Anda di halaman 1dari 8

Makalah

Sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Oleh:

ABD. ROHIM NOER (13010034042)

UNIVERSITAS NEGRI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKN NON FORMAL
ANGKATAN 2013 B

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Tuhan yang maha Esa, maha mengetahui segala yang
tidak diketahui manusia yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya pada kita sehingga
kami dapat menyusun buku ini yang berjudul Teori Pembelajaran Matakuliah Pndidikan
Non Formal Semester III dengan lancar tanpa sutuhalangan apapun. Solawat serta salam
semoga tetap tercurahkan pada Rasulullah Muhammad SAW, bersama sahabat, Keluarga,
dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Mkalah Filsafat ilmu ini berisi tentang definisi dan pemahaman tentang fenomenologi
menurut Edwin Husserl. Pemahaman fenomenologi ini sangat penting untuk dikaji karena
merupakan salah satu komponen yang penting dalam menerapkan pendidikan ditengah
tengah keberagaman masyarakat agar suatu pembelajran dapat berlangung dan diharapkan
dapat memberi hasil yang lebih maksimal sehingga Pendidikan Non Formal dapat
memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Muah mudaha kehadiran buku ini dapat diterima oleh para pembaca, seraya teap memberi
kan kritik dan saran untuk menyempurnakan buku ini dimasa mendatang.
Kami ucapkan terima kasih pada smua pihak yang telah mendukung , menginspirasi, dan
memotivasi baik dalam bentuk saran pemikiran maupun semangat, sehingga buku ini dapat
terselesaikan dengan hasil yang sesuai harapan. Aamiin.
Surabaya, 18 Desember 2014

Penulis

PEMBAHASAN

A. Pengertian fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon
dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan
logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara
umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens
Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi
berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang
gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl
(1859 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang
disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum
Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764).
Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia).
Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek
pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta
introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman
langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya,
hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau
Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan
watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmuilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi
membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena
yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen
sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus
bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada
kesadaran murni. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri
dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi
menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada.

Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu
sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.[1]
Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia
berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata
lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam
fenomenologi transcendental Husserl:
a.

Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang
menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti
sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek
yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang
abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan
kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut
dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek.
Misalnya minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan
sepak bola.

b. Noema dan Noesis


Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality
adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif
dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif
fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau
sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah
tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai
ide.
c.

Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates
yakni kemampuan membedakan yang murni dan yang diperhatikan dari the light of reason
alone (semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan
pengetahuan. Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah
sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam
diri individu secara mental(transenden).
d. Intersubjektivitas

Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari
konsep sosial dan konsep tindakan. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara
dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk
makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu
melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah
makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan
(common and shared).

Fenomenologi Husserl
Sebagai studi filsafat, fenomenologi dikembangkan di Universitas-universitas Jerman
sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl; kemudian dilanjutkan oleh Martin
Heidegger, Max Scheler dan yang lainnya. Bahkan Jean-Paul Sartre pun memasukkan
fenomenologi dalam eksistensialisme-nya.[8]
Istilah Fenomenologi pertama kali digunakan oleh J. H. Lambert (1728 1777). Kemudian
istilah itu juga digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah filosof lain. Namun
semuanya mengartikan istilah fenomenologi secara berbeda. Baru Edmund Husserl yang
memakai istilah fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara
tepat.[9] Contoh misalnya, dalam karya Hegel yang berjudul Phenomenolgy of Spirit.
Pemaknaan Hegel terhadap teori fenomena dalam buku ini berbeda dengan fenomena
menurut Husserl. Menurut Hegel, fenomena yang kita alami dan tampak pada kita
merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan konsep kesadaran manusia
serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah. Husserl menolak pandangan Hegel
mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal
fenomenologi Hegel serta menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe
fenomenologi: fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan
susunan kesadaran kita.
Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai
yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak bagi
subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi
dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak Descartes, kesadaran selalu dipahami
sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup), artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan

hanya melalui jalan itu dapat mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa
kesadaran terarah pada realitas, dimana kesadaran bersifat intensional, yakni realitas yang
menampakkan diri.
Lebih jauh lagi Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia
dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus kembali kepada
realitas sendiri. Dalam bentuk slogan, Husserl menyatakan Zuruck zu den sachen selbst
kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai
untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan
hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita
terima. Kalau kita mengambil jarak dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh
pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu berbicara
sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Pendekatan Reduksi
Menurut Husserl prinsip segala prinsip ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak
menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang
Filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung diberikan kepada Kita dalam pengalaman
dapat dianggap benar sejauh diberikan. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran
harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara
langsung kepada Kita sebagai subjek.
Menurut husserl, benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya.
Apa yang Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat
benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak
membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat
yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam
usaha untuk melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan Reduksi,
yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum pengamatan
intuitif dilakukan.
Reduksi dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl
adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung (metode
bracketing). Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk

sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Dengan kata lain reduksi berarti kembali pada
dunia pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan
kebenaran. Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam
pendekatan fenomenologi itu, yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan Reduksi
Fenomenologi Transedental.[16]
1. Reduksi Fenomenologis.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif[17]. Sikap Kita harus obyektif, terbuka untuk
gejala-gejala yang harus diajak bicara. Walaupun demikian, fenomen itu memang
merupakan data, sebab sama sekali tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan.
Namun obyek yang diteliti hanya yang sejauh Kita sadari.
Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam Reduksi Fenomenologis ini adalah:
1. Dengan mengurung atau bracketing yaitu meminggirkan keyakinan Kita akan
totalitas obyek-obyek dan segala hal yang Kita terlibat dengannya dari pendirian
alamiah ataupun bahkan pengalaman Kita tentangnya.
2. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan pengurungan.
3. Reduksi Eidetis.[18]
Adalah menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari
sumber lain. Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos (intisari), atau sampai kepada
wesen-nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini, Kita
melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya,
manusia adalah hakikatnya dapat mati, bukan suatu inti yang tersembunyi, misalnya,
hakikat hidup, bukan pula hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, manusia
adalah binatang yang berakal. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur dasariah,
yang meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki, lalu ditambah pula semua relasi
hakiki dengan kesadaran serta objek lain yang disadari. Tujuan sebenarnya dari reduksi
adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat) dari suatu fenomena
(gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus
dilakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya
aksidental atau eksistensial. Dan caranya adalah dengan menunda dalam tanda kurung.

Dengan reduksi eidetis ini, dimana dalam khayalan semua perbedaan-perbedaan dari
sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu esensi saja.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1981.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
http://banyubeningku.blogspot.com/2011/04/filsafat-fenomenologi-edmund-husserl.html
http://www.slideshare.net/mazizaacrizal/fenomenologi-3572675
http://indonesiakomplit.wordpress.com/2011/01/28/fenomenologi-edmund-husserl/
http://ruangmerindukandiadandia.wordpress.com/2010/02/14/fenomenologi-edmund-husserl/
Adian, Donny Gahral, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer. Jogjakart

Anda mungkin juga menyukai