menyangkut kesadaran atas waktu dalam
sejarah, penjelasannya tidak terlalu gampang. Pada tahap awal saja sudah dihadang
dengan pertanyaan besar, apakah yang dimaksud dengan waktu? Bagaimana
memahami dimensi temporal (waktu) dalam sejarah? Dan sederet pertanyaan lain
yang berhubungan dengan waktu.
Yang paling umum didengar, waktu dikaitkan dengan profesi, keadaan tertentu.
Mereka yang tengah sibuk mencari nafkah menyatakan waktu adalah uang atau tiada
waktu tanpa bekerja. Mereka yang sedang menuntut ilmu lebih suka menyatakan
bahwa waktu adalah ilmu atau tiada waktu tanpa belajar. Begitu pula sepasang muda
mudi yang yang sedang memadu cinta, waktu disimbolkan sebagai cinta.
Pernyataan-pernyataan umum diatas memang sudah tidak terlalu menantang dan
menggelitik pemikiran, mungkin karena sudah berada dalam kenyataan sering
didengar. Namun, kalau diperhatikan secara seksama tampaknya pernyataan umum
tersebut tidak sesimplistis yang diperkirakan. Karena ternyata statemen semacam itu
mengandung makna tertentu. Secara substansial, pernyataan-pernyataan tersebut
maupun pernyataan lain yang semakna dan sesemangat dengan itu menunjukkan
bahwa konsep waktu sangat penting.
Waktu adalah isi, kreativitas, dinamika, perubahan. Oleh sebab itu, waktu
merupakan harapan kontinuitas. Waktu berproses terus-menerus. Dengan demikian,
tidak eksistensi yang eksak. Semua keberadaan dalam ruang terekam dalam waktu.
Pantharei, semua berubah kata Herakleitos perubahan selalu bersenyawa dalam
dimensi temporal. Di dalam ruang ada gerak. Perpindahan dari satu titik ke titik lain
(perubahan) adalah gerak. Waktupun terimplementasi di dalam ruang. Lalu, manakah
yang lebih awal diadakan waktu atau gerak?
Sejarah membutuhkan waktu (dimensi temporal) tanpa waktu, sejarah menjadi
diam bahkan tidak ada. Dengan waktu itulah sejarah menjadi dinamis, berkembang.
Konsepsi sejarah tentang dimensi temporal, meliputi tiga aspek yaitu masa lalu, masa
sekarang dan masa akan datang. Memang, sejarah bertumpu pada masa lalu. Sebab
masa lalui itulah yang merupakan bahan untuk menyusun cerita sejarah. Akan tetapi,
dengan bertumpu pada masa lalu bukanlah berarti bahwa sejarah hanya untuk masa
lalu semata.
Pengetahuan tentang masa lalu dan pada dasarnya pengetahuan manusia yang
benar-benar telah dimilikinya hanya sejauh apa yang sudah terjadi, akan tetapi ini
tidak berarti bahwa masa lalu hanya mengabdi pada masa lalu an sich. Pengetahuan
masa lalu itu hendaknya dapat membekali manusia pada penemuan kesadaran
kekinian. Yang pada akhirnya menjadi modal untuk suatu proyeksi abstrak kekinian.
D. Kesadaran Sejarah
Kita perlu mamhami kesadarn sejarah terlebih dahulu sebab adalah sulit jika tidak
dikatakan mustahil melakukan pembinaan kesadaran sejarah, padahal secara esensial
tidak diketahui apa yang dibina, dan mengapa mesti membina kesadran sejarah.
Bagaimanapun juga memahami kesadran sejarah niscaya bermula dari
pemahaman tentang sejarah itu sendiri. Jadi, secara tebalik bisa dilukiskan begini;
kesadaran sejarah suatu bangsa, masyarakat hanya mungkin timbul oleh karena
adanya sejarah atau peristiwa sejarah yang telah dialami oleh masyarakat dan bangsa
bersangkutan. Kesadaran tentang sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.
Bagaimanapun juga memahami kesadaran sejarah niscaya bermula dalam
pemaham sejarah itu sendiri. jadi, secara terbalik bisa di lukiskan begini : kesadaran
sejarah suatu bangsa, masyarakat hanya mungkin timbul oleh karena adanya sejarah
atau peristiwa sejarah yang dialami oleh masyarakat dan bangsa bersangkutan.
Kesadaran tentang sejarah pada sejarah masyarakat itu sendiri.
Sejarah dalam rangkah keilmuan (ilmu sejarah) memiliki watak tridimensosial,
yaitu kesinambungan anatara hari kemarin, hari sekarang dan hari esok.
Jika kita memandang folklor dan mitologi sebagai dongeng atau sebagai alat
gegoyonan yang menghibur, berarti kesadaran sejarah kita sangat rendah. Demikian
pula jika kita menganggap peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan suatu
tempat, suatu masa dan seseorang yang berujung pada kepercayaan mistis dan kultus,
juga merupakan indikator kesadaran sejarah yang rendah. Pola kepercayaan mitis dan
pandangan kultus merupakan bentuk pemaknaan sejarah secara tradisional dan tentu
saja akan mengungkung masyarakat dalam stagnasi peradaban dalam arus deras
modernitas. Munculnya pola kepercayaan dan cara pandang mitis dan kultus
disebabkan karena kurangnya informasi dan referensi yang berkaitan dengan aspekaspek historiografis seperti ruang, waktu, proses interaksi, konteks, tokoh dan lainlain.
Kesadaran sejarah juga tidak diwakili dengan penguasaan tentang informasiinformasi masa lalu, atau penguasaan tentang peran tokoh-tokoh dalam peristiwa itu,
tetapi kesadaran sejarah adalah kesadaran tentang proses dinamis masyarakat dalam
dialektika ruang dan waktu yang terus berubah. Kesadaran sejarah yang demikian
melahirkan pandangan kritis terhadap penisbian terhadap suatu kejadian dan tokoh
masa lalu, dan membuka ruang diskusi untuk mempermasalahkan, melengkapi,
meluruskan bahkan menolaknya sebagai suatu peristiwa sejarah.
Hanya dengan pandangan yang demikian sejarah dapat menjadi sumber
pelajaran berharga bagi masyarakat. Kemampuan melihat hubungan dinamis antara
kejadian-kejadian atau tokoh-tokoh masa lalu dalam dimensi ruang dan waktu
(dengan metodologi tertentu) akan melahirkan suatu kerangka acuan yang absah
untuk mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan aktual saat ini dan
menghadapi masa depan. Para sejarawan mengasumsikan adanya hukum sejarah yang
tetap dan tidak berubah jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan kata lain,
historiografi mengisyaratkan adanya gejala generalisasi dalam penarikan pelajaran.
Tentu saja kondisi ini juga membutuhkan kritik materi dan kritik konteks yang lebih
mendasar.
Menarik pelajaran dan hikmah dari kesadaran sejarah kalau merujuk pada
konsep tarikh, yaitu suatu peristiwa yang terikat oleh zharaf (ruang dan waktu)
menjadi sesuatu yang mengandung kenisbian yang bersifat idiomatik. Dengan
demikian semakin jelas kita membedakan seorang nara sumber sejarah yang
memahami seluk-beluk peristiwa sejarah dengan seorang yang memiliki kesadaran
sejarah. Kesadaran sejarah inilah yang menjadikan sejarah bermakna bagi masyarakat.
Sejarah menjadi tidak tertelan zaman dan melahirkan mitos-kitis dan pengkultusan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah merupakan warisan dari mansia, tanpa adanya manusia tidak akan pernah ada
sejarah. Sejarah juga berkaitan erat dengan ruang dan waktu. Dalam kehidupan
sejarah memiliki peranan yang sangat penting serta memiliki manfaat yang banyak
dalam berbagai bidang maka dari itu kesadaran manusia akan sejarah sangat
dibutuhkan dalam implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. SARAN
Kesadaran akan sejarah sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat berbangsa
dan bernegara oleh karena itu kesadaran akan sejarah harus ditumbuhkan pada diri
manusia sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA